"Jadi kamu juga mau mengusir ibumu dari rumah ini? Apa kamu tidak mau menjelaskan pada mereka bahwa ibu akan tetap tinggal di rumah ini sesuai pesan terakhir bapakmu? Apa kamu lupa, atau kamu memang ingin ibu keluar dari rumah ini, iya begitu?" ibu Marni menatapku penuh emosi. Matanya seolah tidak terima atas tuntutan warga sekitar. Sejak sidang pagi tadi aku hanya terdiam tanpa bicara sedikit pun padanya. Sungguh, aku pun tidak menyangka begitu tega ibu tiriku merebut suami orang, tanpa ada rasa bersalah sedikit pun. Selama ini benar isu di luar sana bahwa ibu tiriku bukan wanita baik-baik. Sudah banyak orang memberitahu padaku akan tabiat buruk bu Marni, tapi sama sekali tidak ku hiraukan. Cinta kasih ku pada beliau begutu tulus dan besar sehingga mataku di buatnya buta, telinga serasa tuli, dan hati seakan mati rasa. Jujur aku begitu bodoh sampai tidak mengenali siapa ibu tiriku sebenarnya.
"Seharusnya kamu membela ibu bukan malah diam sepertin patung, ingat ya tanpa aku mungkin kamu sudah lama menyusul ibu kamu itu." Begitu lantang suara menggema memenuhi seisi kepala. Meski sudah ketahuan salah beliau seolah tidak merasa bersalah. Pelakor jaman sekarang punyai wajah tebal setebal aspal jalanan. Marni masih terus memperlihatkan kemarahannya sampai tidak sadar lidahnya banyak menyakiti hatiku. Andai waktu bisa berbutar kembali, maka aku pun lebih memilih tiada bersama ibu kandungku, dan jika waktu bisa berbicara aku pun ingin meminta kesaksiannya tentang bagaimana penderitaanku selama ini telah menjadi anak tirinya. Mengeratkan rahang "Oke, kalau begitu aku akan pergi sesuai kemauan kamu, Rika. Memang dasar anak tidak tau di untung sudah di besarkan malah begini balasanmu padaku. Tega kamu mengusirku dari rumah ini...." Marni terus menuntut balaa budi yang dulu pernah ia berikan. "Rika tidak pernah mengusir ibu atau pun berpikiran untuk mengusir ibu dari rumah ini. Akan tetapi semua akibat perilaku buruk ibu sendiri. Apa boleh buat semua keputusan ada di tangan warga..." Dada ini terasa panas melihat bagaimana sikap tidak bersalah ibu Marni. Aku sungguh tidak menyangka bahwa ibu tiriku sampai melakukan zina dengan suami orang. Ternyata suara denyit ranjang ibu tiri adalah Dosa besar. Air mata kecewa mengalir begitu saja tanpa bernyata apakah aku mampu menghadapi derasnya luka. Beliau nampak kesal sembari berkacak pinggang "Oh..... jadi kamu lebih membela para warga di banding aku, yang telah merawatmu sejak bayi. Asal kamu tau berapa banyak waktu dan tenagaku harus terbuang percuma karena kamu. Andai dulu aku tidak merawatmu mungkin kamu sudah mati bersama ibumu. Dasar tidak tau balas budi....." Dengan wajah menjorok padaku sehingga tatapan kami saling bertemu. Ya Allah, ternyata sesakit ini kah ketika seorang ibu mengungkit semua jasanya. Andai hidup bisa memilih sejak dulu tak ingin ku tinggal dengannya. Ibuku memang telah lama meninggal, hidup piatu sudah ku jalani sejak dulu. Gelegar ucapan beliau meruntuhkan pondasi hatiku. Badan ini luruh seketika mendengar kalimat menyakitkan dari wanita yang selama ini kuhormati. Dada terasa sesak sulit untuk bernafas bebas. Mengungkit jasa diri dari sebuah tanggung jawab dan pengabdian adalah gambaran dari karakter seseorang. Tulus tidaknya seseorang bisa kita nilai dari cara bicara. Orang tulus tidak mengungkit apa yang telah di lakukan. Ketika orang itu mampu mengungkit semua jasa yang telah ia berikan maka sudah jelas selama ini kasih sayangnya palsu. Seorang ibu walau hanya sekedar ibu tiri mempunyai tanggung jawab penuh terhadap anak dari pasangannya. Jika seseorang mampu menerima pasangan yang sudah memiliki anak, maka mereka harus siap menerima tanggung jawab besar. Dalam rumah tangga tidak hanya menikahi satu orang saja tapi harus bisa merangkul anak tersebut selayaknya anak kandung. Peran ibu pengganti memang sangat sulit meskipun begitu jika semua berdasarkan ketulusan maka semua akan indah. Mengasihi anak seorang yatim atau piatu sama halnya memupuk pahala. Setiap nafas berhembus mengalir begitu banyak pahala. Tidak ada kata rugi dalam membesarkan seorang anak meski bukan darah daging sendiri, justru dengan merawat suatu hari nanti ketika kita beranjak tua mereka akan senantiasa di samping kita dan merawat hingga akhir nafas. "Rika sadar buk bahwa selama ini banyak merepotkan ibu. Tapi, apa dayaku semua di buat atas keputusan warga, sedangkan dalam bermasyarakat keputusan mereka jauh di atas kekuasaanku. Untuk semua jasa ibu yang selama ini telah membesarkanku, sampai mati tidak akan pernah kulupakan. Aku sangat berterima kasih pada ibu Marni dengan setulus hati...." Ucapku sembari berderai air mata. Isak tangis membuatku sulit berkata-kata lagi, sebab terlalu sakit untuk di terima. Beliau pun semakin tersinggung "Hanya terima kasih saja? Enteng sekali mulut kamu. Kamu pikir selama dua puluh tujuh tahun aku tidak tersiksa harus merawat kamu yang bukan anakku sendiri? Jelas aku tersiksa. Memang siapa yang repot saat kamu sakit, saat kamu minta susu di malam hari, terus siapa yang menggendong kamu di saat kamu menangis? Semua kulakukan sendiri, dan inikah balasan kamu kepadaku" memaki sejahat itu. Berusaha mengesampingkan luka sementara terus mencoba bertahan. Ku raih tangan ibu Marni sembari berlutut di hadapannya "Mohon ampun ibu jika selama ini Rika banyak menyusahkan ibu. Jika bisa akan ku tukar nyawa ini demi menebus semua jasa ibu. Sungguh semua yang terjadi di luar keinginanku, aku tidak bisa berbuat banyak tentang itu" Mengeratkan rahang "Jangan sok bersedih karena aku tau kamu pasti senang melihatku keluar dari rumah ini...." Beliau mendorongku hingga terjerembab ke lantai. Sakit yang kurasakan tidak sebanding dengan luka di hatiku sekarang ini. Mas Darwin menolongku sembari menggenggam tangan ini "Sayang, sudahlah jangan bersedih hati. Mungkin ibu Marni masih kesal dengan semua yang terjadi. Kita bicarakan nanti setelah semua mereda...." Bisiknya berusaha menguatkanku. "Marni.....ayo kita pergi sekarang" Tiba tiba Pak Dono menghampiri beliau dengan membawa koper besar "Kita akan hidup bahagia berdua tanpa mereka. Ini yang aku impikan kita bersama selamanya...." Menggendeng lengan Dono "Ayo mas kita sudah tidak di inginkan tinggal di sini lagi lebih baik kita cepat pergi saja" ujar Marni. Tak berapa lama mereka pun meninggalkan rumah. Melihat beliau harus pergi secara tidak hormat membautku sangat terluka "Mas... Ibu mas, dia pergi......." Kusandarkan kepala di bahu mas Darwin. Membelai rambutku "Semua sudah terjadi sayang. Kita tidak bisa menghentikan ibu Marni, karena semua sudah menjadi kepurusan bersama" Sesungguhnya Darwin merasa kesal apabila Marni harus tinggal jauh darinya. Tidak ada malam penuh desahan lagi yang membuatnya kecanduan. Bahkan hasrat terhadap ibu tiri jauh lebih besar di banding kepada istri. Setiap kali berhubungan badan dengam istrinya pikiran dan bayangan Marni selalu ikut serta. Sialan....kalau begini aku juga yang susah nantinya. Bagimana caraku untuk bisa melakukan itu lagi dengannya, sedangkan dia sudah menikah lagi.... "Kita masuk kamar yuk kamu harus istirahat dulu biar aku buatkan teh hangat untukmu, sayang" Mas Darwin begitu perhatian padaku. Setiap kali diri ini merasa tersesat dia selalu menjadi jalan keluar. "Terima kasih banyak mas selalu ada di sampingku dalam suka duka" Mas Darwin mengusap sisa air mataku "Selalu sayangku. Sekarang kamu masuk kamar ya istirahat jangan pikir macam macam" Tak berapa lama Darwin menuju dapur. Ia mengingat kembali malam di mana dia dan mertuanya berpadu dalam kenikmatan surgawi. Bahangan itu membangkitkan hasrat dalam dirinya "Oh Marni kapan lagi kita bisa melakukan itu" Berzina dengan bayangan sementara bisa membuat hasratnya tersalurkan. "Marni...." Desisnya mencapai puncak kenikmatan. Tak berapa saat kemudian Darwin merapihkan kembali resleting celana lalu membuat teh hangat "Astaga, dengan bayangannya saja aku sudah merasa puas apa lagi kalau...."Bagaimana cara menjelaskan semua pada putraku, sungguh tidak bisa melihat harapannya hancur begitu saja. Mata yang tadi di penuhi kebahagiaan seketika sirna penuh air mata. Kaki mulai melemas menitikkan air mata sembari ku raih pusara mas Darwin "Bagaimana caraku menjelaskan semua pada Aska, mas? Andai bisa ku putar waktu aku tidak ingin kau pergi dengan cara seperti ini. Sekarang Aku harus bagaimana? Kenapa harus kamu? Kenapa bukan orang lain saja yang mendonorkan jantung untuk Aska, kenap harus kamu, kenapa? Setelah semua kejadian ini bagaimana caraku menghindari tatapan putraku sendiri, mungkin setelah ini dia akan sangat membenciku. Hati ku sakit melihatnya hancur. Aku takut, mas. Bagaimana jika dia membenci ku setelah ini? Sungguh aku tidak sanggup di benci olehnya," Wajah tertunduk lesu tidak tau harus berbuat apa. Semua memang salah ku, seharunya tidak pernah memberi jarak pada mereka supaya semua tidak seperti sekarang."Kebaikan mu akan selalu ku ingat dalam seumur hidup, tap
Dua hari kemudian.Sesuai janji ku pada Aska, tepatnya selasa pagi kami mengajaknya bertemu dengan Mas Darwin. Meski seluruh dunia mengetahui bahwa orang mati tidak bisa bangkit kembali ke dunia manusia. Aku menyadari bahwa harapan besar mereka bertemu sangatlah mustahil. Setiap saat hati terasa gelisah takut putraku kecewa atas kenyataan pahit ini, semua memang bukan mau ku, semua atas keputusan mas Darwin sendiri, sejauh kebencianku terhadapnya sedikit pun tidak pernah menganggapnya benar, sehingga pada saat dia memberikan jantungnya pada putra kandungnya sendiri, di situlah baru aku menyadari bahwa seburuk apa pun seorang mantan suami dia tetap ayah terbaik bagi anak-anak. Sejauh apa pun sakit hati membawa kita, hubungan yang sudah terjalin tidak akan pernah terhapus oleh banyaknya dosa. Masa lalu tetap meninggalkan kenangan walau tidak untuk di perjuangkan. Wahai mantan jadilah masa lalu terbaik jangan kotori masa lalu seseorang dengan penuh kebencian. Merasa jatuh cinta dan menci
Satu minggu kemudian kondisi Aska perlahan mulai membaik. Hari ini Dokter memberi kabar gembira bahwa putra kami sudah di perbolehkan pulang. Dengan kondisi Aska sekarang tentunya ia banyak di batasi oleh dokter, sebelum benar-benar sembuh ia tidak boleh keluar rumah bahkan sekedar sekolah pun belum di ijinkan. Sebagai seorang ibu jelas hati sangat bahagia sekaligus cemas, bagaimana jika Aska bosan ingin bertemu teman-temannya? tidak mungkin dia terus di rumah sepanjang hari di tambah lagi kami juga banyak kerjaan pasti dia sangat kesepian."Jangan lupa di minum obatnya, kamu tidak boleh terlalu beraktifitas dulu. Sementara waktu kamu duduk di kursi roda dulu, baru setelah selesai kamu bisa kembali bersekolah." Jelas Dokter.Mengulurkan tangan "Kami sangat berterima kasih atas segalanya, Dok. Kalau begitu kami pamit pulang"Usai menebus obat kami pun pulang. Sepanjang jalan pukang entah kenap Aska terus diam tanpa kata. Mungkinkah dia memikirkan sesuatu? Coba ku tanyakan pelan padanya
"Sayang coba lihat itu....." Mas Candra menunjuk sebrang jalan di mana seorang wanita berlari tertatih tanpa busana. Rambut terurai lusuh membuatku sulit mengenalinya, namun setelah mengamati seksama ternyata wanita itu adalah ibu Marni. Tidak jauh dari tempat beliau terlihat dua pria mengejarnya. Pria itu nampak begitu sangar berpenampilan preman dan bertubuh tinggi besar."Mas, itu ibu Marni....." Tanpa ragu kami pun menepi berusaha mengejar beliau sebisa dan sekuat kami. Sempai pada akhirnya bu Marni terjatuh, kedua pria berpenampilan preman tadi berusaha memaksa Bu Marni.Melihat beliau meronta dengan kondisi seperti itu tentu kedua pria itu bukan orang baik "Tolong......maling....." Mencari cara untuk meminta bantuan warga dan orang sekitar dengan berteriak maling. Benar saja beberapa orang berbondong ke arah kami lalu mengejar kedua pria tersebut. Awalnya mereka hendak membawa Ibu Marni, namun karena langkah kaki beliau tertatih membuat mereka memutuskan meninggalkan begitu saja
"Tidak, jangan, pergi kalian...Tolong..." Marni berteriak kencang ketika ada beberapa preman mengejarnya. Ketika duduk di tepi jalan tiba-tiba tiga orang berpakaian preman menghampiri lalu menyeretnya ke dalam mobil. Sembari meronta Marni terus berharap ada salah satu orang baik bisa menolongnya, namun siapa sangka tidak ada satu pun orang perduli. Mungkin bisa di katakan hukum karma masih berlaku padanya. Salah seorang pria berkulit hitam mata besar langsung membungkam mulutnya sampai tak bersuara. Sesekali terdengar suara dering ponsel dari salah satu preman."Kita sudah berhasil, bos." ucapnya sembari tersenyum girang ke arah Marni.Sejak memutuskan pergi dari Darwin, kini kehidupan Marni semakin sulit. Setiap hari berjalan lontang-lantung tanpa tujuan, semua tempat telah ia datangi demi mencari kerja atau sekedar numpang berteduh, namun hampir semua orang menolak, siapa yang mau menerima orang dengan penampilan compang-camping dan rambut kusut seperti tidak pernah di sisir. Banyak
Operasi berlangsung cukup lama. Setiap detik do'a tak pernah terputus. Mas Candra selalu berada di sampingku berusaha membuatku tenang. Meski ku tau di dalam hati terdalam ia juga rapuh. Aska memang bukan darah dagingnya, tapi dia yang selama ini mencintai, merawat, dan berperan layaknya seorang ayah. Wajar jika hatinya rapuh sama peperti itu pula hati ini."Jangan cemas putraku sangat hebat, dia pasti bisa melewati semua ini." Lirih mas Candra meyakinkan ku. Kalau boleh jujur suamiku tidak sekuat itu, tanpa sadar sejak tadi ku perhatikan ia menyeka air mata. Memaksa kuat sebisa mungkin supaya tidak membuatku semakin lemah.Sembari bersandar pada bahu mas Candra "Semua salahku, mas." Tiap kali mengingat bagaimana kami bertengkar sebelum akhirnya Aska berlari dariku. Andai bisa aku bersedia bertukar posisi, asal putraku baik-baik saja.Genggaman tangan semakin erat kurasakan "Jangan salahkan diri sendiri, kalau tau akan terjadi hal seburuk ini, maka aku pun tidak akan pernah mengajak k