LOGIN“Aku ingin kau yang mengambil langkah untuk masalah ini,” ucap Julius, sorot matanya menekan, dingin namun penuh perhitungan.
Isabella menatapnya tanpa gentar. Tak ada lagi bayangan permaisuri yang dulu menunduk dan berharap belas kasih. Kini, yang berdiri di hadapan Julius adalah perempuan yang sadar akan nilai dirinya—dan kekuatan di balik namanya.Pandangan mereka beradu sengit, seolah udara di aula ikut menegang.“Aku tidak mau,” putus Isabella akhirnya, memutus kontak mata. Nada suaranya tenang, tapi tegas. “Lagipula, apa yang bisa kulakukan? Sehari-hari aku hanya berdiam diri di kediaman.”Julius mendengus kecil. “Kau hanya perlu mengatur bantuan di sana. Dengan dana skala besar, istana akan terlihat sebagai teladan. Bangsawan lain akan mengikuti.”Isabella tertawa kecil, tawa yang sama sekali tak mengandung humor. Kini ia mengerti. Bukan kepedulian yang mendorong Julius—melainkan citra.“Kau ingin menggunakan harta wilayah Eve East demi reputasi istanaAula Paviliun Mentari pagi itu dipenuhi cahaya keemasan. Tirai tipis bergoyang pelan, membiaskan sinar matahari ke lantai marmer yang berkilau. Para selir telah berkumpul, duduk anggun sesuai kedudukan masing-masing.Sejak awal, Selir Agung Ivony tak melepaskan pandangannya dari Isabella.Tatapan itu tajam, dingin, dan sarat kecemburuan.Meski tak terang-terangan, Isabella merasakannya jelas. Dari ekor matanya, ia menangkap kilat amarah yang berusaha disembunyikan Ivony di balik senyum bangsawan. Diam-diam, Isabella mengulas seringai tipis—halus, nyaris tak terlihat.“Bagaimana malammu, Selir Imelda?” tanya Isabella ringan, seolah tak terjadi apa-apa.Selir Imelda tersentak kecil, lalu tersenyum tersipu. Wajahnya merona, matanya berbinar.“Terima kasih atas bantuan Anda, Yang Mulia,” ucapnya dengan nada hormat.Ivony langsung menoleh. Ada sesuatu dalam sorot matanya—tajam, menguji. Seolah ia ingin menguliti setiap kata yang keluar dari mulut Imelda.D
“Aku ingin kau yang mengambil langkah untuk masalah ini,” ucap Julius, sorot matanya menekan, dingin namun penuh perhitungan.Isabella menatapnya tanpa gentar. Tak ada lagi bayangan permaisuri yang dulu menunduk dan berharap belas kasih. Kini, yang berdiri di hadapan Julius adalah perempuan yang sadar akan nilai dirinya—dan kekuatan di balik namanya.Pandangan mereka beradu sengit, seolah udara di aula ikut menegang.“Aku tidak mau,” putus Isabella akhirnya, memutus kontak mata. Nada suaranya tenang, tapi tegas. “Lagipula, apa yang bisa kulakukan? Sehari-hari aku hanya berdiam diri di kediaman.”Julius mendengus kecil. “Kau hanya perlu mengatur bantuan di sana. Dengan dana skala besar, istana akan terlihat sebagai teladan. Bangsawan lain akan mengikuti.”Isabella tertawa kecil, tawa yang sama sekali tak mengandung humor. Kini ia mengerti. Bukan kepedulian yang mendorong Julius—melainkan citra.“Kau ingin menggunakan harta wilayah Eve East demi reputasi istana
Lusi masuk ke kamar Isabella sambil membawa piring berisi wafel buatannya. Aroma mentega dan madu langsung memenuhi ruangan.“Yang Mulia, maaf membuat Anda menunggu terlalu lama,” ucap Lusi sambil melangkah masuk.Isabella yang berdiri di depan meja rias menoleh sedikit, senyum tipis terukir di bibirnya. “Kurasa kamu justru terlalu cepat, Lusi.”Lusi meletakkan piring itu di meja kecil, lalu menghampiri Isabella yang sedang menyisir rambutnya yang masih basah. Ia meraih sisir dari tangan tuannya dan melanjutkan dengan gerakan lembut.“Yang Mulia mandi lagi?” tanya Lusi heran.Aroma bunga yang segar dari tubuh Isabella menyergap indra penciumannya. Rambut basah yang terurai jelas menandakan bahwa Isabella baru saja selesai mandi—padahal hari belum beranjak siang, dan ini sudah kali kedua.“Gaunku tadi tertumpah teh,” jawab Isabella ringan. “Aku menggantinya, tapi karena hawa terasa panas, aku terpaksa mandi lagi.”Lusi mengangguk, meski keningnya sedikit b
Isabella melangkah memasuki aula pertemuan dengan anggun. Gaun sutra biru muda bermotif peony putih membalut tubuhnya sempurna—tidak mencolok, namun justru menegaskan keanggunan alami yang tak pernah bisa ia sembunyikan. Setiap langkahnya tenang, kepala tegak, sorot matanya jernih namun dingin.“Yang Mulia Permaisuri tiba…”Para selir serentak berdiri. Beberapa menunduk penuh hormat, sebagian lain mencuri pandang—antara kagum dan iri. Kecantikan Isabella selalu menghadirkan perasaan yang sama: mengagumkan sekaligus mengancam.Ivony yang duduk di deretan depan meremas halus kain gaunnya. Senyum tipis masih terpatri di wajahnya, tetapi matanya menyimpan kecemburuan yang sulit disembunyikan. Bahkan dalam kondisi hamil dan telah diangkat menjadi selir agung, pesona Isabella tetap membuatnya merasa kalah.“Hormat kami kepada Mentari Kekaisaran,” ucap para selir serempak. “Semoga kebijaksanaan dan kecantikan Yang Mulia senantiasa bersinar.”“Du
Napas Isabella menerpa wajah Ethan, hangat dan terputus-putus. Jarak di antara mereka nyaris lenyap. Tubuh mereka begitu dekat hingga Ethan bisa merasakan getar halus yang menjalar dari dada Isabella—getar yang lahir dari ketakutan, harap, dan hasrat yang selama ini terpendam.Ethan tahu ini salah.Sangat salah.Namun ketika matanya menangkap keputusasaan yang telanjang di mata Isabella—tatapan seorang perempuan yang telah terlalu lama ditinggalkan, direndahkan, dan dipatahkan—tangannya kehilangan daya untuk menolak.Isabella bergerak lebih dulu.Dengan ragu yang nyaris tak ada, ia mendekat, bibirnya menyentuh bibir Ethan. Awalnya singkat, seolah meminta izin. Namun ketika Ethan tak mundur, ciuman itu menjadi lebih dalam—lebih jujur. Seakan seluruh luka dan kesepian yang mereka simpan akhirnya menemukan bahasa yang sama.Ethan memejamkan mata.Segala sumpah, ajaran, dan peringatan guru agung terlintas bersamaan, namun te
Tubuh Ethan tersungkur keras di lantai marmer.Dorongan pengawal membuatnya tak sempat menahan keseimbangan. Darah mengotori pakaian putihnya, menetes membentuk noda merah gelap. Di belakangnya, Julius berdiri dengan sorot mata penuh amarah—tatapan yang tajam mengarah langsung pada Isabella.“Aku hampir membunuhnya,” ucap Julius dingin dan sarkastis, “kalau saja utusan Ibu tidak datang tadi.”Isabella menahan gemuruh di dadanya.Penampilan Ethan membuat jantungnya terasa diremas. Baju tabib itu robek di beberapa bagian, berlumur darah yang jelas bukan luka ringan. Cambukan—ia yakin itu bekas cambukan.“Kau salah paham, Kaisar,” ucap Isabella tegas meski suaranya bergetar. “Aku tidak pernah berbuat sesuatu yang melanggar batas.”“Cih!” Julius mendecih. “Lalu apa itu di lehermu, hm? Kalau bukan dia yang menyentuhmu!”“Itu bekas gigitan serangga,” balas Isabella tanpa mundur. “Pikiranmu saja yang terlalu sempit.”Tatapan mereka bertubrukan—dingin melawan keras kepala.“Isabella belum sem