"Selamat ya Mas, kamu memang pantas mendapatkan ini, karena kamu memang. Chef terbaik, " puji Aya tulus, saat Dafa memberitahu jika dirinya menjadi Chef terbaik di acara festival itu. "Terima kasih, sayang. Ini aku persembahin buat kamu, Karena kamu. Aku bisa mendapatkan penghargaan ini,""Kok aku Mas?" Aya bertanya kebingungan. "Kamu adalah semangat aku, Kamu juga yang selalu dukung aku,"Ayana mengulas senyum manis, menggengam tangan Dafa. "Sudah menjadi kewajiban, seorang istri. Memberi dukungan untuk suaminya, Mas." ucap Aya menggunakan bahasa isyarat dengan satu tangan. "Aku bangga, punya suami sepertimu. Mas. Begitu pun, orang tua Mas di Indonesia, aku yakin Bapak paling bangga."Benar juga, akhirnya dia bisa membuktikan jika pilihannya untuk menjadi juru masak tidak salah, yang terpenting baginya. Ia bisa membanggakan mendiang Ibunya di sana, itu adalah salah satu impiannya juga yang sangat ia ingin lakukan. "Iya sayang, aku bisa buktikan. Kalau pilihan aku nggak salah,"
Dafa sudah tidak bisa lagi, menolak permintaan Aya untuk pulang ke Indonesia, setelah menghabiskan waktu selama seminggu. Ayana sudah merengek meminta segera pulang, wanita itu sudah tidak betah dan juga sudah sangat rindu negaranya sendiri. Hidup di negara orang, sungguh menyiksa dirinya. Dan saat ini keduanya baru mendarat di bandara internasional Soekarno-Hatta. Jantung Dafa berdetak cukup kencang ketika mereka menuju pulang ke apartemen miliknya, rencana untuk pindah rumah usai pulang dari Inggris, batal. Lantaran pembangunannya belum selesai. Di kerena kan kendala, dari pihak properti. Dafa hanya khawatir, ketika sampai di apartemen, ternyata ada Rama yang sedang berada di sana, Dafa menarik napas berpikir sejenak, seharusnya dia tak boleh tkut dan khawatir, ia tak boleh menjadi pria lemah dan pengecutyang tak bisa melindungi istrinya. Dafa harus bisa menjaga Aya apapun yang terjadi nanti. Ternyata bukan hanya Dafa yang berdebar hatinya, Aya pun tak kalah tegang. Dia belu
Hari ini, Dafa sengaja membawa Aya ke tempat restorannya, pukul setengah tujuh ia sudah keluar dari apartemen. Mencegah Aya bertemu dengan Rama, tiba di restoran Dafa menggandeng istrinya ke arah dapur. "Selamat pagi_" sapa Dafa sedikit berteriak. Semua karyawan tersebut menoleh, seketika berdiri tegak memberi hormat pada atasannya. "Selamat Pagi. Pak Dafa," kompak mereka menjawab. "Selamat ya Pak, bisa mendapatkan penghargaan, Pak Dafa memang chef terbaik." ucap Yeni salah satu karyawannya. "Terima kasih, ini juga berkat doa dan dukungan dari kalian,""Baiklah, untuk merayakannya. Saya berniat untuk membuka restoran hari ini, setengah hari saja. setelah itu, kalian boleh pulang. Karena besok saya ingin mengajak kalian liburan ke pulau seribu, satu hari full di sana." "Jadi pagi ini, kalian harus semangat bekerja hingga siang nanti, Oke. SEMANGAT!!" Dafa sedikit berteriak sambil bertepuk tangan, memberi semangat pada seluruh karyawannya. Tentu mereka senang, mereka bergegas me
Memastikan Rama sudah pergi, Dafa mendorong pelan tubuhnya, sedikit menunduk memastikan kondisi sang istri. "Dia sudah pergi, sayang. Kamu nggak apa-apa kan?" Masih sedikit bergetar, Aya menganggukkan kepalanya. "Mau masuk sekarang, atau nanti." tanya Dafa lagi. Ayana melihat kondisi luar yang sudah sepi. "Kemana perginya dia Mas?" tanya balik Aya. "Nggak tau, tapi dia pergi naik mobilnya.""Kalau gitu, kita masuk aja." putus Aya yang mengajak Dafa masuk ke apartemen. Dafa menurut, ia turun lebih dulu dari mobilnya lalu mengintari mobil tersebut untuk membukakan pintu Aya. Sepanjang perjalanan naik ke lantai atas, Aya tak melepaskan diri dari pelukan Dafa, perempuan itu terus menempel. Ia takut tiba tiba muncul Rama di depannya. Barulah, saat sudah masuk kedalam apartemen, Aya bisa bernapas lega. Dafa mengambilkan air mineral untuk Aya. "Di minum, biar tenang." Aya tak membantah perintah Dafa. Ia segera meneguk air mineralnya hingga sisa setengah. "Maaf Mas," ucap Aya dengan
"Saya dan seluruh teman-teman, mau ngucapin terima kasih, Pak. karena Bapak mau mengajak kami liburan bersama," ujar salah satu karyawan Dafa. Mereka sudah selesai menghabiskan waktu di pantai, dan saatnya kembali, kerumah. "Sama-sama, Maaf. Saya ngajak liburannya masih di kota Jakarta aja, tapi kalau kalian kerjanya lebih semangat lagi, dan restoran ataupun cafe kita semakin maju.""InshaAllah, kita akan liburan ke luar kota, bagaimana? setuju?" semua karyawan saling bisik dengan wajah berbinar. "Tentu Pak, kita akan jauh lebih semangat,""Tapi, Pak Maaf. Kalau boleh bertanya? apakah liburan kali ini, gaji kita di potong?" interupsi salah satu dari mereka. "Soalnya, tanggungan kita masih banyak Pak. Hehe_" cengir karyawan yang bernama Bagus. Dafa mengulum senyum, begitu pun Aya di sampingnya, wanita itu ikut tersenyum geli. "Kalian nggak usah khawatir, ini semua saya yang nanggung. Gaji kalian utuh tanpa di potong.""Alhamdulillah_" ucap syukur beberapa karyawan Dafa sambil meng
Bugh!Suara pukulan yang di berikan Rama kepada anak buahnya, begitu keras terdengar, sampai sudut bibir orang itu mengeluarkan cairan berwarna merah, orang itu meringis mengusap lukanya. "Kalian memang nggak guna!!" bentak Rama pada anak buahnya. "Maaf Bos, saya sudah berusaha. Tapi belum juga mengetahui keberadaan wanita itu." ucap anak buahnya, menunduk takut. "Banyak alasan! kalian memang bodoh! nggak pernah bisa di andalkan!" sentak Rama. "Mulai hari ini, kalian gue pecat!" tentu orang itu, tidak terima, dan berusaha membujuk. "Jangan bos, beri kita kesempatan lagi. Kita janji akan berusaha, tolong kali ini percaya pada kami." Rama menatap nyalang ke anak buahnya. "Lo pikir gue bego. Lo mau bohongin gue kan?""Nggak bos! saya janji. Besok atau besok lusa saya pasti bisa menemukan wanita itu!" janjinya menundukkan kepala berharap di beri satu kesempatan. Pria bertubuh kekar dan besar itu, sedang membutuhkan uang. uang yang Rama janjikan, membuatnya tergiur.Dia akan terus b
"Assalamu'alaikum," salam Dafa, ketika mereka sampai di rumah Tito. "Wa'alaikumsalam," jawab Tito meskipun pria itu belum membukakan pintunya. "Kirain nggak jadi datang," Dafa hanya memberi senyum. Menggandeng tangan Aya, memasuki rumah Tito yang tidak terlalu besar. "Maaf tapi ya, berantakan. Maklum tinggal sendiri,""Gue yang harusnya minta maaf, ganggu lo malam-malam." ujar Dafa tidak enak pada sahabatnya"santai, bro. lagian gue yang minta lo sama Aya di sini dulu untuk sementara,""Aya, lo di sini santai. soalnya nggak ada orang di sini, gue tinggal sendiri. anggap rumah sendiri,""Kalau gitu gue lama-lama di sini nggak masalah dong, atau kalau perlu nyewa deh.""Sembarangan! lo pikir rumah gue kontrakan." sungut Tito kesal. Dafa terbahak kencang, ia hanya berniat mengerjai sahabatnya itu, lagi pula. Ia tidak enak jika bukan karena Rama. Mana mungkin dia menginap di rumah sahabatnya itu, Dafa memutari matanya melihat keadaan rumah Tito, bangunan bercat putih bercampur biru
"Baru pulang?" Tito terlonjak kaget, pria itu baru saja masuk kedalam rumah lalu mengunci pintu, namun tiba tiba ada suara di belakangnya. "Bikin kaget aja lo Daf!" sentaknya jengkel sambil mengusap usap dadanya. Dafa mengabaikan Tito, pria itu baru saja dari dapur, membuat secangkir kopi, malam ini ia tidak bisa tidur. "Sampai kapan, lo kayak gini To." ujar Dafa prihatin pada sahabatnya yang tak mau berubah. "Sampai gue bisa, dapetin cewek yang benar benar gue cinta, sama kayak lo yang cinta mati ke Aya!" Dafa menghela napas lelah. Ia menaruh cangkir kopinya di atas meja, memperhatikan Tito yang sudah berbaring di sofa. "Biasanya nggak sampai jam segini?" tanya Dafa, mengalihkan pembicaraan. Dia tau, Tito kurang suka jika membahas masalah tentang perempuan. "Nah itu dia masalahnya," jawab Tito bersemangat, seperti Tito yang sebelumnya. "Kenapa?""Tadi gue ngirimin lo foto mantan suami, bini lo kan?""Ssst!!" Dafa mendelik menaruh telunjuknya di bibir sambil melihat kearah pint