Share

Detektif Zen: Rencana Paling Sempurna
Detektif Zen: Rencana Paling Sempurna
Author: Susan S

Prolog

Jalan Soekarno Hatta, tanggal 5 Januari.

Pukul 14.50 sore.

Hari sabtu. Sepuluh menit sebelum pukul tiga, hujan deras mengguyur sebagian besar kota Bandung dengan tiba-tiba. Angin musim barat yang sedingin es memukul-mukul pepohonan di kiri-kanan jalan, mengahalau para pejalan kaki untuk cepat-cepat mencari tempat perlindungan.

 Di antara pejalan kaki yang ramai, seorang pria perlente bertubuh tinggi-tegap berjalan tergesa-gesa. Jalannya cepat, tapi tidak seperti pejalan kaki lain yang melayani panggilan diri dari terpaan hujan. Sebaliknya, justru menantang hujan. Kepalanya terangkat tinggi, wajahnya sedikit mendongak, dagunya yang sejajar dekat keangkuhan dan percaya diri yang sama besar.

Pria berusia kira-kira awal tiga puluh itu sama sekali tidak memedulikan orang menegurnya untuk jalan lebih cepat, bahkan yang menabraknya dengan sengaja. Kini dia sudah bebas. Masa pencuciannya yang lama sudah selesai. Dalam pikirannya hanya terbayang masa depan hebat yang penuh petualangan. Aku pasti lebih mudah mendapatkan banyak wanita sekarang, pikirnya. Masa pencucian selama dua tahun di panti rehabilitasi yang telah kujalani akan menambah daya tarikku.Ya, sebagai seorang lelaki dewasa, dia paham betul bagaimana wanita. Dari apa yang telah dia pelajari, bahwa sebagian besar wanita di zaman ini, menyukai—atau lebih tepatnya penasaran sekaligus tertantang—menjalin hubungan dengan sosok pria brengsek yang membanggakan kebrengsekannya. Dan dia punya semua itu. Lengkap dengan wajah tampan, senyum menawan, juga lebel mantan pecandu yang tak semua orang bisa dapatkan. Benar-benar sempurna. Dia pun tersenyum membayangkan hari-hari hebat yang akan dilewatinya bersama banyak wanita cantik. Namun, senyum dan lamunannya seketika lenyap saat seseorang menabrak punggungnya dengan sangat keras. Ketika dia menoleh untuk melihat siapa yang telah dengan kurang ajar menabraknya dan siap menumpahkan caci maki, tiba-tiba dia merasa heran karena mendadak dengkulnya lemas dan menekuk. Padahal dia sama sekali tidak kedinginan. Tidak berhenti sampai di situ, perlahan-lahan, diluar perintahnya, tubuhnya roboh ke trotoar. Berpasang-pasang kaki melangkahi wajah. Tapi, anehnya tak ada satu pun yang mengenainya. Merasa ada yang tidak beres dia menerka-nerka sedapat mungkin.Kalau kaki-kaki itu tidak ada yang menginjakku, berarti aku tidak berada di dekat mereka, batinnya. Ada jarak yang cukup jauh antara kami. Tapi bagaimana mungkin? Belum sempat dia menjawab pertanyaan dari pertanyaan itu, mendukungnya dijalari rasa terputus takkan segera menyebar ke seluruh tubuh. Dia membuka mulut. Coba teriak untuk minta tolong. Tapi, yang keluar dari mulutnya justru cairan hangat berwarna merah yang segera menyatu dengan air hujan bercampur lumpur berwarna kecoklatan. Sial! Aku akan mati di lubang galian ini dan tak akan ada yang menemukanku selama berhari-hari. Benar-benar sial!

Merasa marah karena kematian yang di tengah merenggut tubuhnya dengan laknat dirasa sama sekali tidak pantas untuk dirinya, dia pun mengumpulkan daya upaya untuk membangun melawan. Tapi sia-sia. Tubuhnya tidak mau bekerja sama. Dengan kemarah yang semakin menjadi-jadi, dia mengutuki Susan. Penulis fiksi kriminal idolanya.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Ai Nurianti
semangat nulisnya kakak, ceritanya aku suka.
goodnovel comment avatar
Triyuki Boyasithe
semangat nulis, ya? Jangan lupa review balik.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status