Beranda / Romansa / Di Antara Dua Cinta / Bab 2 : Perasaan Misterius

Share

Bab 2 : Perasaan Misterius

Penulis: Swannera
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-03 23:15:24

Setelah menyadari sesi perkenalan usai dan seluruh karyawan satu-persatu mulai keluar, Nindi buru-buru bangkit berdiri. Namun tiba-tiba pulpen yang dibawanya terjatuh. Sebelum ia sempat meraihnya, sebuah tangan lebih dulu telurur untuk mengambilkannya. Saat Nindi mendongak, wajah David, bosnya sudah terpampang di hadapannya.

Tanpa sadar, pandangan Nindi terhenti pada wajah pria itu. Dari dekat, ia bisa melihat dengan jelas betapa mancung hidungnya, juga senyum yang tanpa ia pungkiri terlihat begitu manis. Begitu menyadari dirinya sedang mengagumi sang atasan, pipinya memanas, dan buru-buru ia menunduk kaku.

"Terima kasih, Pak." Diambilnya hati-hati pulpen yang diberikan oleh bosnya. Dengan posisi masih menunduk, Nindi bertalah berbalik badan menghadap pintu keluar. Merasa malu.

Namun ketika langkahnya hendak terayun, David justru membuatnya menunda langkahnya.

"Tunggu."

Nindi menelan kasar salivanya. Keringat sebesar biji jagung membasahi pelipisnya. Ada apa lagi? Pikirnya. Dengan terpaksa Nindi berbalik badan lagi. Ditatapnya sang atasan dengan ragu-ragu.

"Iya, Pak?" Nindi mengusahakan memasang wajah biasa saja, padahal jantungnya nyaris loncat dari tempatnya.

Lain hal dengan Davin yang air mukanya tenang. "Kamu dari divisi mana?" tanya sang atasan.

Pertanyaan sederhana itu seperti menghantarkan arus kecil dalam diri Nindi. "S-saya ... Marketing, Pak." Suaranya sedikit bergetar, tapi Nindi lagi-lagi berusaha tetap profesional dengan senyuman di ujung kalimatnya.

Pria itu mengangguk, menatap Nindi sejenak. "Siapa namamu?"

"Nindi, Pak." Suaranya nyaris tercekat di tenggorokan.

David mengulas senyum tipis, kemudian mengatakan dengan nada formal, "Baik Nindi, Terima kasih sudah hadir di perkenalan tadi. Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik.”

Nindi mengangguk kaku. "I-iya, Pak."

Bayangan kejadian pagi itu kembali terlintas dalam benak Nindi. Sebenarnya tak ada yang spesial. Hanya bosnya mengambilkan pulpen miliknya dan percakapan sederhana antara atasan dan karyawan. Itu saja. Namun seperti tertancap di memorinya.

"Nin, mau sampai kapan kamu melamun?" Pertanyaan Ningsih telah membuat bayangan momen itu hancur seperti potongan-potongan puzzle.

"Kamu dengar nggak tadi aku ngomong apa?" Dahi Ningsih mengkerut, terlihat gurat kekesalan di wajahnya sebab sang teman tak meladeni obrolannya.

Nindi bak orang linglung. Ia hanya bisa menatap bingung Ningsih. Jujur saja, sejak tadi ia tak begitu memperhatikan temannya itu. Ia justru tenggelam dalam pikirannya sendiri. Bahkan baru menyadari saat ini dirinya dan Ningsih tengah duduk di kafe untuk makan siang.

"Maaf Ning, aku enggak dengar." Sebuah cengiran tak berdosa muncul menghiasi wajahnya, meloloskan helaan napas panjang dari Ningsih.

"Kamu lagi mikirin apa, sih?" Ningsih terlihat penasaran.

Nindi tak langsung menjawab. Tidak mungkin ia menceritakan pada temannya itu bahwa dirinya tengah memikirkan sang bos. Bukan apa-apa, ia hanya takut Ningsih justru menebar gosip dan membuat situasi semakin rumit. Atau malah berkomentar yang aneh-aneh.

"Bukan apa-apa," lirih Nindi, ia mengulas senyum tipis.

Ningsih tampak tak begitu mempermasalahkan. Karena kemudian wanita berambut bergelombang itu mulai mengalihkan topik ke arah lain. "Eh aku enggak nyangka temanku diselingkuhi."

Nindi mengangkat alisnya, sedikit terperanjat dengan perubahan arah pembicaraan Ningsih. "Siapa?"

"Bella, teman satu fakultas-ku dulu. Kamu juga pasti kenal, kan?"

Nindi mengangguk samar. Sejujurnya ia tak begitu mengingat wajahnya, tapi namanya cukup familiar. Maklum, Ningsih dikenal sebagai wanita yang mudah bergaul dengan sifatnya yang cerewet dan terkesan ceplas-ceplos ketika berbicara. Kebalikan dari dirinya.

"Di media sosial dia kelihatan mesra dengan pacarnya. Tapi aku nggak percaya pacarnya bakalan selingkuh." Ningsih geleng-geleng, gurat wajahnya menampilkan bahwa ia juga menahan amarah.

"Itulah Ning, kita harus hati-hati memilih pasangan hidup." Nindi menimpali.

Ningsih bergidik, alisnya bertaut dan bibirnya manyun, "Menyesal dulu aku sempat menjadikan pacar Bella sebagai cowok ideal hanya karena dia romantis. Ternyata kelakuannya begitu."

Melihat ekspresi wajah Ningsih, membuat kekehan kecil lolos dari bibir Nindi. "Kalau dia bukan lagi jadi cowok ideal buatmu. Lalu cowok ideal kamu itu seperti apa?"

Ningsih terdiam, seakan menimbang-nimbang jawaban atas pertanyaan Nindi. Begitu menemukan jawabannya, sudut bibirnya terangkat, membentuk seringai nakal. "Aku sudah tahu siapa."

"Siapa?" tanya Nindi penasaran.

"Pak David."

Mendengar nama itu, mata Nindi sontak membesar. Seharusnya ia bisa menanggapinya biasa saja, tapi ada sesuatu yang mengusik di dadanya ketika mendengar Ningsih menyebut David sebagai pria ideal.

"Serius? Baru sehari kerja bareng, udah langsung ngecap dia ideal?" Nindi menunduk, berpura-pura sibuk dengan makanan yang sejak tadi nyaris tak disentuh, padahal hatinya sendiri ikut bergejolak.

Ningsih mengangguk mantap. “Dia bukan cuma definisi bos yang tampan dan karismatik, tapi juga pintar dan terlihat mengayomi.” Matanya berbinar penuh kekaguman saat mengatakannya.

Nindi diam-diam setuju pada bagian terakhir. Saat perkenalan tadi, ia sendiri melihat bagaimana David menyampaikan visi dan misinya dengan tegas sekaligus menenangkan.

"Kamu juga mikir gitu, kan?"

Nindi cepat-cepat menggeleng. Ia tidak ingin Ningsih tahu bahwa dirinya juga diam-diam mengagumi sang atasan. "Enggak. Aku nggak mikir gitu."

"Bohong. Kenapa wajahmu memerah?" Ningsih mencondongkan tubuhnya, wajahnya menyeringai. "Apa jangan-jangan kamu menyukai Pak David?"

Pertanyaan itu membuat sendok yang dipegang Nindi terjatuh hingga berdenting. Pipinya memanas. Ia hanya menoleh sekilas pada Ningsih, lalu kembali menunduk. "Enggak, aku enggak suka."

Ningsih menghela napas. Disandarkannya punggungnya pada sandaran kursi, netranya menatap ke atas seolah sedang membayangkan sesuatu. Nindi bersyukur wanita itu terlihat tak mengungkit soal topik sebelumnya, tapi kalimat lain yang keluar darinya tak kalah membuatnya terkejut.

"Pernah kebayang nggak, sih? Seandainya kamu menikah dengan Pak David, hidup kamu bakalan bahagia. Kamu tinggal ongkang-ongkang kaki, tapi harta kamu nggak bakal habis tujuh turunan." Mata Ningsih berbinar-binar mengatakannya.

Nindi diam saja, hanya mendengar celotehan temannya yang terasa konyol sekaligus berlebihan. Lagipula, pikirannya saat ini lebih banyak dipenuhi oleh perasaan yang belum bisa ia pahami. Suka, kagum… atau sekadar ilusi belaka?

Namun tiba-tiba, Ningsih melontarkan sebuah pertanyaan yang membuat langkah hati Nindi seakan terhenti.

"Apa menurutmu… orang kecil seperti kita benar-benar bisa bersanding dengan seseorang seperti Pak David?"

Seketika, dada Nindi mengencang. Entah karena rasa takut… atau justru karena dalam hatinya, ia ingin sekali menemukan jawabannya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Di Antara Dua Cinta   Bab 5 : Kisah Asmara Adik Kakak

    "Kalian tahu nggak? Pak David ternyata masih jomblo." "Tahu dari mana?" "Aku nemuin akun Instagram temennya Pak David pas lagi stalking IG-nya. Eh, ada postingan bareng Pak David, terus temennya nulis caption yang intinya bilang kalau Pak David masih jomblo."Nindi yang tengah mengunyah daging sontak terhenti ketika nama David melintas di telinganya. Ia dan rekan-rekan kerjanya sedang makan bersama di sebuah restoran Korea selepas jam kantor. Sedari tadi, ia lebih banyak sibuk membolak-balik potongan daging di panggangan lalu menyuapkannya ke mulut, tak terlalu ikut larut dalam obrolan. Awalnya percakapan mereka hanya seputar hal-hal ringan, tapi tiba-tiba arah pembicaraan berbelok ke topik yang tak ia sangka. Nindi tetap memilih diam, meski telinganya diam-diam awas menyimak."Serius masih jomblo?" timpal salah satu temannya, Sari. Lalu diangguki oleh yang lain. "Rasanya seperti mustahil ya orang seperti dia belum punya pasangan? Maksudku, orang sekeren dia memang siapa yang nggak

  • Di Antara Dua Cinta   Bab 4 : Jatuh Cinta

    "Bagus sekali, saya suka cara berpikirmu." Kata-kata ini seperti tertancap dalam kepala Nindi. Teringat senyum hangat David saat mengatakan hal itu padanya. Tak ada kata-kata spesial, hanya atasan yang memuji bawahannya. Namun kenapa mampu membuat Nindi tak berhenti memikirkannya? Akhir-akhir ini pikirannya memang tertuju pada sang atasan. Nindi pun tak mengerti. Mungkinkah hanya kagum biasa pada atasannya? Ataukah rasa lain? ...Tidak, Nindi menepis pikiran itu. Mungkin saja hanya kagum biasa sebab David adalah bos yang tampan, karimastik, dan pintar seperti yang dikatakan oleh Ningsih tempo hari lalu. Ia tidak ingin dianggap konyol karena menyukai atasannya sendiri. Saat ini dirinya ikut serta untuk survei lapangan. Nindi sedikit berdebar, sebab ini pertama kali ia terlibat langsung dalam proyek pertamanya dengan David. Begitu Nindi turun dari mobil, hawa pagi yang sudah menginjak pukul sepuluh menyambutnya. Udara terasa agak gerah, meski angin sesekali berhembus membawa aroma ta

  • Di Antara Dua Cinta   Bab 3 : Kisah Pilu Sinta

    "Kamu pikir mendapat pekerjaan jaman sekarang mudah, Sin?!""Tapi Sinta yakin pasti bisa, Bu. Selama Sinta mau berusaha dan terus berdoa. Lagipula Sinta punya alasan yang jelas kenapa memilih keluar dari pekerjaan itu." "Terserah! Ibu capek ngomong sama kamu!" Nindi tercekat. Ketika ia tak sengaja mendengar kegaduhan dari kamar Sinta. Ia baru saja pulang bekerja, memanggil-manggil Ibu dan sang kakak yang tak kunjung mendapat sahutan. Lalu tiba-tiba ia dikejutkan oleh pertikaian kecil keduanya. Nindi tidak tahu apa yang terjadi, tapi suara Sinta terdengar gemetar, isakannya telah membuat hatinya sedikit tergores. Sinta yang ia kenal sebagai seorang kakak yang selalu menampilkan senyum, justru menyembunyikan sisi rapuhnya. Sementara Bu Wina, ibunya, terdengar dari suaranya sepertinya telah berkobar api amarah dalam dirinya. Nindi tidak mendengar apa-apa lagi setelahnya, hanya menyisakan isakan kecil Sinta yang memilukan. Lalu Bu Wina keluar dari kamar melewatinya begitu saja yang ber

  • Di Antara Dua Cinta   Bab 2 : Perasaan Misterius

    Setelah menyadari sesi perkenalan usai dan seluruh karyawan satu-persatu mulai keluar, Nindi buru-buru bangkit berdiri. Namun tiba-tiba pulpen yang dibawanya terjatuh. Sebelum ia sempat meraihnya, sebuah tangan lebih dulu telurur untuk mengambilkannya. Saat Nindi mendongak, wajah David, bosnya sudah terpampang di hadapannya. Tanpa sadar, pandangan Nindi terhenti pada wajah pria itu. Dari dekat, ia bisa melihat dengan jelas betapa mancung hidungnya, juga senyum yang tanpa ia pungkiri terlihat begitu manis. Begitu menyadari dirinya sedang mengagumi sang atasan, pipinya memanas, dan buru-buru ia menunduk kaku. "Terima kasih, Pak." Diambilnya hati-hati pulpen yang diberikan oleh bosnya. Dengan posisi masih menunduk, Nindi bertalah berbalik badan menghadap pintu keluar. Merasa malu. Namun ketika langkahnya hendak terayun, David justru membuatnya menunda langkahnya. "Tunggu." Nindi menelan kasar salivanya. Keringat sebesar biji jagung membasahi pelipisnya. Ada apa lagi? Pikirn

  • Di Antara Dua Cinta   Bab 1 : Awal Pertemuan

    "Mbak Sinta hari ini cantik sekali," puji Nindi saat melihat sang kakak berdandan di depan meja rias. Sinta tersenyum menatap pantulan wajah sang adik dari cermin. "Hari ini 'kan hari yang spesial. Mbak akan memperkenalkan pacar Mbak ke kamu dan Ibu."Nindi ikut tersenyum, meski jantungnya ikut berdegup. Belum lama ini, mereka berjanji saling mengenalkan pria yang mereka sukai. Tapi Nindi masih ragu, apa dirinya mampu?Malam itu meja makan dipenuhi berbagai macam hidangan. Sang Ibu yang memasaknya, sengaja disiapkan untuk makan malam bersama calon menantunya nanti.Ketika suara mobil berbunyi, Sinta segera menyambut kedatangan sang kekasih. Sementara Nindi dan Ibunya menunggu di teras. Senyum Nindi mengembang memperhatikan dari jauh, tak sabar untuk segera mengenal siapa pria yang telah menjadi tambatan hati kakaknya. Namun sesaat kemudian senyumnya lenyap begitu saja, saat melihat sang kakak menggenggam erat jemari pria yang sangat ia kenali. Lututnya lemas seketika, sesuatu yang be

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status