Home / Rumah Tangga / Di Balik Senyum Palsu / bab 1 MARI BERCERAI MAS

Share

Di Balik Senyum Palsu
Di Balik Senyum Palsu
Author: Kasihrindu

bab 1 MARI BERCERAI MAS

Author: Kasihrindu
last update Huling Na-update: 2025-08-17 20:10:37

Krek, terdengar suara pintu ruang tamu di buka. Devita yang tengah sibuk dengan pekerjaan dapur spontan menoleh ke arah suara. Terlihat Arman masuk ke dalam rumah setelah menutup pintu. Raut wajah Arman terlihat lelah dan lesu.

Devita mematikan kompor lalu berjalan untuk menghampiri suaminya. Seperti biasa Devita tersenyum, mengulurkan tangan ke arah Arman untuk menyambutnya. Setelahnya mengambil tas slempang berwana hitam dari pundak Arman.

"Lelah ya mas? sebentar, aku buatkan minum dulu," ucap Devita langsung berlalu menuju dapur. Sedangkan Arman melangkah ke arah kursi berwana coklat tua yang tersusun rapi di ruang tamu. Dia menyandarkan tubuhnya ke kursi sembari menghembuskan napas panjang. Matanya tertuju pada satu titik di atas meja. Terlihat genangan air di sebelah cangkir plastik berwarna biru muda.

"Astaga, apa saja yang di lakukan vita di rumah," gumam Arman. Lagi lagi dia menghembuskan napas panjangnya. Arman berasal dari keluarga broken home. Ayahnya penganut patriarki, di mana seorang laki laki memiliki kekuasaan dan dominasi atas perempuan. Terutama pada wanita yang sudah di nikahi nya. Arman selalu berpikir jika dirinya hanya perlu bekerja kemudian mendapatkan pelayanan yang sempurna dari istrinya, urusan rumah dan anak semuanya tugas istri. Dari awal menikah Arman sama sekali tidak pernah membantu istrinya untuk urusan rumah, bahkan membantu menemani anaknya bermain saja bisa di bilang sangat jarang.

"Ini mas minumannya," ucap Devita sembari meletakkan cangkir berisi teh manis hangat ke atas meja. Devita tidak lupa melemparkan senyum ke arah suaminya.

Devita melangkahkan kaki berniat untuk melanjutkan pekerjaaan di dapur, namun Arman menghentikan langkahnya.

"Tunggu!"

"Iya mas, mas Arman butuh apa lagi, biar aku ambilkan." ucap Devita sembari tersenyum.

"Kamu di rumah hanya malas malasan kan?" Arman meraih cangkir yang ada di atas meja untuk meminumnya.

"Apa mas?" senyum manis Devita seketika sirna saat mendapatkan pertanyaan yang menusuk dari suaminya.

"Itu, kenapa berantakan seperti itu. Belum yang di sana, mainan berantakan di mana mana. Sudah macam kaya kapal pecah saja," gerutu Arman. Kini dia meletakkan cangkir ke atas meja kembali.

"Kenapa ini tehnya panas sekali?" Arman kembali menggerutu, padahal Devita belum sempat membela diri kenapa rumahnya berantakan.

"Maaf mas, minumnya biar aku ganti," Devita berjalan ke arah meja untuk mengambil cangkir.

"Tidak usah. Tidak jadi minum, mas mau mandi saja. Cepat kamu bereskan semua yang berantakan itu, mas pusing melihatnya," ucap Arman kemudian berlalu meninggalkan Devita yang masih berdiri di ruang tamu.

"Aku istrimu mas bukan pembantu yang bisa kamu suruh suruh seenaknya begitu. Kalau kamu pusing bantuin donk. Pegang anak aja ngak mau, mau enaknya aja kamu," rasanya hati Devita ingin sekali berteriak seperti tadi. Tapi dia masih menahan diri mengingat anaknya yang belum lama tidur. Devita takut akan menimbulkan pertengkaran, lalu anaknya terbangun ujung-ujungnya Devita juga yang akan repot.

Devita duduk di sudut kursi ruang tamu. Alih-alih melakukan apa yang di perintahkan oleh Arman, Devita justru duduk santai sambil menikmati teh hangat yang tadi dia buatkan untuk suaminya. Sore itu, dIa bermaksud santai sejenak untuk melepas lelah setelah seharian bergelut dengan pekerjaan rumah yang tidak akan ada habisnya. Namun Devita merasa sakit hati setelah tadi di tuduh Arman hanya berleha-leha di rumah. Untuk itu dia berniat mengabulkan tuduhan Arman tadi.

Setelah meminum habis teh buatannya, Devita beranjak dari duduknya. Dia masuk ke dalam kamar setelah meletakkan cangkir ke wastafel. Sedangkan cangkir warna biru muda bekas anaknya minum, beserta tumpahan air minum yang ada di meja ruang tamu ia biarkan begitu saja. Devita mengambil ponsel kemudian rebahan di samping anaknya yang masih tertidur pulas.

"Astaga Vitaaaaaaa," teriakan Arman menggema di dalam rumah. Matanya menyapu ke seluruh ruangan yang masih terlihat berantakan.

"Apa sih mas," jawab Vita masih dengan suara yang terdengar tenang dan juga pelan. Tangannya menepuk-nepuk lembut dada Zidan yang sempat membuka mata karena kaget mendengar suara teriakan ayahnya.

Arman berjalan penuh Amarah ke arah Devita. Tiba tiba dia meraih lengan Devita, menyeretnya dengan kasar ke ruang tengah.

"Kenapa masih berantakan? Cepat bersihkan! Malah enak enakan rebahan," ucap Arman dengan mata melotot. Sementara tangan Arman masih mencengkeram tangan Devita dengan erat.

"Ahhhh. sakit mas," ucap Devita meringis kesakitan sembari mencoba melepaskan genggaman tangan suaminya.

"Aku lelah pulang kerja. Lihat rumah seperti kapal pecah, lihat kamu berantakan. Yaampun kepalaku yang pusing karena mikirin.........," Arman tiba tiba berhenti bicara lalu melepaskan genggaman tangannya, dia menatap wajah Devita lekat.

"Mikirin apa mas? kamu cuma bisa mikirin diri sendiri. Apa kamu pernah mikirin aku sama anakmu. Dia ingin bermain sama kamu tapi kamu sibuk pegang ponsel saat di rumah. Aku juga capek ngurusin anak sama rumah tapi kamu nggak pernah kan mikirin itu? kamu cuma bisa marah-marah saat pulang kerja lihat rumah berantakan" akhirnya Devita lepas kendali. Dia mengutarakan semua yang mengganjal hatinya selama ini dengan bersuara keras.

Plakkkkkkkkk

"Berani sekali kamu berteriak pada suamimu," tangan Arman melayang di pipi Devita.

Sembari memegang pipi bekas tamparan suaminya, Devita menatap dengan tatapan tidak percaya. Air matanya seketika memaksa keluar. DIa seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja di lakukan Arman padanya. Baru kali ini dia diperlakukan kasar oleh Arman hanya karena menuntut hak agar lebih di perhatikan. Tidak hanya pipinya yang terasa perih namun hati Devita jauh lebih terasa perih. Padahal Devita sudah berusaha keras menjadi seorang istri dan ibu yang baik dengan melepaskan karirnya.

"Mas, aku mau pisah. Mari kita bercerai," ucap Devita setelah sejenak terdiam.

Devita langsung berlari ke kamar, menutup pintu lalu menguncinya. Devita duduk memeluk kedua lututnya, punggungnya bersandar ke pintu. DIa menangis tersedu-sedu merasakan sakit di hatinya . Sesekali melihat ke arah Zidan yang masih tertidur lelap. Devita tidak ingin jika anaknya melihat dirinya yang sedang rapuh.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Di Balik Senyum Palsu   bab 6 TERPAKSA PAKAI KEKERASAN

    "Kamu gila mas? astaga yaampun, duh Gusti Agung kulo nyuwun pangapunten(duh Gusti Agung saya minta maaf)," Devita spontan nyeletuk karena saking kagetnya. Kakinya tiba-tiba terasa lemas hingga tubuhnya hampir terhuyung jatuh kelantai, kalau saja saat itu Arman tidak sigap menangkap lengan Devita. "Auh panas," geram Arman saat lengannya ketumpahan sedikit teh panas yang di pegang oleh Devita. "Kenapa kamu? sini-sini duduk dulu," ucap Arman sembari memapah tubuh Devita. Arman mengambil teh hangat yang ada di tangan Devita lalu meletakkannya ke atas meja. "Untung saja cangkir kesayanganku tidak pecah," gumam Arman sembari memalingkan wajahnya ke arah lain. "Apa mas? bisa-bisanya kamu mikirin cangkir ketimbang keadaanku," Protes Devita yang ternyata masih bisa mendengar ucapan Arman barusan. Arman hanya menyeringai tanpa rasa bersalah. "Mas tolong ambilkan sapu di dapur," ucap Devita setenang mungkin. Devita menundukkan kepala sembari menarik napas panjang demi menahan emosi ya

  • Di Balik Senyum Palsu   bab 5 TERANCAM GULUNG TIKAR

    Devita sedang berbaring di sebelah putranya saat Arman masuk ke dalam kamar. Senyum mengembang terlihat jelas dari wajah Arman. Kebisingan hujan yang sedari tadi menemani cekcok kecil keluarga mereka kini sudah benar benar mereda. "Ini ponselnya," ucap Arman mengulurkan ponsel ke arah Devita. Devita memandang Arman dari atas sampai kebawah, dia menyadari ada kabar melegakan dari raut wajah suaminya. "Ini loh ambil ponselnya, malahan bengong begitu. Kenapa? pasti penasaran ya," ucap Arman masih dengan senyum mengembang di wajahnya. "Kamu bicara apa ke ibuku, apa beliau mau?" tanya Devita yang memang penasaran. "Adalah, yang pasti beliau bersedia meminjami kita modal." "Berapa, jangan kebangetan ya minjem nya!" ucap Devita mencoba mengingatkan suaminya. "Nggaklah, mas cuma pinjem 3 jutaan. Lagian orang tuamu kan banyak uang. Uang segitu kecil bagi mereka," ucap Arman dengan entengnya. "Astaga, 3 juta itu banyak lo mas," Devita melempar bantal ke arah Arman karena saking

  • Di Balik Senyum Palsu   bab 4 MODAL PINJAM MERTUA

    "Nggak! Urusan nafkah itu kewajiban suami. Lagian mau kerja di mana kamu?" raut wajah Arman terlihat menegang. "Di tempat kerja aku dulu. Kebetulan ada lowongan, dan temen aku...," Devita belum sempat menyelesaikan ucapannya saat Arman menyela. "Ah bilang saja kamu ingin ketemu mantan kekasihmu yang masih bujangan itu ," Nada bicara Arman kini meninggi. Terlihat jelas guratan marah di raut wajah tampannya. Wajahnya memerah seperti warna tomat yang sudah matang. "Bukan seperti itu mas, aku hanya ingin membantu selagi bisa," ucap Devita mencoba mencairkan suasana. "Tidak, Aku tidak perlu di bantu," suaranya kini terdengar biasa, namun tatapan matanya memancarkan kemarahan dan kekecewaan. Devita hanya bisa diam, menahan semua ucapan yang sebenarnya ingin sekali ia lontarkan dari bibirnya. "Kamu mau kemana mas?" tanya Devita saat Arman berdiri dan mulai melangkah ke arah ruang tamu. "Cari kerja," jawab Arman singkat. Padahal suasana siang itu masih hujan deras. Suara petir j

  • Di Balik Senyum Palsu   bab 3 IJINKAN AKU BEKERJA MAS

    "Jika kita bercerai saat kondisi mas seperti ini, apa nanti kata orang. Mas nggak mau mereka berfikir jelek tentang kamu sayang," ucap Arman masih dengan posisi berlutut. "Aku nggak peduli, kamu saja selalu berfikir jelek tentang aku," ucap Devita. Dia berjalan melewati Arman tanpa ekspresi. "Kalau begitu kamu lihat anak kita Zidan! Dia masih kecil. Kamu nggak kasihan? aku mohon pikirkan itu juga sayang. Mas mohon, mas janji akan berubah," entah sudah berapa kali Arman memohon dan mengucapkan janjinya. Devita menoleh ke arah Arman yang tengah berdiri di belakangnya, lalu menatap ke arah Zidan. Sebagai seorang ibu, Devita merasa bingung dan bimbang. Namun sebagai seorang istri dia merasa sudah terlalu lelah. "Nanti biar aku pikirkan dulu mas, tapi kamu jangan terlalu berharap," ucap Devita lirih. Mendengar penuturan Devita, spontan Arman melangkah maju untuk memeluk istrinya. Namun Devita menepis tangan Arman untuk menghindarinya. "Ah maaf," ucap Arman melangkah mundur. Dia b

  • Di Balik Senyum Palsu   bab 2 AKU KEHILANGAN PEKERJAAN

    Sementara Arman masih berdiri di tempat. Dia seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja Dia dengar dari ucapan istrinya tadi. Seketika kakinya terasa lemas hingga tidak lagi mampu menopang tubuh tinggi, kekarnya. Dia tidak menyangka jika kata cerai akan semudah itu keluar dari mulut Devita. Arman merenung berjam-jam di ruang tengah, kedua matanya enggan untuk memejam. Pikiran kalut, bingung berkecamuk menari-nari menjadi satu di dalam kepalanya. Ada banyak kenangan indah melintas dalam pikiran Arman. Arman sungguh tidak rela jika harus mengakhiri pernikahan yang sudah dia jalani selama 5 tahun ini. Apalagi selama ini Devita adalah sosok istri yang sabar, setia, penurut, dan juga perhatian. Devita juga sosok wanita yang cantik, sederhana dan juga tidak banyak tingkah. Itu yang membuat Arman jatuh hati pada Devita, lalu memutuskan menikahinya meski Arman punya kenangan buruk tentang sebuah keluarga di masa kecilnya. "Tidak, aku tidak mau berpisah," gumam Arman masih dalam posisi

  • Di Balik Senyum Palsu   bab 1 MARI BERCERAI MAS

    Krek, terdengar suara pintu ruang tamu di buka. Devita yang tengah sibuk dengan pekerjaan dapur spontan menoleh ke arah suara. Terlihat Arman masuk ke dalam rumah setelah menutup pintu. Raut wajah Arman terlihat lelah dan lesu. Devita mematikan kompor lalu berjalan untuk menghampiri suaminya. Seperti biasa Devita tersenyum, mengulurkan tangan ke arah Arman untuk menyambutnya. Setelahnya mengambil tas slempang berwana hitam dari pundak Arman. "Lelah ya mas? sebentar, aku buatkan minum dulu," ucap Devita langsung berlalu menuju dapur. Sedangkan Arman melangkah ke arah kursi berwana coklat tua yang tersusun rapi di ruang tamu. Dia menyandarkan tubuhnya ke kursi sembari menghembuskan napas panjang. Matanya tertuju pada satu titik di atas meja. Terlihat genangan air di sebelah cangkir plastik berwarna biru muda. "Astaga, apa saja yang di lakukan vita di rumah," gumam Arman. Lagi lagi dia menghembuskan napas panjangnya. Arman berasal dari keluarga broken home. Ayahnya penganut patri

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status