Meilani menatap pada kedua orang tuanya sendu, wanita itu mengepalkan tangan tanpa sadar menekan semua keresahan hati. Tangannya terulur menarik kain lengan jubah Jaquer.
Jaquer menatap pada jari lentik tersebut dengan menyunggingkan senyum termanis. Lalu pandangannya beralih pada sepasang suami istri yang telah membuangnya. Belum sempat semua ditanggapi, terdengar suara seorang perawat pria memanggil nama Jaquer dengan sebutan tuan. Suara yang bernada sopan membuat Richard menoleh, lalu mencibir. "Tuan, pada siapa nama itu kamu sematkan?" "Tuan Jaquer." "Cuih, orang miskin seperti dia mana pantas dipertuankan. Cukup panggil nama," desis Richard. Namun, petugas itu tidak memedulikan dengan apa yang dikatakan oleh pria tua. Dia terus berjalan mengikis jarak dan berhenti tepat di depan Jaquer dalam jarak satu meter. "Silakan tanda tangan di sini untuk mengklaim kartu yang Anda bawa, Tuan!" Jaquer pun meraih kertas yang disodorkan oleh petugas rumah sakit itu dan langsung membubuhkan tandatangan. Setelahnya semua dikembalikan pada petugas. "Terima kasih, Tuan. Semua biaya berobat telah lunas dan untuk pria kecil ini jika kondisinya hingga sore stabil, maka malam hari boleh pulang," ungkap petugas itu. Setelah apa yang perlu disampaikan sudah semua, maka petugas itu segera berbalik badan dan berjalan meninggalkan ruang tersebut. Namun, baru juga melangkah suara Richard menghentikannya. "Berapa semua biaya?" "Maaf, Tuan, samua sudah lunas dalam jumlah tiga juta," jawabnya. Apa yang diungkap oleh petugas membuat dahi pria tua berkerut. Dalam otaknya duit sebanyak itu dari mana menantu miskinnya itu dapat. Sedangkan petugas sudah meninggalkan ruangan. "Lihatlah situasi suamiku saat ini, Ayah! Apakah semua ini masih belum baik?" cerca Meilani. Richard tidak memedulikan apa yang dikatakan oleh putrinya. Dia masih saja meremehkan finansial Jaquer meskipun dua peristiwa besar sudah terungkap. "Sepertinya kita tidak perlu berlama-lama di sini, Istriku. Sebaiknya kita segera pulang!" ajaknya pada istri. "Kamu benar suamiku, di sini udara miskin begitu kental dan membuatku sesak napas." Keduanya bersiap hendak berbalik badan dan melangkah, tetapi sosok petugas tadi datang lagi ke ruangan dengan sedikit tergesa sambil membawa sesuatu yang menggelitik hati ibu tiri Meilani. "Tuan, ini kartu hitam Anda. Maafkan atas keteledoran saya!" pinta pria itu sambil membungkuk menyerahkan kartu tersebut. Jaquer menerima dengan wajah datar dan dingin, dia sama sekali tidak melihat wajah terkejut ibu mertua. Mulut wanita paruh baya terbuka lebar dengan kedua bola mata melotot tidak percaya. Namun, dengan cepat lengan wanita itu ditarik oleh suaminya agar segera meninggalkan ruangan itu. Meilani masih berdiri mematung menatap tidak percaya akan semua kejadian yang akhir-akhir ini nyata. Sisi lain hatinya ingin percaya tetapi kenyataannya berkata lain. Suaminya sama sekali tidak mencerminkan sosok pria kaya selayaknya saudara dan iparnya yang kaya. Sosok Jaquer masih sama terlihat miskin dan rendah hati. "Suamiku, apakah kartu itu milikmu?" "Bukan, ada seorang kawan yang meminjamkan ini padaku agar posisimu di keluarga sedikit bagus dari sebelumnya," ungkap Jaquer. Meilani manggut-manggut mengerti, lalu dia pun tersenyum manis pada suaminya yang sudah berusaha untuk memberi kesehatan pada putranya. Waktu terus berjalan dan sore pun akhirnya datang. Kesehatan Leonard dinyatakan telah pulih dan dia boleh pulang ke rumah. Hati Meilani begitu bahagia, senyumnya terlukis jelas. Dengan lembut dibimbingnya Leonard untuk turun dari ranjang, tetapi kepala pria kecil bergerak resah. Dia mencari sosok yang dirindu. "Dimana ayahku, Ibu?" Meilani hanya diam, dia tidak tahu kemana perginya Jaquer. Saat terbangun siang hari pria itu tidak terlihat duduk di tempatnya semula. Hanya meninggalkan secarik kertas bertuliskan kata pergi sebentar. Dia tersenyum lalu jemarinya mengusap ujung kepala sang putra dengan bertutur sopan bahwa ayahnya sedang keluar untuk mengurus keperluan yang lain. "Ayo segera kita pulang, mungkin ada kejutan di sana!" ajak Meilani. Leonard pun segera meraih ujung jari ibunya dan berjalan penuh semangat. Mereka tampak bahagia apalagi terlihat ada kendaraan yang sudah menunggu untuk mengantar pulang. Sepanjang perjalanan pandangan pria kecil menyusuri kendaraan yang membawanya pulang. Senyum manis tersungging sempurna hingga membuat Meilani geleng kepala ringan. "Ibu, apakah ayah akan selalu ada buat kita kelak di masa depan?" Wanita muda tersenyum dan menganggukkan kepalanya, hal itu membuat putranya berceloteh bahagia bahkan terdengar alunan nada ceria selayaknya anak kecil lainnya. Kendaraan yang membawa mereka akhirnya sampai di depan gerbang rumah keluarga besar Hurt. Rumah yang sudah lama ditinggali Meilani. Namun, ada yang aneh pada pintu utama. Terlihat papan pengumuman bahwa keluarga Hurt sedang mengadakan pesta penyambutan, tetapi bukan nama Leonard yang tertera di papan tersebut. Melainkan pria dewasa lainnya. Dahi Meilani berkerut. "Ibu, apa artinya ini semua?" "Ibu juga tidak tahu, lebih baik kita masuk agar semua terjawab!" ajak Meilani. Keduanya melangkah penuh semangat, seakan di dalam ada kejutan yang membahagiakan hati. Namun, belum sampai kaki Meilani melewati batas pintu telinganya mendengar kata pernikahan yang diatur atas namanya. Dengan kasar Meilani mendorong pintu besar. Suara pintu yang membentur dinding kayu berukir dandalion seketika menyadarkan semua orang yang ada di dalam ruangan untuk melihat ke arah pintu. "Meilani, akhirnya kamu pulang juga. Ini Tuan Domain datang untuk melihatmu, sekaligus membawamu ke pusat kota!" kata Luzia--ibu tiri Meilani. Sosok pria yang dikenalkan sebagai Domain itu berbalik badan hingga tatapannya bertemu dengan mata cokelat madu bening milik Meilani. Bibir pria itu seketika melengkung sempurna, lalu melangkah mengikis jaraknya dengan wanita itu. Tangannya yang putih dengan kulit yang berkilau terkena cahaya lampu terulur hendak menyentuh kulit lengan Meilani yang sedikit terbuka. Melihat gerakan lancang pria dewasa itu Leonard melangkah maju menghalangi langkah Domain. "Berhenti di sana, jangan mendekati ibuku!" kata Leonard dengan merentangkan kedua tangannya. Domain tidak memedulikan peringatan pria kecil itu, dengan kasar disibaknya tubuh mungil hingga membuat pria kecil terjatuh dan mengaduh. Apa yang terjadi pada putranya membuat Meilani melengking tidak terima. "Kamu, berani sekali berbuat onar di sini!" Hentak Meilani. "Haha, siapa yang berani denganku. Identitas apa hingga mereka berani melawanku. Keluarga ini sudah aku beli termasuk tubuhmu, Meilani!" "Jaga bicaramu, aku wanita bersuami. Tubuhku hanya untuk suamiku, dan atas dasar apa kamu membeli tubuh serta keluargaku!" Domain menyeringai tajam, dia melayangkan pandang ke seluruh ruangan. Menatap satu per satu orang dewasa yang ada di sana. "Kalian semua, katakan pada wanita ini atas dasar apa aku membeli tubuhnya yang tidak lebih hanya seratus juta!" Mulut Meilani seketika terbuka lebar atas kalimat yang terlontar dari mulut busuk Domain. Kedua bola matanya membulat tidak percaya.Tubuh Jordan jatuh ke tanah dengan darah keluar merembes dari sela Pedang Naga. Jaquer berdiri tegak di atas tubuhnya dengan seringaian tajam.Melihat kondisi pimpinan Sekte seluruh anggota seketika berlutut meminta maaf dan menyuarakan kesanggupan berada di bawah kendali Jaquer.Pria itu langsung menghentak kedua lengannya hingga menimbulkan kilatan petir yang menggelegar membelah malam yang sunyi."Kami bersedia mengikuti jalan Naga bersama Anda, Tuan Jaquer?"Salah satu pimpinan kanan Sekte Bulan Sabit menunduk dan bersujud berpegang pada pedangnya."Bangkit dan rawat semua anggota yang terluka, bereskan semua tanpa sisa!" Suara Jaquer penuh tekanan dan tegas.Usai berkata, ia melangkah meninggalkan wilayah Sekte. Suasana kembali senyap hanya beberapa anggota yang tersisa menatap kepergian Jaquer.Bayangan itu menghilang di telan kegelapan malam. Sinar bulan menerpa wajah dingin dan kokoh, berdiri tegak menatap jauh."Tuan, kondisi tuan muda makin melemah. Apa yang harus kita lakuk
Rembulan pucat menerobos celah awan kelabu. Angin malam menderu, menyapu jubah hitam Jaquer dengan wajah tegas, mata tajam berdiri di tepi jurang. Di seberang, di dataran yang lebih rendah, gumpalan asap tebal masih menyelimuti wilayah sekte bulan sabit."Dendammu sudah kubalaskan, Maelani. Tersenyumlah!"Namun, apa yang telah dilakukan oleh Jaquer justru membawa akibat yang fatal. Di saat dia meluluhlantahkan sekte beberapa anak buah Jordan berkelana mencari keberadaan putranya."Jaquer, kau telah membangunkan singa tidur. Maka jangan salahkan aku jika putramu mati!"Suara penuh tenaga mengudara begitu saja dan jelas menyapa telinga Jaquer. Pria itu mengeram keras, tubuhnya seketika melenting ke udara dengan pedang terhunus.Tanpa sepatah kata pun, Jaquer melompat dari tebing. Bibirnya mengeluarkan suara cukup keras, "kau yang sudah membuatku gila, Jordan!"Tubuh yang kekar melayang menuju ke dataran rendah. Jubahnya mengembang seperti sayap kelelawar raksasa. Di udara, dengan gerak
Perkelahian sudah tidak dapat dihindari lagi, emosi Jaquer sudah di atas hingga membuatnya sulit terkendali.Serangan dilancarkan Jaquer bertubi menghancurkan seluruh bangunan sekte bulan sabit tanpa sisa membuat Jordan Wang keluar dari persembunyiannya dan berdiri menatap setiap pergerakan Jaquer."Aku ingin kalian hancur tanpa sisa atas nyawa istriku!" Suara Jaquer membahana ke seluruh antero Sekte Bulan Sabit. Jordan Wang berdiri tegak di depan bangunan utama sekte. Tatapannya tajam menghunus manik mata Jaquer."Jaquer jangan seperti ini, semua tahu bukan aku pelakunya. Saat itu aku justru membantumu dalam proses pemakaman," jelas Angeli.Namun, kalimat Angeli bagai angin lalu di telinga Jaquer, pria itu masih terus bergerak liar menyerang siapa saja yang menghalanginya untuk sampai di bangunan utama.Melihat banyaknya korban bawahannya, Jordan terpaksa turun tangan. Pria paruh baya itu pun melontarkan pukulan jarak jauh.Seketika terlihat sekelebat sinar biru keperakan melesat m
Di tempat lain terlihat sosok pria berjubah hitam berdiri di atas atap gedung yang tinggi dengan seringaian tajam.Tidak hanya itu, dia juga menyebarkan aura kematian di seluruh sekte milik Jordan Wang.Angin yang berhembus membawa pesan Kematian yang disebarkan oleh Jaquer hingga membuat sebagian anggota kelas rendah merasa putus asa."Mengapa malam ini begitu pekat auranya, bahkan pelaku kebakaran belum bisa ditemukan." Salah satu bawahan sekte menggerutu mencurahkan isi hati."Apakah kalian tidak merasa aura ini begitu familiar?" timpal yang lainnya.Beberapa anggota satu kelompok yang berisi lima orang itu menjadi saling pandang begitu mendengar temannya yang lain mengutarakan pendapatnya."Apakah kau ada gambaran satu nama, Anton?"Pria yang dipanggil Anton menggembuskan napas panjang, lalu kedua bola matanya berputar seakan mencari sosok yang dia maksud."Aku sangat hafal dengan aura ini, pasti Jaquer sedang melaksanakan aksi balas dendam.""Iya, kau benar. Tetapi pergerakannya
Angeli masih diam berdiri di samping Jaquer saat peti mati Meilani mulai diturunkan. Dia terlihat sedih meskipun dalam hati bersorak kegirangan.Semua pelayat satu per satu mulai meninggalkan tempat saat pemakaman selesai menyisakan Jaquer dan Angeli. Sedangkan Leonard sudah dibawa pergi oleh Elang yang juga ikut mengantar jasad Meilani."Sudahlah, Jaquer, ayo kuantar kau pulang!" ajak Angeli.Jaquer masih diam, pandangannya tidak lepas dari batu nisan istrinya. Ujung ibu jarinya masih bergerak mengusap nama Meilani."Mei, mengapa kau cepat tinggalkan aku?""Semua sudah ditulis oleh penguasa alam, Jaquer. Kau harus terima," jawab Angeli."Harusnya dia bercerita saja siapa dalang semua ini agar tidak meninggalkan tanya," gumam Jaquer lagi.Angeli menyeringai tipis di belakang Jaquer, tetapi tapak tangannya berjalan di punggung lebar pria itu.Perlahan tangannya mulai bergerak lembut mengusap punggung Jaquer, dia sama sekali tidak peduli jika mendapat amarah sang pria."Ayolah, Jaquer,
Belum sempat Jaquer bertanya lebih jauh, tiba-tiba angin bertiup kencang membawa aura yang berbeda.Tidak hanya angin yang berganti, beberapa desing pisau kecil terbang menuju ke arahnya membuat Jaquer bergerak cepat.Akan tetapi semua di luar kendalinya, salah satu pisau itu berhasil menancap pada dada kanan Meilani, dia hanya diam tanpa menoleh sedikitpun atau memanggil nama suaminya.Tubuh Meilani jatuh ke tanah tanpa daya, dadanya bersimbah darah. Aroma anyir menyeruak menyapa hidung Jaquer membuat pria itu seketika berlari mendekati tubuh itu."Mei, apa yang terjadi, katakan!"Meilani menatap Jaquer dengan senyum tersungging di bibir, dia mengerjap sesaat mengumpulkan seluruh kekuatannya yang tersisa.Jaquer masih mendekap kepala istrinya dan diam menatap datar pada sosok wanita itu. "Pergilah menjauh dari kota ini bawa serta putraku bersamamu sebelum berita ini menyebar!" Suara Meilani keluar sedikit tersendat.Jaquer termangu, "katakan padaku siapa yang menyetir otakmu, Mei, a