Share

4. Sekaleng Soda dan Dermaga

"Cih, itu bukan sikap seorang laki-laki," ucap Dion begitu melihat wanita bertubuh pendek disakiti oleh satu laki-laki berbadan besar—Deren.

Ameer mengeluarkan uang koin dari kantong kain yang diikatkan di celananya. Ameer menyerahkan koin tersebut pada Dion—temannya.

Dion mengerutkan dahi. "Apa?" tanyanya.

"Belikan aku soda. Tapi dalam kemasan kaleng," pinta Ameer.

Dion mengantongi koin dan kembali bertanya. "Soda yang bagaimana? Ada banyak vari—"

"Apa saja, cepat!" potong Ameer.

Tidak lama kemudian Dion datang dengan dua kaleng soda. Dengan cepat tangan Ameer merebut satu kaleng soda, membukanya, lalu memaksa Dion menghabiskan soda tersebut.

"Cepat tendang ke arah pria itu," perintah si tampan berbisik.

Ameer melempar kaleng soda secara vertikal dan Dion menendangnya. Setelah melihat kaleng mengenai target dengan pelan Ameer mendorong punggung Dion.

"Hampiri sana, dia pasti ingin melihat pahlawannya," kata Ameer sedikit memuji. Tapi menurut Dion, kawannya tidak memuji.

Kemudian dia berjalan menjauhi jalan kecil tersebut sembari membawa kaleng soda yang masih belum terbuka. Walau pun bukan rasa soda kesukaannya, Ameer tetap meminumnya.

Langkah Ameer terhenti begitu teringat sesuatu. Lelaki muda itu balik badan dan berteriak, "Ingat, setelah itu langsung ke penginapan!"

Entah Dion dengar atau tidak, Ameer tidak peduli. Yang penting, ia sudah mengingatkan Dion. Di sisi lain, Dion mengusir Deren dan kawan-kawannya. Akibat kejadian tadi Ankaa menjaga jarak dari Dion yang jelas-jelas menyelamatkannya.

Kita tidak tahu isi pikiran manusia. Benar bukan?

Ankaa berjalan perlahan menuju jalan yang akan ditempuhnya. "Ekhem, aku harus segera pergi dan terima kasih telah membantuku," pamitnya langsung berlari pergi.

Dion tercengang. "Itu bukan reaksi yang kubayangkan!" kesalnya.

Dengan santai Ameer meneguk teh hangat yang disediakan oleh penginapan sembari menunggu kedatangan Dion. Ameer lumayan lama menunggu, sekitar satu jam yang lalu kalau tidak salah ingat.

"Pahlawan kita lama sekali sampainya," ejek si tampan pecinta pedang.

Dion memutar bola matanya, menghela napas sembari melepas sepatu. Terlalu malas menanggapi Ameer kali ini. Ameer tersenyum tidak jelas ke arah Dion. Tidak tahu saja perjalanan temannya ke penginapan tidak semulus bayangan Ameer.

Pemilik iris mata biru refleks membesarkan mata—bukan melotot tetapi lebih seperti orang yang kaget—lalu ia tertawa pelan. Dion berdecak, Ameer pasti menertawakan celananya yang sobek.

"Oh ... kau bertemu dengan siapa di jalan? Penggemar?" canda Ameer.

"Diamlah! Kalau bukan karenamu aku tidak akan salah jalan sampai bertemu orang gila, wanita yang tiba-tiba memarahiku tanpa alasan, dan gerombolan anjing peliharaan yang lepas. Ganas pula, kelaparan juga," sembur Dion.

Ameer tidak terlalu memedulikan perkataan Dion. Semenjak sampai di wilayah Timur, Ameer butuh hiburan dan Dion menjadi hiburannya hari ini.

"Wanita itu juga sama sekali tidak terpesona. Bahkan, kalau dilihat-lihat, sepertinya dia tidak butuh pahlawan siang bolong," tambah Dion.

Ameer menyeruput teh. "Ini pagi omong-omong."

Dion hampir melempar asbak ke arah Ameer. "Pantas saja kakak-kakaknya lebih memilih tinggal di wilayah lain," gumam Dion lalu pergi ke kamar mandi.

Mata indah Ameer menatap cairan teh. Tersenyum memikirkan sesuatu. "Aku adik kesayangan asal kau tahu."

**

Ankaa berlari ke kapal yang akan lepas jangkar. Sering kali ia tersandung karena tidak lihat jalan. Sebelumnya, Ankaa sudah mendatangi rumah Gite—temannya. Namun, rumah Gite sudah gelap dan terkunci. Dengan segera Ankaa berlari menuju dermaga. Dalam hati mengomeli kejadian di jalan tadi.

"Ankaa!" panggil seseorang.

Si empu menoleh dan menemukan kapten kapal yang tidak lain merupakan ayah dari Gite, Kapten Guo. Ankaa balas menyapanya dan menanyakan keberadaan Gite.

"Itu sebabnya aku memanggilmu. Gite sudah ada di dalam kapal dan aku menyuruhnya melakukan beberapa hal. Jadi, Gite menyuruhku menunggumu," jelas Kapten Guo.

Ankaa meletakkan tangan di depan—posisi sopan—dan berkata, "Maaf aku telat. Tidak ada maksud untuk melakukan itu. Saya hanya ingin mengembalikan ini," ia menyerahkan buku, "buku milik Gite yang saya pinjam."

"Baiklah, Ankaa. Aku sudah harus pergi. Sampai jumpa dua tahun lagi," pamit Kapten Guo mengangkat topinya tanda perpisahan dengan terhormat.

Ankaa balas membungkukkan badan lima belas derajat. Ia berdiri diam di dermaga sampai kapal Kapten Guo melayar. Ya, Kapten Guo termasuk kapten kapal laut yang sudah senior.

Tanpa sadar Ankaa mengusap pergelangan tangan. Saat lengan panjang itu dibuka, ia melihat pergelangan tangannya merah. Mungkin karena cengkraman laki-laki tadi. Pikir Ankaa.

Di tengah jalan Ankaa melihat ada orang yang keliling berdagang makanan tradisional suku Arconix. Ia membeli beberapa untuk Barron sebab makanan ini mulai jarang ditemukan.

"Saya dengar makanan ini susah dibuat. Sedikit terkejut melihat gadis sepertimu menjualnya," ucap Ankaa tiba-tiba.

Pedagang terkekeh. "Benar, memang susah dibuat. Aku mempelajari ini bertahun-tahun," balasnya.

Ankaa menerima bungkusan makanan. "Di mana kau mempelajarinya?" tanyanya penasaran.

Pedagang tersenyum lebar. "Aku diajari langsung oleh nenek, nenek diajari oleh ibunya, ibunya nenek diajari oleh neneknya, dan—"

"Oke, cukup, cukup. Aku harus pulang," potong Ankaa sebelum dia melanjutkan lagi.

"Selamat tinggal!" pamitnya.

Semilir angin berhembus menyapa pusat dagang tempat putri Kepala Suku Arconix berdiri. Ankaa menatap punggung gadis itu dan tersenyum tipis.

"Gadis yang lucu," gumamnya.

Tanpa sadar ada seseorang yang mendekati Ankaa dengan wajah panik. Tangannya menarik lengan atas Ankaa agar dia berhadapan dengan si penarik. Itu juga membuat Ankaa sadar dari lamunan—ia bahkan tidak sadar ternyata sedang melamun.

"Ankaa! Kepala suku tidak sadarkan diri!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status