Jumat, 11 Januari.
Pukul 16.45 sore.
“Papah… Ibu bosan. Apa tidak ada kasus menarik yang sedang Papah tangani selain kasus pencurian sepeda motor dan pencurian spion mobil, seperti kasus pembunuhan berantai atau mutilasi misalnya?”
“Jangan bicara yang bukan-bukan, Bu. Seharusnya kita bersyukur tidak banyak tindak kejahatan. Ibu ini ada-ada saja.”
“Tapi Ibu bosan, Pah. Papah tahu sendiri, kan, otak Ibu harus diisi bahan bakar supaya bisa bekerja dengan baik.”
“Bagaimana kalau kita jalan-jalan? Besok dan lusa Papah libur. Ibu mau jalan-jalan ke mana, keluar kota?”
“Keluar kota dan harus pulang sendiri karena Papah dapat telepon dari kantor seperti yang sudah-sudah? Ibu tidak sudi.”
Aipda Zen Devano melipat koran pagi yang baru sempat dibacanya lalu meletakan begitu saja di sofa. Dia kemudian bangkit menghampiri perempuan yang tengah menyisir rambut di depan cermin meja rias. “Jadi, Ibu maunya apa?” tanya laki-laki bertubuh tinggi sempurna dan berkulit sedikit gelap itu sambil memeluk istrinya dari belakang dengan manja.
“Ibu ingin sesuatu yang mengasah otak. Semacam teka-teki atau apa sajalah yang rumit dan menantang untuk dipecahkan,” sahut perempuan muda berkulit putih bersih itu serius.
“Kalau begitu kita main mahyong. Bagaimana?”
“Apalagi itu, lebih membosankan. Papah sendiri tidak pernah menang melawan ibu lebih dari dua kali. Itu juga karena Ibu membiarkan Papah menang. Uh, Tuhan… semoga saja ada kasus hebat yang harus Papah tangani. Kasus yang rumit, mengasah otak, memacu adrenalin. Aku bosan. Rasanya seperti mau mati bosan begini.”
Aipda Zen mencium pipi kanan istrinya yang sedang mencercau untuk menenangkan. Dia mengerti dengan sangat baik penderitaan yang harus ditanggung wanita berusia dua puluh enam tahun yang memiliki nama lengkap Kanaya Susan Ollivia itu. Kecelakan yang telah merenggut calon buah hati mereka membuatnya benar-benar terpuruk. Seolah semuanya belum cukup untuknya, sebulan kemudian dia di diagnosis mengidap ensefaletis atau peradangan pada jaringan otak yang membuatnya kehilangan sebagian besar ingatannya. “Kalau itu mau Ibu, tunggu dan bersabarlah. Dalam satu atau dua jam Tuhan pasti akan mengabulkan doa Ibu,” ujar Aipda Zen lama kemudian.
Susan mengerutkan kening menatap mata suaminya dari cermin. “Benarkah?” selidiknya.
“Tentu saja. Untuk apa Papah bohong ke Ibu?”
“Bagaimana Papah seyakin itu, maksud Ibu bagaimana Papah bisa tahu kalau Tuhan pasti mengabulkan doa Ibu?”
Aipda Zen memeluk istrinya lebih erat lalu berbisik, “Karena istri Papah ini memiliki hati yang baik. Tuhan tidak akan pernah mengecewakan orang yang berhati baik.”
“Meskipun doa Ibu itu sebenarnya jahat?”
“Ya, meski doa itu jahat Tuhan akan tetap mengabulkannya.”
Sadar dengan kebodohan yang dilakukannya seketika wanita bermata coklat tua itu membalikan badan. “Sekarang Ibu sudah nggak bosan lagi. Ayo, Pah. Kita ke balkon dan main mahyong sambil melihat matahari terbenam. Siapa yang kalah nanti harus makan mie rebus dengan dua puluh butir cabe rawit dan bawang.”
Aipda Zen tersenyum penuh arti dan sekali lagi mencium pipi kanan istrinya.
Sepuluh blok dari kediaman Aipda Zen, Inspektur Indra Kurnia sedang menekuni berkas laporan di meja kerjanya saat ponsel genggamnya berbunyi nyaring. Pria bertubuh gempal dengan tinggi sedang berusia empat puluh enam tahun itu meletakan kacamata bacanya. Sambil mengernyitkan dahi Inspektur Indra meraih ponsel. Nomor baru yang menghubunginya.
“Halo.”
“Halo, Pak Indra. Pak, ini saya Ibu Anik. Saya pinjam handphone orang ini, Pak. Saya mau melapor, ” sahut suara perempuan di ujung sambungan.
“Oh, Ibu Anik. Ya, Bu. Ada yang bisa saya bantu?”
“Ada mayat, Pak. Sudah busuk. Cepat ke sini.”
“Ibu posisi di mana?”
“Jalan Soekarno Hatta. Tidak jauh dari halte.”
“Baik, saya aka—” sambungan terputus.
Tanpa membuang waktu Inspektur Indra segera menghubungi anak buahnya, menugaskan mereka ke tempat kejadian perkara yang dilaporkan.
Aipda Zen menghela napas. Belum lima belas menit dia main mahyong sudah harus kalah telak dua kali.
“Ibu sudah bilang, kan, Papah tidak akan menang kalau bukan Ibu yang mengalah.” Susan tersenyum penuh percaya diri.
“Permainan baru dimulai, Bu. Kali ini Papah yang akan menang. Papah punya ‘Angin’ dan dua ‘Pung’ dari naga. Ibu harus berhati-hati.”
“Oh, Ibu jadi takut sekarang. Eh, Papah tadi buang biji ‘Bambu’ atau ‘Bola?’ Ibu lupa.”
“Bola, Bu.”
“Oke. Ibu ‘Chow’. Papah harus bersiap-siap. Sebentar lagi Ibu pasti ‘mahyong’.”
“Tidak semudah itu, Bu. ‘Angin Timur lewat.’”
“Begitukah, Pak Aipda? ‘Pung!’ ”
“Ibu lihat saja. ‘Delapan Bambu.’”
“Ah, Mahyong, tentu saja.”
Aipda Zen mengerang. Pura-pura kesal. “Ah, kalah lagi!”
Susan tertawa puas. “Jadi, Bagaimana? Apa Papah mau melanjutkan permaian yang akan membuat Papah kalah lagi?”
“Siapa takut. Kali ini Papah yakin Papah yang menang.” Aipda Zen sambil menyusun kembali biji mahyong. “Ibu siap kalah sekarang?” namun, belum sempat Aipda Zen selesai menyusun biji mahyong dan memulai permain, ponsel genggamnya berdering.
“Siapa, Pah?”
“Pak Inspektur.”
Aipda Zen mengangkat telepon dan mendengarkan dengan cemas. “Siap… jalan Soekarno Hatta?... baik, Pak. Saya merapat segera.” Wajah tampan Aipda Zen mendadak berubah muram setelah menutup telepon. Dia menoleh ke istrinya. “Sekarang Ibu tidak perlu menunggu lebih lama lagi, Bu. Doa Ibu beberapa saat yang lalu sudah dikabulkan Tuhan.”
Mobil berwarna orange dengan sirene meraung-raung di udara membelah keramaian lalu lintas jalan Soekarno Hatta. Di belakang kemudi Aipda Zen duduk dengan gelisah memikirkan istrinya. Susan sangat terpukul saat dia memberitahu ditemukan mayat di dalam lubang galian, dan menambahkan dugaannya sendiri bahwa kemungkinan itu korban pembunuhan. Aipda Zen sama sekali tidak menyangka reaksi istrinya demikian. Seharusnya Susan senang mendapat yang diinginkan—biasanya justru dia yang lebih semangat darinya sendiri jika ada kasus seperti ini. Bahan bakar otak begitu dia sering menyebutnya. Bahkan, dulu sebelum mereka menikah, perempuan yang entah mengapa tidak mau dipanggil bunda atau mama, dan tak mau memanggil dirinya ayah atau mas atau panggilan lain selain bapak dan sekarang papah itu, rela jauh-jauh datang ke kantor dan menunggu selama berjam-jam dia istirahat hanya demi riset data untuk naskah yang sedang digarapnya.“Anda baik-baik saja, Pak Zen?&r
Psychology Kasih Bunda.Pukul 20.15 malam.Ruangan itu diberi perabotan duduk seperti ruang duduk dalam rumah orang di pedesaan Bali. Dua buah payung tedung berwarna keemasan diletakan di depan pintu masuk. Dindingnya dilapisi kertas dinding bermotif batu bata merah. Lukisan seorang penari Bali dengan bunga kamboja putih di atas telinganya yang diberi bingkai dari kuningan merupakan hiasan dinding satu-satunya. Tidak ada meja tulis di ruangan itu. Yang ada hanya kursi malas empuk dari rotan, meja kecil di ujung ruangan untuk meletakan keranjang bunga sedap malam, dan satu buah lampu gantung antik di tengah-tengah ruangan.Suasana kantor itu memang sengaja di desain sedemikian rupa oleh Dokter Paullina Diandra untuk memberi kenyamanan pasiennya saat melakukan sesi konsultadi dengannya. Sebagai seorang psikologi profesinal, Paullina tahu betul bagaimana kenyamanan pasiennya berpengaruh besar pada pekerjaannya. Kenyamaan akan menum
Waktu menunjukan pukul sembilan kurang lima belas menit saat Aipda Zen menelpon istrinya dan memberitahu kemungkinan dia tidak pulang.“Jadi, kemungkinan besar mayat itu korban pembunuhan?” istrinya menegas. Seperti biasa Susan lebih tertarik dengan kasus yang sedang ditangani Aipda Zen daripada kabar ketidak pulangannya. Dia sudah terbiasa dengan hal itu.“Masih belum pasti, Bu. Ini baru dugaan sementara karena ditemukan luka bekas tusukan,” sahut Aipda Zen.“Bagian tubuh mana yang ditusuk, bagaimana bentuk tusukan itu?”“Ada luka bekas tusukan di perut korban. Ta—”“Bagaimana bentuk tusukannya, Pah? Kira-kira ditusuk dari depan atau belakang?”Aipda Zen menghela napas. “Sepertinya ditusuk dari belakang, Bu. Sebab luka di perut depan tidak terlalu besar.”“Sudah pasti ini pembunuhan. Kemungkinan besar pembunuhan berencana. Tidak ada orang yang bunuh d
“Apa katamu, pembunuhan?” “Ya, aku yakin sekali itu pembunuhan—pembunuhan berencana tepatnya.” “Jangan terlalu bersemangat, San. Itu tidak baik,” sahut Paullina. “Bisa jadi, kan, itu kasus kecelakaan. Kau mau minum teh hangat?” “Tidak mungkin itu kecelakaan, Lina. Dia tewas ditikam dari belakang dan didorong masuk lubang galian kabel di trotoar,” Sergah Susan. “Menarik sekali. Baiklah, kita bahas kasus pembunuhan ini nanti. Perutku lapar. Aku tak bisa berpikir jernih kalau lapar. Mau teh hangat dan camilan?” “Kau memang temanku yang pengertian.” “Aku anggap itu pujian. Tunggu sebentar. Aku segera kembali.” Paullina baru saja selesai dengan pasien terakhirnya ketika perempuan bertubuh mungil, penuh semangat, dan penuh gairah hidup meneleponnya untuk menginap. “Suamiku sedang manangani kasus dan dia memberitahu tidak akan pulang. Aku bosan sendirian di rumah. Selain itu, aku ingin mendiskusikan rancangan buku baruku ini d
Inspektur Indra berjalan mondar-mandir di depan ruang autopsi. Kedua tangannya terlipat di punggung, sementara pandangannya terpaku ke lantai. Sesekali dia menoleh ke arah pintu. Kecewa karena pintu tak kunjung terbuka dan seseorang keluar dari sana memberikan penjelasan, dia menghela napas. Sekitar lima belas menit lalu dia mendapat telepon dari seorang warga yang melapor telah kehilangan salah seorang anggota keluarganya. Seorang pria dengan ciri-ciri memiliki tinggi kurang lebih seratus tujuh puluh tiga centi meter, berbadan sempurna, memiliki rambut cepak. Ciri-cirinya persis dengan mayat yang tengah diautopsi di dalam. Masalahnya adalah, menurut orang yang melapor kehilangan itu, kerabatnya ini baru saja pergi sekitar dua hari. Sedangkan mayat yang mereka temukan, kondisinya sudah terlalu busuk untuk ukuran mayat dua hari. Jadi, kecil kemungkinan mayat itu mayatnya.Di dalam ruang autopsi Dokter Clara sudah tidak mampu lagi menahan diri. Bau busuk yang tera
Beberapa mobil polisi, mobil pemadam kebakaran, dan mobil wartawan telah berada di lokasi kebakaran terjadi saat Aipda Zen tiba dengan Bripka Arif di sana.“Ya, Tuhan… apinya besar sekali.”“Belum pernah saya melihat kebakaran sedahsyat ini.”“Saya juga, Pak Zen. Kalau ada seekor gajah sekalipun di dalam, saya yakin pasti gosong.”“Untungnya, setahu saya rumah itu rumah kosong,” sahut Aipda Zen. “Rumah mewah tiga lantai itu, dulu milik Nyonya Prita. Seorang pengusaha batubara dari Kalimantan. Tapi, sejak Melia putrinya masuk sekolah SMA, Nyonya Prita setahu saya pindah ke Jakarta dan rumah itu sama sekali kosong.”“Dan untung lagi bangunan rumah itu tidak menyatu dengan rumah penduduk. Jadi meminimalisir terjadinya perambatan api.”“Akhirnya Anda datang juga, Pak Zen, Pak Arif.” Bripka Ega berseru dari kejauhan sambil melambaikan tangan. “Saya ti
“Kau sehangat musim panas seperti biasa, Sayangku. Dan meski aku sudah memasukimu berkali-kali, kau masih saja sempit seperti anak gadis.”“Kau laki-laki brengsek yang banyak sekali omong. Sudah berapa lusin permpuan kau tiduri, hah?”“Itu memang benar. Tapi mereka semua tidak sehangat dirimu. Mereka terlalu kering atau terlalu basah kadang-kadang. Tapi kau hangat, sempit dan… ah, bibirmu itu, benar-benar manis dimulutku. Kau tahu, aku mendambamu setiap waktu. Rasanya aku ingin bercinta selalu denganmu. Oh, aku jadi gila setiap kali memikirkan tubuhmu. Payudaramu yang kencang, penuh, menggoda. Oh, Tuhan… aku rasa aku benar-benar gila. Buka sedikit kakimu, Sayang. Oh, ya begitu.”“Kapan kau akan menikahiku, William?“Secepatnya, Sayangku. Secepatnya. Agar aku bisa bercinta denganmu setiap pagi di tepi kolam renang. Aku sudah tidak sabar untuk itu. Aku tidak ingin sembunyi-sembunyi seperti ini.&r
“Ini benar-benar akan menjadi akhir pekan yang suram,” keluh Bripka Ega yang duduk di belakang kemudi. “Dua mayat tanpa identitas. Mimpi buruk yang mengerikan.”“Tidak, belum semuanya, Pak Ega. Karena saya baru mendapat perintah dari Pak Inspektur untuk mengidentifikasi mayat yang terbakar itu malam ini juga,” sahut Aipda Zen yang duduk di sebelahnya.“Entah ini hanya perasaan saya atau memang ada yang tidak beres dengan Pak Inspektur,” ujar Bripka Arif. “Tidak biasanya Pak Inspektur seperti ini. Apa Pak Inspektur mengatakan sesuatu pada Anda, Pak Zen?”“Tidak spesisifik. Tapi, perintah yang saya dapat adalah kita harus mengidentifikasi mayat ini sedapat mungkin dan memastikan bahwa itu bukan mayat Nicholas.” Aipda Zen menoleh ke belakang, melirik kantong jenazah di samping Bripka Arif. “Saya rasa Pak Inspektur cemas bukan kepalang karena ini berkaitan dengan keponakan Pak WaKa y