LOGINSetelah menyadari sesi perkenalan usai dan seluruh karyawan satu-persatu mulai keluar, Nindi buru-buru bangkit berdiri. Namun tiba-tiba pulpen yang dibawanya terjatuh. Sebelum ia sempat meraihnya, sebuah tangan lebih dulu telurur untuk mengambilkannya. Saat Nindi mendongak, wajah David, bosnya sudah terpampang di hadapannya.
Tanpa sadar, pandangan Nindi terhenti pada wajah pria itu. Dari dekat, ia bisa melihat dengan jelas betapa mancung hidungnya, juga senyum yang tanpa ia pungkiri terlihat begitu manis. Begitu menyadari dirinya sedang mengagumi sang atasan, pipinya memanas, dan buru-buru ia menunduk kaku. "Terima kasih, Pak." Diambilnya hati-hati pulpen yang diberikan oleh bosnya. Dengan posisi masih menunduk, Nindi bertalah berbalik badan menghadap pintu keluar. Merasa malu. Namun ketika langkahnya hendak terayun, David justru membuatnya menunda langkahnya. "Tunggu." Nindi menelan kasar salivanya. Keringat sebesar biji jagung membasahi pelipisnya. Ada apa lagi? Pikirnya. Dengan terpaksa Nindi berbalik badan lagi. Ditatapnya sang atasan dengan ragu-ragu. "Iya, Pak?" Nindi mengusahakan memasang wajah biasa saja, padahal jantungnya nyaris loncat dari tempatnya. Lain hal dengan Davin yang air mukanya tenang. "Kamu dari divisi mana?" tanya sang atasan. Pertanyaan sederhana itu seperti menghantarkan arus kecil dalam diri Nindi. "S-saya ... Marketing, Pak." Suaranya sedikit bergetar, tapi Nindi lagi-lagi berusaha tetap profesional dengan senyuman di ujung kalimatnya. Pria itu mengangguk, menatap Nindi sejenak. "Siapa namamu?" "Nindi, Pak." Suaranya nyaris tercekat di tenggorokan. David mengulas senyum tipis, kemudian mengatakan dengan nada formal, "Baik Nindi, Terima kasih sudah hadir di perkenalan tadi. Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik.” Nindi mengangguk kaku. "I-iya, Pak." Bayangan kejadian pagi itu kembali terlintas dalam benak Nindi. Sebenarnya tak ada yang spesial. Hanya bosnya mengambilkan pulpen miliknya dan percakapan sederhana antara atasan dan karyawan. Itu saja. Namun seperti tertancap di memorinya. "Nin, mau sampai kapan kamu melamun?" Pertanyaan Ningsih telah membuat bayangan momen itu hancur seperti potongan-potongan puzzle. "Kamu dengar nggak tadi aku ngomong apa?" Dahi Ningsih mengkerut, terlihat gurat kekesalan di wajahnya sebab sang teman tak meladeni obrolannya. Nindi bak orang linglung. Ia hanya bisa menatap bingung Ningsih. Jujur saja, sejak tadi ia tak begitu memperhatikan temannya itu. Ia justru tenggelam dalam pikirannya sendiri. Bahkan baru menyadari saat ini dirinya dan Ningsih tengah duduk di kafe untuk makan siang. "Maaf Ning, aku enggak dengar." Sebuah cengiran tak berdosa muncul menghiasi wajahnya, meloloskan helaan napas panjang dari Ningsih. "Kamu lagi mikirin apa, sih?" Ningsih terlihat penasaran. Nindi tak langsung menjawab. Tidak mungkin ia menceritakan pada temannya itu bahwa dirinya tengah memikirkan sang bos. Bukan apa-apa, ia hanya takut Ningsih justru menebar gosip dan membuat situasi semakin rumit. Atau malah berkomentar yang aneh-aneh. "Bukan apa-apa," lirih Nindi, ia mengulas senyum tipis. Ningsih tampak tak begitu mempermasalahkan. Karena kemudian wanita berambut bergelombang itu mulai mengalihkan topik ke arah lain. "Eh aku enggak nyangka temanku diselingkuhi." Nindi mengangkat alisnya, sedikit terperanjat dengan perubahan arah pembicaraan Ningsih. "Siapa?" "Bella, teman satu fakultas-ku dulu. Kamu juga pasti kenal, kan?" Nindi mengangguk samar. Sejujurnya ia tak begitu mengingat wajahnya, tapi namanya cukup familiar. Maklum, Ningsih dikenal sebagai wanita yang mudah bergaul dengan sifatnya yang cerewet dan terkesan ceplas-ceplos ketika berbicara. Kebalikan dari dirinya. "Di media sosial dia kelihatan mesra dengan pacarnya. Tapi aku nggak percaya pacarnya bakalan selingkuh." Ningsih geleng-geleng, gurat wajahnya menampilkan bahwa ia juga menahan amarah. "Itulah Ning, kita harus hati-hati memilih pasangan hidup." Nindi menimpali. Ningsih bergidik, alisnya bertaut dan bibirnya manyun, "Menyesal dulu aku sempat menjadikan pacar Bella sebagai cowok ideal hanya karena dia romantis. Ternyata kelakuannya begitu." Melihat ekspresi wajah Ningsih, membuat kekehan kecil lolos dari bibir Nindi. "Kalau dia bukan lagi jadi cowok ideal buatmu. Lalu cowok ideal kamu itu seperti apa?" Ningsih terdiam, seakan menimbang-nimbang jawaban atas pertanyaan Nindi. Begitu menemukan jawabannya, sudut bibirnya terangkat, membentuk seringai nakal. "Aku sudah tahu siapa." "Siapa?" tanya Nindi penasaran. "Pak David." Mendengar nama itu, mata Nindi sontak membesar. Seharusnya ia bisa menanggapinya biasa saja, tapi ada sesuatu yang mengusik di dadanya ketika mendengar Ningsih menyebut David sebagai pria ideal. "Serius? Baru sehari kerja bareng, udah langsung ngecap dia ideal?" Nindi menunduk, berpura-pura sibuk dengan makanan yang sejak tadi nyaris tak disentuh, padahal hatinya sendiri ikut bergejolak. Ningsih mengangguk mantap. “Dia bukan cuma definisi bos yang tampan dan karismatik, tapi juga pintar dan terlihat mengayomi.” Matanya berbinar penuh kekaguman saat mengatakannya. Nindi diam-diam setuju pada bagian terakhir. Saat perkenalan tadi, ia sendiri melihat bagaimana David menyampaikan visi dan misinya dengan tegas sekaligus menenangkan. "Kamu juga mikir gitu, kan?" Nindi cepat-cepat menggeleng. Ia tidak ingin Ningsih tahu bahwa dirinya juga diam-diam mengagumi sang atasan. "Enggak. Aku nggak mikir gitu." "Bohong. Kenapa wajahmu memerah?" Ningsih mencondongkan tubuhnya, wajahnya menyeringai. "Apa jangan-jangan kamu menyukai Pak David?" Pertanyaan itu membuat sendok yang dipegang Nindi terjatuh hingga berdenting. Pipinya memanas. Ia hanya menoleh sekilas pada Ningsih, lalu kembali menunduk. "Enggak, aku enggak suka." Ningsih menghela napas. Disandarkannya punggungnya pada sandaran kursi, netranya menatap ke atas seolah sedang membayangkan sesuatu. Nindi bersyukur wanita itu terlihat tak mengungkit soal topik sebelumnya, tapi kalimat lain yang keluar darinya tak kalah membuatnya terkejut. "Pernah kebayang nggak, sih? Seandainya kamu menikah dengan Pak David, hidup kamu bakalan bahagia. Kamu tinggal ongkang-ongkang kaki, tapi harta kamu nggak bakal habis tujuh turunan." Mata Ningsih berbinar-binar mengatakannya. Nindi diam saja, hanya mendengar celotehan temannya yang terasa konyol sekaligus berlebihan. Lagipula, pikirannya saat ini lebih banyak dipenuhi oleh perasaan yang belum bisa ia pahami. Suka, kagum… atau sekadar ilusi belaka? Namun tiba-tiba, Ningsih melontarkan sebuah pertanyaan yang membuat langkah hati Nindi seakan terhenti. "Apa menurutmu… orang kecil seperti kita benar-benar bisa bersanding dengan seseorang seperti Pak David?" Seketika, dada Nindi mengencang. Entah karena rasa takut… atau justru karena dalam hatinya, ia ingin sekali menemukan jawabannya.Bunyi notifikasi WhatsApp telah memecah keheningan kantor yang mulai sepi menjelang sore. Nindi meraih ponsel di mejanya, memeriksa pesan yang masuk. Itu pesan dari Sinta, kakaknya. [Nin, aku sudah pacaran dengan cowok itu][Pulang bekerja bisa ketemu? Kebetulan aku ada di dekat kantormu]Mata Nindi melebar, ia tak langsung menjawab dan justru membaca pesan itu untuk kedua kalinya. Barangkali ia salah membaca. Kakaknya ... sudah berpacaran dengan pria itu? Ia nyaris tak memercayainya. Itu akhir kisah manis yang sesuai harapan. Nindi teringat pria itu telah memberi warna baru dalam kehidupan Sinta. Rasa bahagia menyeruak dalam dadanya. Ia tak bisa menahan untuk tak tersenyum. Lantas jemari Nindi mulai mengetik di layar ponsel untuk menjawab pesan yang menggembirakan itu. [Beneran, Mbak? Aku enggak nyangka! Jadi, di mana nanti kita ketemu?]Tak lama kemudian pesan balasan kembali masuk dari Sinta. [Gimana kalau di kafe dekat kantormu aja, Nin?][Oke, Mbak. Nanti aku kabari lagi,
Di hari Minggu, rutinitas Nindi tak jauh berbeda, jogging bersama sang kakak di pagi hari, lalu nongkrong dengan Ningsih di siang harinya. Hanya duduk santai di kafe kecil sambil berbincang ringan sudah cukup membuatnya bahagia.Saat pulang, rumahnya tampak lengang. Awalnya ia mengira tak ada siapa pun di rumah, hingga matanya menangkap sosok pria di ruang tengah. Begitu mengenali wajah itu, senyum pun terulas di bibirnya.Begitu melihat Sam jongkok di ruang tamu sambil membuka kaleng cat, Nindi spontan menegakkan tubuhnya.Alisnya sedikit terangkat, bibirnya membentuk senyum kaku karena kaget."Sam, kamu lagi ngapain?" tanyanya pelan, suaranya naik setengah oktaf."Aku mau mengecat tembok ruang tengah ini, Nin," balasnya sambil memperlihatkan kaleng cat di hadapannya. Nindi manggut-manggut, pandangannya mulai menyeluruh. Ruang tengah memang sudah mulai kusam sejak almarhum ayahnya meninggal. Catnya mulai terkelupas, dan beberapa sudut tampak retak kecil. Begitu Nindi bertanya, Sam
"Nin kamu dipanggil Pak David ke ruangannya sekarang," ucap seorang rekan kerjanya. Nindi tercekat. Kalimat itu telah membuatnya berdebar. Dipandanginya rekan kerjanya dengan pandangan tak percaya. "Di-dipanggil?" Nindi memastikan, berharap ia hanya salah dengar. Semenjak jatuh cinta dengan bosnya sendiri, terkadang tanpa sadar Nindi melamun. Bayangan pria itu melintas begitu saja dalam benaknya. Dan barangkali ia juga sedang berhalusinasi sekarang. Rekan kerjanya mengangguk. Dahi Nindi mengkerut, masih tak percaya. "Tapi, kenapa?" Rekan kerjanya mengangkat bahu, "Aku kurang tahu, Nin. Aku cuma menyampaikan." "Oh gitu." Nindi mengangguk, pura-pura biasa-biasa saja padahal ia cukup terkejut. "Ya sudah, terima kasih infonya, ya." Begitu Nindi berterima kasih, sang rekan kerja sudah berlalu pergi. Nindi gamang sebelum memasuki ruangan David. Kenapa ia dipanggil? Apakah ia melakukan kesalahan? Memikirkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu hanya membuat kepalanya ber
Seharusnya Nindi mengubur dalam-dalam perasaan itu, menyadari betul siapa dirinya dan siapa David. Jarak di antara mereka terasa seperti bumi dan langit. Namun setiap kali matanya menangkap sosok pria itu, ia sadar bahwa rasa suka tersebut mustahil benar-benar hilang. Seperti saat ini, Nindi duduk bersama jajaran investor, matanya tak lepas dari layar presentasi. Namun bukan materi yang sepenuhnya menyita perhatiannya, melainkan cara David menyampaikannya. Suaranya tenang, terukur, dan setiap kalimat mengalir begitu meyakinkan. Nindi diam-diam kagum, public speaking-nya membuat siapa pun betah mendengarkan. Setelah lama menyimak, kini giliran tim marketing yang presentasi. Raka, teman Nindi, sudah berdiri di depan sambil menampilkan slide. "Seperti yang kita lihat, kampanye EcoCity akan mengedepankan konsep green living. Kami yakin target pasar akan tertarik karena tren ramah lingkungan sedang meningkat." Pria itu menjelaskan, sembari pandangannya menyeluruh. Namun di tempat dud
"Jadi, bagaimana perkembangan hubungan Mbak Sinta dengan cowok itu?" Sinta terhenyak. Pertanyaan itu membuat dirinya yang berdiri memunggungi sang adik terdiam sejenak, sebelum akhirnya menoleh. "Kenapa kamu tiba-tiba nanya hal itu?" Raut keheranan terlihat jelas di wajahnya. Mungkin Sinta hanya sedikit terkejut, sebab tiba-tiba saja Nindi menyinggung hubungannya dengan pria yang disukainya. Nindi menahan senyumnya, kemudian bergumam, "Aku cuma penasaran." Gelak tawa Sinta terdengar setelahnya. Entah apa yang terasa lucu. Wanita itu kemudian duduk di sampingnya. Keduanya baru saja jogging di Minggu pagi dan istirahat sejenak di kursi taman. "Nggak gimana-gimana sih, Nin. Kita cuma ngobrol santai." Nindi berdecak, "Kenapa cuma begitu?" Ditatapnya sang kakak dengan keheranan. Sebab sudah beberapa hari ini, tak ada kemajuan hubungan antara Sinta dan pria yang dekat dengannya. Setiap hari Nindi memergoki, Sinta hanya saling berbalas pesan saja. "Kalau gitu, Mbak Sinta yang harus amb
"Kalian tahu nggak? Pak David ternyata masih jomblo." "Tahu dari mana?" "Aku nemuin akun Instagram temennya Pak David pas lagi stalking IG-nya. Eh, ada postingan bareng Pak David, terus temennya nulis caption yang intinya bilang kalau Pak David masih jomblo."Nindi yang tengah mengunyah daging sontak terhenti ketika nama David melintas di telinganya. Ia dan rekan-rekan kerjanya sedang makan bersama di sebuah restoran Korea selepas jam kantor. Sedari tadi, ia lebih banyak sibuk membolak-balik potongan daging di panggangan lalu menyuapkannya ke mulut, tak terlalu ikut larut dalam obrolan. Awalnya percakapan mereka hanya seputar hal-hal ringan, tapi tiba-tiba arah pembicaraan berbelok ke topik yang tak ia sangka. Nindi tetap memilih diam, meski telinganya diam-diam awas menyimak."Serius masih jomblo?" timpal salah satu temannya, Sari. Lalu diangguki oleh yang lain. "Rasanya seperti mustahil ya orang seperti dia belum punya pasangan? Maksudku, orang sekeren dia memang siapa yang nggak







