Isabelle mengekori Dario memasuki mansion laki-laki yang sekarang berstatus sebagai suaminya tersebut. Ini kali kedua ia memasuki mansion itu. Namun, sekarang bukan sebagai tamu. Melainkan, ia akan tinggal di sana bersama Dario.
Selepas pesta pernikahan tertutup mereka selesai, Dario langsung memboyong Isabelle ke kediamannya. Tangis haru dari Paman Ferdy dan bibi sempat mengiringi kepergian keduanya. Mulai sekarang, Isabelle akan berada di tempat yang baru. Di ruang tamu mansion itu, mereka sudah disambut oleh 5 maid yang berjejer. Salah satu di antaranya memakai seragam yang berbeda, sepertinya ketuanya. Mereka semua menyambut kedatangan Isabelle dan Dario. “Selamat datang, nyonya,” sapa si kepala maid. Isabelle menanggapi hal tersebut dengan tersenyum canggung. Rasanya sangat aneh mendengar panggilan nyonya. “Ini Isabelle Sarasvati. Istri saya. Layani dia sebagaimana kalian bersikap kepada saya,” ucap Dario tegas. “Baik, Tuan,” ucap para maid bersamaan. “Ayo, Saras,” ujar Dario. Entah mengapa panggilan ‘Saras’ membuat Isabelle selalu ingin tersenyum. Setelah kepergian orang tuanya, hanya Dario yang menyebut nama panggilan itu. Dan itu membuat hatinya selalu menghangat. Lelaki itu mengarahkan Isabelle untuk menuju ke kamarnya. Lebih tepatnya, akan menjadi kamar mereka berdua. Nuansanya masih sama seperti pertama kali ia masuk ke ruangan itu. “Kamar kita,” ujar Dario singkat. Lelaki itu lantas berlalu meninggalkan Isabelle. Ia masuk ke kamar mandi yang ada di ruangan itu. Tentu saja seharian berada dalam acara pernikahan mereka membuat lelaki itu merasa lelah, meskipun acaranya terbilang sederhana. Sedangkan Isabelle duduk di depan meja rias. Mencoba menghapus make up-nya dengan peralatan yang ada di sana. Semuanya masih serba terbatas karena barang-barangnya belum dipindahkan ke ruangan itu. Sekitar 30 menit berlalu, akhirnya Dario keluar dari kamar mandi. Lelaki itu sudah berganti pakaian dengan mengenakan baju tidur. Wajahnya terlihat sangat segar dengan aroma vetiver yang menguar. Ia berdiri di belakang Isabelle. Memandangi pantulan wanita yang baru saja dinikahinya itu dari cermin. “Mau mandi?” tanya Dario. Isabelle mengangguk. Ia bangkit dari duduknya, mencoba melangkah ke kamar mandi. Gaunnya yang cukup panjang menyapu lantai membuat wanita itu sedikit kesulitan. Isabelle mengambil peralatannya yang sudah ia siapkan dalam sebuah tas kecil. Isabelle keluar kamar mandi dengan tampilan berbeda. Gadis itu sudah berganti mengenakan satu set piyama dengan rambut tergerai. Namun, seperti ada yang aneh dengan dirinya. Wanita itu merintih kesakitan. Ia lantas naik ke atas tempat tidur dan duduk dengan posisi kepala bersandar. Isabelle menutup matanya karena merasakan kepalanya berdenyut dan sakit yang menjalar di perutnya. Tanpa sadar, mulut gadis itu merintih. Menyadari hal itu, Dario langsung menghampiri Isabelle. Ia duduk di hadapan Isabelle dan mengelus kepala wanitanya itu. “Kenapa Saras?” tanyanya dengan ekspresi khawatir. Isabelle menggeleng lemah. “Kepala saya pusing, Pak. Perut saya sakit,” jawab Isabelle masih dengan memejamkan mata. “Telat makan lagi?” tanya Dario. “Bukan,” Isabelle lalu membuka mata. “Datang bulan,” jawabnya pelan sambil menunduk. Dario menghela nafas. Ia belum pernah menghadapi situasi ini sebelumnya. “Biasanya obatnya apa?” lelaki itu kembali bertanya. “Obat pereda nyeri ada ngga, Pak?” Isabelle kembali bertanya. Mendengar hal itu, Dario langsung menyambar ponselnya. Ia mencoba menghubungi maid untuk membawakan obat pereda nyeri ke kamar. “Sama itu, Pak, tolong kompres elektrik di tas saya,” ucap Isabelle. Dario membongkar isi tas wanita itu untuk menemukan benda yang dimaksud. Sebuah bantal kecil yang bisa menyalurkan rasa hangat dan rileks. Ia menempelkannya di perut Isabelle yang terasa sakit. Tak berselang lama, maid datang membawa obat yang diminta. Isabelle menenggaknya dengan cepat. Ia sedikit merasa rileks karena rasa hangat yang didapatkan dari alat kompresnya itu. “Selalu begini?” tanya Dario dan diangguki oleh Isabelle. “Apakah ini normal?” tanya lelaki itu lagi. “Sepertinya begitu, Pak,” Isabelle menjawab sekenanya. “Saya suami kamu, Saras. Jangan panggil saya pak,” tegur Dario. “Lalu, apa? Kak? Mas?” tanya Isabelle ragu-ragu. “Kak, lebih baik,” ujar Dario singkat. Usia mereka terpaut 5 tahun, tidak terlalu jauh memang. Namun, hanya dua panggilan itu saja yang tepat menurut Isabelle. Menurutnya, supaya lebih sopan. “Saras, kamu tahu bukan kalau saya serius dengan pernikahan ini?” tanya Dario dan kali kembali ke ekspresinya yang kaku ketika membicarakan hal serius. Isabelle mengangguk menanggapi pertanyaan itu. “Saya harap kamu juga begitu. Karena saya akan berusaha menjaga kamu semampu saya,” ujar lelaki itu tegas. Keduanya mulai merebahkan diri di atas tempat tidur. Memejamkan mata untuk beristirahat melepaskan rasa penat seharian. Namun, setelah beberapa menit mencoba tidur, Isabelle tidak kunjung terlelap juga. Isabelle masih bergerak gelisah mencoba mencari posisi yang nyaman untuk tidur. Kini, ia merubah posisi badannya menjadi meringkuk membelakangi Dario. Hal itu sontak menarik perhatian suamianya. Dario membalikkan posisi badannya mengikuti arah Isabelle. “Masih sakit?” bisiknya lembut. “Iya, kak,” jawab Isabelle dengan suara pelan dan lemas. Dario mengulurkan tangannya perlahan ke arah perut sang istri. Jemarinya menyingkap sedikit piyama wanitanya itu. Kini, telapak tangannya menyentuh perut rata Isabelle. Perlakuan itu membuat Isabelle menegang, canggung. “Rileks,” bisik Dario. Laki-laki itu lantas mulai mengelus perut sang istri dengan lembut untuk menyalurkan rasa nyaman. Berharap perlakuannya itu bisa sedikit meredakan rasa sakit yang dirasakan oleh istrinya. Perlakuan Dario tersebut ternyata memberikan efek sesuai harapannya. Isabelle merasa rileks dan sakit di perutnya sedikit memudar. Lama-kelamaan wanita itu merasakan kantuk dan memejamkan mata dengan tangan Dario yang masih mengelus perutnyaSenja mulai mencuri masuk lewat daun jendela kaca kafe kecil itu; lampu temaram menciptakan bayangan hangat di atas meja kayu, sementara aroma kopi hitam dan kue almond menyelimuti udara.Isabelle melangkah masuk dengan langkah hati-hati, menutup mantel terang yang berkibar pelan. Leon sudah duduk di pojok, wajahnya tegang namun tenang, membuka tas kulitnya perlahan.Leon menghela napas dalam sebelum menyodorkan setumpuk dokumen — laporan keuangan, cetak biru proyek, dan email internal — terhampar di atas meja. "Aku menemukan ketidakwajaran di laporan triwulan ketiga…" suaranya rendah, matanya menyapu dokumen. Isabelle meraih salah satu lembar, pandangannya tertuju pada angka yang saling bertolak belakang.Dia mengangkat alis. "Ini... terlalu banyak kejanggalan." Ada jeda. Isabelle mengusap bibir bawah, menarik napas. "Kamu percaya ini sabotase?" tanyanya tenang, sambil matanya tak lepas dari angka.Leon mengangguk, memutar kursi sedikit untuk memastikan tidak ada yang menguping. "Aku
Rapat internal Dynamic Group pagi itu berubah menjadi arena ledakan emosi. Dario, sang CEO, duduk di ujung meja dengan wajah gelap, matanya menatap tajam ke arah lima orang yang duduk di hadapannya: Bu Nikki, Leon, Kak Nindya, Renda, dan Kak Jordan. Suasana hening, tegang, seolah udara pun enggan bergerak.“Dua puluh persen!” Dario membanting dokumen ke meja.“Kita kehilangan dua puluh persen dari anggaran keuangan proyek ini, dan tak satu pun dari kalian bisa memberi penjelasan yang masuk akal!”Kelima orang itu terdiam. Tidak ada yang berani angkat bicara. Masing-masing menunduk, entah karena merasa bersalah, bingung, atau takut. Dario menatap mereka satu per satu, mencoba membaca sesuatu dari ekspresi wajah mereka. Namun yang dia dapat hanya kebisuan.“Ini bukan kesalahan kecil,” katanya, nadanya tajam.“Ini adalah pengkhianatan. Dan saya akan cari tahu siapa yang bermain curang.”Tanpa menyelesaikan rapat, Dario berdiri dan pergi. Suara langkah sepatunya menggema di ruang rapat, l
Dario membuka sebuah ruangan yang tersembunyi di bawah tanah mansionnya. Sebuah ruangan yang sudah lama tidak dibuka oleh lelaki itu. Dario menyalakan lampu ruangan yang temaram untuk memberikan sedikit penerangan.Lelaki berkaos hitam itu menatap seorang perempuan dengan rambut acak-acakan. Kedua tangan wanita itu terikat secara terentang di kanan dan kiri. Dario lalu mendekat ke sebuah lemari yang ada di sudut ruangan.Ia menarik kain yang menutupi benda tersebut. Di dalam lemari kaca tersebut terpampang berbagai senjata tajam yang mampu membuat orang yang melihatnya merinding. Dario memandangi benda yang sudah lama tidak digunakannya itu.Pandangan Dario beralih dengan perempuan yang ada di hadapannya. Perempuan itu sudah berlinang air mata. Dario dengan langkah pastinya mendekat ke arah perempuan tersebut.“Maafkan saya, Tuan,” Sera memohon dengan tangisannya.Sedangkan Dario hanya memandang perempuan tersebut dengan tatapan dinginnya. Ia hanya melihat apa yang sedang dilakukan ol
Isabelle masih bersimpuh di depan kanvas lukisannya yang sudah rusak. Karya yang sudah dibuatnya dengan sepenuh hati itu bahkan sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Perasaannya campur aduk.Dario memasuki ruang lukis Isabelle itu dengan langkah besarnya. Di belakangnya sudah ada orang-orang berbadan besar yang merupakan suruhannya. Dario ikut bersimpuh di samping Isabelle.Emosi lelaki itu berada di atas ubun-ubun. Amarahnya membara karena mengetahui ada orang yang berani melakukan hal ini terhadap istrinya. Namun, Dario berusaha untuk bersikap tenang-tidak ingin membuat Isabelle merasa takut.“Saras,” panggilnya lembut.Isabelle dengan wajah masih berlinang air mata menoleh ke arah suaminya. Ia menyandarkan kepalanya ke lengan kekar Dario. Lelaki dengan kaos hitam itu mengganti posisinya menjadi memeluk Isabelle dari samping.“Aku sudah menemukan pelakunya,” ujar Dario dengan tenang.“Menurutmu apa yang harus aku lakukan untuk pelakunya?” tanya.“Apapun, Kak. Buat dia jera,” Isabelle be
“Sarapan dulu, Kak,” ujar Isabelle pada Dario yang sedang duduk bersandar di sandaran tempat tidur mereka.Wanita itu datang dengan membawa nampan berisi satu set makanan di atasnya. Ia membawakan semangkuk bubur yang disiapkan oleh juru masak mereka. Isabelle menyodorkan mangkuk tersebut kepada Dario. Namun, laki-laki itu tidak bergegas menerimanya.Isabelle mendengus kecil. Ia mengerti maksud suaminya itu. Isabelle mengambil sesendok bubur dan menyuapkannya kepada Dario. Lelaki itu tersenyum tipis dan menerimanya.“Sepertinya aku harus tetap bekerja hari ini, Saras,” ujar Dario di sela menikmati sarapannya.“Apa ga bisa libur dulu,Kak? Kamu itu masih belum pulih loh, Kak,” protes Isabelle“Kau tahu sendiri Saras, sedang ada masalah keuangan di kantor. Aku harus turun tangan sendiri,” jelas Dario.“Bagaimana kamu bisa cepat sembuh kalau sedang sakit masih banyak pikiran?” wajah Isabelle berubah sendu, tetapi sedikit.“Aku hanya demam, Saras,” Dario menoel pipi Isabelle sekilas.Namun
Isabelle sedang menikmati waktunya dengan membaca buku di ruang tengah. Kegiatan itu sengaja dipilih untuk mengisi waktu luang.“Saras,” suara yang sangat familiar terdengar di telinga Isabelle.Panggilan itu membuat Isabelle menoleh. Wanita itu cukup terkejut melihat suaminya sudah kembali ke rumah. Padahal hari masih siang, jarum pendek jam dindingnya baru menunjuk ke angka 11.“Kak, tumben udah pulang?” tanya Isabelle penasaran.Dario tidak menjawab. Pria itu berjalan menuju ke arah Isabelle. Lalu merebahkan diri di sofa yang sedang diduduki istrinya itu. Dario mendaratkan kepalanya di pangkuan Isabelle dan memejamkan kedua matanya.Isabelle heran melihat tingkah suaminya tersebut.“Kamu kenapa, Kak?” tanya Isabelle sembari membelai rambut Dario dengan jemarinya.Isabelle tersentak kaget ketika tangannya tak sengaja menyentuh kulit wajah Dario.“Kamu demam, Kak,” seru Isabelle khawatir.“Cuma agak pusing aja,” jawab Dario pelan.“Ayo pindah ke kamar, Kak. Istirahat di kamar,” Isabe