Share

Tiga

Hari pernikahan Alena dan Pramudya tiba. Pesta Kebun di halaman belakang rumah Nyonya Sekar tampak meriah meski hanya dihadiri keluarga dan kawan-kawan terdekat. 

Pramudya terlihat sangat mempesona dengan tuxedo sutra hitam yang ia kenakkan.

Begitu juga dengan Alena. Gaun pengantin putih dengan model V-Neck dan lace

halus yang menambah kesan mewah, membalut sempurna tubuh Alena.

Gaya rambut Messy Low Bun Alena diimbangi dengan tatanan bagian depan yang terlihat sleek di kedua sisi.Tampak memukau meski tanpa hair piece. Lalu satu set purple diamond

pemberian Pramudya semakin memancarkan kecantikan Alena. Betul-betul pasangan yang serasi.

Di barisan kursi undangan paling depan, Diwali menatap Alena penuh arti. Diwali memahami siapa Alena dari tatapan mata,  gestur dan juga selera berpakaian Alena. Saat ini, ia merencanakan sesuatu yang ia pikir akan menyenangkan.

"Mas, jaga tatapanmu! Alena itu bukan pisang tapi orang!" Puri menegur Diwali kesal.

"Kau! Kau pikir aku . . . ."

"Apa? Monkey? Memang kenyataannya kau menatap Alena teramat liar, kok. Wajar aku bilang seperti itu, Alena itu bukan pisang tapi orang!" potong Puri.

"Bisa-bisanya kau bilang aku monkey? Makin kurang ajar kau, ya!" desis Diwali.

"Aku akan menghormatimu kalau kau menghargai aku sebagai istrimu, Mas!" Puri mengeraskan kedua rahangnya.

Diwali menarik napas dalam, ia mencoba menahan amarahnya. "Coba kau lihat Alena! Bagaimana aku tidak tertarik? Sekali- sekali berpakaianlah sepertinya, belahan dada terbuka, lekukan pinggangnya yang ramping menambah keseksian tubuhnya."

"Mas, aku tak perlu berpakaian terbuka pun kau sudah tertarik denganku, kan?"

"Suamimu itu butuh penyegaran, Puri. Kau ingin dimengerti olehku tapi kau lupa bahwa aku juga ingin dimanja. Bukan dimarah-marahi terus, dicurigai, dicemberutin. Pekerjaan di kantor sudah membuatku pusing, pulang ke rumah aku ingin sesuatu yang menyegarkan!" papar Diwali.

Puri menatap tajam Diwali. Ia berlalu menjauh dari suaminya. Ia ingin menangis, menumpahkan kekesalan hatinya namun Mawar berhasil mencegahnya. Mawar memanggil Puri dan berlari kecil ke arahnya.

"Mama sama Papa dipanggil Nenek, kita mau foto bersama pengantin, Ma!" Mawar, anak semata wayang Diwali dan Puri berseru riang. Mau tak mau Puri dan Diwali menghampiri Nyonya Sekar yang sudah berdiri di sebelah Alena dan Pramudya.

"Mama senang sekali, Alena. Jadilah istri yang baik untuk Pram dan memberi Mama cucu laki-laki." Nyonya Sekar menggenggam kedua jemari Alena.

"Iya, Nyonya."

"Kok, Nyonya. Panggil aku Mama, kau sekarang adalah anak Mama!" protes Nyonya Sekar dengan senyum keibuannya.

"Eh, iya. Mama," sahut Alena masih canggung.

Pramudya tersenyum bahagia melihat dua orang wanita yang ia cintai tampak begitu dekat. Awalnya Pram khawatir mengenalkan Alena sebagai calon istrinya.

Nyonya Sekar sering memuji Puri yang selalu berpakaian sopan dan tertutup. Sementara cara berpakaian Alena selalu terbuka dan memperlihatkan lekuk tubuh. Mau bagaimana lagi, Pram jatuh hati seutuhnya dengan Alena.

Sementara itu di kejauhan, tampak Alex–sepupu Pram, berdiri dengan wajah keheranan.

Istrinya Pramudya kenapa mirip sekali dengan Liana? Siapa perempuan itu? Saudara kembar Liana? Ah, tidak mungkin. Liana anak tunggal, tak mungkin istrinya Pram adalah saudara Liana. Tapi wajah mereka terlihat sangat mirip. Alex membatin.

Karena penasaran, Alex meraih ponsel dari saku celananya. Ia menghubungi nomor Liana. Tak berselang lama, terdengar suara Liana di seberang telepon.

"Halo!"

"Em, halo, Li!" Mendengar Liana menjawab di seberang telepon dan Alena yang sibuk dengan acara foto keluarga, Alex bernapas lega.

"Maaf, Li. Nanti aku telepon lagi. Sedang ada acara keluarga."

Dia bukan Liana, gadis cantik yang susah sekali aku dapatkan hatinya. Batin Alex benar-benar lega meski ia sungguh merasa penasaran dengan kemiripan Alena dan Liana.

***

Pagi itu di teras rumah Mami Inggrid Liana sedang sibuk dengan ponselnya.

"Lian, kau sedang apa? Dari tadi sibuk terus dengan HP," tegur Yuni duduk di sebelah Liana.

"Aku lagi cari agency, Kak," jawab Liana.

"Agency apa?"

"Agency jadi artis," jawab Liana santai.

Yuni mesem. Ia menatap lekat wajah Liana. Jujur saja, Liana itu cantik. Pikir Yuni. Cantik, polos dan baik.

"Aku punya teman, Li. Dia sering ikut casting figuran-figuran kecil di sinetron. Kau mau aku kenalkan padanya?" tanya Yuni.

"Jangan keras-keras. Mama tak suka aku ikut-ikutan kegiatan seperti itu. Apalagi setelah kejadian tempo hari. Kalau Mama tahu, habislah aku kena omel Mama," jawab Liana menempelkan telunjuk di bibirnya.

"Langsung ke Production House saja, Li. Bilang saja daftar casting mau jadi artis," saran Yuni.

"Apa aku harus latihan akting dulu, ya? Atau aku kuliah saja tapi jurusan akting. Mama pasti senang kalau aku kuliah, bukan?"

Yuni tertawa. "Li, Li, kau ingin sekali jadi artis. Kalau aku jadi kau, aku lebih memilih kuliah saja, Li. Serius, deh!"

"Iya, Kak. Aku kuliah jurusan seni saja, ya. Coba bilang Mama, ah!" Liana bangkit dari duduknya dan berlari-lari kecil masuk ke dalam kamar Mami Inggrid. Yuni geleng-geleng kepala melihat tingkah Liana.

Namun tak berapa lama terdengar suara ribut-ribut dari dalam kamar Mami Inggrid. Yuni yang masih duduk di taman hanya mesem.

"Kau kuliah ambil jurusan akting. Kalau mau jadi artis kenapa harus susah-susah kuliah? Anak kecil saja bisa akting!" Mami Inggrid mulai menguliahi Liana.

"Katanya Mama ingin melihat aku sukses. Kalau aku jadi artis aku bisa punya uang banyak. Aku mau kuliah tapi jurusan akting! Tak mau jurusan lain!" Liana bersikukuh dengan keinginannya.

"Sini kau, sini! Telingamu harus Mama jewer dulu! Mama tak suka kau jadi artis, titik! Kau tidak kapok dengan kejadian kemarin, hah? Kalau saja tidak ada Alex, entah bagaimana nasibmu sekarang!

"Tidak semua produser seperti kakek-kakek yang kemarin itu, Ma. Masih banyak orang baik. Lagipula jangan salahkan statusnya sebagai produser. Lelaki hidung belang itu saja yang bejat. Lainnya tidak!" teriak Liana.

Brak! Pintu kamar Mami Inggrid terbuka lebar. Liana berlarian menghindari kejaran Mami Inggrid.

"Drama India dimulai!" gumam Yuni merasa lucu melihat Liana dan Mami Inggrid.

Rita, Yanuar dan yang lainnya keluar dari kamar masing-masing.

"Itu mereka kenapa lagi? Drama lagi? Kenapa harus pakai acara kejar-kejaran begitu," ucap Rita sambil geleng-geleng kepala.

"Ampun, Ma. Ampun! Telingaku sakit, aduh!" Liana mengaduh.

"Sekali lagi minta kuliah jurusan akting, kau pergi saja dari sini!"

"Jangan usir aku, Ma! Aku mohon!" sahut Liana meminta belas kasihan ibunya.

Semua orang yang melihat hanya bersedekap  santai, menikmati drama gratis di depan mereka.

***

"Halo, semua! Selamat malam, aku Alena, anggota baru di rumah ini." Alena masuk ke dapur menemui para asisten rumah tangga yang berjumlah empat orang. Satu kepala rumah tangga membawahi dua orang lainnya dan satu orang tukang kebun.

Semua orang yang berada di dapur terkejut. Tak menyangka menantu baru Nyonya Sekar akan menemui mereka di dapur.

"Bolehkah aku meminta tolong?" tanya Alena ramah.

"Bo, boleh!" jawab mereka serempak.

"Kalian kompak sekali, ya!" ujar Alena senang.

"Aku minta tolong dibuatkan air hangat agak panas setengah ember biasa, pakai garam ini, ya!" Alena menyodorkan sebungkus garam Himalaya pada Murni, sang kepala rumah tangga.

"Garamnya empat sendok makan saja. Nanti tolong bawa ke kamarku, ya. Terima kasih!" Alena melempar senyum sangat lebar sebelum meninggalkan dapur.

Murni bergegas membaui tempat dimana tadi Alena berdiri. "Orangnya sudah pergi, aroma keramahannya masih tertinggal di sini."

"Cantiknya istri Tuan Pram, mirip artis. Penampilannya sungguh berkelas," puji Ani. Tuti dan Pak Diman mengiyakan.

"Sepertinya gelar nyonya muda yang tersemat pada mantan kawan kita akan segera tergantikan," ucap Tuti.

"Gelar nyonya muda lebih pas tersemat untuk istrinya Tuan Pram. Cantik, berkelas dan juga ramah." Murni menambahkan.

"Sudah, sudah! Ayo, Ani. Kamu jerang air, sana! Kalian hobi sekali bergosip," lerai Pak Diman sambil bergegas keluar dari dapur melalui pintu belakang.

Mereka tak tahu sepasang mata penuh kekesalan memperhatikan mereka sejak tadi. Mata milik Puri.

***

Alena masuk ke dalam kamar bertepatan dengan Pram yang keluar dari kamar mandi. Ia baru selesai mandi dan hanya mengenakan kimono handuk.

"Kamu dari mana, sayang?" tanya Pram.

"Dari dapur," jawab Alena singkat.

"Ada perlu apa ke dapur?"

"Aku minta tolong asisten rumah tanggamu menjerang air untukku. Mau rendam kaki," jawab Alena duduk di pinggiran tempat tidur lalu melambai pada Pram agar mendekatinya.

Pram tampak kikuk namun ia mengikuti kemauan Alena.

"Wangi." Alena mendekatkan hidungnya ke pelipis Pram.

Pram salah tingkah. Ia merasa gugup dekat dengan Alena dalam keadaan hanya memakai kimono handuk. Padahal Alena sudah sah menjadi istrinya.

Alena merapatkan posisi duduknya dengan Pram. Jemari lentiknya membelai pipi Pram kemudian merayap membelai bulu-bulu tipis di dada bidang milik Pram.

Wajah Pram memerah. Ia benar-benar canggung dan bingung harus memulai dari mana. Alena tampak begitu agresif. Pram belum pernah menyentuh Alena.

Empat bulan berpacaran dengan Alena, kegiatan mereka berdua hanya bertemu untuk makan malam, belanja dan nonton, tak lebih.

Alena bangkit lalu berdiri menghadap Pram. Perlahan ia melepaskan baju terusan yang ia kenakan. Tersisa gaun tipis yang sangat transparan di atas paha dan tanpa lengan.

Alena melingkarkan kedua lengannya di leher Pram. Pram gemetar. Aroma tubuh Alena membuat gairahnya muncul namun ia masih tak tahu harus melakukan apa. Tubuhnya terasa kaku. Alena mendekatkan wajahnya ke wajah Pram namun tiba-tiba terdengar ketukan di pintu kamar.

"Maaf, Tuan. Saya bawa air hangat untuk Nyonya Alena," ucap Tuti dari luar kamar.

Alena tersenyum lalu melepaskan tangannya dari leher Pram. Pram akhirnya bisa bernapas lega. Alena bergegas membuka pintu.

"Airnya, Nyonya." Tuti lekas menutup matanya dengan sebelah tangan melihat tubuh Alena hanya mengenakan pakaian dalam. "Maaf, maaf, saya menganggu Nyonya!" Tuti cepat-cepat meminta maaf.

"Sudah, tak perlu minta maaf. Sini, embernya. Terima kasih!" Alena mengambil ember dari tangan Tuti lalu kembali menutup pintu. Tuti cepat-cepat kembali menuju dapur.

"Sayang, kita tunda sebentar, ya. Aku mau rendam kaki dulu," kata Alena duduk di pangkuan Pram. Pram mengangguk gugup dan malah bersyukur karena Alena menunda aktifitasnya tadi.

Keesokkan harinya, keluarga Pram sudah berkumpul di ruang makan. Mereka menikmati appetizer roti salmon dengan saus tartare dan toping kaviar hitam.

"Asisten rumah tangga di sini sangat handal membuat hidangan lezat, ya," puji Alena pada Ani dan Murni yang berdiri di belakang Nyonya Sekar.

"Mereka wajib kursus masak semua makanan kesukaan keluarga kita sebelum bekerja di sini. Mama yang membiayai" jawab Pram.

"Masakan istriku terkenal paling lezat di antara mereka, tapi sekarang dia sudah tak pernah lagi ke dapur. Sibuk mengurus Mawar," tukas Diwali. "Puri dulu adalah salah satu asisten rumah tangga di sini," lanjut Pram enteng, seolah memahami keheranan Alena.

Alena mengangguk dan tersenyum manis ke arah Puri. Puri balas tersenyum tipis dan kaku. Ia kesal kenapa Diwali harus mengatakan siapa dirinya dahulu sebelum menjadi istrinya.

"Mama pintar masak, ya? Mawar mau nyobain masakan Mama," sahut Mawar tetap fokus menikmati Salmon Tartare Topped With Caviar kesukaannya.

Puri menoleh dan membelai pipi Mawar yang duduk di sebelahnya. Ia tak menjawab kalimat yang dilontarkan Mawar.

Sarapan pagi sudah selesai. Di ruang kerja, Pram sibuk mencari-cari berkas yang ia perlukan.

"Cari apa, sayang!" tanya Alena.

"Berkas untuk meeting pagi ini. Semalam aku simpan di mana, ya?"

"Mungkin di kamar, semalam kau langsung berkutat dengan setumpuk berkas sehabis kita bercinta," sahut Alena mengedipkan sebelah matanya manja. Pram tergeragap. Wajahnya kembali memerah.

Terdengar ketukan di pintu.

"Masuk," jawab Alena.

"Maaf Tuan, ada tamu ingin menemui Tuan." Pak Diman berdiri di depan pintu.

"Pagi-pagi begini? Siapa, pak Diman?" tanya Pram.

"Maaf, pak. Saya lupa bertanya tadi."

"Ya, sudah tak apa-apa. Alena, bisa kau temui dulu tamuku. Aku harus mencari berkas di kamar," pinta Pram.

Alena mengangguk dan bergegas menemui tamu di teras depan.

Setibanya di teras, tubuh Alena menegang. Tamu Pram adalah Arya, ia duduk di kursi teras. Saat Alena muncul, Arya tersenyum dengan tenang.

"Kau!" desis Alena.

"Apa kabar, sayang?" tanya Arya pelan.

Alena mendekati Arya. "Mau apa kau ke sini?" bisik Alena tegang.

"Tidak usah tegang begitu, Alena. Tenang saja, aku ke sini bukan untuk menemuimu. Aku ada perlu dengan suamimu," jawab Arya.

"Ada perlu apa kau menemui suamiku?" Alena masih berbisik dengan tegang.

"Suamimu adalah rekan bisnisku. Aku sudah lama bekerja sama dengannya." Arya tersenyum kalem.

"Bohong! Kenapa selama ini kau diam saja seolah-olah tidak mengenal Pram?" tanya Alena sambil berkali-kali melihat ke dalam rumah, ia khawatir Pram segera muncul di teras.

Sebelum sempat Arya menjawab, Pram sudah muncul di depan pintu. Alena kembali berusaha setenang mungkin di depan Pram. Hingga mereka berdua pergi, Alena masih terduduk lemas di kursi teras.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status