Selena dengan kesal melihat kertas yang diberisikan nomor ponsel lelaki tersebut, nama saja sampai sekarang dia tidak tahu malah menyuruh dia untuk menghubungi pria itu. Selena ingin membuang ketempat sampah nomor ponsel pria itu tapi dia ragu akhirnya menyimpan kertas berwarna kuning tersebut.
"Lena ayo kita pulang," kata Oliver yang tiba-tiba sudah berada di belakang Selena.
"Yaa ampun Oliver, kamu mengagetkan aku," ujar Selena mengelus dadanya.Di dalam mobil Oliver, Selena hanya diam. Pikirannya masih mengingat kejadiannya di hotel dan direstoran tadi.
"Lena untung saja yang nabrak mobilku mau bertanggung jawab jika tidak mama pasti akan memarahiku," ujar Oliver.
"Iya." "Maaf yaa sayang karena kejadian tadi merusak makan malam kita, aku berjanji akan menebusnya sabtu malam besok." "Ga apa-apa Oliver."Mereka kembali diam, Selena ingin menanyakan tentang kejadian malam itu.
"Oliver, kamu menunggu aku dikamar hotel nomor berapa kemarin?" tanya Selena.
"Eeh iya.. kamar nomor berapa ya aku lupa," jawab Oliver dengan gelisah. "Kamu kenapa? Kok jadi seperti itu?" "A-aku ga apa-apa Lena, aku menunggu dikamar hotel sampai pagi. Semuanya demi kamu," ujar Oliver gugup. "Apa kamu benar benar menungguku?" "Tentu saja sayang malah aku tertidur di kamar hotel dan berharap kamu datang," "Maaf." "Sayangku, aku tidak masalah. Mungkin kamu masih ragu padaku," ujar Oliver berbohong.Selena hanya tersenyum mendengar perkataan Oliver. Dia ragu untuk menanyakan hal yang lainnya.
"Lena, kamu baik-baik saja kan, sayang? Kamu jangan khawatir Lena aku ga marah kok. Aku mencintaimu sayang," ujar Oliver begitu mereka tiba di apartement Selena.
Selena hanya membalas dengan anggukkan kepala, dia ragu untuk mengucapkan kata cinta pada Oliver.
Selena masih memikirkan semua yang terjadi, kenapa pria itu selalu muncul dihadapannya dan membuat dia kehilangan konsetrasi. Bayangan-bayangan pria tersebut berusaha dia lupakan, dia tak ingin mengingat malam yang sangat dia sesali seumur hidupnya.
"Kenapa kehidupanku bisa seperti ini," ujar Selena lirih.
"Apa aku harus memutuskan hubunganku dengan Oliver? Aku tak sanggup bila harus bertemu dengannya lagi." Bulir-bulir air mata jatuh di pipi Selena.Begitu berat beban hidupnya, dia hidup sendirian di ibu kota. Tidak memiliki keluarga kandung dan tak ada yang memperdulikannya. Veronica hanya dia lah yang peduli dan mengerti Selena, hanya Veronica lah sahabatnya dari dia sekolah dulu yang ada untuknya sampai sekarang.
Selena teringat saat dia mengabari Veronica, tentang dia tiba di ibu kota.
Flashback
Selena menghubungi ponsel Veronica.
"Jadi kamu datang kesini?" ujar Veronica.
"Iya Ve. Aku akan pindah ke Jakarta." "Apa kamu sudah memiliki tempat tinggal?" "Belum Ve." "Tinggallah di apartemenku, Lena." "Aku tidak ingin merepotkanmu, Ve." "Apaan sih, tidak merepotkan. Pokoknya kamu harus tinggal bersamaku! kalau kamu tidak betah, kamu bisa pindah." "Terima kasih, Ve."Setelah sebulan Selena berkerja di Johanson Grup, dia memutuskan untuk pindah dan mencari apartemen sendiri. Dia tidak enak jika harus tinggal terlalu lama di apartemen Veronica.
Awalnya Veronica tidak memperbolehkan Selena pindah dari apartemennya.
"Tinggalah disini lebih lama, Lena," ujar Veronica.
"Maaf, Ve. Aku tidak enak terus merepotkan kamu." "Selena Handoko, kita bersahabat dari jaman sekolah dulu. Aku sama sekali tidak merasa direpotkan kok. Aku senang membantumu, kamu kan sahabatku." "Terima kasih, Ve. Terima kasih sudah mau menjadi sahabatku." "Aku juga terima kasih, Lena. Kamu memang sahabat terbaikku."Selena tersenyum, dia merasa beruntung ada Veronica yang membantunya, saat dia mengalami kesulitan. Dia banyak berhutang budi pada Veronica, dia bertekat jika ada kesempatan. Dia akan membalas semua perbuatan baik yang telah Veronica lakukan padanya.
************
Oliver sudah tiba dirumahnya dan disambut Merry dengan pandangan tak suka.
"Kamu masih menemui Selena!" ujar Merry.
"Mama, aku mencintai Selena dan Selena juga mencintaiku. Tolong mengerti tentang perasaanku" jawab Oliver. "Tapi jika Selena tau perbuatanmu, apa kamu pikir dia akan tetap mencintaimu?" tanya Merry dengan senyuman mengejek pada putranya. "Selena akan mengerti ma, aku melakukan ini semua karena terpaksa," ujar Oliver lirih. "Bahkan saat dia sudah tak perawan lagi kamu masih mau bersamanya?" "Ma... aku tidak mempermasalahkan Selena perawan atau tidak perawan, karena yang aku cintai diri Selena apa adanya. Aku terpaksa menjual keperawan Selena bukan karena keinginanku." "Jadi kamu menyalahkan mama atas semua yang terjadi, kamu ini anak mama Oliver. Mama yang mengandung dan membesarkanmu," ujar Merry berpura-pura menangis. "Maafkan aku mama. Jangan menangis lagi, ma." Oliver tidak tega melihat ibunya menangis. "Jika kamu memang seperti ini, mama menyerah padamu, Nak. Lakukanlah apa yang kamu inginkan tapi sampai kapan pun mama tidak akan merestui hubunganmu dengan Selena." "Ma setelah kita melakukan menjualnya dan mendapatkan keuntungan darinya sekarang mama bersikap seperti itu padanya?" "Mama tidak peduli itu nasib sial Selena bukan kesalahan mama."Oliver hanya bisa diam, dia sangat dilema sekarang satu pihak ada perasaan bersalah pada Selena dan dipihak lain ibunya tidak menyukai Selena. Dia memang salah telah menjual keperawan Selena untuk kepentingannya sendiri. Dia membutuhkan uang dengan cepat untuk menutupi hutang-hutang ibunya dengan terpaksa melakukan hal tersebut dari pada ibunya masuk sel tahanan.
Oliver menyesali telah melakukan hal tersebut pada Selena dan ingin bertanggung jawab atas kesalahan yang dia lakukan. Dia memilih untuk bersikap tidak tahu apapun tentang kejadian yang menimpa Selena.
Oliver berpikir kalau dia akan bersikap seperti tidak tahu apapun kalau Selena sudah tidak perawan. Dia berharap Selena tidak akan mencurigai dirinya yang telah menjual Selena. Dia adalah dalang yang sebenarnya yang telah menjual keperawanan kekasihnya sendiri, Selena.
"Maafkan aku Lena," ujar Oliver lirih.
Keesokan harinya... Selena akan berangkat untuk berkerja, dia memasak sarapannya sendiri. Dia terbiasa melakukan semua hal sendiri, tapi dia masih lebih beruntung dari pada harus dirumah keluarga Handoko. Keluarga yang selalu memperlakukannya seperti asisten rumah tangga. "Aku harus selalu bersyukur atas apa yang ku capai sampai hari ini tidak boleh mengeluh." Selena berusaha menyemangati dirinya sendiri. Selena berangkat ke kantor menggunakan transportasi online, dia belum mampu membeli kendaraan pribadi. Begitu tiba di kantor, Selena heran melihat beberapa temannya berkumpul seperti sedang mendiskusikan sesuatu atau lebih tepatnya sedang bergosip. "Hei ada apa? kenapa? Ada gosip apakah ini?" tanya Selena dengan penasaran. "Eeh, Lena kamu udah datang, sini gabung. Ada berita terbaru tentang bos kita," ujar Riana salah satu teman Selena di kantor. "Bos kita? Maksudmu bu Serly?" tanya Selena yang masih kebingungan. "Aduuh, non bukan bu Serly, tapi CEO yang baru katanya
Selena merasa resah sendiri, dia sekarang berada di depan pintu Devano. Flashback "Selena, kamu keruangan saya." Serly, manager keuangan. "Iya bu," jawab Selena. "Kamu melakukan kesalahan apa tadi?" tanya bu Serly penasaran. "Saya melakukan apa yaa bu?" Selena balik bertanya. "Kalau saya tahu, tidak mungkin bertanya sama kamu. Kamu yang seharusnya tahu di mana letak kesalahan kamu." Selena terdiam, apa tingkah lakunya tadi mencurigakan? Sehingga Devan menyadari dirinya padahal dia sudah berusaha untuk menghindari Devan. "Sekarang kamu di panggil ke ruangan CEO. Saya harap kamu tidak melakukan hal yang salah dan memalukan divisi keuangan," ujar Serly dengan tegas. "Iya bu." "Kamu mempunyai kinerja kerja yang bagus dan merupakan karywan andalan saya. Saya berharap kamu di panggil ke ruangan CEO bukan untuk di pecat." "Terima kasih bu." Flashback off "Kamu kenapa hanya diam disitu, kamu sudah di tunggu sama tuan Devan." Perkataan Andi menyadarkan Selena yang
Selena akan pulang kantor tak sengaja bertemu Oliver yang sudah menunggunya di depan kantor tersenyum melihat Selena. "Aku antar pulang yaa," sapa Oliver dengan ramah. "Aku ingin pulang sendiri saja, ga perlu kamu jemput." Selena sedang tak ingin bertemu Oliver, dia masih sakit hati dengan Marry ibu Oliver. "Lena jangan begini... kenapa kamu berubah sayang." Oliver menarik tangan Selena. "Tolong lepaskan tanganku, Oliver," ujar Selena menghentakan tangan Oliver. Selena berlalu pergi dari hadapan Oliver tapi saat dia akan pergi sebuah mobil berhenti didahapannya. Selena bingung mobil siapa yang berada di depannya. Kaca mobil perlahan terbuka dan ternyata Devan melihatnya dengan tajam. "Masuk," perintah Devan. "Ga mau," ujar Selena cuek. "Tuh, pacarmu menuju ke arahmu," ujar Devan. "Selena... Selena," panggil Oliver. Selena mendengar suara Oliver, dia ingin menghindari Oliver. Dengan cepat dia masuk ke dalam mobil Devan. Oliver terdiam melihat Selena masuk ke dalam
Devan mengantarkan Selena pulang keapartementnya. "Pikirkan perkataanku tadi yaa... aku ingin kamu menjadi kekasihku," ujar Devan sambil mengedipkan sebelah mata pada Selena. "Aku tidak ingin memikirkan perkataanmu tadi, aku ga mau jadi kekasihmu,"sahut Selena dengan cuek. "Sampai jumpa lagi di kantor Selena." Selena menghela napasnya, akhirnya Devan pergi juga dari hadapannya. Selena memilih untuk tidak menghiraukan perkataan Devan, dia yakin Devan hanya ingin menikmati tubuhnya saja dan tidak memiliki perasaan padanya. Oliver kembali datang ke apartement Selena, dia sangat kesal Selena pergi meninggalkan dengan seorang pria. Dia harus meminta penjelasan pada Selena siapa pria yang tadi bersama dengannya. "Lena buka pintunya, aku tau kamu di dalam. Aku melihatmu turun dari mobil pria itu," teriak Oliver sambil menggedor gedor pintu apartemen Selena. Selena sangat kesal pada Oliver tapi dia juga tak tega pada laki laki itu. Musibah yang terjadi padanya di jual oleh Me
Veronica sangat sedih Devan memutuskan hubungan mereka hanya karena hal sepele. Apakah salah jika dia ingin mengejar cita-citanya sebagai pelukis? Dia juga merasa heran, bukannya Deva dulu tertarik padanya saat dia sedang melukis, tapi kenapa sekarang semua berbeda. Veronica menjadi kekasih Devan, walau harus selalu melayani napsu besar laki-laki tampan tersebut. Gaya Devan bercinta yang selalu liar dan berganti-ganti gaya dengan kejantanannya yang besar dan berurat menjadi kesukaannya. Seharusnya Devan mendukungnya dalam meraih impiannya menjadi seorang pelukis terkenal bukan malah memutuskan hubungan mereka. Di saat dia gundah ingin sekali menghubungi Selena, tapi berkali-kali dia menelepon sahabatnya tak kunjung juga ada jawaban. Dia berpikir mungkin saja Selena sedang sibuk dan lagi bahagia dengan kekasihnya, Oliver. Apa yang dipikirkan Veronica tentang Selena tidak sepenuhnya benar. Gadis itu menjadi lebih baik emosionalnya setelah dia mengungkapkan segalanya pada Oliver. Dia
Selena tetap pada pendiriannya berhenti kerja di Johansson Group. Sudah 3 hari ia mencari kerja, tapi sampai sekarang belum juga mendapat pekerjaan. Hampir 20 perusahaan ia melamar pekerjaan dan hasilnya ditolak. Ia yakin itu semua merupakan intervensi dari Devan yang memang sengaja membuatnya tidak mendapatkan pekerjaan dan harus kembali ke Johansson Group. Hari sudah menjelang malam, mau tak mau ia harus kembali ke apartemennya. Ia tetap tidak mau menyerah untuk mencari pekerjaan besok. Begitu tiba di apartemen, ia terkejut ada Devan di depan pintu unit kamarnya. Ngapain nih orang ke sini? Apa mau ganggu aku lagi. Selena berkata dalam hatinya."Selamat malam, Selena," sapa Devan dengan tersenyum kecil. "Malam. Ngapain Pak ke apartemen saya?" tanya Selena ketus. "Mau ketemu kamu." "Tapi saya ga mau ketemu Pak Devan. Sudah Pak pulang saja jangan ganggu saya." Selena mengusir Devan dengan lambaian tangannya. "Hmm… Aku mau nangih hutang ke kamu." Selena mengernyitkan dahinya mend
Sepanjang hari Devan menunggu kedatangan Selena, tapi tak kunjung datang wanita yang harus menjadi sekretarisnya. Ia sangat kesal sampai-sampai belum pulang jam kerja langsung ke apartemen Selena. Berkali-kali Devan menekan bel pintu apartemen Selena, tapi tak juga ada yang membukanya. "Apa Selena nyari kerjaan lagi ya," ucapnya kesal. "Dia memang wanita yang sangat keras kepala." Devan sangat kesal keluar gedung apartemen Selena dan bertepatan gadis itu masuk ke dalam gedung dengan wajah pucat. "Sel, kamu kenapa?" tanya Devan khawatir keadaan Selena. "Aku ga apa-apa," ucap Selena lemas. "Kamu dari mana? Apa kamu sakit?" "Ga, aku ga sakit." "Aku akan mengantarkanmu ke rumah sakit." "Ga usah. Aku udah beli obat mau istirahat aja. Sudah sana kamu pulang aja." Devan bersikeras tidak mau pulang dan ingin menemani Selena di apartemennya walau Selena telah mengusirnya, bahkan berkali-kali mengusirnya. "Baru kali ini aku ketemu orang ga tau malu," ujar Selena dengan kesal."Terima
Devan bangun di pagi hari yang cerah, dia semangat untuk berangkat kerja. Dia sudah tak sabar untuk bertemu Selena."Selamat pagi nenekku sayang," sapa Devan dengan senyuman terukir indah di wajahnya yang tampan."Selamat pagi juga cucu ku sayang," balas Marlina nenek Devan merasa cucu nya tidak seperti biasanya ."Aku berangkat dulu yaa nek.""Kamu kenapa kok berbeda dari biasanya Dev?""Ga ada apa-apa nek, memang ga boleh aku menyapa nenek," ujar Devan sambil berlalu pergi dari rumah mewah Marlina.Setelah Devan pergi, Marlina makin curiga, ini bukan Devan. Cucu kesayangannya tak akan seperti sekarang. Dia akan menyelidiki apa yang membuat Devan berubah seperti sekarang.Devan menyuruh Andi melajukan mobil dengan cepat, dia ingin menjemput Selena agar wanita itu tidak memiliki alasan lagi pergi kerja.Selena memutuskan untuk berangkat kerja, dia tak ingin kejadian kemarin malam terulang lagi. Dia ketakutan dengan amarah Devan yang tidak bisa dia pungkiri membuat dirinya menjadi trau