Share

Bab 3

Nayla masuk ke dalam kamar dengan semangatnya yang hilang entah kemana. Berdiri ia menghadap ke nakas, melihat foto berbingkai yang terpajang di sana. Tiga tahun berlalu, Nayla masih saja setia dan hidup seperti orang bodoh untuk seseorang yang bahkan belum tentu mengharapkannya lagi. Bertahan, berharap, dan menanti. Hari-harinya ia habiskan untuk sesuatu yang percuma, dan tentunya belum pasti. 

Ia merasa benar-benar bodoh, dan merasa ditipu. Mungkinkah kepergian pria itu hanya untuk menghindarinya? Iya, itu mungkin saja. Dua tahun menjalani hubungan dengan Nayla, bisa saja pria itu bosan. Ingin mengakhiri hubungan, tapi tidak tega dengan Nayla yang terlihat berharap akan dirinya. Hingga pergi tanpa sebuah kabar, dan tidak kembali menjadi jalan yang pria itu tempuh. 

Nayla melangkah dengan kebencian, juga kekecewaan menuju nakas. Menutup foto berbingkai itu hingga melihatkan bagian belakangnya saja. Nayla menghela nafas beberapa kali mengurangi rasa sesak yang seketika menghampiri. Bahunya bergerak naik turun saking sulitnya ia bernafas. 

Perlahan ia memejamkan mata. Membuka mata itu perlahan, lalu membalikkan foto berbingkai itu hingga memperlihatkan sisi depannya yang memperlihatkan gambar Nayla dan Damas yang tengah tersenyum lebar di sana.

"Argh!"

Nayla melempar bingkai foto itu ke dinding. Sampai kaca foto itu berubah menjadi serpihan-serpihan kecil. Nayla lantas menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangan. Menangis terisak kemudian. 

"Ada apa, Nay?" tanya Midar, bunda Nayla. Wanita itu berlari menuju kamar Nayla saat mendengar suara benda pecah dari kamar putri semata wayangnya itu. Ia terkejut saat melihat Nayla menangis tersedu-sedu, dan lebih terkejut lagi saat melihat Nayla melempar fotonya dan Damas ke dinding sampai bingkai foto itu tidak lagi berbentuk. Bunda Midar masuk ke dalam kamar. Duduk di samping Nayla lalu mengusap punggung gadis itu perlahan. "Kenapa, Nay?" tanyanya lagi. 

Nayla menarik tangannya turun. Ia lantas bersandar dibahu Bunda Midar dan meneruskan tangisnya di sana. 

"Menangislah, Nak," kata Midar mengusap lengan atas Nayla, "kamu bisa cerita kalau kamu merasa udah siap."

"Jahat! Pembohong!" seru Nayla dalam isakan tangisnya, "Nayla udah nggak percaya lagi sama dia, Bun .. Nayla nggak mau nunggu dia lagi."

Bunda Midar mendorong Nayla untuk melihat wajah putrinya itu. "Kenapa? Hm?" tanyanya sembari menangkup kedua sisi wajah Nayla. 

"Bunda pasti tau sendiri apa alasannya."

"Ibarat main air, kamu udah terlanjur basah ... jadi kenapa sekarang baru menyesal?"

Nayla diam. Tampaknya kebodohan itu bukan hanya disadari oleh Alga saja, ternyata Bunda Midar juga mengetahuinya. Meski pun begitu tidak sekali pun wanita itu menjatuhkan harapan Nayla, melainkan memberikan semangat untuknya. 

"Sebenarnya Bunda nggak tega liat kamu begini, sayang ... tapi karna itu pilihan kamu, Bunda nggak mau ikut campur," tambahnya. 

Nayla kembali menjatuhkan tubuhnya dalam pelukan Bunda Midar, menangis lagi. "Tiga tahun aku nungguin dia. Tapi waktu selama itu kayaknya nggak ada harganya buat dia," lirihnya mengusap wajahnya, namun tetesan berikutnya kembali membasahi wajahnya, "Nayla bodoh, ya, Bunda?" tanya Nayla menatap wajah Bunda Midar. 

"Nayla nggak bodoh," Bunda Midar berucap lembut, "cinta memang terkadang membutakan mata seseorang ... dan Nayla salah satu contohnya."

"Tapi Nayla masih ngarepin Damas, Bunda," lirih Nayla kembali dalam pelukan Bunda Midar, "Nayla berharap Damas kembali dan minta maaf karna udah buat Nayla nunggu lama."

Bunda Midar menghela nafas. "Bunda nggak bermaksud buat adu domba kamu sama Damas," ucapnya sebelum memulai kalimat yang menurutnya penting, "mungkin saja, Damas memiliki alasan tertentu ... tapi menurut Bunda, komunikasi antar pasangan itu perlu. Terlebih lagi, saat jarak sudah memisahkan. Nggak bisa kita hanya mengandalkan perasaan, karna perasaan itu bisa saja salah."

Nayla memalingkan wajah sembari memejamkan mata, menahan air matanya agar tidak lagi tumpah. 

"Jadi Nayla harus gimana, Bunda?" tanya Nayla, "kalau harus menyerah, rasanya Nayla belum siap ... tapi di satu sisi, Nayla juga capek."

Bunda Midar mengusap lengan atas Nayla. "Tanyakan itu sama hatimu, Nak," ucapnya penuh perhatian, "apa pun nantinya pilihanmu, Bunda tetap hargai. Dan yang paling penting," Bunda Midar meletakkan telapak tangannya di sisi kanan wajah Nayla. "Bunda mau kamu bahagia."

Nayla tersenyum merasa terharu akan perhatian Bunda Midar. Bersyukur di saat-saat tersulit baginya masih banyak orang yang memberikan cinta dan perhatian. 

Nayla berpikir ingin mengakhiri semuanya. Cinta, penantian, harapan. Nayla ingin mengakhiri semuanya. Tapi di sisi lain ada perasaan tak rela yang mengganggu.

"Ya udah, kamu istirahat aja, ya, tapi sebelum itu mandi dulu ... biar serpihan itu Bunda yang ngerjain."

"Makasih, Bunda," Nayla tersenyum. Perlahan ia bangkit dari duduknya. Meraih handuk yang tergantung di samping dinding kamar mandi lalu masuk ke kamar mandi untuk melakukan ritual bersih-bersih.

Nayla keluar dari kamar mandi tidak lagi mendapati Bunda Midar berada di kamarnya, begitu pun dengan serpihan-serpihan kaca yang berserak akibat perbuatannya. Nayla menghela nafas, merasa bersalah pada Bunda Midar karena ikut merasakan apa yang sedang ia alami. 

Untuk beberapa saat Nayla bersiap-siap di dalam kamar. Ia kemudian keluar dan menghampiri Bunda Midar dan juga sang Ayah -- Fadil, yang tampak akan menikmati makan malam. 

"Loh, nggak jadi istirahatnya, Nay?" tanya Bunda Midar, meletakkan mangkok sayuran ke atas meja lalu duduk berdampingan dengan Ayah Fadil. 

"Enggak, Bunda, nanti aja," sahut Nayla sembari duduk di atas kursi berhadapan dengan sang Ayah. 

Nayla menyendok makanan ke atas piring. Bukannya menikmati makan malamnya, Nayla malah sibuk melirik sang Ayah. 

Menyadari tatapan sang Putri, Fadil menoleh lalu bertanya. "Kenapa, sayang?"

Nayla menunduk menatap piring di depannya. Untuk beberapa saat ia merasa bingung, namun dalam detik berikutnya Nayla mengangkat kepala. Tidak lagi melirik, melainkan saling bertatapan sekarang. 

"Ayah nggak pengen nanya sesuatu sama, Nay?" tanya Nayla. 

"Nanya apa, ya?" Ayah Fadil tampak berpikir, "uhm ... kamu gajian kapan, Nay?" tanyanya. 

Nayla berkerut kening. Bukan pertanyaan itu yang ia harapkan. Tapi pertanyaan lain. 

"Tanggal 5," sahut Nayla begitu saja. Ayah Fadil manggut-manggut. Nayla semakin bingung saja. "Ayah nggak mau nanya hal lain? Maksudnya, nggak ada yang mau ayah tanya lagi?"

Ayah Fadil kembali berpikir. "Nggak ada, deh, kayaknya," sahutnya.

Nayla menghela nafas. Semakin merasa bersalah saja. Tidak mungkin Ayah Fadil tidak mengetahui masalah yang Nayla hadapi. Jika pun sang Ayah tidak tau, Bunda Midar pasti akan memberitahukan pada pria itu. Tapi yang membuat Nayla bingung, tidak ada satu tanggapan pun dari pria itu. Bersikap biasa saja, itu yang pria itu lakukan. 

"Nayla mau nyerah, Yah," kata Nayla membuat Ayah Fadil menatapnya. "Nayla nggak mau berharap lagi sama sesuatu yang nggak pasti."

"Kamu yakin?" tanya ayah Fadil setelah memandang wajah Nayla dan berpikir beberapa saat. 

"Belum, Yah ... tapi, Nay, bakalan berusaha lebih baik dari sebelumnya."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status