Share

Derita Istri Pengganti
Derita Istri Pengganti
Penulis: Rini PA

Tragedi

Malam ini, Anisa harus menerima kenyataan pahit. Di saat kandungannya memasuki tujuh bulan. Semua pakaian yang tersusun rapih di dalam lemari kayu yang mulai rapuh itu dikeluarkan oleh suaminya. Jujur dia panik, cemas dan gelisah. Sebenarnya, apa yang ingin dilakukan suaminya itu.

"Mas, kenapa pakaianku dikeluarkan semua?" tanya Anisa bingung bercampur cemas. 

Angga tidak menggagas sama sekali pertanyaan istrinya itu. Dia malah beralih mengambil tas berukuran besar yang tercantol di dinding. Tentu saja hal itu tambah membuat perasaan Anisa tidak karuan. 

"Mas, apa yang sedang Mas lakukan? Apakah Mas ingin mengusirku?" tanya Anisa dengan air mata yang berderai. 

Angga yang tidak tahan lagi segera menghela napasnya kasar sebelum mengeluarkan unek-unek di dalam hatinya. 

"Benar, aku akan mengusirmu. Sekarang tolong kamu bantu aku mengemasi semua barang-barang milikmu," jawab Angga dengan napas naik-turun. 

"Ya Allah, kenapa Mas mengusirku? Apakah Mas tidak kasihan dengan calon anak kita yang sebentar lagi akan lahir di dunia ini?" tanya Aisyah tersedu-sedu. Tangannya berusaha menghalangi tangan suaminya yang terus memasukkan sehelai demi sehelai pakaiannya ke dalam tas. 

"Tidak! Aku tidak perduli sama sekali dengan anak itu," jawab Angga dengan nada yang tinggi. Tangannya segera menepis tangan Anisa yang menghalangi aksinya. 

"Mas aku mohon jangan usir aku! Aku nggak apa-apa kok, kalau Mas mau menikahi Murni. Aku bersedia dimadu. Jika Mas tidak ingin menafkahi aku juga nggak apa-apa kok." Anisa tersedu-sedu. Dia mencoba merayu suaminya. Dia paham kalau suaminya ini mengusirnya karena wanita itu. Lagi pula hanya gubuk inilah yang dia andalkan untuk berteduh. 

"Heh, kamu pikir aku mengusirmu karena wanita itu." Angga tersenyum mengejek. Dia menarik reksleting tas itu hingga tertutup rapat. 

"Maaf Mas, jika aku sudah salah." Anisa menyeka air matanya.

"Lalu? Alasan apa Mas yang mendasarinya?" tanya Anisa memberanikan diri. 

"Asal kamu tahu, rumah ini sudah bukan milik kita lagi," jawab Angga santai. 

"Astagfirullahaladzim!" Secepat kilat tangannya menutup mulut karena shock. Anisa terdiam. Dia tak mampu berkata-kata lagi. Sekarang dia sudah tidak memiliki tempat berteduh lagi. 

"Sudah, sekarang kamu harus pergi dari rumah ini!" Angga menarik paksa Anisa untuk mengikutinya. 

Anisa masih terdiam tak ada ucapan sama sekali yang 

terlontar dari mulutnya. Dia pasrah saja ditarik kasar begitu. Perutnya mulai berdenyut nyeri. Namun, dia tak memperdulikannya. 

Begitu sampai di luar rumah, Angga segera melepaskan cengkramannya. Tangannya bergegas meraih kunci yang berada di saku jaketnya. Lalu, mengunci pintu rumah itu. Kemudian, dia melangkah cepat meninggalkan Anisa yang masih terbengong di depan pintu. 

Kini Angga tengah sibuk mengengkol dan mengegas motornya berulang kali. Motornya ini memang bandel saat dinyalakan. Maklum, usia motornya jauh lebih tua dari usia pernikahannya yang baru menginjak satu tahun ini. 

"Sialan! Kenapa kamu ini sulit diajak kompromi sih? Enggak tahu apa kalau orang lagi buru-buru," umpat Angga semakin kesal. Kakinya terus bergerak mengengkol motornya. Setelah sepuluh kali berolahraga, akhirnya motor itu menyala. 

Suara keras motor Angga menyadarkan lamunannya Anisa. Dia segera meraih tasnya, lalu berlari cepat mendekati suaminya. Dia tidak mau ditinggal sendirian. Apapun yang terjadi, dia harus tetap bersama suaminya. Dia tidak ingin anaknya ini lahir tanpa sosok ayah. 

Tanpa banyak tanya dia segera nangkring di jok motor bagian belakang. 

"Apa yang kamu lakukan? Turun!" tegas Angga kasar. 

"Enggak mau, aku mau ikut Mas. Mas kan tahu kalau aku nggak punya tempat tinggal lagi," tolak Anisa tersedu-sedu. 

"Turun!" titah Angga geram. 

Anisa nggak bergeming sama sekali. Dia malah berpegang erat pada perut suaminya. 

"Kamu ini memang sulit sekali kalau diberitahu dengan cara baik." Emosi Angga membludak. Tangannya dengan cepat melepaskan rangkulan Anisa. Lalu, mendorong kuat tubuh Anisa menggunakan sikunya. 

Brukkk! 

"Auwww!" Anisa yang terguling di tanah langsung merintih kesakitan. 

"Heh, rasakan!" Angga tersenyum puas. Dia segera melajukan motornya meninggalkan Anisa. 

***

Di pertigaan jalan, Angga bertemu dengan tetangga sebelah rumahnya yang baru saja pulang dari Masjid. Dengan gaya angkuhnya, dia menggas motornya kuat. Tentu saja hal itu membuat tetangganya mengelus dada. 

"Ya Allah, kenapa bisa sih orang macam dia diberi kesempatan umur yang panjang," kutuk Bu Yuli kesal. 

"Astagfirullahaladzim. Ibu ini kalau bicara jangan asal gitu. Lebih baik, Ibu doakan dia supaya segera taubat. Kalau dia sampai berumur pendek, bagaimana dengan nasib Anisa dan anaknya," nasihati Pak Rahmat.

"Halah, Pak. Tanpa dia pun Anisa masih bisa hidup. Asal Bapak tahu ... Anisa itu setiap hari banting tulang untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri," jawab Bu Yuli santai. 

Pak Rahmat tak mampu berbicara lagi. Kini dia hanya menghela napasnya saja. 

Mereka berdua terus melangkah berdampingan tanpa ada percakapan lagi. Kondisi jalanan terlihat sepi karena orang-orang tengah berkumpul di Masjid. Hari ini para warga tengah melaksanakan acara maulid nabi. Jadi, rumah-rumah warga pada kosong. 

Pak Rahmat dan Bu Yuli memutuskan pulang duluan. Entah mengapa perasaan was-was membubuhi hati Bu Yuli. Dia teringat dengan Anisa yang tadi sempat bilang kalau perutnya sedikit keram. Makanya, dia tak bisa ikut ke Masjid. 

Setibanya, di jalan dekat rumah mereka. Samar-samar mereka mendengar suara seseorang meminta tolong. Perasaan was-was Bu Yuli jadi tambah tidak karuan. Tangannya segera menarik paksa tangan suaminya. Dia takut terjadi apa-apa. 

"Ayo Pak buruan! Itu pasti suaranya Anisa." Mereka berdua segera berlari secepat mungkin agar segera sampai.

Deggg! 

Jantung mereka langsung berhenti seketika melihat Anisa tengah tiduran di tanah sambil memegangi perutnya. Mulutnya terus meminta tolong. 

"Ya Allah, Anisa!" teriak Bu Yuli panik. Dia dan suaminya segera mendekati Anisa. 

Anisa yang dipanggil segera menatap ke arah orang tersebut. Bibirnya melengkung senang ketika melihat tetangga terbaiknya itu datang. 

"Apa yang sudah terjadi denganmu, Nis?" tanya Bu Yuli sambil membantu Anisa bangkit. 

"Ah!" Kondisi perut Anisa yang sangat sakit, membuat dirinya tak mampu lagi untuk bangkit. 

"Aku tak punya tempat tinggal lagi, Bude. Rumah ini sudah milik orang," jelas Anisa terus memegangi perutnya yang sakit. Bahkan, darah segar terus mengalir lewat selangkangannya. 

"Astagfirullah, kejam sekali memang suamimu itu. Aku sumpahin, biar nggak selamet dia di jalan," sumpahi Bu Yuli untuk yang kesekian kalinya. 

"Sudah! Daripada sibuk nyumpahin Angga, lebih baik kita bawa Anisa ke rumah sakit sebelum terlambat," nasihati Pak Rahmat. Dia segera meraih ponsel di saku celananya untuk menghubungi rumah sakit terdekat. 

Tak berselang lama, terdengar suara ambulan datang. Mereka buru-buru mengangkat tubuh Anisa untuk dinaikkan ke atas brankar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status