Home / Rumah Tangga / Desahan yang Didengar Anakku / Bab 4 Mengintai Dari CCTV

Share

Bab 4 Mengintai Dari CCTV

Author: Miss_Pupu
last update Last Updated: 2024-05-16 14:41:48

Mas Dani nampak mengerutkan dahinya. Namun raut wajahnya seketika berubah setelah membaca berkas yang kuberikan tadi.

"Dari mana kamu mendapatkan ini, Tari?" Tanpa terlihat gugup Mas Dani bertanya lagi padaku.

"Tak perlu tanya dari mana aku mendapatkan bukti kesehatan itu. Aku ingin penjelasan dari kamu, Mas. Apa yang sedang kamu sembunyikan dariku?" tegasku.

Namun bukannya menjawab, kulihat bola mata Mas Dani nampak berkaca-kaca. Dia membatu dalam beberapa detik sambil mengedip-ngedipkan kelopak matanya seolah tengah menahan air mata.

"Kenapa diam, Mas? Tolong jelaskan! Itu adalah hasil pemeriksaan kesehatan satu minggu lalu. Tertera dengan jelas mengenai kondisi ginjalmu yang sehat, tapi kenapa kemarin kamu—"

"Cukup, Tari!" sentak Mas Dani memotong kalimatku. Ini adalah kali pertama dia membentakku.

"Hasil pemeriksaan ini palsu. Aku sengaja memalsukan karena urusan pekerjaan. Kamu pikir, investor mana yang sudi bekerja sama dengan manusia penyakitan seperti aku hah?!" terangnya.

"Apa! Palsu?" Aku menelaah wajah Mas Dani dengan seksama. Apa Bastian yang telah membohongiku.

"Iya. Aku tahu, berkas ini dari Bastian 'kan?" Mas Dani bertanya dengan tegas. Aku mengangguk pelan sambil menunduk. Aku seakan tak bisa mengelak.

"Sudah kuduga, Tari. Bastian ingin menghancurkan karirku. Aku sudah susah payah membuat berkas kesehatan palsu ini demi perusahaan kita. Jauhi Bastian, karena jika tidak, kamu akan termakan oleh tuduhannya."

Entah kenapa penjelasan Mas Dani sore ini membuatku langsung percaya. Setiap kalimat yang kelur dari mulutnya membuatku selalu yakin mengenai kejujurannya.

Hingga pada akhirnya, aku yang meminta maaf pada Mas Dani atas kekeliruan ini. Mungkin karena aku terlalu mencintainya hingga tak rela melihat suamiku kesakitan.

Aku pun tak lagi mendengarkan tuduhan Bastian pada Mas Dani. Aku memilih menjauhi Bastian agar tak menimbulkan prasangka buruk.

Setelah satu minggu berlalu Mas Dani mulai kembali ke kantor. Pagi ini bahkan kami sibuk menyiapkan berkas-berkas yang harus dibawa. Ketika aku menghampiri Meysa di kamarnya, putriku masih saja terdiam di atas ranjang.

"Mey, kok belum siap-siap? Mama akan antar kamu ke sekolah," tanyaku pada Meysa. Aku segera duduk di sampingnya.

"Ma, aku tak bersemangat." Putri kecilku menurunkan tatapannya.

"Loh! Kenapa?" Seketika dahi ini mengkerut.

Meysa membeku dalam beberapa detik hingga akhirnya dia kembali bicara. "Aku mau di rumah saja mijitin Papa."

"Tak usah, Mey. Papa sudah sehat tak usah kamu pijitin," balasku.

"Papa masih sakit, Ma. Kemarin Papa dipijitin Mba Santi sampai merintih lagi." Meysa terkekeuh.

Aku menggelengkan kepala. Sepertinya Meysa salah paham lagi. "Dipijitin dimana, Mey? Papa 'kan gak suka dipijit," bantahku lagi.

"Kemarin, Ma. Setiap sepulang sekolah aku sering melihat Papa dipijitin sama Mba Santi. Tapi gak lama pintunya di tutup lalu Papa merintih kesakitan."

Degh! Cerita apa lagi yang dimaksud Meysa? Entah kenapa napas ini tiba-tiba terasa sulit dikendalikan.

"Mungkin Meysa salah lihat. Dimana Papa dipijit Mba Santi?"

Masih berusaha menepis sebab rumah ini terpasang CCTV dan aku tak pernah mendapat rekaman yang aneh-aneh.

"Di kamar Mba Santi," jawab Meysa dengan cepat.

Area kamar Santi memang tak terjangkau kamera CCTV dan aku baru menyadari itu. Aku memijat pelipis. Kekeliruan kemarin baru saja selesai, kini Meysa mengatakan cerita barunya. Anak sekecil Meysa terasa mustahil untuk berdusta. Namun harus tetap tabayyun. Harus mencari tahu fakta yang sesungguhnya.

Meysa tetap aku antar ke sekolah setelah berusaha dirayu. Ketika aku dan Mas Dani telah sampai di kantor. Kami berdua masuk ke ruangan masing-masing hingga tak lagi banyak bercakap.

Pekerjaanku sedikit terganggu akibat masih memikirkan cerita anakku. Maka saat jam makan siang tiba, aku bergegas menemui Mas Dani di ruangannya.

"Nanti malam ya sekali lagi."

Aku menunda mengetuk pintu saat suara manja Mas Dani terdengar dari dalam ruangannya. Dengan siapa Mas Dani berbicara? Aku yang penasaran segera menempelkan daun telinga pada pintu.

"Tidak akan pernah ada yang tahu termasuk Tari."

Suara Mas Dani kembali terdengar manja. Namaku disebut dalam percakapan. Dadaku menggebu penuh rasa penasaran. Dengan siapa Mas Dani berbicara.

"Bu Tari, sedang apa?"

Suara sopran mengagetkanku di depan pintu. Seketika terperanjat kemudian memperbaiki cardigan sekedar mengalihkan perhatian.

"Tidak sedang apa-apa," jawabku sedikit gugup. Sekertaris Mas Dani itu mengukir senyum tanda tanya padaku kemudian masuk ke ruangan Mas Dani.

Ah sial! Kegiatan menguping ini tak bisa dilanjutkan. Aku pun membuntuti langkah sekertaris muda itu kemudian duduk di kursi yang berseberangan dengan Mas Dani.

Sebelum kedatanganku bersama Laura, di ruangan ini hanya ada Mas Dani. Bisa dipastikan Mas Dani baru saja berbicara lewat telepon dengan seseorang. Apa dia ada main dengan sekertarisnya?

Tatapan ini melirik nanar pada Laura—sekertaris suamiku.

"Ibu Tari, mengapa menatap saya seperti itu?" Laura nampak menyadari tatapanku.

"Tidak apa-apa. Pekerjaan kamu selalu bagus, saya harap kamu selalu bekerja dengan baik dan tak mengecewakan saya," ucapku dengan tegas pada Laura. Gadis itu memang cantik, bisa saja Mas Dani tergoda padanya.

"Tentu saja, Bu Tari." Laura kembali tersenyum. Tampak ramah dan selalu sopan. Setelah ia me menyerahkan berkas ke atas meja Mas Dani, gadis itu keluar usai berpamitan untuk makan siang.

"Tar, kok bicara kamu seperti itu pada Laura? Dia tak pernah macam-macam loh. Jangan menyinggung perasaannya." Tiba-tiba Mas Dani menegurku.

Saat ini hanya ada aku dan Mas Dani di ruangan ini.

"Aku hanya bicara apa adanya, Mas. Kerja Laura memang bagus. Maka dari itu aku memujinya," elakku.

"Tapi aku rasa ada yang lain dari nada bicara kamu." Rupanya Mas Dani mampu menerka kecurigaanku padanya.

"Tidak ada maksud apa-apa, Mas. Sudahlah tak usah dibahas lagi. Aku menghadap karena ada yang ingin aku sampaikan pada kamu, Mas." Aku segera mengalihkan perbincangan sebab ada yang lebih penting lagi yakni mengenai rencanaku.

Mas Dani menatapku. Menunggu ungkapan dariku.

"Aku akan pergi ke Bali dalam dua hari, Mas," ungkapku akhirnya.

Mas Dani nampak menrerutkan dahi. "Untuk apa? Bukankah tidak ada pekerjaan di sana?" Ia nampak ragu.

"Ada kepentingan dengan keluargaku, Mas. Semalam sepupuku menelepon. Ada proyek yang meminta persetujuanku," dalihku.

Mas Dani manggut-manggut sambil menarik sudut bibirnya ke bawah. Sepertinya dia tak percaya tapi aku terus berusaha meyakinkannya hingga Mas Dani memberikan izinnya.

"Oke. Bagaimana dengan Meysa?" tanya Mas Dani memastikan.

"Meysa akan aku bawa. Sekalian jalan-jalan, Mas. Aku berangkat nanti sore." Aku semakin antusias.

"Oke." Mas Dani mengiyakan.

Setelah mendapatkan izin, aku langsung pulang lebih cepat. Pukul 3 sore aku sudah sampai di rumah dan meminta Santi mengemas beberapa pakaian yang akan aku bawa.

"Santi, tolong belikan alat-alat mandi di mini market depan komplek," titahku yang segera dilaksanakan Santi. Gadis itu pergi dan aku segera melancarkan aksi.

Dua orang pria berseragam hitam, masuk ke dalam rumahku untuk memasang kamera CCTV di kamar Santi dan ruangan belakang dekat kamar mandi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 117 Gelora di Malam Pertama

    "Mama memang selalu memberikan kejutan." Bastian berkata dengan wajah semringah. Sepertinya dia menyukai lokasi berbulan madu yang diberikan mamanya."Kamu menyukai Turki?" Aku pun bertanya tanpa memalingkan tatapan ke arah yang lain."Aku sangat menyukai negara Turki. Itu negara favoritku sejak kecil," jawabnya sambil menganggukan kepala."Maukah kamu pergi ke sana denganku?" imbuhnya."Tentu saja, Bas." Aku menjawab segera.Bastian semakin terlihat melebarkan senyumnya. Sebelah telapak tangannya kembali mengusap pipiku dengan lembut. Sungguh kelembutan usapan tangannya bagaikan aliran listrik yang seketika membuat isi dadaku berdebar tidak karuan."Bas, aku mau mandi dulu ya." Aku pun segera meminta izin. Lagi pula, pakaian pesta pun belum sempat kuganti. Walau pun acara seharian tadi tak membuat tubuhku berkeringat tetap saja aku tidak percaya diri jika tak membersihkan terlebih dahulu.Bastian pun menganggukkan kepalanya. Dia masih tersenyum. Sementara aku segera beranjak dari tem

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 116 Hari Pernikahanku

    Sepasang manik ini meneteskan bulir bening, ketika Bastian turun dari tempat duduk kemudian menekuk lututnya di hadapanku. Posisi duduknya seperti tengah memohon padaku."Maukah kamu menikah denganku?" Bastian bertanya padaku dengan tatapan mendalam.Mana bisa aku menolak. Kepala ini segera mengangguk. Terharu dan sangat bahagia."Aku mau," jawabku segera.Laksana kemarau panjang yang diterpa hujan, aku dan Bastian saling melempar senyuman penuh rasa haru dan bahagia.Harapan yang pernah menjadi sebuah angan-angan semata, kini sudah terlihat di depan mata. Bastian benar-benar akan menikahiku. Meski ini bukanlah pernikahan yang bertama, tapi debaran yang luar biasa terasa menghujam jantungku.Setelah lamaran singkat pagi itu, Bastian benar-benar mempersiapkan lamaran yang sesungguhnya. Seperti hari ini ketika weekend dan libur kerja, aku diajak Bastian ke sebuah butik ternama di Jakarta Pusat. Bastian memilah berbagai gaun sebagai contoh untuk aku kenakan nantinya. Dia memilihkan gaun

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 115 Jatuh Cinta Lagi

    Satu hari setelahnya, pagi-pagi sekali kendaraan Bastian sudah terparkir di depan rumahku. Tak kusangka dia terlihat seantusias itu.Begitu pintu utama kubuka lebar, Bastian langsung menyeringai senang. Dia mengukir senyuman ketika menatapku."Selamat pagi, Tari. Maaf kalau aku kepagian," sapanya begitu manis."Iya sih, untuk apa datang pagi-pagi begini? Padahal mentari baru saja muncul," sindirku."Karena aku ingin menagih janji penjelasan dari kamu," jawabnya antusias."Tapi apa kamu sudah sarapan, Bas?" Aku memastikan terlebih dahulu.Bastian pun langsung menggelengkan kepalanya. "Belum. Aku berharap bisa numpang sarapan di sini," katanya sedikit bergurau. "Itu pun kalau kamu tak keberatan," sambungnya.Bibir ini seketika melebar sendiri. Aku tersenyum bahagia mendengar gurauan Bastian pagi ini. Ya Tuhan, aku memang selalu jatuh cinta padanya."Tentu saja boleh, Bas. Kebetulan sekali aku sudah masak nasi goreng," balasku.Lagi-lagi Bastian pun menyeringai senang. "Mau banget," kata

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 114 Tatapannya Berbinar

    "Siapa yang meninggal?"Aku bertanya-tanya sendirian. Mematung terkejut dalam beberapa detik. Kelopak mata pun sampai lupa untuk berkedip. Gegas aku keluar dari kendaraan. Di depan rumah Bastian nampak banyak sekali orang-orang yang memakai pakaian hitam masuk ke dalam rumah mewah nan besar itu. Sepertinya akan melayat. Dadaku bergetar resah. Menoleh ke kanan dan ke kiri, tak ada seorang pun yang bisa kuajak bicara. Semua orang nampak sibuk keluar masuk rumah mewah milik Bastian.Kedua kaki ini hendak masuk, namun seketika harus tertahan tatkala melihat beberapa mobil pick up membawa karangan bunga masuk ke halaman rumah Bastian.Aku harus segera membaca tulisan pada karangan bunga yang baru saja datang, guna mengetahui siapa yang meninggal di rumah Bastian saat ini.Dan ternyata, yang meninggal adalah nenek dari Bastian. Ya Tuhan, kasihan sekali. Bastian pasti sangat berduka.Kemudian aku mengedarkan pandangan, hendak mencari seseorang yang bisa kutanya.Satpam. Pria berseragam secu

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 113 Siapa Yang Meninggal?

    "Kapan mereka datang? Rasa-rasanya saya tidak mendengar deru mobil atau pun bell berbunyi." Gegas aku bertanya pada Santi."Mungkin ketika ibu berada di kamar mandi, makanya tak kedengaran suara mobilnya," kata Santi.Napas di dalam dada terasa resah. Setelah memakai pakaian yang rapih, aku keluar dari kamar guna menemui Reyno dan mamanya di ruang tamu."Selamat siang!" Aku menyapa kedua tamuku yang sudah duduk di ruang tamu."Siang, Tari." Mamanya Reyno nampak mengukir senyum padaku. Tapi tidak dengan Reyno.Wajah Reyno nampak ditekuk. Bibirnya menggaris lurus tanpa senyuman yang biasanya dia tampilkan di depanku.Gegas aku duduk di sofa yang berseberangan dengan mereka, di ruang tamu rumahku."Bagaimana keadaan kamu sekarang, Tar?" Mamanya Reyno langsung bertanya padaku.Aku pun berusaha mengukir senyum pada wanita paruh baya di depanku itu. "Sudah sedikit membaik, Tante," jawabku pelan."Syukurlah." Mamanya Reyno yang ramah nampak menghela napas lega.Namun begitu pandangan beralih

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 112 Ibu Yang Bijaksana

    "Tapi apakah Tari mencintai kamu? Masa iya, wanita yang hendak menikah malah turun berat badannya. Wajahnya sampai pucat. Sakitnya malah belum sembuh-sembuh begini. Harusnya calon pengantin itu bahagia, wajahnya bersinar. Ini malah sebaliknya." Suara mamanya Reyno terdengar protes."Aku mencintai Mba Tari, Ma. Tolong jangan persulit keadaan."Jelas terdengar di telingaku, Reyno dan mamanya seperti tengah beradu argumen. Aku tetap memilih diam dan menutup mata. Enggan untuk menimpali mereka berdua."Mama ingin bicara berdua dengan Tari. Tolong kamu keluar sebentar." Sepertinya mamanya Reyno terdengar meminta."Bicara apa, Ma? Mba Tari 'kan masih tidur." Reyno terdengar enggan menuruti permintaan mamanya."Keluar sebentar, Rey. Mama mohon. Mama ingin bicara berdua dengan Tari." Mamanya Reyno kembali meminta."Baiklah, Ma. Tapi aku harap, mama jangan bicara yang aneh-aneh. Aku akan tetap menikah dengan Mba Tari, karena aku mencintainya."Suara langkah kaki meninggalkan ruangan kamarku. S

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 111 Menjelang Pernikahan

    "Lestari... Saat kamu membaca surat ini, mungkin aku sudah di dalam pesawat dalam perjalanan menuju Singapura. Untuk waktu yang cukup lama, aku akan tinggal di sana atas permintaan mamaku guna mengurus bisnis keluarga. Aku minta maaf seandainya tak bisa hadir pada pesta pernikahanmu nanti, bukan karena tak merestui, tapi memang ada kendala. Meski pahit, aku merelakanmu bersama Reyno. Aku akan selalu berdo'a pada Tuhan akan kebahagiaanmu. Karena melihatmu bahagia merupakan kebahagiaan bagiku pula. Jangan pernah menangis sendirian di tepi danau, aku tak rela melihat kesedihanmu tumpah sendirian di sana. Salam hangat. Bastian."Setelah membaca surat dari Bastian, air mataku kembali menetes. Napasku lagi-lagi terasa sesak karena isi dada yang kembali terasa sakit.'Bas, kamu benar-benar pergi. Aku minta maaf, Bas. Aku tak bisa menahan niatmu meninggalkan Indonesia,' lirihku dalam hati. Tangisanku kembali tumpah ruah seperti kemarin sore di tepi danau.'Oh, Bastian. Maafkan aku.' hati ini

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 110 Surat Dari Bastian

    "Masih apa?" tagih Bastian."Ah, bukan apa-apa." Aku mengelak. Menggelengkan kepala."Bastian, aku juga berharap, semoga kamu mendapatkan jodoh terbaikmu," imbuhku.Kami berdua saling berbalas tatapan mata dalam beberapa detik hingga akhirnya menyudahinya."Meski pun yang aku rasa hanya kamu jodoh terbaikku, tapi Tuhan pemilik kuasa," katanya. Bastian kemudian bangkit dari tempat duduk. "Aku pulang ya. Kamu juga harus segera pulang sebab ini sudah sore. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Jaga diri baik-baik. Walau pun aku sudah tak berhak menerima kabar darimu, tapi aku akan merasa bahagia jika kamu masih ingin memberi kabar padaku," lanjutnya."Aku pamit." Setelah pamit, Bastian melangkah, hendak meninggalkanku. Namun baru beberapa langkah saja dia malah menjedanya. Bastian kembali menoleh padaku."Oh ya, Tar. Aku melupakan sesuatu. Aku memang berniat akan datang ke acara pernikahanmu, tapi di waktu yang sama, aku harus pergi ke Singapur dalam jangka waktu yang tak tentu. Ji

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 109 Kesedihanku

    Hari berganti. Begitu cepat waktu berputar. Lamaran yang meriah telah terlewat begitu saja. Semua keluarga Reyno telah menghadiri acara yang tak pernah aku inginkan. Tak ada satu pun dari keluarga Reyno yang tak setuju denganku. Semua menyukaiku, termasuk mama papanya. Entah apa yang mereka sukai dariku yang hanya seorang janda.Saat ini, tepat satu minggu sebelum acara pernikahan dengan Reyno. Aku duduk sendirian di tepi danau. Seperti biasa, saat merasa sedih, aku akan selalu datang ke danau yang itu.Di sebuah kursi besi berwarna putih di sana aku duduk sendirian. Tak ada lagi tangisan yang luruh, kecuali saat melihat wajah Bastian.Aku memandang cincin bermatakan batu berlian di jari manisku. Berkali-kali kuusap dan kutatap. Kilauannya tak lantas membuat bibirku merekah. Nyatanya bibir ini masih saja menggaris lurus.Dalam hati risau memikirkan satu minggu yang akan datang, yakni hari pernikahanku. Semua ini nyata, sepertinya aku memang benar-benar akan menikah dengan Reyno. Pria

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status