Share

4. Senapati Khandra

    Tubuh Rengganis bergetar hebat, keringat dingin mengucur di pelipis. Dia meringkuk ketakutan melihat sumbu yang menyimpul lantai kayu terkoyak. Rengganis menutup mulut, terisak, dia tetap waspada. Sekonyong-konyong terlihat kilatan, gerakan cepat seseorang melompat dari lantai kayu yang terbuka ke atas.

      Sosok lelaki gagah bertubuh tinggi, berdiri di dekat dipan. Menatap tanpa ekspresi Rengganis yang masih terbengong. Lelaki itu masih mengenakan baju zirah, tubuhnya penuh bercak darah, bahkan di bagian rambut ke wajah bagian kiri bau amis tercium. Namun, Rengganis abai, seolah tampang sangar dan juga penampilan mengerikan lelaki itu tidak membuat takut. Justru Rengganis bernapas lega, dia mengulas senyum. Secara tidak sadar air mata meleleh di pipinya yang kotor terkena debu.

      "Senapati, Senapati Khandra," panggil Rengganis. Tatapan keduanya berserobok, lelaki gagah itu meletakkan jari telunjuk di mulut, sebagai tanda agar berdiam.

      "Permaisuri Rengganis, Anda baik-baik saja?" bisik lelaki bertubuh tegap, lengannya terlihat berotot hendak menghapus air mata Rengganis, tetapi dia urungkan. Merasa tidak pantas seorang bawahan menyentuh majikan. "Saya sudah mendengar sedikit tentang yang terjadi, ada kabar burung menyatakan Kanjeng Ibu …." Lelaki itu tidak melanjutkan ucapan.

       Rengganis mengangguk, "Lelaki bangsat itu membunuh Kanjeng Ibu dengan keji," keluh Rengganis. Khandra dapat merasakan sakit hati luar biasa di mata Permaisuri Rengganis. "Peluk aku, Khandra, aku butuh kekuatan untuk berdiri!" perintahnya.

      "Saya baru saja pulang dari medan perang, bau keringat, darah juga …," ucap Khandra terpotong, Permaisuri Rengganis sudah menghambur, menempelkan kepala di perutnya. Khandra meletakkan pedang yang sedari tadi dia tenteng di atas dipan. Membiarkan Rengganis menangis, ah, jantung lelaki tersebut berdentum-dentum laksana bunyi gong bertalu-talu. "Tabahkan hati Anda, Permaisuri Rengganis." Merasa kasihan, Khandra mengusap-usap rambut terasa halus di tangannya yang kapalan.

       "Jangan lagi panggil aku Permaisuri, lelaki jahanam itu sudah menarik gelar itu dariku." Nada suara Rengganis penuh penekanan.

       "Sungguh kurang ajar sekali, kerajaan ini milik keluarga Permaisuri Rengganis, calon Ratu yang akan segera dinobatkan. Dengan semena-mena dia merebut dari Anda," geram Khandra.

       "Jika dalam waktu tiga hari Madhavi belum siuman, aku juga akan dihukum gantung," cecar Rengganis. Mata Khandra membeliak, terkejut sudah pasti. Tidak nyana jika lelaki yang dia harap bisa memimpin kerajaan Baskara kini berulah. Khandra benar tidak mampu berkata-kata atas kekejian Abra. "Aku yakin ini akal-akalan Madhavi untuk melenyapkan diriku, mereka bersekongkol," lanjut Rengganis berucap.

       "Bahaya, kita harus segera pergi dari tempat ini," saran Keandra.

        "Senapati, aku tidak mau kau terlibat masalah." Rengganis menundukkan kepala melepas pelukan.

       "Kemudian Anda akan pasrah menerima hukuman gantung, begitu? Jangan bodoh Permaisuri!" umpat Khandra.

        Rengganis melebarkan mata, tidak sangka lelaki itu akan mengumpatnya. Yah, tetapi dia patut mendapat itu. Dirinya memang bodoh terpedaya tanpa perlawanan. Melihat kebimbangan hati Rengganis, lelaki itu meraih telapak tangan halus wanita tersebut.

       "Permaisuri, jangan khawatir tentang saya, mereka pasti mengira saya masih di medan perang. Menerima surat dari Kanjeng Ibu, saya sudah paham situasi istana pasti kacau. Saya memutar lewat jalan tikus tanpa sepengetahuan siapa pun," terang Khandra.

       "Kau memang bijak," ucap Rengganis tersenyum. 

       "Kita pergi." Tidak sabar Khandra menarik Rengganis ke dalam pangkuan.

       Khandra membopong tubuh yang terasa ringan bagai bulu itu. Gerakannya cepat melompat ke bawah, heran bagi Rengganis menapaki lantai dasar suara pijakan tidak terdengar. Wanita itu baru sadar, mungkin sang senapati menggunakan tenaga dalam. Kali ini mereka sudah berada di dasar menara. 

       "Permaisuri, dari sini, kita akan berjalan satu-satu lantaran ruangan sangat sempit," terang Khandra mengawasi sekitar bagunan reot tersebut. Khandra menyentuh bagian ujung batu-bata bertumpuk di dinding. Sebuah ruangan terbuka. Ada jalan terowongan, Rengganis bergidik ngeri untuk masuk. "Masuklah Permaisuri!" ajak Khandra lagi.

           Mata Rengganis menatap lubang tempat lelaki tadi melompat naik, seukuran manusia di hadapannya, lalu dia menoleh ke belakang, memperhatikan lorong menara yang dingin. Bisa terdengar ada langkah kaki yang mulai mendekat.

           “Permaisuri, kita harus pergi sebelum ada yang melihat,” tegas pria tersebut dengan alis menekuk tajam, cemas dengan kemungkinan ada yang melihat aksinya untuk membantu sang permaisuri kabur dari Istana Dingin. “Mati di tempat bukanlah tujuan saya menyelamatkan Permaisuri,” imbuhnya lagi.

            Mendengar hal itu, Rengganis menatap pria di hadapannya dengan memelas. “Aku takut, Khandra,” desisnya.

            Khandra, senapati Kerajaan Baskara orang kepercayaan mendiang Raja Arkha “Percaya dan raih tangan saya." Dia menghela napas berat merutuki dalam benak kebimbangan wanita rapuh itu.

           Mata Rengganis menatap tangan Khandra dengan saksama, mempelajari apakah meraih tangan pria di hadapannya ini adalah keputusan yang tepat. Terakhir kali dia meraih tangan seorang pria, kematian sang ibunda dan ayahanda yang menjadi hasilnya. Hal itu juga berujung kepada kejatuhan kerajaan yang seharusnya dilindungi oleh dirinya.

          ‘Kakang Prabu,’ batin Rengganis dalam hati, membayangkan wajah tampan sang suami yang dahulu lembut padanya. 

           Siapa sangka kelembutan itu berubah menjadi kebencian juga ambisi gelap?

Demi takhta dan juga nafsu, Abra, pangeran kedua dari Kerajaan Bamantara, suami Rengganis, memilih untuk mengkhianati istri yang begitu mencintainya. Hanya karena fitnah Selir Madhavi, wanita rupawan bermuka dua. Abra tega membunuh ibunda Rengganis dan melemparkan Rengganis ke Istana Dingin.

Netra Rengganis beralih ke wajah Khandra, memandangi netra cokelat penuh tekad untuk menyelamatkan putri bodoh pemimpinnya yang telah wafat. Alis tebal yang menukik tajam itu menunjukkan kekhawatiran, sebuah pantulan kesetiaan yang terpancar jelas.

           Antara cemas juga frustrasi, Rengganis meraih tangan Khandra. Dengan mata yang berubah tegar, wanita itu berkata dengan yakin, “Nyawaku berada di tanganmu, Khandra. Bawa aku pergi dari sini.”

      Rengganis menghela napas panjang, dia kemudian masuk ke dalam diikuti Khandra. Beberapa detik, ruangan tertutup kembali. Gelap gulita, sesak napas Rengganis tiba-tiba.

      "Permaisuri, tetap tenang." Tangan Khandra meraba pundak Rengganis, wanita itu mencoba tenang. "Silakan jalan, ini tidak akan memakan waktu lama," katanya lagi.

      "Jangan lepaskan pegangan tanganmu Khandra!" kata Rengganis meraih tangan Khandra yang ada di pundak lalu mengapit di lengan. Sontak Khandra terjerembab ke arah depan menabrak punggung Rengganis.

       "Maaf Permaisuri," ujarnya.

       "Tidak apa," jawab Rengganis mulai melangkahkan kaki telanjangnya. Kedua tangan menggenggam jemari Khandra, lelaki itu menggunakan tangan satunya untuk meraba gua gelap tersebut. Posisi Khandra tepat berada di belakang Rengganis, seolah tengah memeluk. "Aku tidak menyangka ada tempat seperti ini," kata Rengganis.

      "Hanya Raja Arkha yang tahu tempat ini juga orang kepercayaannya," jawab Khandra. 

      Samar terlihat cahaya Rengganis tersenyum. Akhirnya setelah beberapa saat dalam kegelapan, gua yang penuh liku. Entah tadi kaki telanjangnya menginjak apa, yang pasti, dalam hati Rengganis merasa aman ada Khandra di sisi. Dia melepaskan genggaman tangan Khandra, gua sempit semakin melebar, berkelok. Keduanya kini berjalan sejajar, saling menoleh dan pandang.

       "Mari Permaisuri," ujar Khandra.

        Rengganis menganggukkan kepala dengan girang, berlari menyibak semak belukar. Pantulan cahaya matahari menyilaukan mata. Khandra melihat kaki talanjang Rengganis, lelaki itu melebarkan mata, baru dia sadar sang permaisuri tidak mengenakan alas kaki. Lengan Rengganis nampak mengeluarkan darah, mungkin karena dia menerobos paksa semak. Khandra menarik Rengganis, lelaki tersebut menggunakan sarung pedang untuk menyibak semak berduri. Dia tidak menghancurkan semak penuh duri dan daun tersebut. Takut akan membuat tempat itu ketahuan. 

      Rengganis tersenyum lebar, mendapati sebuah sungai besar dengan air jernih terpampang di depan mata. Dia menoleh ke belakang, baru sadar, dirinya telah menempuh perjalanan bawah tanah yang menyeramkan dalam gelap. Kini berakhir ada di luar istana. Rengganis tahu itu, dia pernah minggat ke tempat ini saat kabur dari pengawas penjaga.

       "Lewat sini, Permaisuri!" ajak Khandra. "Ah, maaf," kata lelaki itu menarik sang putri, memboyongnya kembali. 

       Khandra melangkah dengan santai tanpa merasa berat, Rengganis menatap wajahnya dan tersenyum. Jantung Khandra kembali berdentum kencang, darah berdesir, gelayar aneh menjalar.

       'Apa aku sakit,' keluh Khandra dalam hati. 'Tubuhku rasanya tidak enak, tapi aku merasa baik-baik saja, justru ada rasa bahagia.' Kembali Khandra bergumam.

       "Permaisuri Rengganis." Suara Mbok Berek terdengar.

        Rengganis menoleh ke arah depan, pinggir sungai, wanita gempal itu terlihat di atas getek bambu bersama dua orang lelaki berpakaian hitam. Khandra berjalan cepat, menggunakan ajian meringankan tubuh, melompat dan mendarat ke atas getek, tenang. Khandra menatap wajah sayu Rengganis yang terlihat lelah. Terlihat begitu cantik, tidak pernah menyangka dirinya akan sedekat itu dengannya.

       "Senapati Khandra, kau bisa menurunkan aku!" Rengganis berucap.

       Lelaki itu terbangun dari lamunan, dia tersenyum menurunkan Rengganis kemudian menggaruk kepala yang tidak gatal. "Mohon maafkan hamba," katanya menunduk.

      Rengganis tidak menghiraukan, dia menoleh ke arah Mbok Berek, wanita yang mengasuhnya dari kecil. Menumpahkan segala kesusahan hati, Rengganis terlelap, kepalanya bersandar di pangkuan wanita tua itu.

      "Malang sekali nasibmu, Nduk, Cah Ayu," kata Mbok Berek mengusap-usap rambut Rengganis.

*KarRa*

       Dalam gelap, perlahan terang, mata sayup-sayup terbuka, Rengganis terkejut bukan main, dia berada di sebuah hutan. Kaki telanjangnya lari tanpa henti, kebingungan. Dia berjalan hingga kaki terasa lelah dan kehausan. Memanggil nama Khandra dan Mbok Berek berulang kali. Namun, tidak ada jawaban Rengganis terus berjalan sampai mendengar suara deras air. Dia berlari meski berulang kali jatuh terjerembab ke tanah rerumputan. Wajahnya berbinar menemukan air terjun jernih. Rengganis berlari masuk ke dalam air jernih itu. Membasuh tubuh dan meminum air yang menyegarkan tenggorokan.

       Saat menoleh ke belakang, mata Rengganis membeliak, mulut menganga lebar. Dari dalam air muncul sosok wanita berambut panjang terurai, lengannya putih seputih kapas namun, bersisik, wanita itu memunggungi Rengganis. Air di sekitar berkecipak, membentuk pusaran. Perlahan si wanita bersisik menyembul memperlihatkan bagian badan.

      Rengganis berteriak lantang, tubuh wanita di hadapannya bagian pinggang ke bawah bersisik, berekor hitam kehijauan, wanita setengah ular.

Bersambung….

@lovely_karra

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Kirone Atjha
mantul bisa menjadi salah satu buku favoritnya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status