Share

Empat

Penulis: Cedar Karamy
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-26 11:48:01

"Siapa tamu yang datang tadi?" Nyonya Sekar muncul di ambang pintu.

Alena terkejut namun ekspresinya kembali tenang. Dibuat setenang mungkin, lebih tepatnya.

"Rekan bisnis Pram, Ma," sahut Alena berdiri dan memapah Nyonya Sekar duduk di kursi teras.

Tak lama Puri muncul bersama Mawar. Puri memperhatikan gaya berbusana Alena yang mengenakan Off Shoulder Dress di atas paha. Ia betul-betul risih melihatnya. Tapi suaminya sangat menyukai gaya berbusana Alena. Benih-benih kebencian perlahan tumbuh di hati Puri.

"Halo, Mawar. Sini, duduk sama Tante!" sapa Alena merentangkan tangan pada Mawar. Mawar berlari kecil ke arah Alena lalu duduk di pangkuan Alena.

"Kau cantik sekali, mirip Mama," puji Alena.

"Tante juga cantik!" sahut Puri riang.

Alena tersenyum hangat.

"Jalan-jalan ke mall, yuk! Beli baju, beli makanan, beli es krim," ajak Alena gemas melihat Mawar memainkan anak rambutnya yang ikal terurai.

"Mawar dilarang makan es krim," ucap Puri datar.

Alena melirik sekilas ke arah Puri. "Oh, Mawar tak boleh makan es krim, ya. Nanti batuk, ya?" Alena mencubit hidung Mawar.

Mawar diam tak menyahut.

"Kok, diam?" tanya Alena.

"Aku suka es krim tapi Mama selalu larang aku makan es krim," sahut Mawar pelan.

"Diwali sudah berangkat kerja?" tanya Nyonya Sekar mengalihkan pembicaraan.

"Sudah, Ma. Sepertinya dia sedang terburu-buru tadi. Setelah selesai sarapan Mas Diwali langsung berangkat kerja," jawab Puri.

"Sekarang di rumah ini Mama punya dua orang anak perempuan. Mama harap kalian bisa hidup rukun berdampingan satu sama lain." Nyonya Sekar berpesan.

"Iya, Ma." Alena tersenyum hangat sementara Puri hanya mengangguk pelan.

****

Liana sedang berada di kafe Ririn. Kali ini bukan sebagai pengunjung. Ia duduk di belakang meja kasir, bukan pula bekerja menjadi kasir. Liana hanya duduk manis memperhatikan para pengunjung kafe.

"Kafenya cepat sekali ramai, ya," ucap Liana pada Yuyun, kasir yang sesungguhnya.

Yuyun tersenyum. "Iya, Mbak. Aku senang kerja di sini. Kafenya ramai. Apalagi menjelang waktunya makan siang dan sore hari. Pengunjungnya ramai sekali," sahut Yuyun.

"Bosmu datang jam berapa, sih? Sudah siang belum muncul juga?" Liana melirik jam tangannya. Jarum panjang menunjuk ke angka sebelas.

"Namanya juga bos, Mbak. Datangnya suka-suka," jawab Yuyun mesem.

"Coba aku telpon dia." Liana mengambil ponsel dan menekan nomor Ririn.

"Tak diangkat-angkat, kemana dia?" gumam Liana.

"Mbak, laki-laki tampan di meja tujuh dari tadi terus saja memperhatikan Mbak," bisik Yuyun.

Liana mengarahkan pandangannya ke meja tujuh. "Ada tiga orang laki-laki di meja tujuh. Laki-laki yang mana yang kau maksud?"

"Itu yang paling tampan, dasi kotak-kotak biru tua," sahut Yuyun.

Tap! Pandangan Liana dan Pramudya bertemu. Pram tampak salah tingkah mendapati dirinya diketahui Liana sedang memperhatikannya.

"Siapa dia? Aku tidak kenal," sahut Liana enteng lalu tatapannya kembali ke layar ponsel.

"Kemarin waktu Mbak sarapan pagi di sini, laki-laki itu juga sempat memperhatikan Mbak dari meja kasir. Waktu itu Mbak sedang bersama Mbak Ririn," lanjut Yuyun.

"Biarkan saja. Aku tidak kenal," sahut Liana tak ambil pusing.

"Tapi dia tampan sekali, Mbak!" puji Yuyun.

Liana kembali mengalihkan tatapannya pada Pramudya.

"Iya tampan, mirip Fernando Jose, aktor telenovela," jawab Liana sekenanya.

"Mbak tidak merasa senang diperhatiin laki-laki tampan?" tanya Yuyun lagi.

Liana menggaruk tengkuknya. "Senang, dong. Aku perempuan normal, lho!" Liana terkikik.

"Tapi kenapa Mbak cuek saja?"

"Aku sedang tidak fokus memikirkan laki-laki dan cinta. Aku sedang bingung menata hidup dan masa depanku," jawab Liana sambil menggaruk-garuk pipi dengan telunjuknya.

Yuyun memandangi Liana yang kembali sibuk dengan ponselnya. Ia mengagumi wajah cantik Liana yang natural tanpa riasan.

Sementara itu di meja nomor tujuh, Pram merasa aneh melihat Liana. Kenapa wajahnya mirip sekali dengan Alena? Apa Alena punya saudara kembar? Tapi Alena adalah anak tunggal dan Pram yakin Alena tak menyembunyikan apapun tentang masa lalunya.

Alena pernah menjadi korban pelecehan ayah kandungnya pun Pramudya mengetahuinya. Masa kecil Alena yang kelam membuat Pram semakin ingin melindungi Alena. Cinta pertama sekaligus terakhir. Itu tekad Pram dalam hatinya.

Pram tak ingin berlama-lama di kafe itu. Ia segera pamit pada rekan-rekannya untuk kembali ke kantor lebih dulu.

Setiba di ruangannya Pram melonggarkan dasi. Ia duduk santai di kursi kebesarannya, memejamkan mata sekedar membuat tubuhnya rileks.

Perusahan yang dikelola Pram adalah produsen pelopor kemasan plastik berkualitas tinggi terbesar di Indonesia yang melayani berbagai perusahaan dan industri. Perusahaannya memiliki banyak cabang yang tersebar di Jabodetabek. 

Tak berapa lama, terdengar ketukan di pintu.

"Masuk!"

Pintu terbuka, Indriani masuk dengan tingkahnya yang menggoda. Setelan baju kerja yang ketat dan pendek sengaja selalu ia kenakan. Indriani adalah sekertaris Pramudya.

"Pagi menjelang siang, Pak. Ini laporan yang Bapak minta tadi." Indriani duduk di depan Pram, suaranya serak dan manja. Rambut dikuncir tinggi hingga memperlihatkan lehernya yang mulus dan jenjang.

Pram menerima berkas dari Indriani, memeriksanya beberapa saat. "Iya, ini sudah bagus. Terima kasih. Kau boleh kembali ke ruanganmu." Pram berkata tanpa sedikitpun senyum ramah di wajahnya.

"Oh, satu lagi. Sudah saya katakan berkali-kali, kenakan rok yang agak panjang, di bawah lutut. Rokmu itu terlalu pendek."

Indriani cemberut. "Rok saya terlalu seksi, ya?"

"Saya tidak bilang begitu. Hanya memberi saran, bukan aturan. Tapi saya mau kau mematuhi saran saya," jawab Pram tegas.

"Tapi istri Bapak selalu berpakaian seksi!" jawab Indriani berani.

"Dia istriku, bukan sekertarisku dan punya hak apa kau mengomentari penampilan istriku?" Pram menatap tajam Indriani.

Indriani kesal. Sudah lama ia mengincar Pramudya namun atasannya itu terlalu angkuh dan dingin. 

Aku pikir dengan sikapnya yang kaku dan angkuh itu seleranya wanita kalem dan berpakaian tertutup tapi nyatanya matanya tetap hijau melihat wanita seksi. Pakaian istrinya jauh lebih seksi daripada aku, huh! Indriani merutuk dalam hati.Ia segera berlalu meninggalkan ruangan Pramudya dengan wajah cemberut.

Pram menghela napas panjang. Ia sebenarnya mengandalkan sekertarisnya itu. Indriani sangat cakap, cekatan dan cerdas dalam pekerjaannya.

Kekurangannya hanya satu, Indriani sibuk menebar pesona terhadapnya. Namun benteng di hati Pram terlampau kokoh. Ditambah sejak Pram jatuh cinta dengan Alena. Benteng di hati Pram semakin tebal lapisannya.

****

Sore hari Alena bergegas menemui Arya di suite kamar hotel tempat biasa mereka berkencan.

"Kenapa kau tak pernah bilang kalau selama ini Pram adalah rekan bisnismu?" Alena menatap tajam Arya.

Arya duduk tenang memainkan gelas berisi batu es dan vodka. "Aku tak mau kau gelisah menghadapi pernikahanmu," jawab Arya santai.

"Bohong! Kau pasti punya rencana busuk!" ujar Alena.

"Percayalah, aku mencintaimu. Tak mungkin aku menghancurkan impianmu, Alena. Meski kau meraih mimpimu tidak bersamaku. Aku mengalah. Asalkan aku masih selalu bisa menemuimu, bercinta denganmu. Rahasiamu tetap aman." Arya berdiri lalu merangkul Alena.

Alena membiarkan saja perlakuan Arya. Memeluk lalu menghujaninya dengan ciuman.

"Aku sudah mentransfer sejumlah uang yang sangat besar ke dalam rekeningmu. Dua tahun bersama, apa aku pernah menuntutmu meninggalkan kekasih-kekasihmu yang lain? Tidak, bukan? Kau pikir yang menerimamu apa adanya itu siapa? Pram? Andai Pram tahu sepak terjangmu selama ini. Kau pikir Pram akan seperti aku? Tetap mencintaimu, memanjakanmu dengan uangku?" Arya menatap lembut Alena.

Alena memalingkan wajah. Saat ini pikirannya berkecamuk. Haruskah ia mempercayai Arya? Lalu kenapa juga ia harus menerima lamaran Pram untuk menikahinya? Bukankah selama ini Alena menikmati dendamnya untuk memainkan hati para lelaki? Perasaan apa ini? Alena tak pernah merahasiakan apapun dari para kekasihnya.

"Bukan hanya kau yang mengetahui aku memiliki banyak kekasih," sahut Alena akhirnya.

"Dan kau merasa nyaman dengan kebebasanmu yang tak terikat, bukan? Lalu kenapa kau harus mengkhawatirkan Pram?"

Alena diam.

"Kau benar-benar mencintainya?"

Alena melepaskan rangkulan Arya. Ia duduk dan meraih segelas vodka yang sudah Arya tuangkan untuknya.

"Bisa menemaniku malam ini?" tanya Arya berharap.

"Tidak! Aku harus pulang, menemani suamiku!" jawab Alena tegas.

"Oke, baiklah. Aku akan dengan sabar menunggu giliranku untuk bisa bersamamu," sahut Arya pasrah.

Alena bangkit dan bergegas menuju pintu kamar.

"Tunggu, Alena! Bisakah kau memberikan aku ciuman pamit mesra seperti yang biasa kau lakukan?"

Alena kembali menghampiri Arya. Bibir mereka saling memagut cukup lama. Arya mendekap Alena erat.

Namun Alena segera melepaskan diri.  "Jangan malam ini, tunggulah!" Alena membenahi rambutnya yang sedikit acak-acakkan.

Ia lalu meninggalkan Arya karena ponselnya tak henti berdering sejak tadi. Alena tahu Pram yang menelponnya. Ia pergi tanpa pamit.

Sepanjang perjalanan menuju rumah, Alena tak henti berpikir dan bertanya-tanya tentang perasaannya. Ia sangat menikmati waktunya bersama Arya ataupun kekasih-kekasihnya yang lain. Ia tak pernah khawatir jika mereka saling mengetahui dengan siapa Alena berkencan.

Tapi kenapa dengan Pram berbeda? Ia tak ingin Pram tahu siapa dirinya sesungguhnya. Alena tak ingin meredupkan tatap kagum di mata Pram. Pram yang begitu memujanya. Alena menyukai tatapan lembut Pram. Tatapan cinta yang tulus yang tak ia temukan di mata para kekasihnya.

Setibanya di rumah, Alena berusaha menenangkan perasaannya. Ia kebingungan dengan perasaannya yang berkecamuk.

"Kau dari mana, sayang?" tanya Pram lembut.

Pram memperhatikan pakaian Alena yang hanya mengenakan tank top agak longgar

dipadu dengan kulot panjang.

"Malam-malam begini kenapa pakai baju tanpa lengan? Kau tidak kedinginan?" tanya Pram lagi.

Alena bergegas memeluk Pram, ia tak ingin Pram melihat kegugupan di wajahnya.

"Kenapa jantungmu bergemuruh? Kau dari mana?" Pram masih dengan kelembutannya.

"Maaf aku keluar mendadak dan tidak meminta izinmu. Aku tadi dari panti asuhan. Ada keperluan mendesak," sahut Alena masih memeluk Pram, berusaha menenangkan gemuruh di dadanya.

Alena kesal kenapa ia harus merasa khawatir seperti saat ini.

"Kau ke panti berpakaian seperti ini?" Pram mengelus punggung dan pundak Alena.

"Aku terburu-buru. Aku ganti baju dulu." Alena melepaskan pelukannya dan bergegas menuju ruang ganti pakaian.

Pram memandanginya dengan senyum penuh kasih. Ah, Pram. Andai saja ia tahu dari mana istrinya pergi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Di Antara Dua Nama   Tiga Puluh Lima

    Liana cemberut di dalam mobil yang dikemudikan Alex. "Sudah, mau bagaimana lagi? Suamimu orang sibuk!" ucap Alex seraya melirik Liana."Untuk apa dia membawaku ke kantor jika di sana aku hanya menghabiskan waktu dengan percuma. Dia berjanji mengantarku pulang tadi sore," gerutu Liana.Alex berkali-kali melirik Liana. Lipstick merah muda nan cerah yang dipakai Liana membuat bentuk bibir Liana semakin indah dipandang. Alex juga mengagumi penampilan Liana yang kini terlihat berkelas. Sungguh, Pram berhasil menyulap Liana yang lugu menjadi sosok Alena yang glamour. Liana bingung saat Alex tiba-tiba menghentikan mobil di depan sebuah taman kota. "Kenapa berhenti di sini?""Mau jalan-jalan sebentar di taman? Menenangkan hatimu yang kesal?" tawar Alex."Aku mau pulang, bukan mau ke taman!" sungut Liana. "Pram tak mengizinkanku mengantarmu ke rumah Mami Inggrid, Li," sahut Alex pelan.Liana mengembuskan napas kesal. Kedua bola matanya mem

  • Di Antara Dua Nama   Tiga Puluh Empat

    Pram menoleh pada Liana."Ayo, Sayang!"Liana mendongak."Kemana?""Makan siang!" sahut Pram.Liana gegas meraih hand bag-nya lalu menggandeng Pram keluar dari ruangan. Liana sama sekali tidak melirik ke arah Indriani, ia merasa kesal karena Pram membelanya di depan Kamila."Kenapa wajahmu muram?" tanya Pram di dalam lift."Ti-tidak, kenapa? Aku biasa saja!" sahut Liana sedikit gugup."Mau makan di mana?" tanya Pram."Kafe Ririn!" jawab Liana pelan."Tidak ingin makan di restoran lain?" tanya Pram lagi.Liana menggeleng.Pram menuruti keinginan Liana.Setibanya di kafe, Pram memilih ruangan vip. Ia ingin makan dengan tenang tanpa keramaian. Kafe Ririn selalu ramai jika jam makan siang tiba."Setelah makan aku ingin tetap di sini. Kau bisa jemput aku saat pulang," pinta Liana."Baiklah!" jawab Pram.Keduanya makan tanpa banyak kata. Liana dan Pram sibuk dengan pikirannya masing-masing.Pram sed

  • Di Antara Dua Nama   Tiga Puluh Tiga

    Di ruangan Pram, Liana duduk dengan wajah tegang. Ia masih memikirkan ucapan Pram. Tapi suami pura-puranya itu malah terlihat santai dan nyaris tanpa ekspresi. Liana mengembuskan napas keras."Kemarilah, sebentar lagi Indriani akan masuk. Untuk apa kau duduk terus di situ? Dulu, saat kau minta ganti rugi ponselmu, wajahmu sungguh ketus dan tidak bersahabat. Kenapa sekarang kau tegang sekali?" tanya Pram.Liana memejamkan mata sesaat, ia merapal doa agar hatinya berhenti berdebar tak menentu."Cepat kemari!" perintah Pram.Liana menghampiri Pram, berdiri kaku di sebelahnya."Peluk aku dari belakang. Lingkarkan kedua tanganmu di leherku. Sesekali kau harus mencium pipiku!Liana terpaku. Masih betah mematung.Lalu tak lama terdengar ketukan di pintu.Pram menatap tajam ke arah Liana.Liana gegas memeluk Pram dari belakang."Kau jangan gugup dan tak usah pedulikan Indriani!" perintah Pram.Liana tak menjawab.Kembal

  • Di Antara Dua Nama   Tiga Puluh Dua

    Liana melambai kecil pada Alex lalu duduk di sebelah Pram."Kapan kalian bulan madu?" tanya Nyonya Sekar tiba-tiba.Liana dan Pram berpandangan."Oh, ayo kita sarapan dulu. Nanti kita bahas tentang bulan madu kalian!" ucap Nyonya Sekar lagi.Bulan madu? Kemana? Bagaimana ini? Kenapa aku tidak tanya sampai kapan aku harus berpura-pura jadi istri orang angkuh ini? Liana membatin."Lena? Kenapa diam? Tak suka dengan menu pagi ini?" tanya Nyonya Sekar lembut "Ti-tidak, Ma. Hanya saja aku pikir, kalau kami berbulan madu bagaimana dengan pekerjaan Pram di perusahaan," jawab Liana sedikit gugup."Oh, itu bisa diatur. Kau tenang saja. Kalian harus berbulan madu, Biar segera punya anak," goda Nyonya Sekar.Liana menelan ludah kering. Pram terbatuk. Sementara Alex semakin gelisah mendengar ucapan Nyonya Sekar.Setelah sarapan selesai, Alex mencoba berbicara dengan Liana."Kau yakin mau pergi bulan madu dengan Pram?"

  • Di Antara Dua Nama   Tiga Puluh Satu

    Malam hari saat semua sudah berada di kamar masing-masing, Alex gelisah di kamarnya. Ia resah karena Liana harus berada satu kamar dengan Pram. Entah sampai kapan Liana akan berpura-pura menjadi istri sepupunya itu.Alex akhirnya memutuskan untuk mengirim pesan pada Liana. Gayung bersambut, Liana membalas dengan cepat pesan-pesan Alex.Setengah jam Alex dan Liana menghabiskan waktu berkirim pesan. Alex senang karena Liana dan Pram ternyata tidak menjalin komunikasi apa-apa di kamar. Ia tahu Pram tidur di sofa sementara Liana di atas tempat tidur.Setelah jeda beberapa saat. Alex merenung. Ia khawatir bagaimana jika Pram terus-menerus berada di dekat Liana, bukan tidak mungkin Liana bisa membuatnya jatuh hati. Wajah Liana dan Alena begitu mirip bahkan suaranya sekalipun. Entah mereka saudara kembar yang terpisah atau bagaimana.Ponsel Alex berdering. Tertera nomor Liana di layar ponsel.[ Halo! ] seru Alex senang.[ Kenapa kau belum tid

  • Di Antara Dua Nama   Tiga Puluh

    "Kamila?" tegur Pram yang sudah berada di belakang Kamila.Kamila seketika berbalik lalu mengecup kedua pipi Pram. Pram lekas menepis."Tolong hargai aku dan Alena!" Pram menunjuk Liana yang masih bingung dengan kedatangan Kamila."Oh, aku lupa kalau dia itu istrimu!" sahut Kamila melenggang masuk lalu duduk santai di sofa ruang tamu."Aku akan panggilkan Mama. Aku harus ganti baju!" sahut Pram pada Kamila. Lalu ia memberi kode pada Liana untuk menggandeng lengannya.Liana segera menghampiri Pram dan menggandengnya mesra. Ia hanya tersenyum ramah pada Kamila.Pram dan Liana berlalu dari ruang tamu.Kamila sedikit mengerutkan kening melihat penampilan Liana yang memakai baju tak seperti biasanya. Tapi dia lalu tak terlalu peduli dengan apa yang Liana kenakan.Pram bertemu dengan Tuti di koridor menuju kamar."Tuti, tolong panggilkan Mama. Ada Kamila di ruang tamu!" perintah Pram.Tuti mengangguk d

  • Di Antara Dua Nama   Dua Puluh Sembilan

    Di kamar, Liana mengeluarkan semua yang dibelikan oleh Pram. Lalu setelahnya hanya berdiri memandangi semua barang itu. Kemudian ia memasukkan semuanya di sebelah gantungan baju-baju Alena. Ia tak berniat menyingkirkan baju mantan istri Pram. Siapa tahu suatu saat wanita itu akan mengambilnya.Perlahan ia mengeluarkan semua alat rias wajah. Menelisiknya satu-satu. Ia bingung bagaimana memakainya. Teringat pesan Ririn untuk membuka youtube. Di sana banyak tutorial lengkap mengaplikasikan skincare dan make up pada wajah.Nyaris setengah hari Alena menelusuri berbagai video di youtube. Lalu coba-coba ia belajar sendiri. Hasilnya? Tetap tidak setebal riasan wajah Alena. Namun Liana sudah menyulap wajahnya menjadi lebih bersinar.***"Ani, Alena kemana?" tanya Nyonya Sekar di ruang tengah rumah."Ada di kamarnya, Nyonya. Sepertinya sedang melihat-lihat acara di youtube," sahut Ani.Nyonya Alena tersenyum senang. Ia menyukai keberadaan Alena

  • Di Antara Dua Nama   Dua Puluh Delapan

    Liana duduk menopang dagu di salah satu meja kafe Ririn. Sementara Ririn memperhatikan apa yang dikenakan Liana."Baru sehari kau jadi artis, penammpilanmu langsung berubah. Tas branded, baju kualitas premium, sepatu keren. Sayang, riasan wajahmu masih terlalu natural!"Liana masih diam mendengarkan ocehan Ririn."Apa kubilang, kau dan pemilik PT. Adiwiguna Plast sebetulnya ada sesuatu, kalian terhubung satu sama lain. See?""Antar aku beli make up, yuk!" ajak Liana tak mempedulikan ocehan Ririn. "Ajari aku memakai riasan wajah. Oh, aku disuruh sering-sering ke salon, dia bilang rambutku kurang berkilau!"Ririn bertepuk tangan senang. "Sungguh hebat artis kita satu ini, fasilitas serba kelas satu. Ah, aku iri!""Kau mau membantuku tidak? Aku harus cepat-cepat karena sore sudah harus ada di rumah besar itu lagi!" gerutu Liana."Ap

  • Di Antara Dua Nama   Dua Puluh Tujuh

    Liana memejamkan mata dan menahan napas."Kau itu bisa akting tidak, sih?" tegur Pram memicingkan mata.Liana makin ciut."Bisa berpura-pura menjadi seorang istri yang manja pada suaminya?"Liana mengangguk pelan. Ia merapatkan lengan Pram ke tubuhnya."Bibirmu pucat, pakai lipstick yang sedikit cerah!""Warna lipstick-ku pink muda semua," keluh Liana.Pram menghela napas. "Hari ini aku temani kau berbelanja. Biar aku pilihkan apapun untukmu sesuai selera Alena. Jangan mendebatku!" Pram melangkah, memaksa Liana tetap menggandengnya.Liana terpaksa berjalan dengan menggandeng Pram erat. Jantungnya berdegup kencang.Setelah Liana mengambil tas di kamar. Keduanya siap berangkat."Memangnya istrimu selalu menggandengmu seperti ini di dalam rumah?" tanya Liana penasaran."Iya," jawab Pram pende

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status