Share

Bab 1

Author: Susan S
last update Last Updated: 2021-05-29 13:32:29

Jumat, 11 Januari.

Pukul 16.45 sore.

“Papah… Ibu bosan. Apa tidak ada kasus menarik yang sedang Papah tangani selain kasus pencurian sepeda motor dan pencurian spion mobil, seperti kasus pembunuhan berantai atau mutilasi misalnya?”

“Jangan bicara yang bukan-bukan, Bu. Seharusnya kita bersyukur tidak banyak tindak kejahatan. Ibu ini ada-ada saja.”

“Tapi Ibu bosan, Pah. Papah tahu sendiri, kan, otak Ibu harus diisi bahan bakar supaya bisa bekerja dengan baik.”

“Bagaimana kalau kita jalan-jalan? Besok dan lusa Papah libur. Ibu mau jalan-jalan ke mana, keluar kota?”

“Keluar kota dan harus pulang sendiri karena Papah dapat telepon dari kantor seperti yang sudah-sudah? Ibu tidak sudi.”

Aipda Zen Devano melipat koran pagi yang baru sempat dibacanya lalu meletakan begitu saja di sofa. Dia kemudian bangkit menghampiri perempuan yang tengah menyisir rambut di depan cermin meja rias. “Jadi, Ibu maunya apa?” tanya laki-laki bertubuh tinggi sempurna dan berkulit sedikit gelap itu sambil memeluk istrinya dari belakang dengan manja.

“Ibu ingin sesuatu yang mengasah otak. Semacam teka-teki atau apa sajalah yang rumit dan menantang untuk dipecahkan,” sahut perempuan muda berkulit putih bersih itu serius.

“Kalau begitu kita main mahyong. Bagaimana?”

“Apalagi itu, lebih membosankan. Papah sendiri tidak pernah menang melawan ibu lebih dari dua kali. Itu juga karena Ibu membiarkan Papah menang. Uh, Tuhan… semoga saja ada kasus hebat yang harus Papah tangani. Kasus yang rumit, mengasah otak, memacu adrenalin. Aku bosan. Rasanya seperti mau mati bosan begini.”

Aipda Zen mencium pipi kanan istrinya yang sedang mencercau untuk menenangkan. Dia mengerti dengan sangat baik penderitaan yang harus ditanggung wanita berusia dua puluh enam tahun yang memiliki nama lengkap Kanaya Susan Ollivia itu.  Kecelakan yang telah merenggut calon buah hati mereka membuatnya benar-benar terpuruk. Seolah semuanya belum cukup untuknya, sebulan kemudian dia di diagnosis mengidap ensefaletis atau peradangan pada jaringan otak yang membuatnya kehilangan sebagian besar ingatannya. “Kalau itu mau Ibu, tunggu dan bersabarlah. Dalam satu atau dua jam Tuhan pasti akan mengabulkan doa Ibu,” ujar Aipda Zen lama kemudian.

Susan mengerutkan kening menatap mata suaminya dari cermin. “Benarkah?” selidiknya.

“Tentu saja. Untuk apa Papah bohong ke Ibu?”

“Bagaimana Papah seyakin itu, maksud Ibu bagaimana Papah bisa tahu kalau Tuhan pasti mengabulkan doa Ibu?”

Aipda Zen memeluk istrinya lebih erat lalu berbisik, “Karena istri Papah ini memiliki hati yang baik. Tuhan tidak akan pernah mengecewakan orang yang berhati baik.”

“Meskipun doa Ibu itu sebenarnya jahat?”

“Ya, meski doa itu jahat Tuhan akan tetap mengabulkannya.”

Sadar dengan kebodohan yang dilakukannya seketika wanita bermata coklat tua itu membalikan badan. “Sekarang Ibu sudah nggak bosan lagi. Ayo, Pah. Kita ke balkon dan main mahyong sambil melihat matahari terbenam. Siapa yang kalah nanti harus makan mie rebus dengan dua puluh butir cabe rawit dan bawang.”

Aipda Zen tersenyum penuh arti dan sekali lagi mencium pipi kanan istrinya.

Sepuluh blok dari kediaman Aipda Zen, Inspektur Indra Kurnia sedang menekuni berkas laporan di meja kerjanya saat ponsel genggamnya berbunyi nyaring. Pria bertubuh gempal dengan tinggi sedang berusia empat puluh enam tahun itu meletakan kacamata bacanya. Sambil mengernyitkan dahi Inspektur Indra meraih ponsel. Nomor baru yang menghubunginya.

“Halo.”

“Halo, Pak Indra. Pak, ini saya Ibu Anik. Saya pinjam handphone orang ini, Pak. Saya mau melapor, ” sahut suara perempuan di ujung sambungan.

“Oh, Ibu Anik. Ya, Bu. Ada yang bisa saya bantu?”

“Ada mayat, Pak. Sudah busuk. Cepat ke sini.”

“Ibu posisi di mana?”

“Jalan Soekarno Hatta. Tidak jauh dari halte.”

“Baik, saya aka—” sambungan terputus.

Tanpa membuang waktu Inspektur Indra segera menghubungi anak buahnya, menugaskan mereka ke tempat kejadian perkara yang dilaporkan.

Aipda Zen menghela napas. Belum lima belas menit dia main mahyong sudah harus kalah telak dua kali.

“Ibu sudah bilang, kan,  Papah tidak akan menang kalau bukan Ibu yang mengalah.” Susan tersenyum penuh percaya diri.

“Permainan baru dimulai, Bu. Kali ini Papah yang akan menang. Papah punya ‘Angin’ dan dua ‘Pung’ dari naga. Ibu harus berhati-hati.”

“Oh, Ibu jadi takut sekarang. Eh, Papah tadi buang biji ‘Bambu’ atau ‘Bola?’ Ibu lupa.”

“Bola, Bu.”

“Oke. Ibu ‘Chow’. Papah harus bersiap-siap. Sebentar lagi Ibu pasti ‘mahyong’.”

“Tidak semudah itu, Bu. ‘Angin Timur lewat.’”

“Begitukah, Pak Aipda? ‘Pung!’ ”

 “Ibu lihat saja. ‘Delapan Bambu.’”

“Ah, Mahyong, tentu saja.”

Aipda Zen mengerang. Pura-pura kesal. “Ah, kalah lagi!”

Susan tertawa puas. “Jadi, Bagaimana? Apa Papah mau  melanjutkan permaian yang akan membuat Papah kalah lagi?”

“Siapa takut. Kali ini Papah yakin Papah yang menang.” Aipda Zen sambil menyusun kembali biji mahyong. “Ibu siap kalah sekarang?” namun, belum sempat Aipda Zen selesai menyusun biji mahyong dan memulai permain, ponsel genggamnya berdering.

“Siapa, Pah?”

“Pak Inspektur.”

Aipda Zen mengangkat telepon dan mendengarkan dengan cemas. “Siap… jalan Soekarno Hatta?... baik, Pak. Saya merapat segera.” Wajah tampan Aipda Zen mendadak berubah muram setelah menutup telepon. Dia menoleh ke istrinya. “Sekarang Ibu tidak perlu menunggu lebih lama lagi, Bu. Doa Ibu beberapa saat yang lalu sudah dikabulkan Tuhan.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ervin Warda
Uwah keren banget😍 Seru kak, semangat nulisnya💪
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Detektif Zen: Rencana Paling Sempurna   Bab 22

    Dia duduk di barisan depan gereja. Matanya terpejam erat dan tangannya dalam posisi berdoa. Dengan perlahan dia melepaskan diri dari ikatan dunia, dari belenggu tubuhnya. Alunan musik dan nyanyian yang naik turun mengikuti irama menghilang, menyisakan kesenyapan. Dengan gerakan refleks dia menundukkan kepalanya, sampai dagunya hampir menyentuh tangannya. Terus tenggelam semakin jauh, semakin dalam, hingga ke dasar. Lalu, dalam kehampaan, dalam kegelapan total itu, dia meminta izin kepada tuhannya. “tuhan, beri aku perlindunganmu untuk menjagal satu lagi babi persembahan. Berkatilah aku dalam tugas mulia ini, tuhan. Agar segala sesuatunya berjalan sesuai rencana.” Setelah berkata demikian dalam hatinya, dia mengangkat dagu. Membiarkan kembali dirinya terikat dunia, terikat tubuhnya. Membiarkan kembali telinganya di penuhi musik, kepalanya dipenuhi nyanyian. Dia kemudian tersenyum menatap patung Yesus yang tersalib sambil tangannya meraba, mencari rosario di tas kecilnya. Aku suda

  • Detektif Zen: Rencana Paling Sempurna   Bab 21

    “Baiklah, mari kita mulai penyelidikan ini dari pertama sekali,” kata Aipda Zen saat dia dan yang lainnya tiba di lokasi kejadian perkara yang hanya satu blok dari kediamannya setelah mereka selesai sarapan. “Bu, waktu Ibu dan Lina mendengar ledakan disusul sambaran api, apakah waktu itu posisi gembok pintu gerbang terbuka?” tanya Aipda Zen kepada istrinya.“Gembok itu terkunci. Tapi, sepertinya kuncinya rusak. Karena, saat Paullina membuka dengan paksa dengan menarik-narik dan memukul dengan batu kecil gemboknya terbuka.”Aipda Zen berjongkok mengamati bekas goresan di tepi gembok. Tiba-tiba Rindka ikut jongkok dan meraih gembok itu. “Mari kita coba, apakah gembok ini benar-benar rusak atau tidak,” ujarnya seraya menguncikan gembok hingga terdengar bunyi klik. Kemudian dia menarik-narik gembok tersebut sekuat tenaga dan memukulnya dengan batu yang menurut Susan digunakan oleh Paullina sebelumnya. Tapi nihil. Gembok itu t

  • Detektif Zen: Rencana Paling Sempurna   Bab 20

    “Oh, betapa mengerikannya zaman sekarang yang tidak lagi berperikemanusiaan ini,” kata Paullina saat membantu Susan mengupas bawang merah di dapur. “Kurasa dunia sebentar lagi kiamat. Maksudku, dalam arti yang sesungguhnya tentu saja. Lihat saja, di mana-mana terjadi pembunuhan. Seorang ibu mencincang hidup-hidup bayinya hanya lantaran ayah si bayi tidak bertanggung jawab, seorang cucu membunuh neneknya karena dinasihati jangan pulang terlalu larut malam, seorang kekasih mengubur hidup-hidup kekasihnya sendiri lantaran dia selingkuh—itu seperti umum dan tak berkesan menakutkan.”“Ketika seorang manusia kehilangan prinsip hidupnya maka dia akan berubah menjadi binatang—tak lagi memiliki simpati dan empati. Namun begitu, semua tentu saja ada alasannya. Seperti yang kita berdua tahu, zaman sekarang ini tuntutan hidup itu tinggi. Dan itu semua juga mempengaruhi tingkat emosional kita. Saat seseorang ingin dianggap ada,

  • Detektif Zen: Rencana Paling Sempurna   Bab 19

    Suasana hati Celline Tan sedang cerah. Setelah selesai mandi dia bernyanyi riang sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. Aku mengerti Perjalanan hidup yang kini kau lalui Kuberharap Meski berat, kau tak merasa sendiri Kau t’lah berjuang Menaklukkan hari-harimu yang tak mudah Biar kumenemanimu Membasuh lelahmu Celline kemudian bersiul asal-asalan. Dia mengambil sisir dan mulai menyisir rambutnya. Sesekali dia tersenyum melihat bayangan di cermin yang mengikuti semua gerak-geriknya. Gadis yang cantik dan penuh gairah hidup. Bapa, sentuh hatiku Ubah hidupku menjadi yang baru Bagai emas yang murni Kau membentuk bejana hatiku Celline berganti menyanyikan lagu rohani

  • Detektif Zen: Rencana Paling Sempurna   Bab 18

    “Itu ide yang brilian. Kau benar. Membunuh dengan racun lebih mudah dan minim risiko.”“Selain itu tingkat keberhasilannya tinggi dan kerjanya cepat.”“Jadi, sudah diputuskan kita akan membunuh Joe Willmar dengan racun sesuai idemu.”“Sebenarnya itu ide temanku.”“Tidak masalah. Ide itu brilian.”“Aku setuju. Dia itu jenius yang tersembunyi.”Bripka Arif mendengarkan percakapan putri semata wayangnya di telepon dan tersenyum sendiri. Rindka Amelia berusia lima belas dan berambisi menjadi penulis novel fiksi kriminal terkenal seperti idolanya, Susan Ollivia. Bripka Arif tidak berdaya. Sejak istrinya meninggal tiga tahun lalu, Rindka terpuruk. Anak itu seperti kehilangan semangat hidup. Secercah harapan baru datang kemudian setelah Rindka bertemu dengan istri Aipda Zen yang memberinya novel fiksi kriminal karya terbarunya. Rindka terpesona membaca buku itu dan sejak saat i

  • Detektif Zen: Rencana Paling Sempurna   Bab 17

    Meriene Sophia sedang di dapur memasak sop ayam saat terdengar suara mobil masuk di depan. Dia mematikan kompor, menutup panci dan bergegas membuka pintu. Inspektur Indra turun dari mobil. Wajahnya lesu dan lelah.“Lho, katanya tidak pulang, kok Bapa pulang?” tanya Meriene.“Nanti ke kantor lagi jam setengah delapan, Bu. Bapa mau mandi dan ganti baju dulu.” Inspektur Indra meletakan sepatunya di rak di dekat pintu masuk. “Ibu masak apa? Wanginya enak sekali.”“Sop ayam. Ibu mau menjenguk teman ibu yang sedang tidak enak badan.”“Oh. Anak-anak sudah berangkat?”“Sudah. Mungkin sudah sampai sekolah. Oh, iya. Tadi Celline menelepon memberitahu kalau Revi sedang sakit. Nanti Ibu mau menjenguk Revi sekalian.”“Revi sakit apa?”Meriene menggeleng. “Ibu tidak tahu. Celline tidak menjelaskannya.” Meriene mengambil cangkir untuk menyeduh kopi. Inspe

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status