Tring!
Panggilan dari ibu membangunkanku yang masih pulas di alam mimpi. Karena ponselku terus berdering, aku tidak bisa mengabaikannya. Dengan setengah malas kuraba meja yang ada di sekitarku lalu mengangkat telpon darinya. "Halo ibu." "Bagaimana kabarmu?" "Baik." "Semalam ibu memimpikanmu jadi ibu agak khawatir. Apa semuanya baik-baik saja?" "Iya," balasku sambil mengusap mata. "Sebaiknya tinggalkan apartemen itu dan pulanglah ke rumah. Ibu dan ayah hanya berdua, kedua kakakmu tinggal di luar kota jadi kau pasti akan lebih tenang di sini dan ibu bisa mengawasimu." "Ibu aku baik baik saja, aku tetap ingin sendiri." "Apa kau masih akan bertahan bekerja di sana?' "Iya, gajinya bagus." "Ibu tidak percaya kau bertahan di sana demi gaji. Hapus dendammu dan mulailah hidup baru. Ibu rasa ...bahkan Hardi juga tak ingin kau lakukan ini untuknya. Masih banyak hal yang bisa kau lakukan untuk bahagia Anakku, jangan terobsesi." "Aku tidak akan berhenti sebelum wanita itu mendapatkan karma perbuatannya." "Biar Tuhan yang balas, Nak." "Tuhan sudah repot ibu ... Biarkan kali ini aku membereskan masalahku sendiri, membalaskan dendamku lalu semuanya akan berakhir." "Bagaimana kalau dalam proses itu malah kau yang celaka?" Nada kecemasan orang tuaku terdengar dengan jelas dari seberang sana. Tapi apapun bujukannya aku tidak akan berhenti sampai Valerie mendapatkan pembalasan dariku. "Maka doakan aku agar semuanya berakhir baik." "Wanita itu kaya dan berkuasa... Jika dia tahu siapa kamu dan apa rencanamu dia akan menyingkirkanmu." "Itulah sebabnya aku tidak mau pulang. Aku tidak mau ada yang tahu identitas dan orang tuaku. Tidak boleh ada yang tahu masa laluku, juga siapa aku yang aslinya. Aku sudah akan berhasil sebentar lagi, Bu. Jadi tolong doakan aku." "Baiklah sayang, hati hati," balasnya, nada suaranya terdengar sangat berat hati, tapi ibu tahu persis beliau tidak akan bisa mencegahku. Kuakhiri panggilan lalu memeriksa pesan dari grup pekerjaan dan kiriman pesan dari sahabatku Rudi. Iya satu-satunya Rudi, yang tahu segalanya tentangku. Dia pria yang baik yang selalu memperhatikanku, gayanya sedikit kemayu tapi dia sangat cerdas dan disiplin di lingkungan kerja. Dia juga perhatian dan selalu membantuku saat aku kesulitan. Bagiku, dia sudah seperti saudaraku. "Hai kau... Sudah bangun?" "Sudah!" balasku. "Malam nanti ada pesta yang diselenggarakan oleh kantor kita. Apa kau akan hadir?" "Perayaan ulang tahun perusahaan?" "Ya. Kau ikut?" "Uh-hmm, pasti. Aku kan asisten bos, jadi aku tidak boleh ketinggalan. Pun aku tidak akan melewatkan keramaian, musik dan makanan yang lezat. Sebenarnya bukan itu yang kuinginkan, aku tahu Tuan Ghazali akan ada di sana bersama istri dan anaknya, orang tuanya juga ikut, mereka akan jadi pusat acara dan tuan rumah yang menyambut tamu. Bila aku berkesempatan, akan kugunakan momen itu untuk membuat Valerie cemburu dengan menjerat hati Pak Ghazali agar dia semakin tergila-gila padaku. "Gaun apa yang akan kau gunakan?" "Aku akan ke butik sebentar dan mencari gaun terbaik." "Aku punya koleksi perhiasan yang belum pernah kupakai, kau bisa memakainya." "Oh jangan, simpan saja." "Tidak, lebih baik kau pakai daripada rusak disimpan. Rencananya akan kuberikan pada calon istriku di masa depan, tapi kau tahu kan' aku belum berminat pada wanita?!' ucapnya dengan tawa yang keras. "Baiklah aku akan meminjamnya." "Akan kukirim dia lewat ojek online ke apartemenmu." "Baik, terima kasih Rudi." "Sama sama sayangku!" * Aku tiba di kantor menjelang pukul 08.00, seperti biasa penampilanku selalu rapi dengan celana panjang, kemeja putih dan vest berwarna coklat. Sepatu dan tas melengkapi penampilan yang membuatku terlihat sangat terhormat di mata para karyawan dan staf. Orang-orang memperlakukanku dengan baik, mereka menghormatiku sebagai asisten Tuan Ghazali, juga menghargai diri ini sebagai salah satu staff penting. "Selamat pagi ibu!" Petugas lobi yang sudah ku anggap seperti pamanku sendiri membukakan pintu untukku. Aku tersenyum dan membalasnya. "Tuan Ghazali sudah datang dan menanyakan Anda, beliau pasti ada di kantornya sekarang." "Oh baik Pak, makasih ya." "Tapi saya heran, beliau tidak pernah menanyakan istrinya, tapi selalu menanyakan Anda." "Benarkah? Mungkin karena aku asisten yang memegang buku agenda dan selalu tahu rencana kegiatannya jadi dia harus memeriksa semua itu denganku." "Benar juga ya Bu." Pria berusia 45 tahun itu tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Melambai kecil lalu masuk ke dalam lift dan naik ke lantai 5. Begitu berjalan menyusuri lorong di mana hak sepatu menimbulkan suara, orang-orang akan menoleh dan tahu kalau aku yang datang. Seperti biasa semua orang menyapa dan mengangguk dengan hormat seakan aku adalah bos mereka. "Ibu, Pak Ghazali mencari anda." "Oh baik." Tak jadi beranjak ke meja, aku langsung berbelok ke ruangan direktur. Ketuk pintu perlahan, lalu terdengar jawaban dari sana yang memerintahkan aku untuk masuk. "Selamat pagi Pak." "Pagi." Di atas meja kerjanya, terlihat sebuah kotak berukuran besar dengan logo brand fashion ternama. Dia memberi isyarat agar aku mendekat dan membuka kotak tersebut. "Aku beli ini untukmu agar kau pakai di malam hari. Aku harap kamu suka." "Apa ini?" "Lihat saja." Dia mengangkat bahu sambil tersenyum lebar sementara aku membuka kotak tersebut dengan hati-hati. Di dalam sana ada gaun cantik berwarna merah, begitu aku mengangkatnya, kainnya tersentuh sangat halus di tanganku, bahkan benang jahitannya sangat berkilau seakan semuanya terbuat dari sutra. "Ini bagus sekali tapi saya pikir saya tidak pantas mendapatkannya." "Kenapa? Ini hadiah dariku. Kau tidak perlu merasa terbebani, tolong terima dengan hati terbuka." "Tapi ini gaun yang mahal." "Tidak masalah aku membelinya dengan sukacita. Berharap kau memakainya dan terlihat cantik." "Bila istri Anda tahu... dia akan membvnuh saya." "Jangan khawatir. Dia tidak akan ikut campur dalam hal apapun. Jadi simpan bajunya dan kutunggu kau di malam nanti." "Kenapa sikap Anda sangat romantis dan baik sekali?" "Aku sedang berusaha agar kau berkenan menerima hatiku." "Tapi anda adalah..." Belum ku selesaikan ucapanku tapi Tuan Ghazali sudah memotongnya. "Aku tahu! Kau tidak perlu mengulangnya berkali-kali. Aku tahu, aku suami orang sekaligus bosmu, aku pemilik perusahaan besar ini sementara kau hanya asistenku. Setengah area kota ini dan properti-properti penting adalah milikku, sementara kau hanya tinggal di apartemen kecil. Aku tahu semua itu tapi aku tidak pernah berhenti menyukaimu!" Aku menelan ludah mendengar perkataannya, ada sedikit rasa takut mengingat dia benar-benar menyukaiku, sementara aku sendiri sama sekali tidak menyukainya. Aku sengaja menggoda dan membuatnya jatuh cinta untuk balas dendam pada istrinya. Aku tidak pernah benar-benar ingin menjadikan pria itu sebagai suamiku.Mendengar lelakiku ingin bermalam di tempatku segera kau siapkan tempat tidur dan handuk bersih, kuhampiri dia dan kuserahkan handuk tersebut memintanya untuk mandi dan berganti pakaian."Mas mau mandi?""Enggak, aku mau pergi."" Katanya tadi mau nginep?" "Aku hanya melampiaskan kemarahan kepada Valerie. Aku tidak benar-benar akan menginap di tempatmu, aku harus menjaga harga diri dan kau harus terlindungi dari ucapan-ucapan buruk tetanggamu!" "Baiklah.""Istirahatlah, sampai jumpa besok di kantor ya," ujarnya sambil menepuk bahuku aku mengangguk lalu pria itu tersenyum dan keluar dari apartemenku.Lalu malam itu kulanjutkan tidur sendirian sambil berterima kasih pada Tuhan bahwa akhirnya aku bisa keluar dari kantor Polisi setelah selama 2 hari tertahan. Pagi terasa begitu berbeda, dengan sebuah pesan yang dikirim oleh anak Tuan Ghazali ke ponselku. Pesan itu bernada sangat sedih dan resah karena kami sudah tidak boleh berjumpa lagi. "Bu, Mamaku sudah melarang Anda untuk mengaja
Di titik ini aku puas, aku puas melihat jarak antara dia dan suaminya, melihat jarak antara dia dan anak-anaknya juga berseberangan paham dengan mertuanya. Tuan Sanjaya sepertinya tidak akan melarangku lagi dekat dengan putranya, lelaki tua itu nampaknya sudah putus asa untuk membuat diri ini jera. Dia sudah mengancamku, menyuruh orang untuk meneror diri ini, termasuk menyakitiku, tapi aku tetap bertahan di posisi yang sama. Aku dalam mode bertahan dan aku akan memenangkan semua pertarungan berat ini. Aku bertekad dengan niat yang kuat. Aku sedang bersantai di balkon apartemen saat beberapa anggota polisi datang dan mencekal diri ini. Aku terkejut karena mau dibawa ke kantor polisi, aku belum sempat mengganti pakaian atau mengenakan sepatu saat mereka memaksaku keluar dari tempat itu. "Ayo ikut kami!""Tunggu dulu saya salah apa!""Ikut saja kami ke kantor baru anda mengetahuinya!""Tidak saya menolak! Mana surat perintah penangkapannya!""Kami sudah mendapatkannya!" Salah satu da
Seiring berjalannya waktu, semakin dekat diri ini pada Tuan Ghazali semakin dekat juga aku pada anak-anaknya, kami bertemu setiap akhir pekan dengan alasan untuk les piano dan bahasa Inggris. Valeri tidak pernah menyadari kalau aku sering datang ke rumah dan berdekatan dengan anak-anaknya. Entah ia tidak peduli atau tidak mendengarkan laporan dari pelayannya kalau anaknya punya guru baru, tapi wanita itu sepertinya tidak menyadari. Belakangan Tuan Ghazali sudah jarang datang ke kantor bersama dengan istrinya, mereka seperti terpisahkan dan enggan berada di gedung yang sama dalam waktu yang sama. Kalau Nyonya datang lebih pagi maka Tuan akan memilih datang siang hari. Dia enggan bertemu dengan istrinya, bahkan dalam rapat pun dia meminta Rudi dan aku untuk mewakilinya. Lelaki tampan itu akhir-akhir ini mulai sibuk dengan berbagai kegiatan di luar kantor, dia enggan terlibat dalam pengambilan keputusan terutama jika itu berhubungan langsung dengan Valerie.Sabtu berikutnya, Dalam 2 m
Aku dan Tuhan Ghazali memasuki ruangan Nyonya vallery saat wanita itu sedang melakukan meeting dengan beberapa staf pribadinya. Terlihat beberapa kertas desain yang berserakan di atas meja, dan wanita itu sedang memilih desain terbaik. "Ada apa Mas?" Dia terkejut dan berdiri... Tapi melihat Tuan Ghazali menggenggam tanganku dengan erat, tatapannya langsung berubah tidak suka dan geram. "Aku mau bicara!""Tunggu jam istirahat saja, aku dan desainer sedang meeting!""Aku tidak bisa menunggu lama!""Tapi ini juga penting!""Atau ku beritahu kau keputusanku di hadapan para staf-mu!""Ok Fine!" Valeri menurunkan pulpennya dan memberi isyarat agar kami mengikutinya. Dia mengarahkan kami untuk masuk ke ruang pertemuan. Begitu tiba di sana dia langsung menyilangkan kedua tangannya di dada sambil memberi isyarat agar kami segera bicara. "Baiklah sekarang katakan!""Apa yang kau lakukan!""Hahaha apa lagi sih!""Aku tidak bercanda! Aku sudah memberimu peringatan bahwa jika kau melampaui bata
Aku terkejut dengan panggilan di jam 05.00 subuh, Rudi menelponku lewat panggilan video call. Saat aku mengangkatnya aku cukup terpanah, dari seberang sana dia nampak terengah ketakutan, menangis dan menutupi wajahnya dengan sebuah handuk.."Apa yang terjadi?" Aku tersentak dan segera bertanya padanya. Lelaki dengan sifat kemayu itu, hanya menundukkan kepala sambil menggeleng dia menangis tersedu sambil terus menutup kepalanya yang mulai terlihat merembes mengalirkan darah. "Apa yang terjadi Rudi?" Kali ini aku bertanya dengan nada yang lebih lantang. "Seseorang datang ke apartemenku, mereka memaksa masuk dan memukul diri ini, mereka mengancamku, memintaku untuk tidak mendukung dan berdiri di pihakmu.""Tunggulah di sana! Aku akan membawamu ke rumah sakit!""Tidak jangan, aku akan atasi ini sendirian!""Tidak, diamlah di sana aku akan menjemputmu!" Aku segera mengambil jaket dan kunci mobil, membuka pintu dengan cepat lalu turun menggunakan lift. Secepat kilat aku telah berada
Sembari menyapu pecahan kaca, aku sadar bahwa wanita itu sangat putus asa. Dia tidak punya cara lain untuk membuatku jera selain menggangguku, menghadang dan mengancamku, merusak barang-barangku dan coba menciptakan ketidaknyamanan dalam hidup ini. Dia mencoba membuat hidupku seperti neraka tapi aku tidak peduli. Aku sadar dia panik, dia takut kehilangan suami dan anaknya, dia juga takut kehilangan reputasi dan posisinya sebagai CEO, juga kehilangan kasih sayang dari mertua dan keluarga. Dia seperti berdiri di ujung curam sebuah tebing, di mana gravitasi dan udara siap menelan tubuhnya lalu menghempaskannya dengan cara paling sakit. "Kalau aku jadi dia, mungkin aku akan lebih kejam lagi. Akan kulakukan segala cara untuk menyingkirkan orang ketiga dari rumah tanggaku."Aku hanya menggeleng sambil membatin, lalu menuangkan pecahan kaca dan beling ke dalam tong sampah. Waktu menunjukkan pukul 10.00 malam, di mana aku akan bersiap untuk mandi dan beristirahat. Tapi aku tak menemukan p