Tante Katrin basah kuyup tak sadarkan diri di lantai kamar mandi, Om Rudy segera membopongnya ke tempat tidur dan mengeringkannya.“Kat… Katrin, ada apa denganmu, Kat? Bangunlah,” ucap Om Rudy cemas sambil mengeringkan tubuh Tante Katrin dan menggantinya dengan baju kering. Wajah Katrin sangat pucat nyaris seperti mayat.“Katrin, bangunlah, jangan membuatku takut seperti ini,” ujar Om Rudy lagi dengan mendekatkan botol minyak angin ke arah hidung istrinya. Sesaat jemari Tante Katrin bergerak. Om Rudy segera meraih jemari istrinya dan menempelkannya kepada dadanya.“Kat, kamu kenapa?” tanya Om Rudy cemas. Sebelah tangannya membelai kepala Katrin dengan lembut.“Aku … aku hanya kelelahan saja, aku baik-baik saja, tekanan darahku sepertinya menurun,” jawab Tante Katrin dengan pelan. Om Rudy belum bisa menekan kecemasannya, baru kali ini dia melihat istrinya jatuh pingsan, rasa takut kehilangan tiba-tiba muncul dan menguasainya.“Kita ke dokter yaa, Katrin, kita pastikan apa yang terjadi
Tante Katrin masih tak sadarkan diri di dalam ruangan perawatan intensif, infus, masker oksigen membuatnya terlihat seperti orang yang sedang sekarat. Myla tak berhenti menangis dari balik jendela perawatan. Om Rudy pun hanya bisa memeluk dan mengusap punggung Myla dengan lembut berulang kali.“Pa, Mama kenapa? Mama selama ini sedang sakit ya? Kenapa Myla gak bisa lihat itu, Pa?” Myla terisak dalam pelukan papanya.“Papa juga gak tau, Myla, Papa minta maaf karena sudah egois dan hanya mementingkan diri Papa sendiri, Papa benar-benar tidak menyadari jika Mama sedang sakit.” Om Rudy menyesali perbuatannya akhir-akhir ini, membiarkan dirinya tenggelam dalam obsesinya pada Liany, putri dari mendiang mantan kekasihnya dulu.Dokter Wilma yang ketika tahu Tante Katrin jatuh pingsan lagi segera datang dan untuk melihat pasiennya itu. Saat di dalam ruangan bersama dokter Wilma Tante Katrin siuman.“Kat, apa keluargamu sudah tahu?” bisik dokter Wilma pada Tante Katrin. Tante Katrin menggeleng l
Myla terisak menuju parkiran mobil, perasaannya kacau balau dengan apa yang baru saja diketahuinya itu. Masa lalu mamanya sungguh mengejutkan dirinya, andai saja mamanya bisa berterus terang lebih awal Myla merasa tidak akan meradang seperti ini. Gadis itu tak berhenti merutuki dirinya yang tidak beruntung dalam percintaan. Cinta pertamanya yang membuatnya gelisah dan kasmaran harus berakhir kandas dengan kenyataan yang pahit.Satu rangkulan lembut di bahunya membuatnya sedikit terkejut, papanya sudah mensejajarkan langkah dengannya.“Ayo kita ke suatu tempat karena Papa juga ingin membicarakan hal penting denganmu,” ajak Om Rudy mengarahkan langkah Myla menuju mobilnya. Kali ini mereka tidak memakai sopir, Om Rudy sendiri yang menyetir mobil.Myla masih terdiam setelah berhenti menangis, wajahnya masih tertekuk dan matanya merah dan bengkak.“Kita mau kemana, Pa?” tanya Myla yang melihat jalanan yang tidak biasanya mereka lewati.“Papa mau ke suatu tempat, Papa dan Mama sudah lama ti
Sepasang pengantin baru itu berbaring di atas ranjang sambil menatap langit-langit kamar mereka. Liany masih memakai gaun pengantinnya hanya riasan rambutnya saja yang dilepasnya. Satria pun hanya memakai kemeja sementara jas-nya sudah disampirkannya di bahu kursi. Mereka berpegangan tangan dengan erat, seulas senyum tipis penuh kebahagiaan tersungging dari bibir keduanya.“Aku tidak menyangka kita benar-benar sudah sampai di sini, butuh sekian bulan untuk mengetuk pintu hatimu, Lia. Syukurnya Rangga berpihak padaku dari awal, aaahh … great job my Boy!” seru Satria dengan bahagianya. Liany hanya tertawa kecil mendengar penuturan suaminya.Mereka berbalik bersamaan dan saling berhadapan, Satria menarik tangan Liany dan mengecup punggung jemari Liany dengan lembut.“Terima kasih karena telah menjadi bagian dari hidupku, aku merasa beruntung memilikimu,” ujar Satria masih memandangi wajah Liany.“Terima kasih juga karena kau tak lelah berjuang untukku dan Rangga,” ucap Liany lirih.“Kata
Liany harus menenangkan Satria setelah lelaki itu mengomeli Lilis berjilid-jilid, gadis itu terlihat ketakutan dan tetapi tidak menghilangkan kepolosannya.“Lilis udah bener Tuan, masuk ke liftnya, pas ada ibu-ibu yang keluar juga dia ajak Lilis ikut keluar lift. Lilis kira itu lantai kamar kita, semua pintunya sama tetapi Lilis gak nemu kamar Lilis. Lilis mau cari liftnya lagi tetapi liftnya udah gak ada. Lilis muter-muter sampai kepala Lilis pusing, Tuan,” sahut Lilis polos. Satria memandang Lilis dengan rasa tidak percaya, syukurnya Rangga baik-baik saja dan tengah tertidur pulas. Satria dan Liany mengantarkan Lilis di lantai kamar mereka.“Ini pintu kamar kamu, ingat saya dan ibu mau istirahat, sekali lagi kamu bikin ulah saya akan pulangkan kamu malam ini juga ke kampung!” ancam Satria galak. Liany mengelus punggung lengan Satria agar tidak membuat Lilis ketakutan lagi.“I-iya Tu-tuan… Lilis gak akan bikin ulah lagi, Lilis akan jaga Den Rangga sebaik mungkin, Lilis janjiii Tuaan,
“Kita harus melakukan transfusi darah secepatnya dan golongan darah mamamu AB rhesus negatif, golongan darahmu apa, Myla?” tanya dokter Wilma sebelum dia menghubungi Satria. Stok darah yang dibutuhkan Tante Katrin sedang kosong dan merupakan golongan darah yang cukup sulit ditemukan.“Sayangnya golongan darahku A rhesus postif, Bu Dok, jadi bagaimana dengan mama saya?” Myla mulai terlihat cemas. Dari balik jendela mereka berdua melihat Tante Katrin yang wajahnya sepucat mayat dan Om Rudy yang tengah duduk di samping tempat tidurnya menunggui Tante Katrin. Lelaki itu hanya bisa memegang tangan Tante Katrin yang lemah terkulai dan menciumi punggung tangan itu.“Kalau begitu saya akan menghubungi Satria, mungkin dia bisa menolong mama kamu, dia putranya kan? Mari berharap semoga golongan darah mereka sama dan Satria bisa mendonorkan darahnya untuk mamamu,” jawab dokter Wilma. Dengan lembut dielusnya bahu perempuan muda itu, dokter Wilma pun berpamitan untuk ke ruangannya untuk menelpon S
Liany meminta Satria untuk kembali ke rumah saja setelah dari rumah sakit, meskipun hanya semalam saja di hotel mewah hatinya sudah cukup senang. Tentu saja Lilis pun senang mereka pulang sehingga tak harus repot menghapalkan jalan ke kamar mereka di lantai yang semuanya terlihat mirip. Satria yang masih ingin tinggal akhirnya mengalah, kondisi tubuhnya juga terasa sedikit lemah dan rumah adalah tempat yang paling nyaman untuk istirahat.“Dalam minggu ini kita akan pindah ke rumah baru, jadi bersiaplah,” ujar Satria setelah mereka tiba di rumah. Rangga sudah tertidur pulas di dalam box sementara Lilis sedang beristirahat di kamarnya.“Apa tidak terlalu cepat, Sat?” tanya Liany sambil membuka kancing bajunya, terlihat daster berwarna merah muda yang diletakkannya di bangku meja riasnya, dia akan mengganti bajunya dengan daster motif bunga itu.“Lebih cepat ‘kan lebih baik, Sayang,” jawab Satria lalu mendekap mesra Liany d
Myla nyaris terhempas ketika dokter Wilma menyatakan hari dan jam kematian mamanya, lalu dokter sahabat mamanya menarik selimut Tante Katrin hingga menutup wajah cantik yang tak bernyawa itu lagi. Seakan seperti mimpi buruk Myla menampar-nampar pipinya sendiri agar bisa terbangun, sayangnya ini bukan mimpi, mamanya memang sudah pergi untuk selamanya. Om Rudy berjalan perlahan mendekati jasad istrinya, disibak selimut yang menutupi Tante Katrin, diamatinya wajah yang cantik seakan sedang tertidur.“Kat, kamu kok gak pamit sih mau pergi jauh seperti ini, Sayang? Kenapa kamu gak tunggu aku dan anak-anak kamu ada? Kenapa kamu pergi diam-diam, Kat?” suara parau Om Rudy terdengar sesak. Dokter Wilma membuka kacamatanya dan mengusap air mata yang tak bisa dibendungnya, Tante Katrin bukan hanya pasiennya tetapi sahabatnya untuk berbagi suka dan duka, kehilangannya begitu cepat bukan hal yang bisa diduganya.“Rud, tabahkan hati kamu, ikhlaskan kepergiann