MasukBiru sudah tak berminat bergabung dengan yang lain yang sedang berbincang di ruang keluarga. Padahal sudah ada calon pengantin yang akan menikah, tapi Biru lebih memilih masuk ke kamarnya.
Badannya terasa gemetara setelah berhadapan dengan Indah tadi. Astaga! Kenapa dia jadi bisa merasakan sakit dari pancaran mata wanita itu? Seperti hanya ada keputus asaan dari salam sana. Lupakan soal itu. Lebih baik Biru beristirahat karena hari sudah malam. Apalagi besok akan banyak acara menjelang pernikahan yang harus dihadiri. Begitu juga dengan Indah yang kembali ke kamar gudangnya. Beberapa kali Indah membolak balik tubuh ini untuk menjemput mimpi, tapi mata ini masih enggan tertutup. "Panas sekali.." Indah beringsut bangun dari tidurnya. Ia menatap sekeliling kamar yang hanya berluaskan 2x3 meter ini. Sempit. Pengap karena tak ada ventilasi udara. Indah mengambil bantalnya dan keluar dari kamar. Nah, terasa sejuk dari luar sini. Akhirnya, Indah memutuskan untuk tidur di permadani yang ada di ruang keluarga. Kebetulan ada pendingin ruangan disini. Mudah-mudahan dia bisa tidur nyenyak. "Sudah jam 2." Gumam Indah. Dia pun mulai membaringkan dirinya. Tak menunggu lama, suara dengkuran halus terdengar dari mulut wanita itu. Sama halnya dengan Biru, padahal sejak jam 9 dia sudah merebahkan dirinya. Tapi, kenapa masih tak bisa tidur juga. "Haus sekali.." Biru memegang tenggorokannya yang kering. Gelas yang ada di samping tempat tidurnya kosong. Pria ini bangun dan keluar dari kamar tidurnya. Tujuan utamanya adalah kulkas yang ada di dapur. Biru lalu mengambil air tersebut dan langsung meneguknya. Sambil menghela nafas panjang, Biru kembali menuju kamarnya. Namun, matanya menangkap sesuatu yang terlihat bersembunyi di belakang sofa keluarga. Biru mengusap matanya, mencoba untuk sadar bahwa yang ia lihat adalah nyata. Dua kaki terlihat menyembul di bawah sana. Oleh karena penasaran, Biru mendekat dan memastikan siapa yang ada di bawah sana. "Indah??" Oh, Biru sampai terbelalak. Kenapa wanita ini tertidur disini. Biru terduduk dan menyentuh bahu wanita itu. Indah tampak tertidur dengan separuh wajahnya yang ia sembunyikan di balik bantal. "Indah!" Seru Biru mengguncang bahu mantan istrinya. "Indah!" Panggilnya sekali lagi dengan suara yang lebih kencang. Indah melenguh dan membuka matanya perlahan. Tapi bukan itu yang membuat Biru terkesap melainkan darah yang tiba-tiba mengalir dari hidung wanita di hadapannya. "Hidungmu.." Biru terkejut bukan main. Indah yang merasa hidungnya mengeluarkan sesuatu lalu mengusapnya. Rupanya dia mimisan lagi. Segera saja Indah mengusapnya. "Kenapa tidur disini? Kembalilah ke kamarmu!" Perintah Biru dengan tatapan yang tak ditanggalkannya. "Maaf..." Indah buru-buru bangun dari tidurnya, ia pergi dengan setengah berlari. Sedangkan, Biru menjadi cemas. Darah itu masih mengucur deras dari hidungnya. Sontak saja, Biru mengejar wanita itu sampai ke kamarnya. Sebelumnya, ia mengambil tissue untuk diberikannya pada Indah. Namun ketika mencapai kamar itu, Biru menemukan kamar tersebut kosong. "Pantas dia tidur diluar." Gumam Biru menyadari jika kamar ini begitu panas. Biru masih ingat sekali jika kamar ini adalah gudang. Jadi wajar saja jika Indah sampai tidur diluar. Biru lalu berkeliling lagi mencari mantan istrinya dan matanya melihat sebuah pintu yang setengah terbuka. Sebuah kamar milik para bibi yang menjadi pelayan di rumah ini. Biru yang penasaran langsung masuk ke kamar tersebut. Para bibi terlihat tidur di atas kasur secara bersama-sama. Namun, mata Biru tertaut pada wanita yang tertidur di lantai. Dengan tangannya ia menekuk kakinya. Terbit perasaan iba pada hati Biru. Indah yang malang. Meski seringkali dianggap memiliki darah yang kotor, tapi sejak kecil Indah hidup dengan penuh kenyamanan. Tapi semenjak menikah dan mengabdi pada suaminya, dia malah diperlakukan seperti pelayan. Tak pernah dianggap ada. Kehadirannya dibutuhkan sebagai pelayan saja. Tak mampu menahan kesedihannya, Biru memutuskan untuk keluar dari kamar tersebut dan membiarkan Indah tidur disana dengan pelayan. Pagi tiba, kini semua orang sibuk mempersiapkan acara pengajian yang akan dilaksanakan sore ini. Indah lebih suka menyibukkan dirinya di dapur dibanding harus berbaur dengan keluarga Davina. Sedangkan, Biru juga sibuk membantu anggota lain membersihkan rumah, memasang karpet dan menyiapkan barang kecil lainnya. "Indah! Buatkan es teh!" Davina memberikan perintah. Indah patuh dan kembali ke dapur untuk membuatkan pesanan nyonya rumah. Sedangkan Laila terkekeh melihat Davina yang main memerintah mantan menantunya saja. "Padahal dia udah nggak punya hubungan apa-apa lagi dengan kita. Tapi, lihatlah. Di masih patuh sama mbak Davina." Mendengar itu, Davina tersenyum. "Iya. Yang begitu memang harus dimanfaatkan." Sebelum ketuk palu terdengar, Davina harus memanfaatkan tenaga Indah dulu. Apalagi wanita itu terkenal ringan tangan karena suka membantu. Rizka ikut mengulum senyum mendengar percakapan dua wanita paruh baya ini. Dia menikmati pemandangan dimana harga diri Indah sedang terinjak-injak. Ah, harusnya Indah malu saja! Jika Rizka jadi dirinya, dia lebih memilih untuk kabur dan menyelamatkan dirinya. Dasar Indah saja yang polos mau-maunya mempermalukan dirinya disini. Es teh siap. Indah membagikan es teh tersebut kepada seluruh anggota keluarga. Tak terkecuali Biru. Sejenak keduanya saling memandang. Namun, Indah segera memutus tatapan itu karena Rizka yang tiba-tiba datang dan duduk di samping Biru. "Nanti kalau kita nikah, aku juga mau pengajian dulu.." ucap Rizka tak tahu malu. Indah menyingkir untuk menghindari adegan mesra yang ada di hadapannya. Sedangkan, Biru malah memperhatikan Indah yang mulai menjauh darinya. "Kamu denger nggak aku tadi bilang apa?" Tegur Rizka. "Nggak. Aku kesana dulu. Pekerjaan disana belum selesai." Rizka mendengkus ketika Biru meninggalkannya. Tapi dia cukup puas karena bisa bermesraan di depan Indah. Setidaknya ini mengokohkan posisinya sebagai wanita yang tak akan bisa dilengserkan dari hati Biru. Sore menjelang, pengajian dilakukan secara sederhana. Indah hanya bisa berdiam di dapur. Menunggu perintah kapan makanan bisa dihidangkan. "Mbak Indah nggak duduk di depan aja?" Tanya Bi Mirna keheranan. Indah menggeleng. "Biar disini aja, bi." Pengajian selesai, Indah keluar bersama para pelayan lain untuk membersihkan sisa makanan. Para tamu yang mengenal Indah berbisik. Mereka heran. Kenapa tuan rumah malah mengerjakan tugas pelayan? "Dia sudah di talak tiga sama suaminya. Bentar lagi mereka cerai." Bisik Nur saat ada tamunya yang bertanya. "Oh.." Suara sumbang mengenai pernikahannya sampai ke telinga Indah. Wanita ini lalu bergegas pergi ke dapur sambil membawa nampan kotor. "Biar aku yang cuci piring, bi." Ucap Indah pada bi Mirna. "Aku minta tolong bibi aja ambilkan piring kotornya." Indah tak sanggup pergi ke depan. Mentalnya tak kuat jika harus mendengar omongan miring dari keluarga mantan suaminya. Bi Mirna kemudian ke depan untuk membereskan sisa makanan. Sedangkan, Indah menghidupkan kran air dan mulai mencuci piring. "Ya, Tuhan.." Indah meringis ketika cairan merah keluar lagi dari hidungnya. Ia lalu mencuci hidungnya dengan air yang mengalir dari kran sana. Namun, Indah tak menyadari jika ada seseorang yang sejak tadi memperhatikannya. Yaitu, Biru.Nasib sial dipeluk Riska saat ini. Kinerjanya yang terus menurun akhir-akhir ini, belum lagi kejadian malam ini yang begitu memalukan membuat Riska kehilangan pekerjaannya.Percuma jika Riska merengek bahkan merayu manajernya. Sekarang ia tak bisa diandalkan lagi. Wanita ini dipecat setelah selesai pertemuan.Sambil menyeka air matanya, Riska jadi teringat akan wanita itu tadi. Sial! Gara-gara Riska yang sibuk melihat Indah bermesraan dengan seorang pria, dia jadi hilang fokus dan lalai."Aku tidak akan membiarkanmu tenang, Indah."Riska yang geram mengambil ponsel dan menekan sebuah nomor.Wanita ini sampai mengumpat beberapa kali karena nomor yang ditujunya seakan tak ingin mengangkat panggilan."Halo! Kamu sengaja menghindariku, ya?" Riska jadi kesal sendiri.["Astaga. Kamu ini nggak punya sopan santun! Harusnya kamu mengucap salam, tapi kenapa kamu malah marah-marah?"] Terdengar gerutuan dari seberang."Apa kamu tahu, mas? Wanita yang sedang kamu perjuangkan itu sekarang sudah mem
"Aku cuma bercanda.""Lagian kamu begitu.." Indah jadi merajuk. Wanita ini beringsut bangun dari dekapan suaminya."Maaf.."Tangan Indah ditariknya lagi. Kali ini lebih lembut hingga wanita itu terduduk di sampingnya. Sekarang Ryan mencoba berani dengan menyentuh jemari halus itu dan mengaitkannya."Apa kamu ingin tahu alasanku melakukan semua ini?" Ryan memandang lekat. "Karena kamu.."Indah ikut membalas tatapan lekat itu dengan penuh pertanyaan."Kamu bukan hanya teman masa kecilku, tapi juga cinta pertamaku. Jujur saja saat kamu menikah dengan pria itu aku jadi marah sekali.. terlebih saat aku tahu dia menyakitimu, rasanya aku muak hingga membencimu. Tapi sekarang sudah berakhir.."Indah melipat bibirnya menahan tangis. Ia pun mengedipkan beberapa kali matanya agar air ini tak tumpah."Kenapa?" Dahi Ryan sampai mengkerut. "Matamu kelilipan?""Nggak. Aku ingin meleleh.."Ryan sampai tertawa. "Apa kulitmu terbuat dari lilin sampai meleleh?"Tapi setelah melihat Indah menjatuhkan air
"Mau apa lagi dia?"Indah sampai tak habis pikir, hari sudah malam begini tapi Biru malah berkunjung. Aduh, apalagi wajah pria di sebelahnya ini jadi tak sedap dipandang.Bisa-bisa Ryan mengomel semalaman. Apa yang harus Indah lakukan?"Temui aja dia. Mungkin Biru rindu padamu."Indah sampai berdecak. "Apa sih maksud kamu, mas?""Nggak mungkin dia kemari tanpa tujuan. Apalagi malam-malam begini. Temui sana." Ryan mencoba memaksimalkan raut wajahnya agar tak terlihat kesal."Tunggu sebentar."Akhirnya Indah keluar dari kamar dan pergi ke ruang tamu. Benar ternyata Biru sudah menunggu."Kamu sudah istirahat, Indah? Maaf aku mengganggu." Biru jadi tak enak hati."Belum, kok. Baru ngobatin mas Ryan. Ada apa mas malam-malam kemari?""Aku hanya ingin menyampaikan turut duka cita. Aku baru tahu kalau mama Meriam meninggal.""Terima kasih atas belasungkawanya..""Kamu kelihatan tegar.." ucap Biru memandang mantan istrinya."Aku sudah terbiasa untuk itu.""Indah.. sebenarnya kedatanganku kemar
Dor!Dor!Senjata yang ditembakkan ke segala arah berhasil melukai 2 orang. Haikal dilumpuhkan oleh petugas, terpaksa harus memakai kekerasan karena Haikal yang sulit dikendalikan.Pria ini diseret dengan tangan yang terborgol, ia lalu dilempar masuk ke dalam mobil yang akan membawanya kembali ke penjara.Di rumah, dua korban yang menjadi tembakan Haikal langsung dibawa ke rumah sakit. Sekarang hukuman Haikal menjadi bertambah. Jangan harap meminta keringanan hukuman setelah ini.Sementara Indah masih merunduk sambil menutup kedua telinganya.Untung saja dia cepat menyelamatkan diri karena tahu Haikal yang ingin menargetkan dirinya.Sekarang, Indah sebagai perwakilan keluarga mengambil alih kegaduhan yang terjadi. Bagaimana pun ada musibah kematian disini. Dia harus bijak dalam menghadapinya.Dua hari ini, Indah sibuk mengurus pemakaman untuk ibu tirinya. Dia baru mengunjungi Ryan yang sekarang sedang bersama Nani di rumah sakit."Ibu turut berduka cita." Nani memeluk Indah erat."Te
"Indah." Panggil Ryan lagi sembari menepuk sisi tempat tidurnya."Sempit. Mas tidur sendiri aja." Jawab Indah memalingkan wajahnya. Rasa panas mulai menjalari pipi ranumnya."Ini udah hampir jam 1 tapi kamu belum tidur juga. Kamu mau sakit lagi?"Indah cemberut karena mendengar nada garang itu lagi. Akhirnya, Ryan kembali ke mode normal."Kemarilah. Aku udah bergeser." Sambung Ryan meringis."Kamu terlalu banyak bergerak, nanti kalau pen mu patah lagi, gimana?""Tinggal dipasang lagi."Indah sampai geleng-geleng kepala karena mendengar jawaban suaminya.Ia pun terpaksa naik ke ranjang suaminya. Sejujurnya tubuhnya juga masih lelah. Ini saja rasanya sudah panas dingin.Indah pun akhirnya berbaring di ranjang yang sama dengannya. Lumayan. Kasur ini besar juga. Mungkin karena tipe bednya yang berbeda dengan yang lain."Jangan banyak bergerak, mas. Nanti kakinya sakit lagi."Ryan berdeham. Pria ini nampak memejamkan matanya."Gimana transplantasimu? Lancar?""Lancar. Aku sudah mengucapkan
Haikal mengamuk di dalam sel penjaranya. Kabar yang baru saja ia terima membaut emosinya tak tertahan.Meriam dilarikan ke rumah sakit karena serangan jantung. Karena masih memiliki hati, Indah mengantar ibu tirinya ke rumah sakit.Tapi setelah itu dia meninggalkan wanita itu begitu saja di unit gawat darurat. Terserah mau mati atau hidup, Indah sudah tak perduli lagi.Hingga akhirnya pada malam hari, Indah baru bisa mengunjungi suaminya. Kebetulan Meriam dan Ryan di rawat di rumah sakit yang sama. Jadi, Indah langsung menuju kamar rawat setelah Nani memberi tahu jika Ryan sudah dipindahkan kesana."Kamu nggak apa-apa, nak?" Tanya Nani tampak khawatir. Dia sudah diberi tahu oleh Rafael mengenai kejadian yang ada di penjara."Nggak apa-apa, bu." Jawab Indah penuh haru. Selama ini dia pikir hidup sendirian. Tak ada yang menyayangi dan mengharapkannya. Namun, rupanya Ryan benar.Ada orang lain yang begitu menyayangi dan menjaganya, yaitu Nani dan putra semata wayangnya."Gimana keadaan







