Share

Bab. 03. Malam Mencengkam

***

Aku mulai tinggal dan menjalani kegiatanku di kediaman keluarga Louzi.

"Aku masuk kerja hari ini," ujar Beni sudah mengenakan kemeja rapi.

Aku yang masih setia duduk di atas ranjang hanya menganggukkan kepalaku. Beni mengulurkan sebelah lengannya untuk mengelus pipiku. Aku membiarkan Beni mencium bibirku.

"Aku akan pulang jam delapan malam," ucap Beni. "Nikmati harimu di rumah ini," tambahnya.

Aku memadamkan senyumanku ketika melihat Beni keluar dari kamar. Aku segera turun dari atas ranjang, lalu menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhku.

Setelah selesai mandi, aku memutuskan untuk bersantai di paviliun rumah. Mansion sebesar ini memang selalu terkesan sepi tanpa berpenghuni. Padahal Tuan Louzi, kepala keluarga Louzi mempekerjakan begitu banyak pelayan. Tenang saja, aku sudah terbiasa.

"Bagus ya, bangun siang terus langsung bersantai. Sudah terbiasa menjadi nyonya kah? Kamu pikir, setelah menikah dengan Tuan Beni, kamu bisa seenaknya di rumah ini?"

Aku tersentak mendengar nada ketus tersebut. Kepalaku refleks menoleh ke sumber suara. Aku melihat seorang wanita cantik mengenakan kemeja rapi, lengkap dengan jas berwarna ungu.

"Nunu? Kamu masih hidup?" Pertanyaan itu muncul begitu aku mengingat wajah Nunu.

Aku ingat persis jika Nunu meninggal akibat ketahuan oleh Beni kalau Nunu diam-diam membantuku.

Nunu memandangku aneh. "Kamu mengetahui namaku sebelum aku memperkenalkan diri? Lucu sekali," tandas Nunu.

"Kemarin Beni memberi tahuku mengenai kapala pelayan yang bernama Nunu. Dilihat dari penampilanmu yang berbeda dari pelayan lain, kamu pasti Kepala Pelayan kan?"

Sial, aku keceplosan. Aku buru-buru mencari alasan supaya Nunu tidak berpikir terlalu jauh mengenai pengetahuanku tentang dirinya.

Nunu menghembuskan napas. "Jadi begitu. Tapi, aku tidak suka bila ada orang lain tahu tentangku tidak langsung dariku. Maka, izinkan aku memperkenalkan diriku," kata Nunu.

Aku tersenyum saja. Meski sikap Nunu kurang ajar terhadapku, tapi, aku tahu kalau Nunu adalah orang yang berkali-kali menyelamatkanku. Aku akan melunak di hadapannya.

"Perkenalkan, namaku Nunu, aku adalah Kepala pelayan di rumah ini. Aku yang mengatur segala urusan di dalam rumah. Kalau kamu tinggal di rumah ini, maka kamu harus mengikuti peraturan yang telah aku tetapkan," jelas Nunu memperkenalkan diri.

"Ah, maafkan aku. Aku tidak mengerti. Bisakah kamu memberi tahuku, peraturan apa saja yang harus aku ikuti di rumah ini?" tanyaku sopan.

Meskipun aku sudah tahu apa saja yang harus aku lakukan di rumah ini. Aku tetap meminta Nunu menjelaskan.

"Yang paling utama, sebagai menantu keluarga Louzi, kamu harus bangun pagi, menyiapkan sarapan untuk suamimu dan mertuamu," jelas Nunu. "Bisa kan? Aku gak peduli meski kamu dulu diperlakukan bak ratu oleh keluargamu. Sekarang kamu tinggal di rumah ini, maka kamu harus menurut." Nunu mempertegas.

"Iya, aku mengerti," jawabku cepat.

***

Aku melakukan tugasku dengan sempurna. Semua orang memujiku, kecuali Nunu. Hal biasa bagiku. Dia memang terkesan tidak menyukai aku. Dulu aku sangat kesal dengan sikap Nunu, akan tetapi, sekarang aku sangat menyukai Nunu.

Aku melihat Nunu berlalu pergi setelah Tuan Louzi mencicipi masakanku.

"Kamu juga pintar memasak ternyata. Aku makin yakin kalau aku gak salah pilih istri." Beni memujiku.

"Aku hanya menghidangkan makanan yang sering aku masak. Mangkanya enak dan terkesan aku pintar memasak," jawabku merendah.

Ayolah! Tentu saja aku jago memasak, aku pernah les tata boga selama tiga tahun. Tapi, aku tidak mau orang lain tahu tentang kenyataan itu, tidak penting juga.

"Hari ini aku mengurus banyak pekerjaan. Jadi, mungkin aku akan pulang terlambat. Kamu tidak keberatan kan? Kamu juga tidak perlu menungguku. Lekaslah beristirahat," kata Beni memberti tahu aku jadwalnya.

Aku tahu kok kenapa Beni pulang telat malam ini. Dia akan membunuhku. Dasar pria sialan, aku akan menggagalkan rencana busukmu.

"Iya, Sayang. Aku bakal langsung tidur nanti," jawabku tenang dan tetap menebar senyuman semanis mungkin.

Beni membalas senyumanku kemudian mengecup keningku.

"Wanita pintar," puji Beni.

Aku mengantar Beni hingga depan pintu utama mansion.

Setelah melambaikan tanganku, aku berbalik badan. Aku langsung kaget saat melihat Nunu sudah berdiri tepat di hadapanku.

"Apaan sih? Nunu. Kamu ngagetin aku deh!," protesku.

Ketika aku ingin menggeser tubuh Nunu, Nunu tak membiarkan aku lewat.

"Ada apa?" tanyaku mengerutkan dahi.

"Hati-hati, kamu mungkin akan menyesal di kemudian hari," kata Nunu tersenyum.

Aku tersenyum tipis mendengar peringatan dari Nunu yang dulu tidak pernah aku gubris.

"Maksudmu apa ngomong gitu? Emangnya apa yang akan terjadi padaku di kemudian hari?" tanyaku pura-pura tidak mengerti.

Aku bahkan sampai mendesak Nunu untuk menjawab pertanyaanku. Tapi, wanita itu malah berlalu meninggalakan aku.

"Dasar wanita tidak waras!" teriakku.

Nunu tidak menoleh sama sekali. Tapi aku tahu kalau dia mendengarku.

***

Sudah pukul sebelas malam, dan aku belum juga tidur. Menurut ingatanku, di malam ini, akan ada dua orang pria yang masuk ke dalam kamarku. Mereka memberiku obat bius hingga aku tak sadarkan diri.

Kali ini, aku akan menyambut kedatangan mereka. Tenang saja, aku sudah siap dengan tongkat golf di genggamanku. Aku akan memukul siapa saja yang masuk ke dalam kamarku.

Cukup lama aku menunggu, pintu kamarku akhirnya terbuka. Benar saja, dua pria masuk ke dalam kamarku. Tanpa pikir panjang, aku langsung menyerang mereka. Aku memukul kepala mereka dengan membabi buta.

Dirasa mereka sudah tak sadarkan diri, aku membuang tongkat golfku ke sembarang arah. Napasku tersenggal-senggal karena kelelahan. Kedua tanganku juga terasa sakit.

Aku segera keluar dari kamarku. Kali ini aku akan melapor ke polisi. Namun, baru saja aku keluar dari kamar, aku mendengar suara gaduh di depan pintu kamar Bapak Mertuaku. Aku yang penasaran langsung pergi untuk mengecek.

Kakiku terasa kaku seketika, saat mataku menangkap pemandangan menyeramkan. Aku melihat Bapak Mertuaku dipukul, lalu digeret paksa oleh tiga pria berbadan besar.

Jadi, ini yang terjadi di malam itu? Ketika aku telah terbius. Aku sama sekali tak menyangka, Bapak Mertuaku dihabisi di rumahnya sendiri.

Ingin sekali aku berteriak lalu membantu Bapak Mertua. Tapi apa daya, keberanianku seakan hilang entah ke mana.

Jelas tidak bisa melawan. Mereka yang mengangkut Bapak Mertuaku memegang senjata api. Aku tidak ingin mati untuk kedua kalinya. Jadi, aku memutuskan untuk tetap bersembunyi dari balik pot bunga raksasa.

Saat aku melihat mereka sudah masuk ke dalam lift. Aku berinisiatif untuk kembali ke kamarku, dan mengambil ponselku yang tertinggal di sana. Lalu aku akan langsung menghubungi polisi.

Perlahan aku memutar tubuhku. Aku berjalan dengan mengendap. Berharap jika tidak ada yang mengetahui keberadaanku.

Ketika aku hampir meraih gagang pintu kamarku, sebuah tangan mencengkeram erat pergelangan tanganku. Jantungku berhenti berdetak sedetik, kemudian berdebar kencang.

Apakah aku ketahuan? Salah satu dari mereka ada yang kembali?

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status