Share

Dendam Sang Tumbal
Dendam Sang Tumbal
Author: Dinara Sofia

Awal Mula

Di dalam hutan yang gelap dan angker, tampak seorang gadis muda yang ketakutan dan putus asa. Tubuhnya terikat pada pohon besar yang kering dengan tali tepat di tepi telaga yang bernama Telaga Terkutuk. Kilatan petir yang terhalang pepohonan menerobos rimbunnya dedaunan.

Gadis itu, bernama Dwi Ningsih yang biasa di panggil dengan Ningsih. Jantungnya berdegup kencang, matanya berkaca-kaca karena air mata yang mengalir tanpa henti. Serangga malam enggan bersuara karena keadaan yang mencekam.

Di depannya, tampak dua orang lelaki berdiri di derasnya hujan dan suara petir menyambar. Mereka membiarkan seorang wanita terikat pada sebuah pohon yang sudah mengering, hingga tampak ranting kering nan rapuh, tiupan angin kencang menggoyangkan ranting kering yang bisa patah kapan saja. Kedua lelaki itu adalah pengabdi iblis yang bersemayam di telaga.

"Jangan ... Mas, aku mohon. Kasihan Ibu, tolong lepaskan aku." Pinta seorang wanita muda dengan ketakutan.

"Hahahaha ... Tidak akan. Aku akan menikahi Puspa setelah kau mati. Bersiaplah, hadapi kematianmu!" bentak lelaki berparas manis bernama Marwoto.

"Kau kejam, bukan hanya menjadikanku sebagai tumbal untuk kekayaan, tapi juga pengkhianat keji yang memanfaatkan cinta yang ku miliki untukmu, dasar manusia terkutuk!" raung Ningsih.

Bukan main sakit dan hancur hati gadis itu, mengetahui sebuah kenyataan yang sangat pahit di ambang kematiannya. Desau angin dan petir yang sesekali menyambar diiringi bunyi gemuruh seolah menjerit menambah haru.

Tubuh Ningsih kini sudah mulai lemas. Dia menangis sedih dan berteriak memaki lelaki yang mengisi palung hatinya itu, sebagai cara meluapkan isi hati, bahkan air mata seolah kering sekarang.

Ningsih sadar jika suaranya tidak akan didengarkan, deras air hujan disertai petir yang bersahutan seolah meredam semua jenis suara. Derak ranting patah lalu terjatuh pun terdengar.

"Marwoto, segera laksanakan! Tikam dan keluarkan jantungnya. Sudah cukup drama kalian!" titah Darman.

Lelaki yang bernama Darman itu pun memberikan perintah. Marwoto lalu mengeluarkan sebilah pisau yang tampak tajam.

Pisau itu berukuran sedang, terdapat ukiran rumit dan aneh di gagangnya.

Dengan tangan gemetar Marwoto menghujam pisau itu, Dwi Ningsih pun berteriak dan bersumpah.

"Aku bersumpah dengan dendamku akan memburu dan membunuh kalian sampai ke anak cucu. Semua yang terlibat akan ku hukum, dan hukuman paling ringan adalah gila!" teriak Ningsih putus asa sambil menitikkan air mata.

Gemuruh petir kembali terdengar, malam yang pekat di sertai hembusan angin kencang dan kilatan cahaya petir seolah merestui sumpah gadis itu.

Marwoto buru-buru menghujamkan pisau tepat ke arah jantung gadis yang terikat di batang pohon kering. Terdengar suara lengkingan kemudian disusul dengan erangan kesakitan.

Dengan takut-takut, lelaki kejam itu mengeluarkan jantung nya di saat Ningsih hampir mati. Syarat persembahan bagi iblis junjungan mereka adalah jantung yang diambil dari tumbal yang belum mati.

Tangannya gemetar saat mengenggam jantung itu. Bau amis menyeruak dari seonggok daging kenyal yang basah oleh darah dan terasa hangat di telapak tangan, bahkan masih berdetak pelan.

Mata Ningsih mendelik menatapnya, benci serta dendam tampak dari sorot mata. Darah membasahi baju gadis itu yang bercampur dengan air hujan. Kemudian mengalir menyebar seiring sumpah yang terucap.

Telaga ber air hitam dan aroma busuk itu tiba-tiba mengeluarkan gelembung udara. Gelembung-gelembung kecil kemudian berubah menjadi gelembung besar, air kini beriak bergelombang, saat sosok tinggi besar bertaring muncul dari dalamnya.

Bola matanya putih, telinga lancip. Bibirnya "dihiasi" dengan taring panjang. Tubuhnya nampak licin serta bergigi runcing mirip seperti gergaji. Sosok itu tertawa menggelegar menyeramkan. Bau aneh menyeruak yang bagi orang normal akan muntah mencium aroma tersebut.

"Harum sekali persembahan ini," ujar sosok iblis itu.

"Terima kasih, Sembolo," sahut Darman dan Marwoto.

Sembolo mengambil jantung dari telapak tangan Marwoto dan mengunyahnya. Kemudian meraih tubuh gadis malang itu, lalu melahap bagian daging saja. Hingga kini yang tersisa hanya tulang belulang, yang di lemparkan begitu saja.

Sosok itu memakan daging dari tubuh Ningsih dengan lahap, tampak sangat menikmati.

Marwoto menahan mual dan meneteskan air mata karena takut.

"Aku akan memenuhi keinginanmu, katakan," ujar Ki Sembolo.

"Aku minta agar Ibuku sembuh dan hidup dengan kekayaan," sahut Marwoto mantap.

"Baik, akan segera ku kabulkan. Pulanglah," kata Ki Sembolo lalu menghilang.

Darman memungut tulang belulang yang berserakan kemudian menyerahkan kepada Marwoto. Lalu menaburi beberapa bunga dan sejenis minyak, mengikat tulang belulang itu dengan tali berwarna merah sambil membaca matra. Saat diikat, tali itu bersinar berwarna merah. Hembusan angin dan derasnya hujan tak dipedulikan kedua lelaki itu. Suara beberapa ekor burung gagak pun terdengar mengitari mereka.

Marwoto diminta untuk menggali lubang. Setelah di rasa cukup, Darman akan memasukkan sisa tulang belulang ke dalam lubang sambil membaca mantra. Tiba-tiba, sesuatu tanpa wujud merampas tulang belulang yang sudah terikat. Jantungnya berdegup kencang dan keringat dingin mengalir di dahinya. Ekspresi wajahnya berubah menjadi cemas dan khawatir. Terselip rasa takut meski sudah berulang kali melakukan ritual tumbal, dia merasa dirinya seperti mangsa yang ditargetkan oleh entitas tak terlihat.

Darman terjengkang. Marwoto hanya diam dan memperhatikan karena ketakutan. Dia baru kali ini mengikuti ritual gila kakaknya. Terselip rasa takut di hati Marwoto, kejadian malam ini tidak seperti biasanya alam seolah menolak perilaku mereka yang keji.

"Marwoto, berhati-hatilah. Dendam arwah itu tidak biasa,” ucap Darman.

"Baik, Kang. Lalu bagaimana caraku jika ingin memanggil Ki Sembolo?" tanya Marwoto.

"Besok pagi akan ku beritahu caranya, sekarang kau pulanglah. Aku lelah," sahutnya.

* * *

_Di tempat lain_

Angin kencang dan hujan deras membasahi Desa Dukuh Seribu. Kilatan petir yang menyambar serta suara guruh yang terdengar seperti bertalu-talu itu menambahkan kesan yang menyiratkan banyak makna.

Tampak sosok bayangan seorang wanita, berlumuran darah dengan lubang pada dada bagian kiri hingga membasahi kain bagian bawahnya.

Sosok itu berjalan menuju rumah itu dengan terhuyung-huyung lalu mengetuk pintu rumah.

"Bu ... Buka pintunya. Ningsih pulang." panggil wanita itu terdengar pilu, seperti merintih.

Terdengar suara derit pintu yang dibuka. Wanita yang sudah tua tampak dari rambut yang seluruhnya sudah mulai memutih, namun masih berdiri tegap. Dia hanya diam mematung.

Bibir wanita itu bergerak-gerak, namun tidak ada satu katapun yang terdengar. Raut wajah sedih tergambar di mata tuanya.

"Cah ayu, Anakku Ningsih. Kamu kembali, Nak. Akan tetapi ... Dalam rupa yang berbeda. Seandainya saja kamu mau mendengar laranganku." sesal wanita usia senja itu sambil terisak.

Sakit sekali hati Darsima, ternyata peringatan dari iblis peliharaannya itu benar. Wanita tua itu tidak menyadari pesan alam kepadanya.

"Maaf, Bu. Mereka ternyata sangat keji. Aku bersumpah akan memburu semua keturunan mereka dan menghukumnya," tekad Ningsih.

Wanita tua itu pun mengajak Ningsih untuk masuk, lalu menutup pintu rumahnya.

"Nduk ... Mereka yang akan kau buru setelah ini, tidak tahu apa-apa. Apakah adil jika mereka akan menanggung dosa Orang tuanya?" tukas Darsima menasehati.

"Aku tidak peduli apapun, Bu. Tulang belulang ku kini terikat di salah satu dahan pohon besar, di dekat Telaga Terkutuk. Tolong bawa aku kembali dan buatlah aku selalu berkelana di dunia ini, hingga keturunan mereka habis di tanganku," tekad Ningsih.

Ibu Ningsih pun mengangguk. Lalu mengambil sebuah wadah dari anyaman bambu, pisau kecil dan obor.

Wanita tua itu berdiri di depan pintu rumahnya, bibirnya bergetar lalu membunyikan suara seperti suitan. Tiba-tiba tubuhnya menghilang.

Marwoto kembali ke rumahnya lalu terdengar suara lemparan batu kecil di jendela lelaki itu

"Mas ... "

Bisikan lirih suara wanita terdengar jelas di telinga Marwoto, seolah-olah ada seseorang di sisinya.

Lelaki itu menoleh ke kanan dan kiri, tidak ada siapapun. Suara lemparan batu kembali terdengar, dengan malas, dia berjalan menuju jendela, membukanya dan memandang ke luar, tetapi tidak ada apa-apa.

Mendapati tidak ada apapun, Marwoto menutup kembali jendelanya. Suara lemparan itu terdengar kembali.

"Mas ... "

"Suara itu seperti suara Ningsih. Ah, tidak mungkin, dia kan sudah mati," sanggah Marwoto.

Suara itu kembali terdengar lagi dan lagi. Marwoto kesal lalu membuka jendela itu.

Saat jendela sudah terbuka lebar, semilir angin masuk ke dalam kamar. Air hujan membasahi wajah serta sebagian tubuh Marwoto. Tiba-tiba saja sosok Ningsih berdiri tepat di depannya dengan jarak tidak sampai satu jengkal. Dia menyeringai dan lubang pada dada mengeluarkan aroma amis.

"Se-setan. Pergilah kau, atau ... Aku akan membunuhmu dua kali!" hardik Marwoto terbata.

Di tengah rasa takut yang menyergap, Marwoto masih bisa mengancam untuk menakuti sosok di depannya.

Jari lentik yang berubah menjadi kuku yang sangat panjang serta tajam itu pun mencengkeram leher Marwoto dan mendorongnya perlahan, tubuh Ningsih menembus dinding rumah.

Marwoto hampir kehabisan nafasnya dan meronta-ronta, kini tubuhnya sudah terangkat dua jengkal dari lantai.

"To-tolong, hen-ti-kan, " pinta Marwoto.

Lelaki itu meneteskan air mata karena ketakutan. Tiba-tiba saja sosok itu menjerit melengking dan menghempaskan tubuh Marwoto.

"Haaaaah!" serunya terkejut.

Lelaki itu terjaga dari tidurnya. Dia duduk di sambil mengatur napas yang terengah-engah, lalu mengingat kembali yang di alami. Marwoto merasa ada yang aneh, seingatnya tadi sedang dicekik oleh Ningsih, mengapa kini berada di tempat tidur?

'Ah, syukurlah itu hanya mimpi. Tunggu, kalau mimpi, mengapa jendela ini terbuka? Persis seperti mimpiku tadi?' batin Marwoto.

Lelaki itu kini melangkah menuju jendela dan menutupnya, lantai sudah basah terkena air hujan dari luar. Aroma lembab tanah pun tercium.

Marwoto mencium bau busuk dari lantai dan merasa kakinya seperti menginjak sesuatu yang lembut namun lengket. Lelaki itu mengangkat kaki kiri lalu menunduk untuk mencium aromanya.

Bau busuk dan menyengat membuat perutnya mual lalu berlari menuju belakang rumah dan mengeluarkan isi perut di luar.

"Bau apa itu? Hiii ... Apakah hantu Ningsih memang benar-benar datang meneror?" tanyanya pada diri sendiri.

Marwoto kembali muntah karena kembali mencium aroma busuk, tiba-tiba terasa elusan lembut di punggung Marwoto kemudian terasa kuku panjang tajam mulai melukai lehernya.

Lelaki itu berteriak lalu berlari menjauh dan segera membalikkan tubuhnya. Tidak ada siapapun di sana.

"Kamu ngapain di luar ujan-ujanan? Masuk, Le, nanti kamu sakit'," ujar seorang wanita yang sangat di kenalnya.

"Ibu? Ini beneran Ibu toh?" tanya Marwoto.

Marwoto berlari dan menangis tersedu di pelukan wanita tua itu. Dia merasa sangat ketakutan.

Indra penciuman lelaki itu lagi-lagi mencium aroma busuk. Marwoto merasa seperti ada sesuatu yang merayap, lelaki itu melepaskan pelukan dan memeriksa, ternyata lipan yang sangat besar sedang merayap menuju lehernya.

"Aaaah .... Lipan!" jeritnya.

Kembali Marwoto mendapati dirinya duduk di tempat tidur.

"Apa sebenarnya yang terjadi? Apa sebaiknya aku lihat saja sisa jasadnya masih ada atau tidak ya? Ah ... merepotkan saja, " racau Marwoto yang kini berperang dengan batin sendiri.

Lelaki itu kembali membaringkan tubuh sambil merentangkan tangan. Tiba-tiba, sesuatu jatuh ke telapak tangannya yang terbuka. Kenyal dan dingin serta mengeluarkan bau amis.

Marwoto pun mengenggamnya, lalu duduk dan melihat apa yang kini berada di telapak tangannya itu.

"Aaah ... "

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status