Share

Di Antara Tangis Anakku dan Diam Suamiku
Di Antara Tangis Anakku dan Diam Suamiku
Author: Quinn

Bab 1

Author: Quinn
Setelah dipaksa menukar jantung untuk cinta pertama suamiku, aku mati di koridor rumah sakit swasta yang didirikannya sendiri.

Saat menjelang ajal, anak lelakiku yang berusia enam tahun menangis dan memohon padanya tiga kali.

Pertama, anakku menggandeng tangan ayahnya dan berkata bahwa aku muntah darah.

Ayahnya menyeringai dingin dan berkata, "Kali ini akhirnya ada kemajuan, sampai mengajarkan anak untuk berbohong."

Lalu menyuruh pengawal mengusir anakku dari kamar.

Kedua, anakku menarik lengan bajunya dan berkata bahwa aku sudah mulai mengoceh tak karuan karena menahan sakit.

Ayahnya mengerutkan kening dan berkata, "Bukannya hanya mengganti jantung? Kata dokter, tidak akan mati."

Pengawal maju dan kembali menyeret anakku keluar dari kamar.

Ketiga, anakku merangkak di lantai, menggenggam erat ujung celananya sambil menangis, berkata bahwa aku sudah tidak sadarkan diri.

Ayahnya akhirnya marah, mencekik leher anakku dan melemparkannya keluar dari kamar.

"Sudah kukatakan, Kiyano tidak akan mati. Jika kamu masih berani mengganggu istirahat Sheilla, pasti akan kulempar kalian berdua keluar dari rumah sakit."

Untuk menyelamatkanku, anakku menggadaikan Kalung Penjaga Umur yang paling berharga kepada perawat.

"Bibi, aku tidak ingin panjang umur lagi, aku hanya ingin ibuku hidup."

Perawat menerima Kalung Penjaga Umur dan bersiap mengatur kamar terakhir untukku.

Namun Sheilla, cinta pertama suamiku, menyuruh orang menggendong anjing peliharaannya dan menghalangi depan kamar, lalu berkata, "Maaf ya Nak, ayahmu khawatir aku akan bosan tidak bertemu anjing, kamar ini disediakan untuk anjingku."

Demi mengosongkan ruang rawat terakhir untuk anjing milik Sheilla Yasmin, tempat tidurku dipindahkan ke koridor.

Saat pintu kamar rawat tertutup.

Anakku masih menggenggam erat Kalung Penjaga Umur yang baru saja dilepaskannya.

Dia mengepalkan tinjunya yang sudah membiru, lalu berkali-kali memukul pintu kamar dengan sekuat tenaga.

"Tante, boleh tidak kembalikan kamar ini untuk ibuku?"

"Tante, Martin mohon, tolong buka pintunya!"

Suara Martin yang masih polos menggema di sepanjang koridor, tapi tetap tak mampu menggoyahkan Sheilla yang sedang asyik bermain dengan anjing di dalam.

Semakin keras tangisan dan teriakan Martin, semakin bersemangat Sheilla mengelus dan bermain dengan anjingnya.

"Anjing sayang, jangan pedulikan makhluk kotor seperti itu."

Suara Martin perlahan serak.

Anak kecil yang dulunya sedikit luka saja saat terjatuh sudah langsung menangis minta dipeluk.

Kini hanya bisa menyeka darah yang merembes dari tangannya dengan ujung baju secara asal.

Dengan mata berlinang, dia berkata penuh kebencian, "Perempuan jahat! Ini kamar rawat yang Martin tukar dengan Kalung Penjaga Umur! Kenapa kamu pakai buat pelihara anjing?!"

"Kamu perempuan jahat!"

Suara Martin semakin serak sampai-sampai tak terdengar jelas, bahkan setiap pertanyaannya terdengar rapuh dan menyayat hati.

Aku terbaring di tempat tidur di koridor, air mataku bercampur darah mengalir tanpa henti.

'Maaf, Martin.'

'Ibu tidak bisa melindungimu, maaf.'

'Maaf.'

Pintu kamar itu tetap tak terbuka.

Martin kembali ke ranjangku dengan langkah linglung, matanya membengkak sampai terlihat menyeramkan.

"Ibu, maaf, Martin tidak berguna, kamar rawatnya direbut oleh orang jahat."

"Ibu, maaf."

Aku bisa merasakan nyawaku perlahan menghilang.

Aku tahu, aku sudah tak punya banyak waktu.

Tapi aku takut membuat Martin ketakutan.

Dengan sisa tenaga terakhir, aku paksa bibirku tersenyum dan berkata dengan suara lemah, "Martin, Ibu agak kedinginan, bisakah kamu ambilkan selimut untuk Ibu?"

Martin tertegun dua detik, lalu buru-buru menyeka air matanya, mengangguk cepat dan berkata, "Baik, Martin ambilin sekarang juga buat Ibu!"

"Ibu, Ibu harus tunggu Martin kembali! Harus tunggu Martin!"

Menatap punggung kecilnya yang semakin menjauh, aku pun perlahan menutup mata.

"Martin, maaf ya, Ibu mungkin nggak sempat nunggu."

Ketika aku membuka mata lagi, aku sudah menjadi arwah yang mengikuti anakku.

Anakku sangat pintar, dia tahu jarak pulang rumah terlalu jauh, jadi saat melihat kamar rawat yang terbuka, dia langsung masuk tanpa ragu.

Di tempat tidur itu terbaring seorang wanita muda.

Suami dari wanita muda itu sedang membetulkan selimutnya dengan hati-hati, tidak melewatkan satu sudut pun.

Di samping, ada seorang anak laki-laki berusia lima tahun, memegang secangkir air hangat sambil manja memanggil ibunya.

Entah kenapa, mata Martin tiba-tiba berkaca-kaca.

Tapi Martin tidak boleh menangis, dia masih harus meminjamkan selimut untuk ibunya.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Di Antara Tangis Anakku dan Diam Suamiku   Bab 8

    "Kalau begitu, berlutut dulu pada anakku dan minta maaf padanya."Sheilla menatap Sutiarso dengan tidak percaya, tapi rasa sakit luar biasa di kulit kepalanya mengingatkannya bahwa dia tidak punya pilihan selain tunduk."Baik ... aku berlutut."Sheilla berlutut, terus menerus membenturkan kepalanya ke arah Martin."Martin, Tante salah, maafkan Tante ya.""Tante janji nggak akan berani lagi."Satu suara, satu ketukan. Setiap kali kepalanya menyentuh lantai, itu benar-benar keras tanpa pura-pura.Aku menatap dingin adegan dramatis ini, tapi tidak ada sedikit pun rasa lega di hatiku.Aku tahu, bahkan jika dia membenturkan kepalanya sampai mati di sini, itu tidak akan menghapus luka yang diterima anakku.Saat itu juga, seorang dokter tiba-tiba memberanikan diri berbicara, "Pak Sutiarso, aku ingin melapor!"Kata-kata yang mendadak itu membuat semua orang spontan menoleh.Terutama Sheilla, sebuah firasat buruk tiba-tiba muncul di hatinya.Sutiarso menyipitkan mata, dengan suara dingin berkat

  • Di Antara Tangis Anakku dan Diam Suamiku   Bab 7

    Jantungku berdetak kencang.Aku melayang di depan pintu ruang perawatan intensif, tubuhku terus gemetar.Dia mau apa?Apakah dia masih akan menyakiti Martin, anakku?Tidak, tidak boleh!Anakku tidak boleh terluka lagi.Tidak boleh sama sekali!Melihat senyum samar di wajah Sheilla, aku benar-benar ingin menguliti dan mengoyak tubuhnya sampai habis.Sheilla tidak bisa melihatku, dia asal mencari alasan untuk menyuruh perawat pergi dari ruang perawatan intensif.Lalu diam-diam mendorong pintu terbuka.Melewati tubuhku yang tak tersentuh, Sheilla perlahan melangkah masuk ke ruang perawatan intensif.Dia berjalan ke ranjang Martin, bibirnya tersenyum tipis, kuku-kuku cantik yang terawat itu menggores pelan dahi, mata, dan mulut Martin.Sampai akhirnya berhenti di leher Martin yang rentan."Menurutmu, kalau Kiyano tahu keadaanmu yang menyedihkan ini, apa dia akan membenciku?"Sheilla tertawa, matanya berkilat jahat."Sayangnya tubuh ibumu terlalu lemah, aku cuma menyuruh orang mengeluarkan

  • Di Antara Tangis Anakku dan Diam Suamiku   Bab 6

    Bengkak di wajah Martin sudah agak mereda, darah di sudut bibirnya pun telah dibersihkan dengan hati-hati oleh para perawat.Namun justru ini membuat bekas luka-luka di wajahnya tampak semakin jelas.Terutama bekas tamparan di pipinya.Jelas sekali itu hasil pukulan dengan kekuatan penuh.Sutiarso menatap kosong wajah Martin, kedua tangannya sudah mengepal kuat sejak tadi."Sutiarso?"Sheilla memanggilnya dengan suara gemetar, diselimuti rasa takut dan cemas.Sejak pagi tadi, dia sudah mendengar kabar dari rumah sakit.Tentang mayat seorang wanita yang ditemukan di koridor, bersama seorang anak berusia enam tahun.Saat itu Sheilla sedang merias wajah. Mendengar kabar ini, lipstik di tangannya langsung patah.Setelah mengikuti Sutiarso selama bertahun-tahun, dia sangat memahami Sutiarso.Laki-laki ini memang menyebalkan, dia cuma tertarik pada sesuatu yang tidak bisa diraihnya.Dulu itu adalah dirinya, sekarang ... Sheilla mulai panik ... Jadi ketika tahu Sutiarso mencarinya, Sheilla s

  • Di Antara Tangis Anakku dan Diam Suamiku   Bab 5

    "Ki ... Kiyano ... "Sutiarso menyebut namaku dengan lirih, lalu tanpa ragu menerobos kerumunan dan bergegas menuju ranjangku.Melihat tubuhku yang kini hanya jasad, pucat, kaku, tanpa sedikit pun tanda kehidupan.Hati Sutiarso tiba-tiba terasa seperti diremas dengan keras.Sutiarso mengulurkan tangan dengan gemetar untuk memeriksa apakah aku masih bernapas, tetapi tanpa sengaja menyentuh wajah Martin yang lebam.Secara refleks, dia langsung memeluk Martin dalam pelukannya.Mata Sutiarso memerah, dia berteriak kepada orang-orang di sekelilingnya, "Dokter! Mana dokternya?!"Kerumunan mulai panik.Beberapa dokter dan perawat segera muncul dan menuntun Sutiarso menuju ruang perawatan.Sutiarso dengan sangat hati-hati membaringkan Martin yang tak sadarkan diri itu ke atas ranjang pasien.Jiwaku yang melayang di udara, akhirnya merasa sedikit tenang.Melihat kepanikan yang tak terbendung di wajah Sutiarso, aku justru ingin tertawa.Bukankah semua ini terjadi karena tindakan dia?Tadi malam,

  • Di Antara Tangis Anakku dan Diam Suamiku   Bab 4

    Sheilla membelai bulu halus anjing kecil itu dan bertanya dengan suara lembut.Kemudian, seolah akhirnya merasa lelah, Sheilla menyuruh pengawal menurunkan Martin.Dia mengangkat kakinya dan menginjak wajah Martin yang sudah membiru dan lebam, dengan ekspresi penuh belas kasihan yang pura-pura."Kamu lihat sendiri, ayahmu pun sudah nggak menginginkanmu lagi.""Kasihan sekali."...Pintu lift perlahan tertutup.Hanya menyisakan tubuh kecil Martin yang menggigil kedinginan di lantai keramik yang dingin.Aku berlutut di sampingnya, meskipun tahu itu sia-sia, tetap berusaha lagi dan lagi untuk mencoba menggendongnya.Tapi tidak ada gunanya, sama sekali tidak ada gunanya.Pintu rumah sakit telah lama ditutup, tanpa perintah Sutiarso, tidak ada seorang pun yang berani menyelamatkan anakku.Darah di sudut bibir Martin sudah mengering.Dia mencoba menggerakkan kelopak matanya, tetapi sama sekali tidak bisa membuka matanya.Hanya selimut di pelukannya yang masih terbungkus plastik tipis, mengel

  • Di Antara Tangis Anakku dan Diam Suamiku   Bab 3

    Lengan Martin mulai kejang tanpa henti, tapi dia menolak untuk menangis.Dia mengangkat kepala, matanya yang merah bengkak menatap tajam ke arah Sheilla yang berpenampilan mewah itu."Ibuku bukan perempuan murahan, ibuku adalah ibu terbaik di dunia ini!""Kamu wanita jahat, aku tidak mengizinkanmu menyakiti ibuku!"Setelah selesai berkata, Martin membuka mulutnya dan menggigit Sheilla dengan keras, berpikir bahwa dengan begitu dia bisa membuat Sheilla menarik kakinya.Sheilla yang sudah sangat marah benar-benar kehilangan kendali. Dia dengan keras menendang perut Martin yang rapuh menggunakan sepatu hak tinggi bertumit runcing."Bajingan kecil!"Aku berteriak keras, langsung menerjang untuk melindungi Martin dalam pelukanku.Martin malah melewati tubuhku, terhantam keras ke dinding, dan tiba-tiba meludahkan seteguk darah.Namun dia tetap menahan tangisnya, dengan keras kepala mengulurkan tangan kecilnya, meraba-raba di lantai."Selimut ... Selimut ... ""Ibu butuh selimut ... "Sheilla

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status