Beranda / Fantasi / Dendam Permaisuri yang Terbuang / 3. Hukuman Mati Untuk Permaisuri

Share

3. Hukuman Mati Untuk Permaisuri

Penulis: KarRa
last update Terakhir Diperbarui: 2022-08-31 14:10:58

    Istana Dingin, mercusuar di tempat paling ujung kerajaan Baskara, bangunan tidak terawat, banyak sarang laba-laba dan juga tikus berkeliaran. Bau busuk menguar, membuat beberapa prajurit tidak tahan. Istana dingin kerajaan Baskara layaknya penjara anggota kerajaan yang bersalah, sebelum menerima hukuman atas kejahatan yang diperbuat. Mereka akan ditempatkan di istana dingin menunggu peradilan.

      Permaisuri Rengganis tergeletak di sebuah dipan kayu. Mata sembab itu mulai terbuka perlahan. Dia melonjak terkejut mendapati diri dalam keadaan mengkhawatirkan. Permaisuri Rengganis menangis sesengukan, meratap. Kehilangan ibu tercinta di depan mata, dengan cara begitu tragis. Raja Abra beringas, tanpa ampun menebas leher sang ibu. Permaisuri Rengganis mendadak mengurut leher sendiri. Mendadak terasa kelu, tercekat, bahkan sulit bernapas. Darah berceceran nampak jelas ketika raja Abra menjambak dan mengakat kepala sang bunda ke udara.

       "Gantung kepala wanita pemberontak ini di alun-alun!" Teriakan itu masih terngiang, terdengar sebelum Permaisuri Rengganis pingsan.

       Tidak habis pikir, suami yang dulunya lembut penuh welas asih, berubah iblis keji tidak berperasaan. Jiwa Rengganis terguncang hebat, wanita lemah nan rapuh yang selalu hidup damai tanpa merasakan intimidasi dan tekanan. Saat ini terlihat kacau balau dalam haru-biru. Tubuh mulusnya kotor terkena debu ruangan. Dia menjambak rambut sendiri mirip orang tidak waras sebagai rasa frustrasi dan ketakutan.

      "Hei, kau dengar tadi apa kata mereka." Tangkap suara bariton lantang di telinga Rengganis. Dia menelan saliva menahan napas mencoba menajamkan konsentrasi.

      "Iya, sungguh kasihan Permaisuri Rengganis, gelarnya dilepas begitu saja oleh Raja Abra," keluh salah seorang, suara berbeda.

       "Aku mendengar kabar jika dalam waktu tiga hari Selir Madhavi tidak sadarkan diri, Raja Abra akan memberikan hukuman gantung untuk Permaisuri Rengganis," kata salah seorang lagi.

       "Tidak!" Rengganis berteriak. Dia bangkit dari ranjang. Berteriak-teriak lebih keras, sungguh seperti orang gila. "Biadab kau Kakang Prabu!" 

      "Astaga, dia mendengarkan kita, sekarang bagaimana?" Suara orang pertama terdengar.

      "Abaikan saja, nanti juga diam sendiri, saat ini yang berkuasa Raja Abra, kita dalam perintahnya, patuhi jika tidak ingin mati!" Seorang lagi berbicara.

      Permaisuri Rengganis, ah, bukan lebih tepatnya Rengganis lantaran gelar kebangsawanan dirinya telah dilepas begitu saja oleh sang suami. Sebodoh apa Rengganis pun tahu, jika semua hal terjadi adalah sebuah konspirasi. Dia menduga Madhavi tidak akan bangun sebelum Rengganis dihukum gantung. 

      Tidak ada selir seberani Madhavi, wanita yang awalnya seorang dayang di istana permaisuri, gadis molek keponakan Ki Kastara —penasehat raja—.

      "Kakang Prabu, mengapa kau kejam sekali denganku," pilu Rengganis. Tubuhnya limbung, luruh terduduk lemas di lantai kayu kotor berdebu. Tangisan tidak lagi terdengar, hanya sekali-kali masih sesengukan. 'Aku benar tidak habis pikir, di mana hatimu?' bisiknya.

       "Dengar, dia tidak lagi berteriak dan menangis." Suara menyebalkan dari penjaga tadi kembali bercicit. Tawa prajurit yang berjaga terdengar. Rengganis mengerucutkan bibir, muak. Ingin menyumpal mulut tidak berperasaan tersebut dengan tanah.

      Rengganis mencoba menenangkan diri, berpikir meski berkabut rasa kalut. Dia melirik ke arah pintu kayu yang tertutup rapat dan kembali menundukkan kepala. 'Dulu aku dielu-elukan, sekarang aku diinjak-injak seperti sampah,' keluhnya ironis. Tiba-tiba kayu pada bagian bawah yang dia duduki bergetar. Rengganis mengernyit, jantung berdetak kencang, melonjak takut jika di bawah sana adalah ular. Wanita itu melompat naik ke dipan. Perlahan kayu pun terbuka. Mata Rengganis melotot, mulutnya terbuka siap berteriak. Kaki jenjangnya keluar dari kain sutra yang melilit, mencoba menginjak kayu itu. Namun, Rengganis segera menarik kembali saat kayu terkuak lebih lebar. Dia siap berteriak.

Bersambung….

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   Next Novel KarRa & Pengumuman Giveaway

    Next Novel: Tumbal Pengantin Iblis By: KarRa “Awalnya Kalina menerima balutan bibir itu, hingga sebuah bayangan muncul samar dalam ingatan. Sosok lelaki tampan tertutup cahaya putih, spontan Kalina mendorong tubuh Elard. “Maaf,” pinta Kalina merasa bersalah. Tidak terbersit dirinya untuk mendorong Elard, hanya saja bayangan yang selalu mengintai itu sangat menyiksa, menyesakkan dada. “Kau baik-baik saja, Sayang?” tanya Elard mengernyitkan kening melihat wajah sang kekasih pucat pasi. “Kau---?” “Bayangan dalam mimpiku terlintas dalam ingatan. Aku lelah jika harus seperti ini,” keluh Kalina. Dia mengingat setelah insiden kecelakaan dirinya sering bermimpi bertemu dengan seorang lelaki bersayap, lelaki tampan bak malaikat. Namun, bayangan lelaki itu kini semakin sering muncul, bahkan saat dirinya berdekatan dengan Elard. Sang tunangan pun tahu, Elard orang yang tahu tentang mimpi yang dia alami. Mimpi, tentu saja bukan. Apa yang terjadi pada Kalina

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   Pemungkas (Tamat)

    Pertempuran berlangsung cukup lama, Ki Kastara memiliki beberapa pendekar bayangan dengan ilmu bela diri dan kanuragan tinggi. Crask! Terdengar daging yang dihunus. Crash! Sebilah pedang berlumur darah berhasil merobek perut lawan. Teriakan menggema tanpa henti, beberapa prajurit Baskara sudah mulai tumbang. Anak buah Ki Kastara banyak yang tumbang. 'Kurang ajar, bagaimana mungkin mata-mata yang aku taruh di padepokan Elang Putih tidak memberi kabar jika Guru Besar keluar?' Ki Kastara memperhatikan satu per satu kesatria bayarannya tewas mengenaskan. Lelaki itu menggertakkan gigi hingga bergemeletuk. 'Apa mungkin mereka tewas? Atau jangan-jangan malah kabur?' dengkusnya masih dalam hati. Beberapa waktu sebelumnya, di mana aura berbeda melingkupi Padepokan Elang Putih. Saat itu Guru Besar tengah memberi arahan pada murid didiknya. Lelaki itu mendadak berhenti dan menoleh ke arah kanan-kiri serta atas, membuat beberapa murid kebingungan bukan main. Saat ini mereka tengah dud

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   133. Menghabisi Ratu Rengganis

    Empu Jagat Trengginas menutup mata, merasakan kesejukan, dunia pak tua itu terkesan damai. Suara-suara binatang hutan memekik perlahan memudar, pun bunyi-bunyian khas hutan menjadi tidak terdengar. Lelaki sepuh tersebut masih memusatkan perhatian pada satu titik. Menyatu bersama alam, mendadak waktu bahkan seperti lambat berjalan dalam satu pusat pikiran. Hingga setetes air dari daun yang menetes jatuh ke kubangan pun terdengar. Clang! Air itu jatuh, Empu Jagat Trengginas tersenyum mendengar derap langkah kuda. Aura yang sangat dia kenal terasa meski jarak mereka berjauhan. Daun dari ranting pohon mulai berguguran tertiup angin. Empu Jagat Trengginas membuka mata, gerakannya secepat kilat berlari menyusuri hutan tanpa kendala, ah bukan tanpa kendala. Hanya saja gerakan lelaki sepuh iru terlampau cepat. Bertepatan pada daun jatuh di tanah. Kaki lelaki itu melompati ranting pohon lalu menapak di tanah. Seorang lelaki gagah menunggang kuda kemudian menarik tali. Kuda me

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   132. Pukulan Dahsyat Ajian Brajamusti

    Sudah berhari-hari Kayana dan juga pasukan kesatria bayangan berkeliling hutan tanpa tahu jalan keluar. Mereka sudah merasakan gusar lantaran berulang kali melewati tempat sama. Mereka turun dari kuda kemudian duduk di akar pohon besar yang menjulang keluar tanah. Mereka tampak lelah dan letih secara bersamaan. Seorang lelaki tiba-tiba datang melompat dari atas pohon. Kakinya berpijak di tanah kering dengan tangan membawa bungkusan daun. "Kau lama sekali mencari makan," ujar Kayana. "Ah, maaf. Aku baru mengisi bumbung air untuk kita minum di air terjun arah sana. Ini sudah kesekian kalinya berputar-putar di tempat yang sama," keluh lelaku itu meletakkan buah-buahan hutang yang di pertik di tanah dekat mereka semua duduk. "Sepertinya kita terkena uyut mimang," ujar salah seorang. "Ah, sungguh sial!" keluh Kayana menggaruk kepala. "Ketua, sekarang kita harus bagaimana?" Salah seorang lagi bertanya pada Kayana membuat lelaki itu semakin pening.

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   131. Ajian Saipi Angin

    Rengganis dan Guru Besar sempat berbincang-bincang sebelum Kayana pergi. Lelaki itu berpesan pada Khandra untuk berjalan ke arah berlawanan yang Kayana tuju. Perjalanan tidak tentu arah mencari Ki Kastara juga Empu Jagat Trengginas semakin pelik. Jika Sajani berjalan ke arah ujung utara demi meminimalisir pencarian. Sebenarnya jalan yang di tempuh ketiga kesatria tersebut sudah dalam saran Guru Besar. Kini sepasang kesatria elang putih terpisah di jalan masing-masing. Pun tidak jauh berbeda dengan Khandra yang diutus Guru Besar menjelajahi arah selatan. Berharap Empu Jagat Trengginas dapat ditemukan. "Guru, guru mengatakan jika di arah utara banyak sekali hutan yang berkabut tertutup uyut mimang. Apa Kayana akan baik-baik saja?" tanya Rengganis usai Gautam dan Goga meningggalkan istana. "Tenang saja, Kayana bukan sembarangan pendekar bela diri tanah air. Dia salah satu murid terbaik yang hamba miliki," ungkap Guru Besar yakin. "Semoga saja Empu Jagat Trengginas da

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   130. Kematian Tragis Madhavi

    Saat Rengganis dan juga Guru Besar yang sesungguhnya merupakan Mang Damar itu tengah membahas serius kelanjutan rencana. Di luar Istana sudah dibuat geger akan kemunculan para bandit. Siapa lagi jika bukan Gautam dan Goga. Mereka muncul dengan mendorong gerobak berisi mayat Madhavi. Para warga berteriak histeris antara terkejut dan takut. Hingga keributan itu terdengar sampai ruangan Taman Sari. “Ada ribut apa di luar?” tanya Rengganis teralihkan perhatian atas teriakan orang-orang. Mang Damar menutup mata, dia mencoba merasakan aura yang ada di sekitar. “Nampaknya ada tamu tidak terduga berencana bertemu Permaisuri,” kata Mang Damar tersenyum. “Tapi saat ini saya tidak bisa menerima tamu, Mang Damar pun paham dengan keadaan saya, bukan?” “Sungguh sangat paham, tetapi jika tidak ditemui nantinya Permaisuri yang akan repot,” ujar Mang Damar. “Baiklah, selama Guru Besar berada di samping saya,” jawab Rengganis. Mang Damar kembali menggunakan ca

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status