Di suite kamar hotel, Alena bersantai di sofa, memandangi layar televisi namun sebenarnya pikirannya sedang tak ada di sana. Ia memikirkan pernikahannya dengan Pramudya.
"Apa yang kau pikirkan? Sejak semalam kau tidak fokus denganku." Arya keluar dari kamar mandi dengan kimono handuk.
Arya adalah salah satu kekasih Alena. Ia sudah berkeluarga dan memiliki tiga orang anak perempuan yang masih kecil-kecil.
"Masih ada waktu tiga hari. Batalkan pernikahanmu!" tandas Arya.
Alena berjengit. "Kau tak punya hak mengatur hidupku!"
"Aku menawarkan untuk menikahimu kenapa kau memilih Pramudya?" Arya duduk di sebelah Alena, melingkarkan kedua tangannya dipinggang Alena.
"Hanya Pramudya laki-laki yang tulus mencintaiku dan ia bukan suami orang," jawab Alena.
"Kau pikir aku tidak tulus mencintaimu?" Arya mencium pelipis Alena.
"Pram belum pernah sekalipun menyentuh tubuhku," sahut Alena pelan.
Arya terbelalak.
"Siapapun pria yang menyentuhku, aku anggap mereka hanya mencintai tubuhku, bukan diriku. Tubuhku bisa dibeli tapi hatiku tidak!"
Arya melepaskan rangkulannya. Ia tampak serius. "Kau mencintai calon suamimu?"
"Entah. Mungkin iya. Mungkin juga tidak. Aku hanya tak bisa mengabaikan tatapan ketulusannya padaku dan itu tak kutemukan di matamu juga mata pria hidung belang lainnya." Alena menuang vodka setengah gelas. Meminumnya perlahan.
"Setelah menikah, aku tak bisa menemuimu lagi?" tanya Arya.
"Tergantung uangmu. Kau perlu tubuhku, kau sediakan uang yang besar. Itu adalah hubungan kita sejak awal," sahut Alena.
"Bagaimana mungkin kau menikah dengan seseorang tapi masih bercinta dengan laki-laki lain?" tanya Arya ikut menuang minuman ke dalam gelas berisi batu es.
"Kau juga sudah menikah. Lalu kenapa harus tidur dengan wanita lain selain istrimu?"
Arya menghela napas panjang. "Aku hanya bercinta denganmu, Alena. Tidak dengan perempuan lainnya."
Alena tersenyum lalu mengedikkan bahu.
"Kupikir kau sudah menyerahkan seluruhnya untukku. Tubuhmu, juga hatimu," ucap Arya menggoyang-goyangkan gelasnya.
"Kau punya keahlian memanjakanku dengan uangmu namun kau tak cukup mampu menggetarkan hatiku," sahut Alena membuang pandangan keluar jendela kamar.
Arya menatap lekat Alena. Perempuan yang sesungguhnya ia kasihi. Arya memang hanya berhubungan dengan Alena. Tidak ada perempuan lain. Ia bahkan berniat menjadikan Alena istri keduanya.
Tapi Alena menolak. Ia hanya akan bermain-main saja, jika pria itu sudah beristri. Berbeda dengan Pram, Alena sesungguhnya tak mengerti perasaan seperti apa yang ia punya untuk Pram. Cinta?
Alena sudah tak mengenal cinta sejak ayah kandungnya memperkosanya di saat ia berumur dua belas tahun dan kejadian itu berlangsung selama hampir satu tahun. Ibunya depresi dan menjadi penghuni rumah sakit jiwa ketika mengetahui hal itu.
Ayahnya seorang pemabuk berat dan meninggal dalam peristiwa kebakaran di rumahnya. Saat kebakaran itu terjadi, ayahnya sedang dalam kondisi mabuk dan tertidur di dalam rumah. Tetangga sekitar tak sempat menyelamatkannya. Untung saja saat itu Alena sedang tidak berada di rumah. Ia berhasil selamat dari peristiwa naas tersebut.
Hidup Alena kecil terlunta-lunta. Tak ada rumah, tak ada orang tua. Namun seorang tetangga berbaik hati mengantarkan Alena ke sebuah panti asuhan. Di sanalah Alena berjuang bangkit dari keterpurukan jiwanya.
Namun sejak saat itu pula ia memiliki sebuah dendam terhadap kaum Adam. Sementara itu ibunya meninggal dua tahun setelah kepergian ayahnya. Ibunya menderita sakit lever akut.
Di panti asuhan, Ibu panti sangat menyayangi Alena. Alena tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik dan sangat pandai. Ia selalu menerima beasiswa kategori prestasi. Hingga kini, Alena masih sering mengunjungi panti asuhan milik Ibu Rengganis. Wanita pengganti ibunya yang sangat ia kasihi.
Alena kerap membantu adik-adik pantinya dengan rutin mengirimkan sejumlah uang untuk keperluan mereka.
Namun Ibu Rengganis tak pernah tahu sepak terjang Alena mendapatkan semua fasilitas hidupnya. Yang ia tahu, Alena adalah anak kesayangannya yang cantik, pandai dan bekerja di sebuah perusahaan bonafide di kota Jakarta.
***
Jam sepuluh pagi Liana sudah berada di kafe baru temannya. Ia sudah menghabiskan steak, makanan utama yang ia pilih.
"Dessertnya apa yang enak, Rin?" tanya Liana pada Ririn, sang pemilik kafe
"Ada banyak. Saran aku coba pesan ini saja, Signatured Alaska Baked," jawab Ririn sambil membuka-buka buku menu.
"Apa itu? Kok, bentuknya mirip kulit landak," jawab Liana sambil melihat gambar menu yang disodorkan Ririn.
"Bukan landak, bentuknya mirip durian mini. Ini dibuat dari marshmallow, beberapa lapis es krim dan sponge cake. Saat disajikan, durian mini ini disiram vodka atau rum baru dipanggang pakai api. Nah, saat durian marshmallow ini dipotong, di dalamnya ada frozen ice cream," papar Ririn antusias.
"Repot amat harus dibakar-bakar dulu. Coba yang lain saja!" tolak Liana santai. "Ini saja, Red Velvet Cake dan es krim coklat. Cepat, ya. Jangan pakai lama!"
Ririn memanggil pegawai kafe dan menyampaikan pesanan Liana.
"Kafemu jauh sekali dari rumahku. Perlu waktu setengah jam untuk bisa sampai ke sini, jalanan pun tadi tidak macet," protes Liana.
"Aku dapat sewa tempatnya di daerah sini. Lagipula di seberang jalan itu area pabrik dan perkantoran. Aku yakin kafe ini pasti ramai," jawab Ririn.
"Semangat Rinawati Wulandari! Aku kapan punya usaha seperti ini?" Liana mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kafe.
"Kau bukannya mau jadi artis, Li." Ririn terkekeh.
"Jangan mengejek. Tunggu saja tanggal mainnya. Nanti aku sibuk wara-wiri di televisi. Kau pasti susah bertemu denganku, Rin." Liana mengedip-ngedipkan sebelah mata kanannya. Eh, itu dia pesananku!" Liana bersemangat melihat salah satu pegawai kafe membawa es krim, salah satu makanan kesukaannya.
Sementara dari meja kasir, Pramudya tampak memicingkan mata ke arah Liana. Ia mempertegas penglihatannya.
"Alena?" desis Pram.
"Semuanya seratus empat puluh dua rupiah, Pak," kata Yuyun, kasir di kafe Ririn.
"Oh, iya. Ini, Mbak. Kembaliannya ambil saja!" Pramudya mengeluarkan uang lima puluh ribu sebanyak tiga lembar.
"Oh, terima kasih banyak, Pak," jawab Yuyun sumringah.
Pram kembali melihat ke meja di mana Liana melahap es krim dengan semangat dua ribu dua puluh satu. Bergegas ia menelpon Alena sambil berjalan menuju pintu keluar, pandangannya masih belum lepas dari Liana.
"Sayang, kau di mana sekarang?"
"Di apartemen, baru saja bangun. Kenapa, Pram?" jawab Alena di seberang telepon.
"Tak apa-apa. Kupikir tadi aku melihatmu sarapan pagi di kafe baru dekat kantorku. Mungkin aku salah lihat karena terlalu rindu, tak sabar melihatmu di pelaminan. Oke, sudah dulu, ya. Jangan telat sarapan!"
Pram berlalu dari kafe setelah memastikan jika perempuan yang ia lihat bukan Alena. Lagipula penampilannya sungguh jauh berbeda meski wajah mereka sangat mirip. Perempuan yang ia lihat di kafe terlihat lebih kekanakkan dibanding Alena.
Hari pernikahan Alena dan Pramudya tiba. Pesta Kebun di halaman belakang rumah Nyonya Sekar tampak meriah meski hanya dihadiri keluarga dan kawan-kawan terdekat. Pramudya terlihat sangat mempesona dengan tuxedo sutra hitam yang ia kenakkan. Begitu juga dengan Alena. Gaun pengantin putih dengan model V-Neck dan lacehalus yang menambah kesan mewah, membalut sempurna tubuh Alena. Gaya rambut Messy Low Bun Alena diimbangi dengan tatanan bagian depan yang terlihat sleek di kedua sisi.Tampak memukau meski tanpa hair piece. Lalu satu set purple diamondpemberian Pramudya semakin memancarkan kecantikan Alena. Betul-betul pasangan yang serasi. Di barisan kursi undangan paling depan, Diwali menatap Alena penuh arti. Diwali memahami siapa Alena dari tatapan mata, gestur dan juga selera berpakaian Alena. Saat ini, ia mer
"Siapa tamu yang datang tadi?" Nyonya Sekar muncul di ambang pintu. Alena terkejut namun ekspresinya kembali tenang. Dibuat setenang mungkin, lebih tepatnya. "Rekan bisnis Pram, Ma," sahut Alena berdiri dan memapah Nyonya Sekar duduk di kursi teras. Tak lama Puri muncul bersama Mawar. Puri memperhatikan gaya berbusana Alena yang mengenakanOff Shoulder Dressdi atas paha. Ia betul-betul risih melihatnya. Tapi suaminya sangat menyukai gaya berbusana Alena. Benih-benih kebencian perlahan tumbuh di hati Puri. "Halo, Mawar. Sini, duduk sama Tante!" sapa Alena merentangkan tangan pada Mawar. Mawar berlari kecil ke arah Alena lalu duduk di pangkuan Alena. "Kau cantik sekali, mirip Mama," puji Alena."Tante juga cantik!" sahut Puri riang. Alena tersenyum hangat. "Jalan-jalan ke mall, yuk! Beli baju, beli makanan, beli es krim," ajak A
Alena duduk mematung di depan cermin rias. Ia memandangi cincin berlian biru yang disematkan Pramudya saat melamarnya. Cincin ini bukan berlian mahal seharga milyaran rupiah. Bukan pula berlian yang aku inginkan. Aku tak suka modelnya. Tapi kenapa aku nyaman memakainya? Celoteh Alena dalam hati. Pramudya keluar dari ruang ganti pakaian dan menghampiri Alena. "Kenapa kau diam memandangi cincin itu?" tanya Pram. Alena menoleh. "Tak apa-apa, aku hanya merasa senang karena cincin ini adalah pemberianmu," sahut Alena. "Meskipun kau tak menyukai cincin itu kau tetap suka karena aku yang memberikannya?" tanya Pram. Alena mengerutkan kening."Kenapa bertanya seperti itu?" "Tadi kau bilang kau senang dengan cincinnya karena itu pemberianku," jawab Pram sambil membelai kepala Alena. Alena tertegun dengan sentuhan lembut Pram di kepalanya. Ia merasakan
"Kamila, aku sudah menikah. Alena adalah wanita pilihanku. Tolong, mengertilah!" Pram berkata pelan. "Tapi aku yang lebih dulu mencintaimu, Pram!" tukas Kamila. Kau juga mencintaiku, bukan? Kalau tidak, untuk apa kau jadikan aku kekasihmu?" lanjut Kamila. "Itu dulu, beberapa tahun yang lalu saat kita masih berseragam putih abu, Mila." "Apa bedanya dengan sekarang? Perasaanku tak berubah, meski kau memutuskan aku secara sepihak. Perlu kau tahu, dalam hidupku aku selalu mendapatkan apapun yang aku mau!" Kamila menatap tajam mata Pram. Pram memejamkan matanya dan menarik napas dalam lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. "Aku tak melarangmu untuk terus mencintaiku. Aku menghargai perasaanmu. Tapi Mila, sebesar apapun usahamu untuk membuatku kembali padamu, itu tak mungkin. Aku sudah beristri!" "Aku bisa menjadi istri kedua," tukas Kamila cepat.
"Oh, jadi ini istrinya Pramudya Adiwiguna? Senang berkenalan denganmu, kapan-kapan kita bertemu lagi di rumahmu, ya!" ucap Kamila. "Di rumahku?" Alena mengerutkan kening."Iya, di rumahmu. Rumah Pramudya. Asal kau tahu, aku adalah kesayangan ibu mertuamu," ujar Kamila. "Pasti Raisa sudah sudah cerita siapa aku, bukan?" lanjut Kamila. Alena tersenyum mengerti, ia bersandar dengan santai. "Oke, aku tunggu kunjunganmu di rumahku." Kamila melempar senyum manis sekaligus sinis untuk Alena. "Permisi." Ia melenggang berlalu dari lobi hotel. "Kemana dia?" tanya Gina pada Raisa. "Bertemu dengan klien-kliennya," jawab Raisa. "Kakakmu, Sa. Masih bersikeras untuk mendapatkan suamiku rupanya," ucap Alena pada Raisa. Raisa mengedikkan bahu tanda ia tak mau ambil pusing. "Aku malas mencampuri urusan pribadinya. Hidup kami sudah masing-masing sejak kecil. Papa sangat mengandalkan Kamila demi kesuksesan Rheins Corporation. Sementara
Pram memandangi foto pernikahannya dengan Alena. Rasa cinta yang membuncah untuk Alena tergambar jelas di wajahnya. Ia menoleh ke arah Alena yang masih terpejam di bawah selimut. Pram duduk di tepi tempat tidur. Memandangi Alena lembut. Tangannya membelai pipi Alena penuh kasih. Alena terusik. Matanya terbuka. "Sayang, belum berangkat?" tanya Alena sedikit serak. "Sebentar lagi, aku sedang menikmati betapa cantiknya kau saat tertidur," sahut Pram. Alena tersenyum lalu menggeliat. Kemudian ia menarik lengan Pram. Pram terjatuh di pelukan Alena. Keduanya saling berciuman. Bibir mereka berpagut lama. "Aku harus segera pergi bekerja, Alena." Pram menghentikan aktivitas Alena yang sudah semakin memanas. "Setengah jam saja, bercintalah dulu denganku," rajuk Alena. Ia melancarkan serangannya. Mengendurkan dasi dan Melepas jas yang dikenakan Pram. "Ayolah, Lena. Aku benar-benar harus segera pergi bekerja." "Semalam kau pulang larut. Ak
"Wow, The Alnatt Diamond!" pekik Alena melihat berlian warna kuning berbentuk bantal yang disodorkan Devian. Alena dan Devian berada di dek atas 'La Belle', yacht pribadi milik Devian, milyuner blasteran Prancis-Indonesia. Alena memakai lingerie yang senada dengan warna berlian pemberian Devian. "Ini mahal sekali!" Alena tak bisa menyembunyikan kegirangannya mendapatkan berlian kuning dengan harga fantastis itu. Devian menyematkan berlian di jari manis Alena. Alena memeluk Devian erat. Hatinya sungguh gembira, tak sia-sia perjalanannya ke Perth kali ini. Oh, kemanapun Alena menemui Devian, tidak akan menjadi sebuah perjalanan yang sia-sia. "Kau suka?" tanya Devian. Alena mengangguk senang sembari mengelus-elus cincin berlian di jarinya. Lebih menyenangkan mendapat cincin berlian itu atau pernikahanmu?" tanya Devian melepaskan kacamata hitamnya.Wajah Alen
Alex berjalan santai menuju taman di halaman depan rumah Nyonya Sekar. Ia melihat tantenya sedang merajut. Alex tersenyum lalu memeluk leher Nyonya Sekar dari belakang. "Sore, Tanteku tercinta yang selalu cantik dan awet muda," sapa Alex renyah. Nyonya Sekar spontan meletakkan rajutannya dan menepuk tangan Alex."Kau ini mengagetkan Tante saja!" Alex melepaskan pelukannya lalu duduk di sebelah Nyonya Sekar. "Maaf aku baru bisa jenguk Tante hari ini. Salah sendiri di rumah sakit hanya satu malam," ujar Alex mengambil satu buah apel merah di atas meja lalu memakannya. "Memangnya kau mau Tante berlama-lama ada di rumah sakit?" sahut Nyonya Sekar melepas kacamatanya. "Tante sakit apa sebetulnya?" "Cuma asam lambung biasa." "Jangan remehkan asam lambung!" tukas Alex. "Memikirkan apa? Dua anak lelakimu sudah menikah. Memikirkan kepona