“Kamu ini benar-benar payah!” ejek Bambang yang berdiri di belakang Dara. Setelah mendapatkan telepon dari rekan kerja Aksa, Dara segera berangkat. Melihat putrinya yang sedang terburu-buru, Bambang akhirnya mengantarkan Dara. Aksa pingsan saat mengangkat peti jenazah. Itu karena ada darah yang merembes keluar dan terlihat dari plastik pembungkusannya. Rekan-rekan Aksa membawanya ke klinik yang ada di bandara. Aksa sudah siuman ketika Dara dan Bambang hanya saja pria itu masih lemas. “Laki-laki macam apa yang pingsan hanya karena setitik darah? Kamu ini tidak pantas disebut laki-laki.” Bambang kembali menghina Aksa. Aksa yang masih menggunakan oksigen mengabaikan ucapan mertuanya. Ia melirik tangannya yang digenggam erat sh Dara. Wanita itu khawatir sampai berkaca-kaca. Aksa memaksakan senyumnya untuk menghibur sang istri. Tangannya terangkat mengusap lembut pipi Dara. Tiga jam berada di klinik dan menghabiskan satu botol infus, Aksa akhirnya diizinkan pulang. Tidak ingin ter
“Hukuman apa yang kamu berikan kepada mereka, Al?” Aksa duduk di kursi kebesaran Dimas. Membuka laptop kesayangannya. Laptop yang berisi banyak sekali dokumen rahasia perusahaan termasuk proyek-proyek yang akan Maha Group kerjakan. “Heru dan kawan-kawannya menjadi tim di lapangan. Sedang Amin, saya memindahkannya ke perusahaan cabang di daerah.” Alan memberikan laporan. Ia menarik kursi di depan meja, duduk disana menunggu perintah berikutnya dari Aksa. Dengan lincah Aksa memasukkan kode rahasia untuk mengakses laptopnya. Itu bukan pekerjaan sulit, Aksa masih ingat semua kode yang Dimas buat. Sambil mengetik proposal yang sudah ia susun semalam, Aksa memberikan perhitungan modal dan keuntungan kepada Alan. “Tolong periksa ini, Al.” Alan membacanya dengan cepat. Ia keluar ruangan sebentar kemudian kembali dengan membawa laptopnya sendiri. Pria itu ikut sibuk mengerjakan perhitungan yang Aksa minta. Menyusun angka yang semalam Aksa tulis. Aksa tiba-tiba ingat sesuatu saat sedan
“Lan, kamu harus pecat dia!” Tangan Sonya menunjuk Aksa yang berdiri depan mejanya Ia sedang merengek manja, meminta Alan memecat Aksa yang menurutnya tidak becus bekerja. Wanita itu suka berbuat semaunya sendiri karena merasa dekat dengan Dimas. Alan meraup wajahnya frustasi. Ia melirik Aksa yang memberi kode dengan mata agar segera mengurus Sonya. “Emang salah dia apa, Sonya? Lagian aku gak berani mecat dia. Tuan muda sendiri yang minta dia buat kerja di sini.”Sonya mendelik tidak percaya. Setahunya Dimas tidak pernah mengurusi karyawan yang di rekrut namun sangat sering memecat pegawai Maha.“Gak mungkin!” seru Sonya. Mata wanita itu kembali melihat Aksa. Memperhatikan Aksa mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Kamu tahu sendiri bagaimana Dimas, Lan. Dia itu concern banget sama penampilan. Pegawai gak wangi aja bisa dipecat, sedang dia —?” Sonya menjeda perkataannya. Sonya menghampiri Aksa. Ia memutari Aksa. Mendekatkan hidungnya, mencium aroma Aksa. Menarik kerah keme
“Kamu bayar dia berapa dia berapa, Sonya? Apa pelayanannya memuaskan? ejek Salim yang berjalan menghampiri Sonya dan Aksa. Sonya terlihat cuek, tidak peduli. Wajahnya datar tanpa ekspresi, wanita itu bahkan tidak menjawab pertanyaan Salim. Namun tidak dengan Aksa. Ia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya bertemu dengan Salim tetapi yang membuatnya lebih terkejut karena pria itu sedang bersama dengan istrinya. Pun begitu dengan Dara. Wajah wanita itu berubah pucat bukan hanya karena ketahuan pergi bersama Salim tetapi juga karena melihat suaminya bersama wanita lain. “Ck! Coba lihat, Ra. Suamimu larang kamu terima hadiah dariku tapi dia terima hadiah dari wanita itu.” Salim mengejek terkekeh. “Dasar munafik!” hardik Salim sambil meludahi kaki Aksa. Tangan Aksa mengepal dengan kuat. Ia ingin sekali memukul wajah Salim. Tapi ia pria yang tahu aturan. “Dek, gak gitu. Ibu Sonya ini atasan mas di kantor.”Ha-ha-haTawa mengejek Salim mengisi pendengaran Aksa. “Kamu main gila den
“Waktumu tinggal dua hari lagi.” Aksa yang sudah berada di atas motornya menoleh, mencari sumber suara. Bambang berdiri di ambang pintu, bukan hendak mengantar menantunya tetapi untuk mengingatkan Aksa kalau sisa waktunya untuk mengganti enam miliar puang Salim tinggal dua hari lagi. “Ada baiknya kamu menyerah. Toh kamu gak akan bisa dapat uang sebanyak itu.” Bambang memberikan saran sambil menyeringai, mengejek menantunya. “Masih ada dua hari, kan? Saya akan usahakan yang terbaik yang penting Dara bisa lepas dari Salim.”Suara Aksa digantikan suara motor matik yang baru saja ia nyalakan. Aksa meninggalkan Bambang begitu saja berharap Alan sudah mendapatkan calon pembeli apartemennya. “Aksa, kemari!” Sonya memanggil Aksa dari ambang pintu ruang kerjanya. Ia langsung masuk tidak menunggu Aksa menjawab. Aksa mendongak. Ia mendorong kursinya menjauh dari meja lalu berdiri dan berjalan masuk ke ruang kerja Sonya. “Tutup pintunya!” Aksa menurut, ia mendorong pintu agar tertutup den
“Kenapa pecundang itu ada disini?” Salim Dirga mendelik melihat Aksa berdiri di belakang Sonya. Ia meletakkan garpu dan pisaunya dengan kasar, tiba-tiba saja Salim kehilangan nafsu makan. Sonya menoleh ke belakang melihat Aksa. “Ini profesional, Lim. Dia orangku.” Sonya menarik salah satu kursi kosong sedang Aksa memperhatikan setiap orang yang ada di ruangan itu. Ada empat orang pria yang hadir. Aksa mengenal semua, dua orang anggota parlemen termasuk Salim sedang dua lagi dari kementerian.Aksa mencoba mengingat bisnis antara Maha Group dengan salah satu dari mereka. Setiap proposal bisnis yang masuk ke Maha Group harus melewati mejanya terlebih dahulu. Dimaslah satu-satunya orang yang bisa memutuskan akan melakukan Maha Group akan melakukan kerja sama bisnis. Lamunan Aksa buyar saat Sonya memerintahkannya untuk duduk di kursi kosong yang ada di sebelah. Semua mata menatap Aksa dengan sinis terutama Salim. Serentak tangan mereka semua berhenti memotong steak dan hanya fokus pa
“Woi! Melamun aja. Bikin kopi!” Seorang senior Aksa memerintahkannya untuk membuat kopi. Walau Heru dan teman-temannya sudah menjadi staf lapangan, ia masih datang ke lantai divisi marketing untuk mengambil brosur. Seperti pagi ini, saat Aksa sedang mencoba mengingat dimana ia pernah melihat wajah ibu Aksa, namun suara Heru membuat lamunannya berantakan. Pria itu berteriak dari tempatnya berdiri, memerintahkan Aksa untuk membuatkan kopi hitam. Tidak ingin membuat masalah, Aksa menuruti permintaan Heru, lagipula ia juga ingin minum kopi. “Denger-denger ada yang jadi anak buah kesayangannya nona Sonya, nih!” sindir Heru ketika Aksa mengantarkan kopi pesanannya.“Enak, dong, ya? Per short time, lu dibayar berapa?” sindir Heru lagi sambil terkekeh. “Ngasih layanan plus plus, sih! Pantes jadi anak kesayangan.” Teman Heru yang lain ikut menimpali. Mereka berdua menertawakan Aksa sambil mengejek Aksa. “Jangan sembarangan bicara!” tegur Aksa dengan tegas. Ia menatap Heru dan kawannya
“Kamu terlambat!” pekik Bambang. Mata pria itu melotot dengan tangannya di pinggang. Dara menatap Aksa yang baru saja datang dengan mata berkaca-kaca. Isakan samar terdengar sampai ke telinga Aksa yang tiba dengan membawa tas hitam besar. Pria itu melirik jam besar yang ada di sudut ruangan. Yup, Aksa terlambat 15 menit! Aksa mengambil amplop dan mengeluarkan isinya. Ia membaca dengan seksama surat pernyataan cerai yang dibuat oleh Bambang. “Ayah yang akan urus perceraian kalian. Jadi gak usah banyak asal buat menunda perceraian ini.” Bambang memegang tangan Dara.Aksa tidak terima. Ia meremas kertas itu dan melemparnya ke lantai. Ia tidak mau kehilangan Dara. “Saya tidak akan menceraikan Dara! Apapun yang terjadi kami tidak akan bercerai!” Aksa meninggikan suaranya. Kali ini ia tidak akan tinggal diam. “Lagipula saya sudah bawa uangnya.” Aksa meletakkan tas yang ia bawa di atas meja. Membuka resletingnya agar Bambang dan Salim bisa melihat gepokan uang seratus ribu yang ia bawa