Share

Di Balik Hujan
Di Balik Hujan
Author: A_W

1. Moment Pertama

Tujuh tahun kemudian setelah hari kelahiran, di luar rumah nampak hujan turun. Bau tanah kering yang tersiram air, menguar tercium, mengusik hidung.

“Bu, di luar hujan, ya?” tanyaku pada Ibu.

    “Iya, Massika kenapa, mau main keluar?” tanya Ibu.

    “Hmm, nggak Bu, aku takut,” jawabku.

     Ibu mengernyitkan kening, dia tersenyum lalu mulai menjelaskan sesuatu. Ibu berkata, tidak ada yang perlu ditakutkan. Aku lahir ketika hujan turun. Itulah sebabnya, mengapa ibu memberikan nama Massika.

   “Hujan, ‘kan, hanya air, kamu takut dengan air?” tanya Ibu mengakhiri ceritanya.

   “Iya sih, tapi …." Aku menghentikan kalimat, bimbang hendak berkata apa.

   “Sudah, ayo kita keluar!" ajak Ibu.

   Kemudian ibu membawaku keluar rumah. Sesampainya di depan pintu rumah, langkahku terhenti. Ibu langsung menoleh menatap, bersiap untuk melontarkan pertanyaan padaku. Dengan raut wajah cemas, Aku berkata, “Bu, aku takut.”

   “Nih, coba ke depan ‘kan tanganmu seperti ini,” ajak Ibu, sambil tersenyum padaku.

   “Begini, Bu … eh?”

   “Bagaimana?” tanya Ibu padaku.

   “Dingin banget, Bu …,” jawabku dengan mimik muka yang mulai sedikit ceria.

   “Yah sudah, tunggu apalagi? Ayo kita … mandi hujaaan ….”

Saat itu, pertama kalinya aku keluar dari rumah dan merasakan, bagaimana rasanya, ditimpa air yang jatuh dari langit dengan jumlah yang sangat banyak. Begitulah yang tergambar di benakku, ketika pertama kalinya melihat hujan. Pikirku, rasanya akan terasa sakit. Tapi? Hmm … dingin? Basah? Ya, rasanya aneh, tapi seru, hahaha.

***

    Beberapa saat kemudian, perlahan, hujan mulai berhenti. Cahaya matahari, kini mulai terlihat. Dengan perasaan bingung, Aku menatap langit, menyipitkan mata karena cahaya matahari, menyilaukan mata. Lalu, Aku menoleh kearah Ibu.

   “Bu, kok hujannya berhenti?” tanyaku pada Ibu.

   “Iya, Massika, awan sudah kehabisan air. Jadi, awan membutuhkan waktu untuk mengisi kembali airnya. Dirasa sudah cukup, awan akan kembali mencurahkan air ke bumi. Nah, itu lah yang disebut hujan,” jawab Ibu.

   “Hmm … begitu ya, Bu. Lalu, kapan awan mulai mengisi airnya lagi, Bu? Kalau tidak, kita saja yang mengisi airnya, yuk,” kataku pada Ibu.

Seketika, Ibu tertawa mendengar perkataanku. Dengan mimik muka ceria, Ibu berkata, kita tidak bisa melakukan itu, dan hanya Tuhan saja lah yang bisa melakukannya. Tidak tahu harus berkata apa, Aku hanya diam sambil menatap Ibu.

   “Coba kamu lihat ke atas sana,” kata Ibu, menunjuk langit.

   “Itu … itu apa, Bu. Mengapa ada banyak warna di atas langit?” tanyaku pada Ibu.

   “Itu namanya pelangi, sayang. Pelangi muncul, setelah hujan berhenti,” jawab Ibu.

   “Wah, indah sekali, Bu …,” kataku dengan mata berbinar-binar.

Ibu tertawa lagi mendengar perkataanku. Aku terkejut, mengapa Ibu menertawakanku. Terdiam sejenak, lalu menoleh kearah Ibu, berniat ingin bertanya. Namun, Ibu tidak memberikan kesempatan untuk bertanya. Ibu berkata, masuk ke dalam rumah, kemudian mandi. Kalau tidak, nanti Aku bisa sakit karena seluruh pakaian dan sekujur tubuhku, sudah basah kuyup.

Hari itu, hari yang sangat menyenangkan dalam hidupku. Selain Aku dapat merasakan betapa bahagianya bermain dengan hujan, Aku juga dapat menyaksikan pelangi yang sangat indah. Namun, kebahagiaan itu hilang dalam sekejap.

***

    Malam pun tiba, Aku dan Ibu kembali keluar. Berbarengan dengan suara katak bernyanyi, angin yang berhembus pelan menyambut.

   “Bu, malam hari ada hujan?” tanyaku pada Ibu.

   “Ada, kok. Hanya saja, hujan di malam hari sangat berbeda dengan hujan di pagi, siang dan sore hari. Di waktu malam, para hantu akan turun ke bumi untuk mencari mangsa. Terlebih lagi, saat hujan turun. Hii …,” jawab Ibu, mencoba menakut-nakuti.

   “Ah, Ibu … jangan begitu, dong.” kataku menyentak sambil memeluk Ibu.

Ibu tertawa melihat ekspresi ketakutan yang tergambar jelas di wajahku. Ibu berkata, itu hanya bercanda. Angin malam tidak bagus untuk kesehatanku. Sekiranya hujan turun di malam hari, Ibu tidak menganjurkanku, untuk bermain hujan. Nanti, aku bisa sakit.

   “Sekarang ini, kita sedang berada di luar, Bu. Tidak apa-apa?” tanyaku pada Ibu.

   “Suhu di luar rumah untuk sekarang ini, tidak terlalu dingin, Massika. Tidak apa-apa untuk kita berada di luar, tapi jangan terlalu lama juga. Hitung-hitung, sambil menunggu kakak pulang.” jawab Ibu.

   “Begitu ya, Bu … kalau malam hari, ada pelangi enggak?” tanyaku pada Ibu.

Ibu terdiam sejenak mendengar pertanyaanku. Ibu merangkulku sambil menatap langit, lalu berkata, pelangi tidak muncul di waktu malam, walaupun hujan telah berhenti. Pelangi hanya muncul setelah hujan berhenti di pagi, siang, dan sore hari.

   “Coba kamu lihat ke atas langit.” Ibu berkata padaku sambil menunjuk ke atas langit.

   “Itu … apa, Bu. Mengapa banyak sekali lampu di atas langit?” tanyaku pada Ibu.

   “Hahaha … itu bukan lampu, sayang. Itu namanya bintang,” jawab Ibu.

Aku terdiam mendengar jawaban Ibu. Ibu menjelaskan penyebab pelangi tidak muncul di waktu malam. Pelangi takut pada bintang. Bintang memiliki jumlah yang sangat banyak, sedangkan pelangi hanya satu. Kalau pelangi bersikeras untuk muncul di malam hari, bintang akan menyerang pelangi.

   “Hahaha … pelangi nya kalah dong, Bu. Eh, tapi mengapa pelangi hanya satu, sedangkan bintang ada banyak, Bu?” tanyaku pada Ibu.

   “Pelangi nya sombong, sayang. Meskipun indah, tapi sombong. Tidak ada yang ingin berteman dengan pelangi. Besar nanti, kamu tidak boleh menjadi seperti pelangi. Jadilah seperti bintang, meskipun indah tapi tidak sombong. Karena kita hidup di dunia tidak sendiri, sayang. Apapun yang terjadi nanti, pasti kita akan membutuhkan bantuan orang lain,” jawab Ibu.

   “Iya, Bu … kalau nanti aku sudah besar, aku ingin punya banyak sekali teman, tapi aku tidak ingin menjadi seperti bintang ataupun pelangi.”

Ibu terkejut mendengar perkataanku. Memandang wajahku dengan tatapan bingung, Ibu bertanya, “Bintang ‘kan baik, mengapa kamu tidak ingin menjadi seperti bintang, sayang?”

   “Aku ingin menjadi seperti hujan, Bu,” Kataku tersenyum pada Ibu.

   “Mengapa kamu ingin menjadi seperti hujang, sayang?” tanya Ibu padaku.

   “Hujan jatuh dari atas langit dan terhempas ke tanah. Sepertinya, mereka merasakan sakit tapi mereka tidak pernah menyesal. Sebab, mereka membuat banyak orang bahagia. Contoh nya Aku yang awalnya takut pada mereka, tapi setelah mengenal mereka, aku jadi tahu betapa bahagianya bermain bersama mereka. Aku ingin menjadi seperti mereka, membuat semua orang bahagia ketika berada di dekatku, Bu,” kataku pada Ibu.

Setelah mendengar perkataanku, air mata Ibu perlahan menetes membasahi pipi. Ketika Aku bertanya mengapa Ibu menangis, Ibu hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum padaku.

   “Tidak apa-apa kok, sayang. Ibu … Ibu hanya merasa bangga padamu. Kamu mirip sekali dengan sosok ayahmu,” Kata Ibu menangis tersedu.

   “Memang nya, ayahku juga ingin menjadi hujan, Bu?” tanyaku pada Ibu.

   “Hahaha … tidak, sayang, ayahmu adalah sosok seorang Ayah yang sangat kuat. Tidak pernah menangis, tidak pernah mengeluh. Sampai menghembuskan nafas terakhirnya pun, dia sama sekali tidak menangis. Melihatmu lahir, dia mencium keningmu untuk terakhir kali, sebelum akhirnya pergi meninggalkan kita untuk selamanya,” jawab Ibu.

   “Ah, Ibu … jangan menangis dong. Nanti, Ayah juga ikut memangis, loh. Disini ‘kan ada Aku dan kak Melly yang menemani Ibu,” kataku mencoba menghibur Ibu.

Ibu tersenyum mendengar perkataanku. Aku mengusap air mata Ibu, lalu kembali memeluk Ibu. Kemudian, kak Melly pulang, dan kami pun masuk ke dalam rumah bersama-sama. Setelah menikmati makanan yang dibawa oleh kak Melly, Aku masuk ke dalam kamar dan tertidur.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ais Aisih
hujan memang selalu memiliki cerita di setiap tetesnya semoga ada kejutan di bab selanjutnya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status