Aku lebih banyak diam selama satu jam perjalanan dari Den Haag menuju Lisse, aku menjadi salah tingkah saat berada di dekat Coksa.
Bus yang melesatkanku dan Coksa tiba pukul 20:27 di Lisse. Langit belum sepenuhnya gelap, jingga masih menggantung di langit saat aku dan Coksa berjalan kaki menuju penginapan. Olahraga ringan sore itu cukup menutupi wajah memerahku karena tersipu dengan ucapan dan perlakuan Coksa beberapa jam lalu.
Keesokan harinya aku dan Coksa tidak menunda-nunda perjalanan. Setelah menyelesaikan urusan penyewaan mobil, Coksa menjemputku di penginapan. Sayangnya, tempat yang paling ingin aku kunjungi hanya bisa dipandangi dari luar.
Keukenhof hanya dibuka setahun sekali, antara minggu terakhir bulan Maret sampai pertengahan bulan Mei. Dan aku terlambat menikmati keindahan Keunkenhof. Menurut Coksa, waktu terbaik untuk berkunjung ke tempat ini di pertengahan musim semi, awal bulan Mei. Sedangkan saat ini sudah memasuki musim panas di awal bulan Jul
Bandara kecil di kotaku yang juga kecil tetap menampilkan suasanan yang sama. Lebih sering sunyi. Kesibukan hanya mengisi bandara kecil ini ketika ada jadwal kedatangan dan keberangkatan pesawat yang tidak pernah lebih dari lima kali dalam sehari.Aku dijemput Bang Ridwan dan Allisya seperti biasa.“Kamu enggak sekolah?” tanyaku heran pada Allisya yang sudah bergelayut manja dalam gendonganku.“Allisya mau jemput Tante,” ucapnya senang.“Dia sudah maksa untuk ikut beberapa hari lalu, jadi enggak bisa ditolak,” keluh Bang Ridwan seraya memasukkan koperku ke bagasi.Kami langsung meluncur ke rumah Kak Dinah dan menjemput Dian yang baru saja pulang sekolah.Keponakan laki-lakiku itu sudah biasa ditinggal sendiri saat ayah dan ibunya bekerja. Jadi Bang Ridwan memutuskan untuk menjemputnya dan mengantar kami bertiga ke rumah Bang Ridwan.Kak Dinah dan suaminya bisa menyusul setelah mereka pulang ke
“Tolong bantuannya lagi, ya. Dila,” ucapku pada Dila yang kali ini mengantarku ke bandara.“Santai aja, Mbak. Seperti pesan Mbak Kana, kalau pekerjaan dijalani dengan perasaan senang dan tidak menjadikannya beban, maka tidak ada kata lelah,” sahut Dila.“Kalau lelah istirahat, Dila. Jangan diteruskan juga kalau capek, kamu tetap jaga kesehatan, ya.” Aku mencoba mengingatkan Dila, takut dia jadi ikut kelelahan.“Siap, Mbak. Mbak Kana tenang aja, nanti kerjaan biar Dila yang pegang dulu selama Mbak Kana liburan. Jangan lupa oleh-oleh buat Dila, ya,” canda Dila yang sekarang sudah bisa bicara santai denganku.“Itu enggak akan lupa kok,” balasku.“Hati-hati, Mbak Kana. Semoga liburannya lancar.” Dila melambaikan tangan sebelum kami berpisah di pintu keberangkatan.Dua jam empat puluh lima menit kemudian aku tiba di Bandar Udara Internasional Changi Singapura pukul setengah d
Stasiun Kereta Hua Lamphong penuh, gerbong kereta yang akan membawaku ke Chiang Mai sudah terparkir, beberapa menit lagi akan bergerak meninggalkan Bangkok. Setelah proses penukaran dan pemeriksaan tiket selesai, aku mengambil langkah untuk segera meletakkan barangku yang lumayan banyak karena sudah ditambah berbagai oleh-oleh.Kereta akan bergerak menuju Chiang Mai lima menit lagi, aku sudah mendapatkan kamar kecil sebagai tempat istirahat sementara selama perjalanan malam yang aku ambil menuju Chiang Mai.Tepat pukul enam sore kereta mulai bergerak, aku memesan dua tiket untuk first class sleeper agar tidak harus berbagi dengan penumpang lain. Cukup menguras kantung, tetapi pilihan ini lebih aman daripada aku harus berbagi dengan penumpang lain.Baru lima menit kereta bergerak, pintu kamar diketuk. Seorang petugas menawarkan menu makanan yang bisa aku pilih untuk dihidangkan sebagai sarapan besok pagi. Berselang beberapa detik kemudian, pintu kembali diketuk,
Chiang Mai memasuki musim penghujan saat aku tiba. Puncak musim penghujan di Chiang Mai terjadi saat bulan September, seperti sekarang. Aku tidak memeriksa kenyataan musim ini dan baru tahu fakta tersebut saat di Singapura.Ada beberapa tempat wisata yang ingin aku kunjungi harus dibatalkan, salah satunya ke Baan Khun Chang Kian. Lagi-lagi perjalananku kali ini kurang persiapan, karena aku melakukannya dengan terburu-buru.Aku akhirnya hanya terperangkap di penginapan dan toko buku saat memutuskan memenuhi kebutuhan perut. Aku pergi ke The Booksmith untuk melihat-lihat buku dan makan siang di kafe kecil The Booksmith.Buku yang dijual The Booksmith kebanyakan buku non fiksi, yang berfokus pada seni, desain dan arsitektur. Seketika aku jadi teringat pada Aldari. Kali ini benar-benar teringat oleh hal yang sangat dia sukai. Aku segera mengalihkan perhatian dengan memesan makanan untuk makan siang.Langit Chiang Mai masih terus mengeluarkan bulir-bulir hujan
Kondisi tubuhku semakin hari semakin lemah saja, saran Dokter Acha yang memintaku untuk beristirahat total menurutku sedikit membuat tubuhku tersiksa. Aku sudah terbiasa bekerja sampai larut malam, saat kebiasaanku itu mulai dirubah, tubuhku malah menjadi letih. Atas saran dari Dokter Acha jugalah aku harus membuat Kak Jovanka yang menemuiku di sebuah rumah makan cepat saji di dekat apartemen. Untungnya suami dan anak Kak Jovanka mau diajak kerja sama. Siang nanti aku akan menemui Kak Jovanka dan keluarga kecilnya untuk membicarakan ide novel ketiga yang tiba-tiba mendesak dalam kepalaku saat bangun di rumah sakit di Chiang Mai beberapa waktu lalu. “Bagaimana kabarmu, Kana?” sapa Kak Jovanka ketika kami akhirnya bertemu kembali. “Baik, Kak,” sahutku saat dipeluk oleh Kak Jovanka. “Suami dan anak Kakak di mana?” tanyaku saat hanya menemukan Kak Jovanka di meja makan si salah satu rumah makan cepat saji. “Mereka main di sana.” Kak
Aku menghela nafas berat saat panggilanku ditolak untuk yang kelima kalinya hari ini. Setelah penolakan yang Bang Ridwan layangkan, aku tidak berani menghubungi Kak Dinah atau Kak Maya untuk melanjutkan perjuanganku mendapatkan izin pergi ke Bangkok.Perjuanganku masih tertahan di Bang Ridwan, aku mencoba untuk mengkomunikasikan lagi perizinanku, membuat kalimat sehalus untuk membujuk Bang Ridwan. Belum juga kalimat-kalimat itu aku layangkan, Bang Ridwan malah menolak panggilanku, padahal aku menghubunginya di waktu senggang.Tidak kehabisan akal, setelah dua minggu panggilanku diabaikan Bang Ridwan, aku meminta mohon kepada Dokter Acha untuk menghubungi Bang Ridwan saat jadwal konsultasi rutinku di rumah sakit. Tidak sampai lima detik, panggilan dari Dokter Acha sudah diangkat oleh Bang Ridwan.“Iya. Halo, Dok. Apa terjadi sesuatu pada Kana?” burunya dengan suara khawatir.“Halo, Pak Ridwan. Maaf kalau mengganggu, aku diminta Kana untuk
Achara benar-benar tidak berbohong tentang tempat tinggalku yang sangat dekat dengan kantor Lifenovel di Bangkok. Jarak tempat tinggal sementaraku di Bangkok dengan kantor Lifenovel hanya berjarak tiga menit dengan kecepatan pelan menggunakan mobil milik Achara. Sungguh tempat tinggal yang sangat strategis.“Aku jamin, kamu tidak perlu berjalan terlalu jauh untuk pergi ke kantor, kurang lebih lima menit dengan berjalan kaki,” ujar Achara saat kami sampai di depan sebuah bangunan.“Apartemenmu hanya sepuluh menit dengan berjalan kaki untuk mencapai taman di dekat jembatan. Beberapa karyawan di Lifenovel juga memilih tinggal di sekitar sini, karena tempatnya sangat dekat dengan tempat kerja, tempat makan, plus lintasan lari yang sangat nyaman di taman Rama VIII,” urai Achara menjelaskan tentang lingkungan tempat tinggalku.“Terima kasih untuk bantuanmu, Achara,” sahutku saat mobil Achara memasuki area parkir sebuah bangunan tiga
Perjalanan liburanku ke Chiang Mai sudah di depan mata. Aku sudah menaiki bus yang membawaku ke bagian utara Thailand tepat pukul tujuh malam waktu setempat.Selama di perjalanan, aku sibuk mencari informasi tambahan untuk tempat-tempat yang belum aku sambangi saat kunjungan pertamaku di Chiang Mai. Aku mencari rekomendasi dari blog-blog perjalanan. Ulasan para travel blogger bisa sangat membantu untuk orang awam sepertiku.Rekomendasi agen bus yang aku tumpangi ini juga berasal dari salah satu blogger asal Indonesai. Harga tiket bus memang lumayan menguras tabungan. Aku perlu mengeluarkan sekitar delapan ratusan TBH hanya untuk sekali jalan. Untungnya, fasilitas yang diberikan memang sesuai.Bus hanya diisi oleh dua puluh kursi, dengan perjalanan malam selama sepuluh jam, pilihan transportasi satu ini bisa jadi pertimbangan. Setelah kelelahan mempersiapkan keberangkatan ke Chiang Mai, akhirnya tubuhku minta diistirahatkan.Saat bus meninggalkan Bangkok,