Share

Di Talak Suami Melarat Di Pinang Konglomerat
Di Talak Suami Melarat Di Pinang Konglomerat
Author: Atria

Bab 1. Itu Anakmu, bukan Anakku!

"Lisa... Angkat jemuran!" suara Bu Marni menggelegar dari luar memanggil Lisa menantunya.

"Iya Bu.. tunggu sebentar! Kiki masih menangis!" jawab Lisa, sambil menyusui bayi perempuannya yang baru berumur tiga bulanan.

Tiba-tiba Bu Marni sudah berdiri di depan Lisa dan langsung merebut bayi Lisa yang masih menyusu kemudian menaruhnya begitu saja diatas tempat tidur. Tentu saja Bayi itu menangis dengan sangat keras karena terlepas dari susunya.

"Dia ini masih bayi. Nangis juga wajar! Ditinggal juga gak bakal lari!"

Lisa tertegun, hatinya teriris perih.

Kenapa perempuan separuh baya ini tidak punya perasaan sedikitpun? Seharusnya sebagai seorang Nenek, dia bisa sedikit perhatian kepada cucunya sendiri. Minimal menggendong Kiki agar tidak menangis selagi dia menyuruh Ibunya.

Namun Lisa tidak berani Protes sedikitpun karena itu hanya akan sia-sia dan hanya akan menambah kebencian Mertua Perempuannya itu pada dirinya.

"Cepat angkat jemuran! Kamu nggak lihat itu mendung udah mau jatuh? Malah bengong!" ucap Bu Marni sambil melotot.

Lisa sebenarnya tidak tega harus meninggalkan bayinya yang menangis keras itu, tetapi terpaksa dia melangkah meninggalkannya juga.

"Sebentar ya Nak?"

Dengan langkah kaki yang terburu-buru Lisa menuju tempat jemuran dan secepat mungkin mengangkat pakaian karena takut pakaian itu basah kuyup akibat terguyur air hujan.

Dia sempat melirik Ibu mertuanya yang malah mengobrol dan tertawa bersama Kakak ipar perempuannya yang baru saja datang berkunjung.

Bukannya membantu Lisa atau diam di kamar Lisa untuk menjaga cucunya, Ibu mertua itu malah melirik sinis pada Lisa begitu juga dengan kakak iparnya.

"Awas itu jatuh! Yang bener kalau kerja itu!" Kakak iparnya yang bernama Norma ikut berkata dengan sinis kepada Lisa.

Lisa hanya mengangguk patuh.

Setelah semua jemuran sudah diangkat dari tempatnya, Lisa cepat kembali ke kamar untuk menenangkan bayinya yang menangis keras sendirian itu.

Begitulah, setiap kali Lisa mengerjakan pekerjaan rumah ini, tidak ada satupun orang di rumah ini yang mau menjaga bayi Lisa.

Mereka hanya membiarkan bayi Lisa menangis dengan keras di dalam kamar tanpa ada niat sedikitpun untuk menenangkannya.

Begitu beku hati setiap orang dirumah ini, begitu dingin memperlakukan Lisa dan bayinya.

Dengan susah payah Lisa menenangkan bayinya. Tetapi, baru saja bayinya tenang dan terlelap, Suara Ibu Mertuanya kembali menggelegar.

"Ya Ampun! Pakaian kenapa masih disini? Bukannya dilipat supaya rapi. Bener-bener ya kamu Lisa! Jadi menantu emang nggak ada gunanya sama sekali!" Maki Ibu mertua di ruangan Tamu.

Lisa memang sengaja belum melipat pakaian itu, dia tadi hanya menaruh pakaian di lantai ruang tamu begitu saja karena terburu-buru harus menenangkan Bayinya.

Lisa ingat pada pesan Ibunya ketika dia melahirkan Tempo lalu. "Sekarang kamu sudah menjadi seorang Ibu, Lisa. Pekerjaan rumah itu nomor dua, utamakan bayimu dulu. Kalau dia tenang, baru kamu pegang kerjaan."

"Ada apa ini Bu?" Tanya Tomi suami Lisa, menghampiri ibunya yang bersungut-sungut di ruangan tamu.

Entah dari mana Tomi, dia tiba-tiba sudah masuk ke dalam rumah.

Tomi ini tidak bekerja dengan baik, bisa dikatakan bekerja hanya satu hari saja dalam seminggu. Lalu Uang hasil kerjanya pun Lisa sama sekali tidak pernah tau kemana. Selama menikah dengan Tomi, seperak pun Lisa tidak pernah memegang uang. Bahkan bertemu dengan Tomi pun jarang jarang.

Tomi lebih banyak menghabiskan waktunya untuk nongkrong bersama teman-temannya.

Lisa hanya seorang istri yang diberi makan tanpa diurus kebutuhan hidupnya. Dijadikan pembantu gratis didalam rumah suaminya sendiri.

Itu belum seberapa penderitaan Lisa. Tomi juga sering ringan tangan. Meskipun hanya sedikit saja kesalahan Lisa, tangan dan kaki Tomi yang akan menghakiminya.

Seringkali juga Tomi membanding-bandingkan Lisa dengan tetangganya yang berpenampilan cantik dan wangi.

Namun semua itu tidak diambil pusing oleh Lisa. Karena Lisa tahu, bagaimanapun usaha dirinya untuk mempercantik diri seperti dulu lagi itu hanya akan sia-sia saja, karena kunci kecantikan wanita itu adalah di uang. Sementara Lisa tidak mempunyai uang untuk membeli alat makeup. Bahkan lipstik yang Lisa punya saat ini adalah lipstik sisa gadis dulu. Bahkan untuk menggunakan lipstik itu sekarang, Lisa harus mencongkelnya dulu dengan lidi.

Lisa hanya bisa pasrah dengan keadaan, sambil berdoa agar Suatu hari nanti suaminya bisa mencintainya dengan sepenuh hati.

"Kamu lihat istri kamu itu Tomi, kerjaan cuma ngeloni anak mulu sepanjang hari! Ibu mengerjakan semua pekerjaan rumah, dan dia nggak mau nolongin ibu!"

Begitulah setiap harinya, Bu Marni sangat senang memfitnah Lisa di hadapan Tomi, bahkan pekerjaan yang Lisa lakukan sengaja tak pernah dianggap oleh mertuanya itu. Karena perbuatan Bu Marni, Lisa kerap mendapatkan ucapan kasar dari sang suami.

Lisa selalu disalahkan jika rumah berantakan. Bahkan Lisa juga selalu dicap malas oleh suaminya, padahal kenyataannya Lisa lah yang selama ini membereskan rumah hingga memasak makanan di rumah ini tidak peduli bahkan sambil menggendong bayinya sekalipun.

"Lisa…!" Tomi berteriak memanggil istrinya sambil melangkah ke kamar. Setibanya di kamar dia melihat Istrinya sedang mendekap bayinya yang terkejut dengan teriakan Tomi.

Tanpa bertanya Tomi menarik tangan Lisa hingga Lisa terduduk.

PLAK….!

Satu tamparan tangan Tomi mendarat di pipi Lisa membuat tubuh yang sekarang kurus tak semontok dulu itu tersungkur di atas tempat tidur dan hampir saja mengenai bayinya.

"Mas! Apa lagi salahku?" derai air mata Lisa sudah jatuh ke pipinya.

Dari pertanyaan Lisa saja sudah bisa ditebak jika ini bukan pertama kalinya Tomi menamparnya.

"Pake nanya lagi! Kamu ngapain aja kerjaannya? Di kamar Mulu! Bantu Ibu! Sudah ku bilang, bantu Ibu! Rumah berantakan! Pakaian berserakan di lantai, kamu malah enak-enakan di kamar!"

"Mas. Anak kamu rewel! Aku tadi buru-buru nenangin Kiki, belum sempat aku lipat pakaian itu dari aku angkat! Nanti kalau Kiki sudah tidur, aku beresin Mas.."

PLAK…! Satu kali lagi tangan Tomi melayang. Kali ini sangat keras hingga membekas dipipi Lisa. Perempuan itu hanya bisa menangis. Bukan hanya sakit di pipinya, tetapi hatinya yang merasa sakit luar biasa.

Ini hanya masalah sepele, tapi suaminya bisa tega sampai memukulnya seperti itu.

"Kiki lagi alasan kamu! Bosan aku mendengarnya. Harus berapa kali aku bilang hah! Ibuku itu sakit sakit-sakitan! Harusnya kamu mengerti dong Lisa! Jangan cuma bisanya makan tidur saja dirumah ini. Bantu Ibu! Kalau terjadi apa-apa pada ibu karena kecapean, lihat saja! Aku tidak akan memaafkan kamu!"

Lisa tidak berani menjawab lagi. Dia bungkam seribu bahasa, hanya sesenggukan sembari meraih bayinya yang kembali menangis.

"Nyesel aku udah nikahin kamu Lisa! Kamu itu gak berguna! Mana bisanya cuma nyusahin aku sama orang tuaku saja! Cepat beresin tuh pakaian!" tanpa perasaan Tomi menarik paksa tangan Lisa. Hampir saja bayi Lisa terjatuh, untung saja Lisa mendekap erat tubuh mungil Kiki dengan satu tangannya.

Sambil terisak Lisa diseret oleh Tomi dan didorong ke tumpukan pakaian yang masih di lantai ruang tamu.

"Kerjakan! Jangan sampai Ibuku yang menyentuh pakaian ini!" selesai bicara, Tomi bergegas pergi.

Bu Marni yang melihat kejadian itu, bukannya sedih melihat anak dan menantunya bertengkar malah tersenyum senang.

'Mampus! Siapa suruh masuk rumahku dan menghancurkan cita-cita Anakku!' kemudian dia pergi begitu saja tanpa tersentuh dengan tangisan Kiki Cucu pertamanya itu.

Lisa masih terisak, mencoba melipat pakaian sambil menyusui bayinya.

Selesai melipat pakaian dengan menyusui bayinya, Lisa berdiri dengan satu tangan membawa tumpukan baju dan satu tangan menggendong Bayinya. Dengan sabar dia menaruh satu persatu tumpukan baju ke lemari yang terpisah. Ada yang di kamarnya, ada juga yang di kamar Mertuanya.

Akhirnya pekerjaan itu selesai. Lisa sedikit lega dan segera memandikan bayinya karena memang sudah sore.

Menjelang malam, Tomi pulang dan langsung meminta Lisa untuk membuatkan kopi.

Baru saja menyeruput kopi, Tomi sudah berdiri lagi dan berganti pakaian.

"Mas. Kamu mau kemana lagi?" tanya Lisa.

"Kenapa? Suruh melototi kamu? Ogah amat!" jawab Tomi ketus.

Lisa menarik nafas. Sakit hati dengan ucapan suaminya? Itu sudah biasa, jadi Lisa tidak kaget lagi.

"Bukan begitu. Semenjak Kiki lahir kamu tidak pernah tidur dirumah. Kasihan Anak kamu Mas, dia juga mungkin mau ditemani Ayahnya."

Tomi langsung menoleh dan menatap tajam pada Lisa. "Salah kamu sendiri mau melahirkan dia! Aku sudah bilang, gugurkan saja! Itu maumu! Jadi dia anakmu sendiri. Bukan anakku!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status