Rasanya sudah bolak-balik melewati jalan yang berbeda. Namun tetap saja rombongan remaja itu tidak menemukan rumah Kakek Johan. Devan yang memimpin di depan pun tidak bisa berbuat banyak. Mereka seolah tersesat di dalam ladang. Lalu mereka berhenti di tengah ladang yang kosong dan berhenti sambil melepas lelah.
“Kita tidak bisa keluar dari ladang sialan ini!” keluh Hera sambil mengatur nafas.
“Ya, kenapa bisa begini,” sahut Kevin.
“Aneh, kok bisa tersesat di ladang.” Tasya menimpali seraya duduk diatas tumpukan daun jagung kering yang terikat rapi. Ia meluruskan kedua kakinyayang kaku.
“Coba cari sinyal!” ujar Samy, yang sudah mengayun-ayunkan handphone di udara.
“Nihil. Tidak ada sinyal!” Tasya mengeluh sambil terus berjalan mencari sinyal.
Remaja yang lain juga melakukan hal yang sama. Mereka mendengus k
Hai, pembaca setia Devils Scarecrow, ikuti terus kisah remaja -remaja di dalam ladang jagung di malam yang mencekam.....
“Sudah pukul dua belas!” seru Tasya beberapa saat kemudian. “Apa kalian tidak ngantuk?”“Ah, rasanya malam hari begitu cepat sih,” sahut Kevin kecewa.“Benar, harusnya waktu jangan terlalu cepat,” sahut Anisa sambil menggeliat malas.“Memangnya waktu punya nenek moyangmu!” protes Jaki.“Kita harus cepat tidur. Aku ngantuk banget, besok pekerjaan kita masih banyak,” ujar Hera sambil menguap. Lalu bergegas naik menyururi tangga menuju kamar. Begitu melihat bed cover ia langsung menerjunkan diri.Sebelum menyusul yang lain, Tasya memutuskan ke kamar mandi untuk buang air. Ia pelan-pelan menuju lorong menuju kamar kecil.Lampunya tidak seterang di ruang tamu atau ruang lainnya. Dalam lima menit, ia sudah keluar dari kamar mandi. Matanya masih belum ngantuk namun tidak ada kegiatan lag
Suara itu berasal dari luar gudang. Samy bergegas berlari keluar. Hera mengikuti dibelakangnya. Mereka sempat melihatsesuatuberlari terburu-buru masuk ke ladang jagung. Sangat cepat sehingga sulit dipastikan orang atau apa.Samy menahan tangan Hera yang bermaksud mengejar.“Jangan dikejar,” katanya sambil memperhatikan selajur tanaman jagung yang masih bergoyang-goyang.“Aku penasaran Sam!” lirihnya sambil menahan geram.“Aku takut kalau itu pencuri,” ujar Samy. “Kita tidak mungkin menangkap pencuri berdua.”“Kamu takut?” tatapan mata Hera mengecam.“Bukan itu,” sahutnya. Namun cewek itu sudah melangkah ke dalam rerimbunan jagung.“Dasar keras kepala!” gumam Samy. Ia tidak tega melihat cewek itu sendirian. Akhirnya nekat masuk mengikutinya masu
Tasya muncul dari dapur dan memberitahu waktunya sarapan pagi. Saat itu di ruang tamu, semua teman-temannya tengah duduk malas-malasan. Sejak matahari mulai menunjukkan kecerahannya, Tasya dan Hera sudah sibuk di dapur. Mereka memasak tumis buncis, sosis goreng dan telur dadar.Sarapan pagi berjalan sempurna. Mereka melupakan teror-teror yang tidak jelas.Diatas meja, tidak tampak tekanan atau kesedihan. Tasya dan Hera pun terlihat tampak seperti biasanya, mencoba menikmati suasana sarapan seperti yang lain.“Ah, sambal ini terlalu pedas.” Komentar Kevin buru-buru mengambil air minum dan menenggaknya.“Salah sendiri ambil sambal terlalu banyak,” ujar Tasya yang merasa membuat sambal.“Kev, kamu cowok macam apa sih, baru makan sambal saja sudah kepedasan,” celoteh Jaki menggoda.Kevin yang merasa
Setelah semua remaja menentukan pilihannya, kini tinggal Bagas dan Devan. Kubu Tasya meletakan nasib pilihannya pada cowok gendut itu. Setidaknya kalauia memilih pulang, paling tidak harapan terakhir ada pada Devan. Mungkin saja, Devan yang sudah mencurigai keanehan Pamannya mau berpihak pada kubunya. “Bagas,” kata Tasya penuh perhatian. “Kamu harus tentukan pilihanmu.” “Ayolah, Bagas.” Hera menimpalinya dengan nada geram. “Kita akan pulang hari ini juga.” Bagas membisu dalam duduknya yang gugup. Sesekali ia menatap Kevin disebrang meja lalu berganti menatap pada Samy. Dua orang ini seperti penentu pilihannya. Kevin memberikan segala kebutuhan dirinya meski sering kali menyakitinya. Sementara Samya, memberikan kenyamanan layaknya teman sejati. Namun ia sangat takut akan kemarahan Kevin. Membuatnya harus mengikuti kehendakinya. “Bagas,” kata Kevin menuntut. “Kamu
Samy, Tasya dan Hera memilih pergi menyurusi jalan beraspal. Mereka menolak ajakan Anisa yang mengatakan ada pertunjukkan menarik di tengah ladang. Entah itu pertunjukkan apa, yang jelas mereka tidak tertarik dengan sesuatu yang dilakukan oleh Kevin, Anisa dan Jaki. Samy kecewa, karena Bagas memilih bergabung bersama mereka ke ladang. Mereka tidak pergi tanpa rencana. Tasya mendesak Samy untuk pergi mencari informasi tentang desa yang aneh itu. Menurut Tasya, biarpun tidak bisa keluar dari desa itu, paling tidak bisa mencari tahu rahasia di dalamnya. Mungkin mereka sudah berjalan, sepanjang tiga kilo meter. Tepat di tikungan, Hera melihat ada rumah bercat putih. Samy memimpin jalan menuju ke rumah yang terbuat dari kayu jati itu. Mereka melewati selokan air yang hampir kering dengan sekali lompatan pendek. Lalu menapakkan kakinya di jalan setapak yang dikelilin
Devan merasa mual-mual. Pemandangan mengerikan itu membuat shock seektika. Ia masih belum memperrcayai sepenuhnya apa yang baru dilihatnya. Belum mengerti bagaimana bisa kepala Kakek Johan beradadi atas tiang pemancang orang-orangan sawah. Seseorang sudah membunuhnya secara sadis.Kecurigaannya sudah terbukti sejak polisi menemukan handphone, keanehan Paman Begi sejak berada didesa, juga keberadaan polisi di desa yang damai. Semua ketidakberesan itu ditujukan pada Pamannya.Iamenyimpan suatu rahasia pertanian Sriwilli. Sebagai cucu kesayangan, ia harus menuntut balas atas kematian kakek Johan.Sebelum mencari keberadaan Pamannya, Devan sempat memikirkan nasib Nenek Sita. Sejurus kemudian, menebarkan pandangan ke semua orang-orangan sawah, berharap bibinya ditemukan disana. Namun yang dicarinya tidak ditemukan. Hanya beberapa orang-orangan sawah yang terpancang tak bergerak.Belum lagi memikirkan rencana berikutnya, sebuah suara langk
*****Samy, Tasya dan Hera berlari sejauh mungkin di jalan beraspal. Lari meninggalkan rumah monster orang-orangan sawah. Mereka tidak ingin mati konyol seperti pemilik rumah.Samy harus berlari dengan pincang. Kakinya mengalami cidera serius. Bekas goresan kuku makhluk itu menyisakan perih. Darah masih menetes pelan sepanjang jalan yang dilalui.Untuk kesekian kalinya, Tasya berhenti untuk mengambil nafas. Dadanya terasa panas terbakar. Nafasnya memburu, kembang kempis di hidungnya yang kecil mancung. Keringat membasahi seluruh tubuhnya, seperti yang lain.“Kita harus istirahat dulu!” Tasya berseru disela-sela nafasnya yang memburu. “Aku sudah nggakkuat banget nih.”Tasya setengah berjongkok, menekan lututnya. Celana jeans yang dipakai terasa sesak disepanjang kakinya yang jenjang. Ia menarik nafasnya pelan-pelan.“Ayolah Sya,” ujar Hera sambil celingukan ke segala arah. “Kita belu
*****Samy, Tasya dan Hera sudah berada dibak belakang mobil. Mereka masih menunggu Pak Tua yang belum bisa keluar dari jangkauan monster jahat itu.Ia masih berjuang mempertahankan diri dari tangan-tangan kering berkuku tajam yang siap mencabik tubuhnya.Ia panik, ketika menyadari peluru tak mampu melumpuhkannya.Keberingasan sosok tak kenal belas kasihan, tidak terkendali. Serangan tangan-tangan berkuku tajam sulit dihindari. Sampai membuat Pak Tuamemucat, karena terdesak. Kematian begitu dekat dengannya. Ketiga remaja diatas mobil hanya mampu menjerit ketakutan.Namun keberuntungan masih memihak. Dengan satu gerakan cepat, Pak Tuaberhasil memukulkan senapannya ke arah kepala makhuk itu. Kesempatan itu digunakan untuk melompat ke dalam mobil. Pak Tua memundurkan mobilnya, lalu menancapkan gas kuat-kuat. Makhluk mengerikan itu masih berdiri, menggeram keras ketika mobil tersebut meluncur kearahnya. Tak ayal, orang-orangan sawah ter