Share

Melvin Memiliki Kekasih?

Penulis: Senja Berpena
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-26 04:15:30

“Jangan beritahu siapa pun, Regina. Aku mohon,” pinta Thania dengan suara gemetar, matanya memburu ketakutan, seolah setiap kata yang keluar bisa menjadi peluru yang membunuhnya di kemudian hari.

Tangannya menggenggam erat tangan Regina, mencari pegangan di tengah badai yang terus menghantam hidupnya.

Ia baru saja menceritakan semuanya—penderitaan dalam pernikahan yang tak pernah ia impikan, kebohongan Melvin yang membuatnya terjebak, dan cinta palsu yang berubah menjadi penjara tanpa pintu keluar.

Regina terpaku. Matanya berkaca-kaca menatap Thania yang kini jauh dari sosok ceria dan profesional yang ia kenal selama ini.

Di hadapannya kini duduk seorang wanita yang hancur, dengan mata sembab dan tubuh lelah seperti telah memikul beban dunia.

“Aku tidak menyangka jika sikap Melvin akan semakin menjadi,” ucap Regina perlahan, suaranya nyaris berbisik karena takut menyakiti Thania lebih dari yang sudah ia alami.

“Aku tahu, dia memang sedikit arogan dan seringkali berdebat dengan ayahnya. Tapi... mendengar bahwa dia juga menipumu, aku benar-benar terkejut, Thania.”

Thania hanya tersenyum lirih. Senyum yang tidak mengandung kebahagiaan—hanya sisa-sisa kekuatan untuk tetap terlihat hidup.

“Ini semua salahku, Regina. Aku terlalu bodoh... terlalu polos...” suaranya patah-patah, seperti tiap katanya menyayat tenggorokannya.

“Aku kehilangan akal. Hanya karena dijanjikan utang lunas saja... aku langsung luluh. Aku pikir... aku pikir dia sungguh mencintaiku. Ternyata, ini balasan yang harus aku dapatkan...”

Air mata kembali mengalir di pipinya, tanpa isak, hanya diam dan jatuh satu per satu seperti gerimis yang menghantam tanah kering. Hening, tapi menghancurkan.

Regina mengusap lembut lengan Thania, mencoba menyalurkan kekuatan melalui sentuhan yang hangat.

Tanpa berkata apa pun, ia menarik tubuh Thania ke dalam pelukannya—erat, dalam, dan tulus.

Ia tahu, pelukan itu mungkin tak akan menyelesaikan apa-apa, tapi paling tidak... bisa membuat Thania merasa tidak sendirian untuk sesaat.

“Jangan sungkan untuk menceritakan semuanya padaku, Thania. Jangan pendam sendiri. Aku ada untukmu,” bisik Regina penuh ketulusan, sambil mengusap punggung sahabatnya perlahan.

Thania mengangguk pelan di pelukan itu. “Terima kasih, Regina... Kau gadis yang baik. Aku senang memiliki sahabat dan partner kerja sepertimu. Mungkin, satu-satunya alasan aku bisa bertahan sejauh ini adalah karena kau masih ada.”

Regina menarik tubuh Thania agar bisa melihat wajahnya. Ia tersenyum hangat, meski matanya ikut berkabut oleh air mata yang ia tahan.

“Kalau kau lelah dan ingin menyerah... sebaiknya menyerah saja, Thania. Hidup ini terlalu singkat untuk terus disiksa. Kau berhak bahagia, bahkan lebih dari siapa pun.”

Thania menunduk. Tangannya saling menggenggam erat di pangkuan, seolah jika ia tidak memeluk dirinya sendiri, tubuhnya akan runtuh saat itu juga.

“Sulit, Regina... Dia memegang rahasia keluargaku. Aku akan terjebak selamanya dalam hidup Melvin. Akan selamanya menjadi boneka mainan Melvin.”

Kata-kata itu keluar seperti sumpah kutukan. Matanya menatap kosong ke arah lantai, seolah masa depannya terhampar di sana—gelap, sunyi, dan tanpa harapan.

Regina terdiam. Ia ingin bicara, ingin mengusulkan sesuatu, ingin mengatakan bahwa ada jalan keluar. Tapi kenyataan yang Thania katakan itu benar—Melvin bukan pria biasa.

Ia punya kuasa. Punya kendali. Dan jika Regina bertindak gegabah, bukan hanya Thania yang akan hancur... dirinya pun bisa ikut binasa.

“Maaf, aku tidak bisa membantumu, Thania. Aku pun takut… aku juga hanya wanita lemah, sama sepertimu,” ucap Regina lirih, suaranya nyaris tak terdengar di antara degup kecemasan yang memenuhi ruang kecil itu.

Thania tidak berkata apa-apa selama beberapa saat. Matanya kosong menatap lantai, seolah sedang menenangkan badai di dalam dadanya yang tak pernah reda.

Lalu perlahan, ia mengangkat wajahnya dan tersenyum tipis—senyum yang tak membawa cahaya, hanya luka yang tersamar rapi.

“It’s okay, Regina. Tidak perlu membantu apa pun. Aku akan bertahan… semampuku, sebisaku,” jawab Thania dengan suara yang terdengar tenang, tapi sebenarnya penuh ketakutan yang ditelan diam-diam.

Regina memeluknya lagi. Erat. Ia tahu pelukannya tak bisa menyelamatkan Thania dari kenyataan yang menyesakkan, tapi setidaknya… bisa membuatnya merasa sedikit lebih hangat, meski hanya untuk sejenak.

Di dalam pelukannya, Regina menahan tangis. Betapa berat beban yang harus Thania jalani.

Ia bukan hanya wanita biasa yang terjebak dalam pernikahan yang dingin dan penuh kebencian, tapi juga seorang kakak, seorang tulang punggung keluarga, seorang wanita yang memikul utang demi membebaskan kakaknya yang bahkan tak tahu balas budi.

Dan kini, nasib menggiringnya untuk menjadi istri dari pria seperti Melvin—arogan, manipulatif, licik, dan berhati dingin.

Sekadar membayangkannya saja sudah cukup membuat bulu kuduk Regina merinding. Tapi Thania? Ia menjalaninya… setiap hari, setiap malam. Sendiri.

**

Waktu bergulir. Jam telah menunjukkan pukul lima sore ketika mobil mereka berhenti di depan rumah.

Melvin membuka pintu dengan langkah santai, tapi sorot matanya tetap dingin dan tak bersahabat.

“Siapkan air hangat untukku,” titahnya singkat, tanpa menoleh, sambil membuka satu per satu kancing kemejanya, seolah Thania adalah pelayan pribadinya, bukan istri sahnya.

Thania tidak menjawab. Tak ada tenaga lagi untuk membantah. Tak ada suara yang tersisa untuk menyanggah.

Ia hanya memutar tubuh dan melangkah menuju kamar mandi, menjalankan perintah seperti mesin yang kehilangan jiwa.

Di dalam kamar mandi, ia mengisi bath tub dengan air hangat, memastikan suhunya pas, seperti yang Melvin suka.

Ia bahkan menambahkan minyak aroma terapi, meski tak pernah diminta. Bukan karena dia peduli—tapi karena satu kesalahan kecil bisa memicu amarah yang tak terkendali.

Lima belas menit berlalu. Saat air sudah siap, Thania keluar dari kamar mandi dengan langkah pelan.

“Air hangatnya sudah siap,” ucapnya datar, seperti kaset yang diputar ulang tanpa emosi.

Melvin meliriknya sekilas, lalu meletakkan ponselnya di atas nakas. Ia bangkit dan masuk ke kamar mandi tanpa mengucapkan terima kasih. Tentu saja. Ia tak pernah melakukannya.

Thania duduk di tepi tempat tidur, memejamkan mata sejenak. Satu tarikan napas… dua tarikan napas… mencoba menenangkan detak jantungnya yang tak pernah benar-benar tenang di rumah ini.

Lalu—ding—suara notifikasi dari ponsel Melvin menyentaknya.

Tanpa sadar, matanya melirik ke arah layar ponsel yang menyala. Ia bukan tipe pencemburu.

Bahkan tidak merasa punya hak untuk cemburu. Tapi kali ini... dadanya terasa seperti diremas ketika membaca pesan yang muncul di layar:

‘Sampai jumpa nanti, Melvin. Aku sudah tidak sabar bertemu denganmu.’

Thania menegang. Tangannya bergetar, alisnya mengerut. Jantungnya berdegup lebih cepat.

“Siapa dia? Jadi… selama ini dia memiliki kekasih?” gumamnya lirih.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (13)
goodnovel comment avatar
wieanton
kyknya bukan cewek melvin deh, gitu2 jg si Melvin gk sembarangan cewek sih.
goodnovel comment avatar
Riyani Riyani
Lah berasa jadi pembokat ya si Thania Duh Melvin au ah susah brkata kata jadinya Nah loh kalo emang udah ada pacar ngapain dia nikahin Thania Cukup siksa aja sih heran dah
goodnovel comment avatar
b3kic0t
apa benar itu kekasih?belum tentu kan,siapa tau hanya sekedar teman anak papa kalen kok gini banget sih pengen cekek jadinya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Derita Istri Tak Diinginkan   Penolakan Melvin

    “Ya!” Kalimat itu akhirnya keluar dari mulut Thania—sebuah pengakuan yang sederhana, namun sarat makna dan menyentuh kalbu."Aku takut kehilanganmu, Melvin," ucap Thania lirih, seolah ia tidak ingin mengulanginya, tetapi juga tidak ingin disalahpahami.Melvin terpaku di tempatnya, jantungnya berdegup lebih cepat. Ia tahu bahwa selama ini Thania adalah perempuan yang kuat dan jarang menunjukkan sisi lemahnya, terlebih ketika berkaitan dengan perasaan.Dan sekarang, ketika kalimat itu benar-benar terucap, rasanya seperti ia baru saja mendapatkan udara segar setelah tenggelam begitu lama.Ia menatap istrinya, perempuan yang telah melalui begitu banyak hal bersamanya. Wajah Thania tampak tenang, namun dari sorot matanya, jelas terlihat kekhawatiran yang mendalam.Bukan hanya karena penyakit yang baru saja Melvin alami, melainkan lebih dari itu—karena sikap Melvin yang cenderung ceroboh dan abai terhadap kesehatannya sendiri."Melvin, aku mohon, jangan bertindak gegabah lagi. Kau boleh saj

  • Derita Istri Tak Diinginkan   Kau Takut Aku Pergi Selamanya?

    Dua hari kemudian, Melvin akhirnya pulang ke rumah setelah dirawat di rumah sakit akibat dehidrasi dan komplikasi lambung yang cukup serius.Hembusan udara rumahnya sendiri terasa jauh lebih menenangkan dibanding bau disinfektan dan suara monitor detak jantung yang selama ini menghantui tidurnya di rumah sakit.Ketika langkah-langkahnya memasuki rumah, meski masih sedikit goyah, senyum bahagia tak bisa disembunyikan dari wajahnya.“Akhirnya, aku bisa istirahat di rumah,” gumamnya lirih, lalu menjatuhkan tubuhnya ke sofa ruang tengah dengan napas lega.Ia menyandarkan punggungnya perlahan, berusaha tak membuat gerakan mendadak karena perutnya masih terasa nyeri. “Meski tidak bisa melakukan apa pun, tapi setidaknya aku sudah tidak berada di lingkungan yang sangat tidak aku sukai,” lanjutnya seraya memejamkan mata sebentar.Thania yang duduk tak jauh darinya, mengamati setiap gerakan Melvin dengan seksama. Tatapan matanya penuh perhatian dan sedikit khawatir, tapi ia mencoba menutupinya

  • Derita Istri Tak Diinginkan   Terlalu Berpikir Jauh

    “Apa… maksudmu, Thania?” tanya Melvin dengan suara yang nyaris berbisik. Suaranya terdengar patah, seakan ucapannya ditahan oleh kepanikan yang baru saja muncul.Tatapan matanya memburu ke arah wajah istrinya, memohon kejelasan. Jemarinya yang semula menggenggam tangan Thania, kini sedikit bergetar, mencerminkan kecemasan yang menyeruak tiba-tiba.Thania menatap wajah Melvin tanpa menghindar. Sorot matanya tenang, namun mengandung kedalaman emosi yang sulit dijelaskan. Ia menarik napas pelan sebelum mulai berbicara.“Andai saja Mama dan Papa tidak membujukku, mungkin aku sudah pergi ke pengadilan dan menceraikanmu, Melvin.” ‘Suaranya terdengar jujur, tanpa drama, tapi justru itulah yang membuat hati Melvin seketika hancur. “Aku hanya lelah… hanya butuh waktu sendiri dan memberimu pelajaran karena sudah menghamili Joana.”Kalimat itu terasa seperti peluru yang mengenai dadanya tanpa peringatan. Melvin langsung duduk lebih tegak, seakan ingin memperjelas bahwa ia tidak akan membiarkan

  • Derita Istri Tak Diinginkan   Berniat untuk Berpisah Denganmu

    “Davian! Kapan aku pulang? Aku sudah bosan ada di rumah sakit,” keluh Melvin, suaranya terdengar geram namun juga lemah.Ia duduk bersandar di ranjang rumah sakit, selimut setinggi pinggang, mengenakan pakaian pasien berwarna hijau pucat yang sama sekali tidak cocok dengan karismanya sebagai seorang eksekutif muda.Wajahnya sedikit pucat, matanya sayu, tapi sorotnya masih tajam—terutama saat melihat Davian memasuki ruang rawatnya sambil membawa tablet dan stetoskop menggantung di leher.Adik bungsunya itu tampak santai, namun tetap profesional, mengenakan jas dokter putih dengan nama bordiran yang menunjukkan statusnya sebagai salah satu dokter muda yang berprestasi di rumah sakit itu.Davian menghampiri dengan langkah ringan, meletakkan tablet di meja samping dan mulai mengecek monitor infus serta tekanan darah.“Kondisimu masih belum pulih seutuhnya, Melvin. Mungkin dua sampai tiga hari lagi baru bisa pulang,” ucapnya datar tanpa banyak basa-basi.Melvin mendesah kasar, suara napasn

  • Derita Istri Tak Diinginkan   Keputusan Nadya

    “Kalen. Ada yang ingin aku bicarakan denganmu.” Nadya menghampiri Kalen dengan langkah pelan namun mantap. Wajahnya tampak letih, meskipun riasan tipis masih melekat rapi di wajahnya.Ia menghentikan langkah beberapa meter dari suaminya yang baru saja menggantung jasnya di gantungan di dekat pintu masuk.Kalen menoleh, alisnya sedikit bertaut melihat wajah Nadya yang tampak gelisah. Ia baru saja tiba di rumah setelah seharian mengurus laporan penangkapan Jesika, dan kini ia dihadapkan pada kecemasan lain.“Ada apa, Sayang?” tanyanya, suaranya rendah namun penuh perhatian.Nadya menundukkan wajahnya sejenak, menarik napas panjang sebelum menatap suaminya dengan sorot mata yang jernih namun penuh beban.“Aku tidak mau Thania pisah, Kalen.” ucapnya lirih, seolah butuh kekuatan besar untuk mengeluarkan kalimat itu.Kalen mengangkat alisnya, sedikit terkejut dengan kekhawatiran itu. “Siapa juga yang ingin mereka pisah, Sayang?” balasnya. “Lagi pula, aku rasa, Thania sudah memaafkan Melvin.

  • Derita Istri Tak Diinginkan   Akhirnya Siuman

    Kelopak mata Melvin perlahan terbuka setelah dua hari lamanya tidak sadarkan diri. Pandangannya masih kabur. Ia memicingkan mata, menoleh perlahan ke kanan dan kiri, mencoba mengenali di mana dirinya berada.Kepalanya terasa berat, tubuhnya lemas. Ia sempat mengerutkan kening, merasa waktu telah berjalan tanpa ia sadari.Sudah dua hari ia tak sadarkan diri.“Melvin?” bisik sebuah suara lembut, penuh kelegaan dan ketulusan.Thania duduk di sisi ranjang, tangan lembutnya menggenggam erat tangan Melvin. Tatapannya sayu, namun mengandung hangat yang dalam.Matanya sedikit merah karena kurang tidur, namun sinarnya penuh syukur karena pria yang dicintainya akhirnya membuka mata.Melvin mengalihkan pandangan ke arah suara itu. “Thania ….” ucapnya lirih. Suaranya terdengar serak dan lemah. Ia batuk pelan, refleks mengangkat tubuhnya, berusaha duduk meski tubuhnya belum kuat.“Jangan dulu bangun, Melvin. Kau masih sakit,” ucap Thania cepat, menahan bahu suaminya dengan kedua tangannya. Sentuha

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status