Share

Empat

"Siapa tamu yang datang tadi?" Nyonya Sekar muncul di ambang pintu.

Alena terkejut namun ekspresinya kembali tenang. Dibuat setenang mungkin, lebih tepatnya.

"Rekan bisnis Pram, Ma," sahut Alena berdiri dan memapah Nyonya Sekar duduk di kursi teras.

Tak lama Puri muncul bersama Mawar. Puri memperhatikan gaya berbusana Alena yang mengenakan Off Shoulder Dress di atas paha. Ia betul-betul risih melihatnya. Tapi suaminya sangat menyukai gaya berbusana Alena. Benih-benih kebencian perlahan tumbuh di hati Puri.

"Halo, Mawar. Sini, duduk sama Tante!" sapa Alena merentangkan tangan pada Mawar. Mawar berlari kecil ke arah Alena lalu duduk di pangkuan Alena.

"Kau cantik sekali, mirip Mama," puji Alena.

"Tante juga cantik!" sahut Puri riang.

Alena tersenyum hangat.

"Jalan-jalan ke mall, yuk! Beli baju, beli makanan, beli es krim," ajak Alena gemas melihat Mawar memainkan anak rambutnya yang ikal terurai.

"Mawar dilarang makan es krim," ucap Puri datar.

Alena melirik sekilas ke arah Puri. "Oh, Mawar tak boleh makan es krim, ya. Nanti batuk, ya?" Alena mencubit hidung Mawar.

Mawar diam tak menyahut.

"Kok, diam?" tanya Alena.

"Aku suka es krim tapi Mama selalu larang aku makan es krim," sahut Mawar pelan.

"Diwali sudah berangkat kerja?" tanya Nyonya Sekar mengalihkan pembicaraan.

"Sudah, Ma. Sepertinya dia sedang terburu-buru tadi. Setelah selesai sarapan Mas Diwali langsung berangkat kerja," jawab Puri.

"Sekarang di rumah ini Mama punya dua orang anak perempuan. Mama harap kalian bisa hidup rukun berdampingan satu sama lain." Nyonya Sekar berpesan.

"Iya, Ma." Alena tersenyum hangat sementara Puri hanya mengangguk pelan.

****

Liana sedang berada di kafe Ririn. Kali ini bukan sebagai pengunjung. Ia duduk di belakang meja kasir, bukan pula bekerja menjadi kasir. Liana hanya duduk manis memperhatikan para pengunjung kafe.

"Kafenya cepat sekali ramai, ya," ucap Liana pada Yuyun, kasir yang sesungguhnya.

Yuyun tersenyum. "Iya, Mbak. Aku senang kerja di sini. Kafenya ramai. Apalagi menjelang waktunya makan siang dan sore hari. Pengunjungnya ramai sekali," sahut Yuyun.

"Bosmu datang jam berapa, sih? Sudah siang belum muncul juga?" Liana melirik jam tangannya. Jarum panjang menunjuk ke angka sebelas.

"Namanya juga bos, Mbak. Datangnya suka-suka," jawab Yuyun mesem.

"Coba aku telpon dia." Liana mengambil ponsel dan menekan nomor Ririn.

"Tak diangkat-angkat, kemana dia?" gumam Liana.

"Mbak, laki-laki tampan di meja tujuh dari tadi terus saja memperhatikan Mbak," bisik Yuyun.

Liana mengarahkan pandangannya ke meja tujuh. "Ada tiga orang laki-laki di meja tujuh. Laki-laki yang mana yang kau maksud?"

"Itu yang paling tampan, dasi kotak-kotak biru tua," sahut Yuyun.

Tap! Pandangan Liana dan Pramudya bertemu. Pram tampak salah tingkah mendapati dirinya diketahui Liana sedang memperhatikannya.

"Siapa dia? Aku tidak kenal," sahut Liana enteng lalu tatapannya kembali ke layar ponsel.

"Kemarin waktu Mbak sarapan pagi di sini, laki-laki itu juga sempat memperhatikan Mbak dari meja kasir. Waktu itu Mbak sedang bersama Mbak Ririn," lanjut Yuyun.

"Biarkan saja. Aku tidak kenal," sahut Liana tak ambil pusing.

"Tapi dia tampan sekali, Mbak!" puji Yuyun.

Liana kembali mengalihkan tatapannya pada Pramudya.

"Iya tampan, mirip Fernando Jose, aktor telenovela," jawab Liana sekenanya.

"Mbak tidak merasa senang diperhatiin laki-laki tampan?" tanya Yuyun lagi.

Liana menggaruk tengkuknya. "Senang, dong. Aku perempuan normal, lho!" Liana terkikik.

"Tapi kenapa Mbak cuek saja?"

"Aku sedang tidak fokus memikirkan laki-laki dan cinta. Aku sedang bingung menata hidup dan masa depanku," jawab Liana sambil menggaruk-garuk pipi dengan telunjuknya.

Yuyun memandangi Liana yang kembali sibuk dengan ponselnya. Ia mengagumi wajah cantik Liana yang natural tanpa riasan.

Sementara itu di meja nomor tujuh, Pram merasa aneh melihat Liana. Kenapa wajahnya mirip sekali dengan Alena? Apa Alena punya saudara kembar? Tapi Alena adalah anak tunggal dan Pram yakin Alena tak menyembunyikan apapun tentang masa lalunya.

Alena pernah menjadi korban pelecehan ayah kandungnya pun Pramudya mengetahuinya. Masa kecil Alena yang kelam membuat Pram semakin ingin melindungi Alena. Cinta pertama sekaligus terakhir. Itu tekad Pram dalam hatinya.

Pram tak ingin berlama-lama di kafe itu. Ia segera pamit pada rekan-rekannya untuk kembali ke kantor lebih dulu.

Setiba di ruangannya Pram melonggarkan dasi. Ia duduk santai di kursi kebesarannya, memejamkan mata sekedar membuat tubuhnya rileks.

Perusahan yang dikelola Pram adalah produsen pelopor kemasan plastik berkualitas tinggi terbesar di Indonesia yang melayani berbagai perusahaan dan industri. Perusahaannya memiliki banyak cabang yang tersebar di Jabodetabek. 

Tak berapa lama, terdengar ketukan di pintu.

"Masuk!"

Pintu terbuka, Indriani masuk dengan tingkahnya yang menggoda. Setelan baju kerja yang ketat dan pendek sengaja selalu ia kenakan. Indriani adalah sekertaris Pramudya.

"Pagi menjelang siang, Pak. Ini laporan yang Bapak minta tadi." Indriani duduk di depan Pram, suaranya serak dan manja. Rambut dikuncir tinggi hingga memperlihatkan lehernya yang mulus dan jenjang.

Pram menerima berkas dari Indriani, memeriksanya beberapa saat. "Iya, ini sudah bagus. Terima kasih. Kau boleh kembali ke ruanganmu." Pram berkata tanpa sedikitpun senyum ramah di wajahnya.

"Oh, satu lagi. Sudah saya katakan berkali-kali, kenakan rok yang agak panjang, di bawah lutut. Rokmu itu terlalu pendek."

Indriani cemberut. "Rok saya terlalu seksi, ya?"

"Saya tidak bilang begitu. Hanya memberi saran, bukan aturan. Tapi saya mau kau mematuhi saran saya," jawab Pram tegas.

"Tapi istri Bapak selalu berpakaian seksi!" jawab Indriani berani.

"Dia istriku, bukan sekertarisku dan punya hak apa kau mengomentari penampilan istriku?" Pram menatap tajam Indriani.

Indriani kesal. Sudah lama ia mengincar Pramudya namun atasannya itu terlalu angkuh dan dingin. 

Aku pikir dengan sikapnya yang kaku dan angkuh itu seleranya wanita kalem dan berpakaian tertutup tapi nyatanya matanya tetap hijau melihat wanita seksi. Pakaian istrinya jauh lebih seksi daripada aku, huh! Indriani merutuk dalam hati.Ia segera berlalu meninggalkan ruangan Pramudya dengan wajah cemberut.

Pram menghela napas panjang. Ia sebenarnya mengandalkan sekertarisnya itu. Indriani sangat cakap, cekatan dan cerdas dalam pekerjaannya.

Kekurangannya hanya satu, Indriani sibuk menebar pesona terhadapnya. Namun benteng di hati Pram terlampau kokoh. Ditambah sejak Pram jatuh cinta dengan Alena. Benteng di hati Pram semakin tebal lapisannya.

****

Sore hari Alena bergegas menemui Arya di suite kamar hotel tempat biasa mereka berkencan.

"Kenapa kau tak pernah bilang kalau selama ini Pram adalah rekan bisnismu?" Alena menatap tajam Arya.

Arya duduk tenang memainkan gelas berisi batu es dan vodka. "Aku tak mau kau gelisah menghadapi pernikahanmu," jawab Arya santai.

"Bohong! Kau pasti punya rencana busuk!" ujar Alena.

"Percayalah, aku mencintaimu. Tak mungkin aku menghancurkan impianmu, Alena. Meski kau meraih mimpimu tidak bersamaku. Aku mengalah. Asalkan aku masih selalu bisa menemuimu, bercinta denganmu. Rahasiamu tetap aman." Arya berdiri lalu merangkul Alena.

Alena membiarkan saja perlakuan Arya. Memeluk lalu menghujaninya dengan ciuman.

"Aku sudah mentransfer sejumlah uang yang sangat besar ke dalam rekeningmu. Dua tahun bersama, apa aku pernah menuntutmu meninggalkan kekasih-kekasihmu yang lain? Tidak, bukan? Kau pikir yang menerimamu apa adanya itu siapa? Pram? Andai Pram tahu sepak terjangmu selama ini. Kau pikir Pram akan seperti aku? Tetap mencintaimu, memanjakanmu dengan uangku?" Arya menatap lembut Alena.

Alena memalingkan wajah. Saat ini pikirannya berkecamuk. Haruskah ia mempercayai Arya? Lalu kenapa juga ia harus menerima lamaran Pram untuk menikahinya? Bukankah selama ini Alena menikmati dendamnya untuk memainkan hati para lelaki? Perasaan apa ini? Alena tak pernah merahasiakan apapun dari para kekasihnya.

"Bukan hanya kau yang mengetahui aku memiliki banyak kekasih," sahut Alena akhirnya.

"Dan kau merasa nyaman dengan kebebasanmu yang tak terikat, bukan? Lalu kenapa kau harus mengkhawatirkan Pram?"

Alena diam.

"Kau benar-benar mencintainya?"

Alena melepaskan rangkulan Arya. Ia duduk dan meraih segelas vodka yang sudah Arya tuangkan untuknya.

"Bisa menemaniku malam ini?" tanya Arya berharap.

"Tidak! Aku harus pulang, menemani suamiku!" jawab Alena tegas.

"Oke, baiklah. Aku akan dengan sabar menunggu giliranku untuk bisa bersamamu," sahut Arya pasrah.

Alena bangkit dan bergegas menuju pintu kamar.

"Tunggu, Alena! Bisakah kau memberikan aku ciuman pamit mesra seperti yang biasa kau lakukan?"

Alena kembali menghampiri Arya. Bibir mereka saling memagut cukup lama. Arya mendekap Alena erat.

Namun Alena segera melepaskan diri.  "Jangan malam ini, tunggulah!" Alena membenahi rambutnya yang sedikit acak-acakkan.

Ia lalu meninggalkan Arya karena ponselnya tak henti berdering sejak tadi. Alena tahu Pram yang menelponnya. Ia pergi tanpa pamit.

Sepanjang perjalanan menuju rumah, Alena tak henti berpikir dan bertanya-tanya tentang perasaannya. Ia sangat menikmati waktunya bersama Arya ataupun kekasih-kekasihnya yang lain. Ia tak pernah khawatir jika mereka saling mengetahui dengan siapa Alena berkencan.

Tapi kenapa dengan Pram berbeda? Ia tak ingin Pram tahu siapa dirinya sesungguhnya. Alena tak ingin meredupkan tatap kagum di mata Pram. Pram yang begitu memujanya. Alena menyukai tatapan lembut Pram. Tatapan cinta yang tulus yang tak ia temukan di mata para kekasihnya.

Setibanya di rumah, Alena berusaha menenangkan perasaannya. Ia kebingungan dengan perasaannya yang berkecamuk.

"Kau dari mana, sayang?" tanya Pram lembut.

Pram memperhatikan pakaian Alena yang hanya mengenakan tank top agak longgar

dipadu dengan kulot panjang.

"Malam-malam begini kenapa pakai baju tanpa lengan? Kau tidak kedinginan?" tanya Pram lagi.

Alena bergegas memeluk Pram, ia tak ingin Pram melihat kegugupan di wajahnya.

"Kenapa jantungmu bergemuruh? Kau dari mana?" Pram masih dengan kelembutannya.

"Maaf aku keluar mendadak dan tidak meminta izinmu. Aku tadi dari panti asuhan. Ada keperluan mendesak," sahut Alena masih memeluk Pram, berusaha menenangkan gemuruh di dadanya.

Alena kesal kenapa ia harus merasa khawatir seperti saat ini.

"Kau ke panti berpakaian seperti ini?" Pram mengelus punggung dan pundak Alena.

"Aku terburu-buru. Aku ganti baju dulu." Alena melepaskan pelukannya dan bergegas menuju ruang ganti pakaian.

Pram memandanginya dengan senyum penuh kasih. Ah, Pram. Andai saja ia tahu dari mana istrinya pergi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status