Masuk
"Mbak Sinta hari ini cantik sekali," puji Nindi saat melihat sang kakak berdandan di depan meja rias.
Sinta tersenyum menatap pantulan wajah sang adik dari cermin. "Hari ini 'kan hari yang spesial. Mbak akan memperkenalkan pacar Mbak ke kamu dan Ibu." Nindi ikut tersenyum, meski jantungnya ikut berdegup. Belum lama ini, mereka berjanji saling mengenalkan pria yang mereka sukai. Tapi Nindi masih ragu, apa dirinya mampu? Malam itu meja makan dipenuhi berbagai macam hidangan. Sang Ibu yang memasaknya, sengaja disiapkan untuk makan malam bersama calon menantunya nanti. Ketika suara mobil berbunyi, Sinta segera menyambut kedatangan sang kekasih. Sementara Nindi dan Ibunya menunggu di teras. Senyum Nindi mengembang memperhatikan dari jauh, tak sabar untuk segera mengenal siapa pria yang telah menjadi tambatan hati kakaknya. Namun sesaat kemudian senyumnya lenyap begitu saja, saat melihat sang kakak menggenggam erat jemari pria yang sangat ia kenali. Lututnya lemas seketika, sesuatu yang besar seperti menghantam rongga dadanya. Namun sebelum semua itu terjadi, ada luka lain yang lebih dulu merenggut tenangnya, kehilangan ayah tercinta. *** Nindi tak pernah menyangka bahwa ia akan kehilangan ayahnya secepat ini. Namun kenangan kemarin, saat ia menyaksikan sendiri jenazah sang ayah diturunkan ke liang lahat, menyadarkannya bahwa semua itu bukan sekadar mimpi. Meski sudah beberapa hari berlalu, kesedihan itu masih menyelimutinya. Namun sehancur apapun dirinya, kehidupannya tetaplah harus berjalan. Hari ini adalah hari pertama dirinya kembali masuk kantor setelah mengambil cuti meninggalnya sang ayah. Setiap langkahnya terasa berat saat memasuki kantor, pandangannya juga kosong. Di tengah-tengah itu, tiba-tiba hadir Ningsih, rekan kerja sekaligus teman kuliahnya dulu, berjalan sejajar di sampingnya. "Nin, akhirnya aku seneng banget bisa melihatmu masuk kantor lagi. Ngomong-ngomong, aku turut berduka cita atas meninggalnya ayahmu," kata Ningsih dengan ekspresi wajah muram di ujung kalimatnya. Nindi menghentikan langkahnya, begitupun juga Ningsih. Namun Nindi tidak mengatakan apa-apa, hanya mengangguk lemah sebagai jawaban. Entahlah, hari ini tubuhnya seolah kehilangan daya, seperti ada sebagian energinya yang ikut terkubur bersama kepergian ayahnya. "Oh ya, Nin, ada yang mau aku bilang ke kamu." Wajah Ningsih yang semula datar kembali berbinar, matanya berbicara lebih dulu sebelum bibirnya tersenyum, memperlihatkan semangat yang mendadak tumbuh lagi. "Lain kali saja, aku lagi enggak mau mendengar celotehanmu," jawab Nindi dengan ekspresi dan nada datar. Kemudian ia melanjutkan lagi langkahnya, tetapi Ningsih tetap mengikutinya, tak mau menyerah dan tetap ingin melanjutkan ceritanya. Bukan sehari dua hari, Nindi sudah lama mengenal Ningsih. Ia tahu, sebentar lagi wanita itu akan berceloteh panjang, mulai dari perkara kecil hingga yang penting. Sayangnya, kebanyakan hanya hal remeh yang tak perlu didengar. Nindi pun memilih diam, tak sanggup meladeni di tengah suasana hatinya yang sedang buruk. "Tapi ini penting, Nin. Kamu harus dengarkan ceritaku dulu," tekan Ningsih memasang wajah memelas. "Kamu selalu bilang begitu, tapi ujung-ujungnya kalau aku mendengarkan, kamu cuma membuang-buang waktuku, Ning." Nindi menimpali tanpa menoleh dan tetap melanjutkan langkahnya. Berharap setelah ini Ningsih berhenti mengganggunya. Namun alih-alih berhenti bicara, Ningsih justru menghalau langkahnya dan mengatakan, "Ini super penting dan kamu pasti menyesal kalau enggak mau dengar." Dengan posisi Ningsih yang berdiri menghadangnya, Nindi akhirnya mengalah. Helaan napas panjang keluar dari bibirnya, ditatapnya Ningsih dengan ogah-ogahan. "Hal penting apa?" Ningsih terdiam sejenak untuk mengambil napas, sebelum akhirnya mengatakan dengan air muka penuh keceriaan, "Aku mendengar dari divisi sebelah, katanya hari ini akan kedatangan bos baru di kantor kita. Masih muda, ganteng, dan karismatik." Seolah kecewa karena tak kunjung mendapatkan respon dari Nindi, senyum yang terhias di wajah Ningsih kini sirna seketika. "Hanya itu?" Ningsih mengangguk. "Itu nggak penting, Ning," tekan Nindi. Ningsih tampak tak menerimanya, "Ini berita besar, Nin. Akhir-akhir ini gosip tentang bos baru yang ganteng itu sedang memanas." Ningsih menatapnya penuh kekesalan. "Harusnya kamu berterima kasih dapat gosip ini dariku. Beberapa hari ini 'kan kamu nggak masuk kantor." "Daripada kamu sibuk gosip, mending beresin dulu laporan keuangan bulan ini. Jangan sampai salah input angka lagi, nanti Pak Romi ngomel-ngomel kayak kemarin." Nindi terkekeh kecil, teringat betapa sering Ningsih kena semprot kepala divisi gara-gara ceroboh dalam pekerjaannya. Meski begitu, candaan itu sedikit menghiburnya di tengah suasana duka, meski kesedihan di dadanya tak benar-benar hilang. Nyatanya celotehan Ningsih tak dapat terhindarkan begitu saja pagi itu. Meski mengesalkan, terkadang Ningsih seperti memberi sedikit warna dalam hidupnya. Membuatnya tertawa. Sesuai dengan gosip Ningsih, hari ini memang akan kedatangan CEO baru di kantor mereka. Beberapa waktu kemudian, Nindi sudah duduk di kursi ruang meeting yang berjejer, yang mana sebagian besar sudah terisi oleh para kepala divisi dan staf yang ditunjuk untuk mewakilkan, termasuk dirinya. "Selamat pagi, rekan-rekan semua. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk berkumpul di sini. Hari ini adalah hari yang sangat penting bagi kita di Argenta Group, karena kita akan menyambut pemimpin baru yang akan membawa perusahaan kita ke level yang lebih tinggi." Seorang wanita berusia sekitar 45-an yang dikenal sebagai direktur operasional, memasuki ruang meeting. Nindi duduk di kursi bagian belakang. Kepalanya terasa berat, mungkin akibat jam tidurnya yang berantakan selama beberapa hari terakhir, masih diliputi rasa kehilangan. Suara-suara di ruangan itu terdengar sayup, seolah meredam, sementara pikirannya kembali tenggelam pada peristiwa itu. Beberapa hari yang lalu Nindi sedang duduk di kursi rotan teras rumahnya, sampai kemudian nama sang ayah muncul di layar ponselnya. Senyum Nindi merekah, ia selalu menunggu momen di mana ayahnya menghubunginya untuk melepas rindu. Baru-baru ini sang ayah bekerja dinas keluar kota. Maklum, sejak kecil ia tak pernah ditinggal oleh ayahnya. Jadi saat ayahnya pergi jauh, Nindi merasa kesepian meskipun di rumah masih ada ibu dan kakak tirinya. Mungkin karena belum terbiasa. Namun harapan Nindi hancur berkeping-keping saat mendengar suara orang asing yang mengatakan bahwa ayahnya telah meninggal dunia. Hati Nindi terasa ditusuk sembilu, dunianya seketika hancur. Sekalinya pergi jauh darinya, sang ayah justru pergi untuk selama-lamanya. Sejak kejadian pilu itu menimpanya, Nindi tak dapat menelan makanan. Makanan seolah jadi terasa hambar. Yang dilakukannya hanya memeluk foto mendiang ayahnya, sementara air mata terus menerobos melewati pipinya tanpa henti. Untungnya, Sinta, sang kakak, selalu setia di sisinya. Ia menemani, membujuk agar Nindi mau makan, dan terus menyemangati sampai akhirnya adiknya bersedia mengisi perut. Sang ibu pun tak kalah berusaha, dengan penuh kasih ia memasak makanan favorit Nindi, hanya agar putrinya itu mau menyentuh hidangan di meja. Nindi menarik napas dalam-dalam, menyadari bahwa tidak seharusnya di momen seperti ini ia menumpahkan kesedihan itu. Ia harus bisa mengendalikan diri. Saat sudah merasa jauh lebih baik, pandangannya kembali tertuju ke depan, mencoba menyimak saat tiba waktunya memperkenalkan bos barunya. “Rekan-rekan, izinkan saya memperkenalkan CEO baru kita. Beliau adalah putra dari Bapak Argenta, lulusan Master of Business Administration dari Harvard University, dengan pengalaman yang tak diragukan lagi di dunia bisnis internasional. Mari kita sambut, Bapak David Argenta!" Seluruh karyawan berdiri dan bertepuk tangan menyambut kedatangan CEO baru mereka. Begitu pula Nindi. Di tengah-tengah rasa perih yang masih melekat dalam hatinya, matanya justru menangkap sosok pria berperawakan tegap dengan rahang tegas, hidung mancung, dan kulit putih bersih. Wajahnya memancarkan kesan dingin, namun senyum tipis yang muncul saat ia menyapa membuatnya tampak begitu memikat. Tepukan tangan Nindi perlahan melemah, matanya nyaris tak berkedip, seakan terhipnotis oleh sosok di hadapannya. Bahkan ketika suara pria itu bergema memenuhi ruangan, Nindi nyaris tak mendengar apa pun, terlalu larut dalam pandangannya. Sambil berbicara, pandangan David menyapu seluruh ruangan. Namun saat matanya sampai ke Nindi, tatapannya seolah bertahan sepersekian detik lebih lama.Bunyi notifikasi WhatsApp telah memecah keheningan kantor yang mulai sepi menjelang sore. Nindi meraih ponsel di mejanya, memeriksa pesan yang masuk. Itu pesan dari Sinta, kakaknya. [Nin, aku sudah pacaran dengan cowok itu][Pulang bekerja bisa ketemu? Kebetulan aku ada di dekat kantormu]Mata Nindi melebar, ia tak langsung menjawab dan justru membaca pesan itu untuk kedua kalinya. Barangkali ia salah membaca. Kakaknya ... sudah berpacaran dengan pria itu? Ia nyaris tak memercayainya. Itu akhir kisah manis yang sesuai harapan. Nindi teringat pria itu telah memberi warna baru dalam kehidupan Sinta. Rasa bahagia menyeruak dalam dadanya. Ia tak bisa menahan untuk tak tersenyum. Lantas jemari Nindi mulai mengetik di layar ponsel untuk menjawab pesan yang menggembirakan itu. [Beneran, Mbak? Aku enggak nyangka! Jadi, di mana nanti kita ketemu?]Tak lama kemudian pesan balasan kembali masuk dari Sinta. [Gimana kalau di kafe dekat kantormu aja, Nin?][Oke, Mbak. Nanti aku kabari lagi,
Di hari Minggu, rutinitas Nindi tak jauh berbeda, jogging bersama sang kakak di pagi hari, lalu nongkrong dengan Ningsih di siang harinya. Hanya duduk santai di kafe kecil sambil berbincang ringan sudah cukup membuatnya bahagia.Saat pulang, rumahnya tampak lengang. Awalnya ia mengira tak ada siapa pun di rumah, hingga matanya menangkap sosok pria di ruang tengah. Begitu mengenali wajah itu, senyum pun terulas di bibirnya.Begitu melihat Sam jongkok di ruang tamu sambil membuka kaleng cat, Nindi spontan menegakkan tubuhnya.Alisnya sedikit terangkat, bibirnya membentuk senyum kaku karena kaget."Sam, kamu lagi ngapain?" tanyanya pelan, suaranya naik setengah oktaf."Aku mau mengecat tembok ruang tengah ini, Nin," balasnya sambil memperlihatkan kaleng cat di hadapannya. Nindi manggut-manggut, pandangannya mulai menyeluruh. Ruang tengah memang sudah mulai kusam sejak almarhum ayahnya meninggal. Catnya mulai terkelupas, dan beberapa sudut tampak retak kecil. Begitu Nindi bertanya, Sam
"Nin kamu dipanggil Pak David ke ruangannya sekarang," ucap seorang rekan kerjanya. Nindi tercekat. Kalimat itu telah membuatnya berdebar. Dipandanginya rekan kerjanya dengan pandangan tak percaya. "Di-dipanggil?" Nindi memastikan, berharap ia hanya salah dengar. Semenjak jatuh cinta dengan bosnya sendiri, terkadang tanpa sadar Nindi melamun. Bayangan pria itu melintas begitu saja dalam benaknya. Dan barangkali ia juga sedang berhalusinasi sekarang. Rekan kerjanya mengangguk. Dahi Nindi mengkerut, masih tak percaya. "Tapi, kenapa?" Rekan kerjanya mengangkat bahu, "Aku kurang tahu, Nin. Aku cuma menyampaikan." "Oh gitu." Nindi mengangguk, pura-pura biasa-biasa saja padahal ia cukup terkejut. "Ya sudah, terima kasih infonya, ya." Begitu Nindi berterima kasih, sang rekan kerja sudah berlalu pergi. Nindi gamang sebelum memasuki ruangan David. Kenapa ia dipanggil? Apakah ia melakukan kesalahan? Memikirkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu hanya membuat kepalanya ber
Seharusnya Nindi mengubur dalam-dalam perasaan itu, menyadari betul siapa dirinya dan siapa David. Jarak di antara mereka terasa seperti bumi dan langit. Namun setiap kali matanya menangkap sosok pria itu, ia sadar bahwa rasa suka tersebut mustahil benar-benar hilang. Seperti saat ini, Nindi duduk bersama jajaran investor, matanya tak lepas dari layar presentasi. Namun bukan materi yang sepenuhnya menyita perhatiannya, melainkan cara David menyampaikannya. Suaranya tenang, terukur, dan setiap kalimat mengalir begitu meyakinkan. Nindi diam-diam kagum, public speaking-nya membuat siapa pun betah mendengarkan. Setelah lama menyimak, kini giliran tim marketing yang presentasi. Raka, teman Nindi, sudah berdiri di depan sambil menampilkan slide. "Seperti yang kita lihat, kampanye EcoCity akan mengedepankan konsep green living. Kami yakin target pasar akan tertarik karena tren ramah lingkungan sedang meningkat." Pria itu menjelaskan, sembari pandangannya menyeluruh. Namun di tempat dud
"Jadi, bagaimana perkembangan hubungan Mbak Sinta dengan cowok itu?" Sinta terhenyak. Pertanyaan itu membuat dirinya yang berdiri memunggungi sang adik terdiam sejenak, sebelum akhirnya menoleh. "Kenapa kamu tiba-tiba nanya hal itu?" Raut keheranan terlihat jelas di wajahnya. Mungkin Sinta hanya sedikit terkejut, sebab tiba-tiba saja Nindi menyinggung hubungannya dengan pria yang disukainya. Nindi menahan senyumnya, kemudian bergumam, "Aku cuma penasaran." Gelak tawa Sinta terdengar setelahnya. Entah apa yang terasa lucu. Wanita itu kemudian duduk di sampingnya. Keduanya baru saja jogging di Minggu pagi dan istirahat sejenak di kursi taman. "Nggak gimana-gimana sih, Nin. Kita cuma ngobrol santai." Nindi berdecak, "Kenapa cuma begitu?" Ditatapnya sang kakak dengan keheranan. Sebab sudah beberapa hari ini, tak ada kemajuan hubungan antara Sinta dan pria yang dekat dengannya. Setiap hari Nindi memergoki, Sinta hanya saling berbalas pesan saja. "Kalau gitu, Mbak Sinta yang harus amb
"Kalian tahu nggak? Pak David ternyata masih jomblo." "Tahu dari mana?" "Aku nemuin akun Instagram temennya Pak David pas lagi stalking IG-nya. Eh, ada postingan bareng Pak David, terus temennya nulis caption yang intinya bilang kalau Pak David masih jomblo."Nindi yang tengah mengunyah daging sontak terhenti ketika nama David melintas di telinganya. Ia dan rekan-rekan kerjanya sedang makan bersama di sebuah restoran Korea selepas jam kantor. Sedari tadi, ia lebih banyak sibuk membolak-balik potongan daging di panggangan lalu menyuapkannya ke mulut, tak terlalu ikut larut dalam obrolan. Awalnya percakapan mereka hanya seputar hal-hal ringan, tapi tiba-tiba arah pembicaraan berbelok ke topik yang tak ia sangka. Nindi tetap memilih diam, meski telinganya diam-diam awas menyimak."Serius masih jomblo?" timpal salah satu temannya, Sari. Lalu diangguki oleh yang lain. "Rasanya seperti mustahil ya orang seperti dia belum punya pasangan? Maksudku, orang sekeren dia memang siapa yang nggak







