Share

Di Sudut Memori
Di Sudut Memori
Author: madehilda

Rasa Yang Membelenggu

Kebanyakan orang bilang kalau wajah kita mirip dengan pasangan berarti tandanya jodoh. Kurasa hal itu tidak berlaku bagi kami. Karena sekarang Dwiyan meminta untuk mengakhiri hubungan yang sudah berjalan selama satu tahun. Aku masih bungkam, tidak ingin menyuarakan pendapat, hanya melihat bagaimana ia terus-menerus berkata kalau semuanya percuma. Aku mengambil gelas berisi soda dingin dan meminumnya perlahan. Mencoba menyejukkan hatiku yang terasa panas.

Ia menyesap kopi hitamnya, lalu memandangku. Saat ini tidak lagi kutemukan pandangan meneduhkan atau kata-kata manis yang menenangkan. Dan juga bagaimana lengan kokohnya biasanya membingkai tubuhku, memberikan kenyamanan. Kafe tempat kami bertemu terletak tidak jauh dari rumahku.

Ada perasaan was-was kalau ibu sampai tahu. Letaknya di pinggir jalan Kebo Iwa. Berbeda dengan tempat kami biasanya bertemu, di sini sedikit lebih bising dan ramai pengunjung. Aku cukup menyukai salad yang dijual. Kami duduk pada meja di tengah ruangan. Dengan adanya patung ukiran kayu seorang petani memanggul cangkul.

Walaupun menyediakan menu kekinian. Seperti masakan Eropa dan Meksiko. Interior di sini lebih mirip pedesaan. Aku menyukai lukisan sawah yang membentang dan langit biru cerah dipajang di dekat meja kasir –terletak paling pojok kanan. Lagu-lagu yang diputar seluruhnya musisi lokal. Kata pegawai di sini, sengaja dibedakan untuk mengimbangi kemajuan jaman. Agar selalu ingat atas unsur-unsur budaya lokal meski pun menyukai makanan Eropa.

“Jadi, bagaimana keputusanmu?” Dwiyan kembali bertanya dengan alis tebal yang bertautan. Aku tahu, ia sudah tidak sabar mendengar langsung jawabanku. Kemarin saat meneleponnya, ibu tiba-tiba masuk ke kamar. Dan akhirnya mengetahui kalau kami masih berpacaran.

“Aku nggak bisa memutuskan hubungan kita. Kamu juga pasti tau alasannya,” jawabku tegas. Kalau pun ada masalah, lebih bagus jika menyelesaikannya secara baik-baik. Bukan malah tiba-tiba memutuskan hubungan secara sepihak. Dwiyan bukan pemuda tak memiliki hati yang mampu melakukan semua itu.

Tangannya menaruh cangkir kopi dan bersandar pada kursi kayu. Setelah itu, mengeluarkan ponsel qwerty dan memberikannya kepadaku, menunjukkan sebuah pesan singkat.

Aku terdiam dengan degupan jantung yang tidak beraturan. Lama aku berpikir. Ibu sudah memperingatinya. Haruskah kami tetap bertahan? Tiba-tiba aku merasa keramaian kafe menjadi sunyi. Aku tidak tahu kalau ibuku menyimpan nomor ponsel Dwiyan.

“Kamu lihat, bukan? Bahkan Ibumu masih belum merestui kita, Citra. Apa lagi yang diharapkan?” tanya Dwiyan dengan raut wajah kusut. Setelah diamati dengan baik, aku dapat menemukan kalau wajahnya semakin tirus. Rambut ikal itu juga berantakan. Bahkan, ia tidak mencukur kumisnya.

“Aku berharap kamu masih menunggu. Kita pasti bisa melewati ini. Tunggu sampai lulus kuliah dan bekerja. Ibu pasti merestui kita,” jawabku masih kekeh pada keputusan awal. Kalau aku tidak akan pernah melepaskan Dwiyan. Banyak hal yang sudah kami lalui. Termasuk bagaimana sulitnya menjalani hubungan ini.

“Bukankah selalu begitu? Kalau menungguku sampai bekerja, perlu waktu lama. Dua tahun nggak singkat, Citra. Kamu mau menghabiskan waktu untuk menunggu yang nggak pasti?” tanyanya dengan sepasang mata yang menatapku intens. Sekarang aku berharap dapat membaca tatapan matanya. Aku yakin Dwiyan tidak akan melepaskanku semudah itu.

Dua tahun lalu, aku mengenal Dwiyan Septian karena Pentas Seni yang diadakan sekolahnya. Karena bosan berdiam diri di rumah, apalagi malam minggu. Aku memutuskan untuk menerima ajakan teman menonton. Riuh terdengar dari suara pukulan drum, petikan gitar, gitar listrik, dan tiba-tiba terdengar suara seseorang menyadarkanku. Ia berdiri memegang microphone lalu menyanyikan sebuah lagu yang terasa asing. Sejak hari itu, aku mulai terpikat pada pesonanya. Di atas panggung megah yang disoroti lampu-lampu pada setiap sudut.

Meski pun tampil bersama personil lain. Aku hanya mengamatinya. Melihat bagaimana Dwiyan tersenyum ketika bernyanyi atau sesekali menunduk untuk mengajak penonton bernyanyi.

“Aku yakin dengan keputusanku. Lagipula semua itu memang terjadi nantinya. Bukan hal nggak pasti. Selama kamu juga berusaha,” jawabku penuh harap. Hanya saja sekarang tergantung dari pemuda di hadapanku.

Dwiyan memainkan kedua ibu jari. Kulihat ia menarik napas panjang sebelum mendekat dan menunjukkan sebuah cincin perak kecil polos. Aku masih terdiam. Dwiyan bangkit berdiri, kemudian duduk di sebelahku. Tangannya mengambil telapak tangan kiriku dan memakaikan cincin perak itu di jari manis. Lalu, menunjukkan cincin yang serupa tersemat di jari tangannya. Karena memikirkan masalah kami, aku bahkan tidak menyadarinya.

“Aku pasti berusaha. Tadinya ingin membuang cincin ini seandainya kamu lebih memilih mengakhiri hubungan kita. Di luar dugaan, kamu justru ingin berjuang bersama. Terima kasih, Citra,” ucapnya menyunggingkan senyum jahil yang kurindukan.

“Bodoh..” gumamku pelan. Aku tidak bisa menahan perasaan haru. Ia memberikan cincin yang begitu indah. Seakan sebuah pembuktian kalau Dwiyan bersungguh-sungguh dengan hubungan yang dijalani.

Bulir-bulir air mata membasahi parasku. Membuat beberapa helai rambut menjadi lepek dan menempel di pipi. Aku sudah tidak peduli kalau orang-orang melihat dan menganggap hubungan kami telah kandas. Yang pasti Dwiyan tidak berniat meninggalkanku dan berjanji untuk berjuang demi kemajuan hubungan kami.

Melihatku menangis sesenggukan, membuatnya merengkuhku. Menyingkirkan jarak di antara kami. Aku kembali merasakan pelukan sehangat selimut di rumah. Juga aroma parfum yang manis seperti campuran jeruk dan leci. Tepukannya pada punggung mengisyaratkanku berhenti menangis. Tapi, hal itu tidak kuhiraukan. Justru semakin tersedu. Aku sudah ketakutan setengah mati seandainya Dwiyan menyerah dan meninggalkanku.

“Sudahlah, aku masih di sini. Tetap bersamamu.”

Mendengar itu membuatku sedikit lega. Aku melepaskan diri dan menatap kedua mata sehitam malam miliknya. Dengan bingkai kacamata kotak biru tua, membuatnya terlihat semakin tampan. Aku masih ingat pertama kalinya berkenalan dengan Dwiyan.

Padahal aku tidak berkata sedikit pun mengenai ketertarikanku. Namun, teman sekolahku berinisiatif untuk memperkenalkan sesudah mereka manggung –temanku kenal dengan Dwiyan sejak SMP. Di hari aku bertukar nomor ponsel, ia selalu rajin mengirim pesan singkat.

“Benar, ya? Jangan lepaskan pegangan tanganmu meski pun banyak alasan yang mendasari untuk meninggalkanku,” ucapku lirih.

“Aku berjanji,” jawabnya singkat. Aku dapat melihat kesungguhannya. “Tersenyumlah. Kamu nggak ingin orang-orang berpikir kalau baru saja dicampakkan, bukan?” tanya Dwiyan tersenyum mengejek.

Dasar. Ia selalu berhasil membuatku tertawa. Itulah salah satu alasanku mempertahankannya. Tentu saja selain rasa cinta yang terlanjur tumbuh di hati. Perlu waktu setahun untuk menerimanya sebagai kekasih. Awal kami dekat tidak pernah berpikir untuk menjalin kasih. Namun, melihat kegigihan Dwiyan membuatku luluh dan menerima pernyataan cintanya. Aku menghargai perjuangannya,

“Lihat? Senyumku bahkan hampir menyentuh mata,” ucapku menunjuk wajah yang sepenuhnya tersenyum. Walau pun merasa aneh jika tersenyum lebar. Berbeda jika bersama keluarga dan kekasihku.

Dwiyan mengacak rambutku, lalu kami tertawa sesudahnya. Hal-hal sederhana mampu membuatku tersenyum bahagia. Melupakan sejenak masalah orangtuaku. Dan hanya terfokus pada waktu yang kulewati bersamanya.

Aku memang belum tahu yang mungkin terjadi selama seminggu atau satu bulan ke depan. Untuk sekarang aku hanya ingin mendukung keputusannya. Mencoba meraih mimpi yang sulit diwujudkan sendiri, hingga bisa menggapainya bersama-sama.

***

Malam hari setelah bertemu Dwiyan, aku pulang sendirian. Menggunakan sepeda motor matic yang selalu menemani sejak kelas tiga SMA. Aku bisa dibilang agak terlambat mengendarai sepeda motor. Karena perlu waktu lima tahun sejak pertama kali belajar untuk bisa membawanya ke sekolah dan berjalan-jalan bersama temanku. Aku memiliki orangtua yang menjagaku begitu hati-hati. Takut seandainya terluka. Lalu, aku cukup nekat memberitahu Bapak kalau sepeda motornya sudah kubawa ke sekolah. Kemudian, aku mendapatkan surat ijin mengemudi seminggu setelah lulus tes.

Tadi Dwiyan ingin mengantar sampai di depan rumah. Tapi, aku takut seseorang akan keluar dan mendapati kami bersama. Kuputuskan untuk pulang sendiri. Walaupun sempat ada pertengkaran kecil karena Dwiyan merasa bertanggung jawab terhadapku. Dulu, ia memang selalu mengantarkan sampai di depan rumah.

Karena merasa tidak enak dan takut dengan keselamatanku. Biasanya, aku menghubungi beberapa jam setelah sampai di rumah. Itulah alasan yang membuat perdebatan tadi. Ia menekankan pada setiap kata kalau sudah sampai rumah harus segera menghubunginya.

Aku melewati ruang tamu dengan tembok berwarna hijau muda, lukisan peperangan, dan ukiran kayu patung anak kecil persis di sebelah sofa. Kemudian berjalan menuju kamarku –di sebelah kiri di dekat ruang keluarga.

Lemari pakaian berada satu meter di depan pintu. Sedangkan tempat tidur berada di sebelah tembok yang berbatasan dengan kamar mandi. Di dekat tempat tidur, aku menaruh meja kecil dan sebuah lampu berbentuk segitiga. Aku suka melihat cahaya hijau itu menyinari gelapnya kamarku. Tidak jauh dari sana ada meja belajar dan berbagai macam jenis buku di rak.

Lampu kamar kunyalakan. Melihat warna biru muda dari cat dinding membuat perasaanku terasa lebih nyaman. Setelah menaruh tas ransel di tempat tidur, aku mengambil ponsel dan mengetik sebuah pesan singkat kalau sudah sampai di rumah. Jadi Dwiyan bisa berhenti mencemaskan.

Karena sewaktu membuka kotak pesan, sudah ada tiga pesan singkat yang menanyakan keberadaanku dimana. Refleks aku tersenyum simpul. Cukup banyak cinta monyet singgah dan pergi di hati pada masa SMA. Dan kehadiran Dwiyan membuatku bertanya-tanya. Aku tidak pernah jatuh cinta seperti sekarang.

Kurebahkan tubuh pada tempat tidur dan menatap langit-langit kamar. Berbagai kenangan berputar di dalam ingatan. Hari-hari yang kulalui bersamanya. Hari kelulusan SMK paling berkesan. Karena di depan seluruh temanku, Dwiyan menyatakan cinta dan memberikan dua belas bunga kertas yang sangat cantik. Alasannya memilih bunga lili kertas agar tidak cepat layu hingga menjadi awet. Seperti hubungan kami berdua yang diharapkan langgeng.

Bunga lili kertas berwarna-warni itu kutaruh di dalam vas bening di atas meja rias. Di sebelah kanan pintu kamar. Bersebelahan dengan pintu masuk terdapat bingkai foto kedua orangtuaku yang memeluk bayi mungil dan tersenyum polos. Bayi itu adalah diriku. Sembilan belas tahun lalu. Aku merasa bersalah sekarang. Karena belum bisa menepati janji untuk menjauhi Dwiyan. Aku tahu kalau orangtuaku memiliki alasan kenapa melarangku untuk berpacaran dengannya. Tapi, aku yakin pada keputusan yang telah kupilih.

Dwiyan memang bukan dari keluarga yang utuh. Orangtuanya memilih bercerai hingga mereka terpecah sekarang. Kurasa itu bukan alasan tepat meninggalkannya. Aku ingat hari itu hujan deras.

Ia menceritakan di telepon bagaimana pertengkaran terakhir orangtuanya berakhir dengan kata cerai –yang mampu didengar oleh seisi rumah. Ada banyak perasaan sedih dirasakan oleh Dwiyan. Ia berbicara seolah-olah dunia telah runtuh. Terdengar rapuh dan kehilangan semangat. Bahkan, tidak dapat melarikan diri.

Aku merasa menyesal karena saat itu tidak berada di sampingnya. Meminjamkan bahu untuk tempat bersandar dan menampung kesedihan yang selalu disembunyikan. Keesokan harinya, Dwiyan mendapat berita kalau hasil tes ujian universitasnya buruk. Dan gagal masuk jurusan yang diinginkan.

Aku memeluknya, mencoba menghibur. Lalu, membuat beberapa lelucon yang sama sekali tidak lucu. Menjelaskan kalau masih ada tempat kuliah lain yang ada jurusan sastra inggris. Namun, mendengar jawaban darinya membuatku terdiam.

Ia harus masuk ke universitas negeri karena dana yang dimiliki ayahnya tidak cukup untuk membayar kuliah di universitas swasta. Akhirnya, aku membujuknya mencoba jurusan lain. Mungkin saja impiannya untuk mempelajari sastra inggris di bangku kuliah bisa diwujudkan saat mendapatkan pekerjaan tetap.

Kabar bahagia kudengar seminggu kemudian. Ia diterima di fakultas pertanian. Memang bukan jurusan yang mudah untuk dimengerti. Tapi, Dwiyan bilang benar-benar bersyukur karena bisa meringankan beban orangtuanya.

Selain itu, ia berterima kasih padaku. Karena telah menemani dan memberikan semangat. Kalau Dwiyan mencoba mengikuti ujian lain pasti berhasil. Aku percaya selama Dwiyan berusaha bisa mendapatkan hasil terbaik.

Waktu itu aku membuatkannya bekal makanan sebelum mengikuti tes tulis. Hal yang bisa kulakukan adalah menyemangati setiap usaha yang dikerjakannya. Seperti sekarang, aku percaya kalau suatu hari nanti kami tidak perlu berpacaran secara sembunyi-sembunyi dan mendapatkan restu dari orangtuaku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status