Share

Bab 6

Penulis: Stary Dream
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-01 20:35:39

Biru sudah tak berminat bergabung dengan yang lain yang sedang berbincang di ruang keluarga. Padahal sudah ada calon pengantin yang akan menikah, tapi Biru lebih memilih masuk ke kamarnya.

Badannya terasa gemetara setelah berhadapan dengan Indah tadi. Astaga! Kenapa dia jadi bisa merasakan sakit dari pancaran mata wanita itu? Seperti hanya ada keputus asaan dari salam sana.

Lupakan soal itu. Lebih baik Biru beristirahat karena hari sudah malam. Apalagi besok akan banyak acara menjelang pernikahan yang harus dihadiri.

Begitu juga dengan Indah yang kembali ke kamar gudangnya. Beberapa kali Indah membolak balik tubuh ini untuk menjemput mimpi, tapi mata ini masih enggan tertutup.

"Panas sekali.." Indah beringsut bangun dari tidurnya. Ia menatap sekeliling kamar yang hanya berluaskan 2x3 meter ini. Sempit. Pengap karena tak ada ventilasi udara.

Indah mengambil bantalnya dan keluar dari kamar. Nah, terasa sejuk dari luar sini. Akhirnya, Indah memutuskan untuk tidur di permadani yang ada di ruang keluarga. Kebetulan ada pendingin ruangan disini. Mudah-mudahan dia bisa tidur nyenyak.

"Sudah jam 2." Gumam Indah. Dia pun mulai membaringkan dirinya. Tak menunggu lama, suara dengkuran halus terdengar dari mulut wanita itu.

Sama halnya dengan Biru, padahal sejak jam 9 dia sudah merebahkan dirinya. Tapi, kenapa masih tak bisa tidur juga.

"Haus sekali.." Biru memegang tenggorokannya yang kering. Gelas yang ada di samping tempat tidurnya kosong. Pria ini bangun dan keluar dari kamar tidurnya.

Tujuan utamanya adalah kulkas yang ada di dapur. Biru lalu mengambil air tersebut dan langsung meneguknya. Sambil menghela nafas panjang, Biru kembali menuju kamarnya. Namun, matanya menangkap sesuatu yang terlihat bersembunyi di belakang sofa keluarga.

Biru mengusap matanya, mencoba untuk sadar bahwa yang ia lihat adalah nyata. Dua kaki terlihat menyembul di bawah sana.

Oleh karena penasaran, Biru mendekat dan memastikan siapa yang ada di bawah sana.

"Indah??" Oh, Biru sampai terbelalak. Kenapa wanita ini tertidur disini.

Biru terduduk dan menyentuh bahu wanita itu. Indah tampak tertidur dengan separuh wajahnya yang ia sembunyikan di balik bantal.

"Indah!" Seru Biru mengguncang bahu mantan istrinya. "Indah!" Panggilnya sekali lagi dengan suara yang lebih kencang.

Indah melenguh dan membuka matanya perlahan. Tapi bukan itu yang membuat Biru terkesap melainkan darah yang tiba-tiba mengalir dari hidung wanita di hadapannya.

"Hidungmu.." Biru terkejut bukan main.

Indah yang merasa hidungnya mengeluarkan sesuatu lalu mengusapnya. Rupanya dia mimisan lagi. Segera saja Indah mengusapnya.

"Kenapa tidur disini? Kembalilah ke kamarmu!" Perintah Biru dengan tatapan yang tak ditanggalkannya.

"Maaf..."

Indah buru-buru bangun dari tidurnya, ia pergi dengan setengah berlari. Sedangkan, Biru menjadi cemas. Darah itu masih mengucur deras dari hidungnya.

Sontak saja, Biru mengejar wanita itu sampai ke kamarnya. Sebelumnya, ia mengambil tissue untuk diberikannya pada Indah. Namun ketika mencapai kamar itu, Biru menemukan kamar tersebut kosong.

"Pantas dia tidur diluar." Gumam Biru menyadari jika kamar ini begitu panas. Biru masih ingat sekali jika kamar ini adalah gudang. Jadi wajar saja jika Indah sampai tidur diluar.

Biru lalu berkeliling lagi mencari mantan istrinya dan matanya melihat sebuah pintu yang setengah terbuka. Sebuah kamar milik para bibi yang menjadi pelayan di rumah ini.

Biru yang penasaran langsung masuk ke kamar tersebut. Para bibi terlihat tidur di atas kasur secara bersama-sama. Namun, mata Biru tertaut pada wanita yang tertidur di lantai. Dengan tangannya ia menekuk kakinya.

Terbit perasaan iba pada hati Biru. Indah yang malang. Meski seringkali dianggap memiliki darah yang kotor, tapi sejak kecil Indah hidup dengan penuh kenyamanan.

Tapi semenjak menikah dan mengabdi pada suaminya, dia malah diperlakukan seperti pelayan. Tak pernah dianggap ada. Kehadirannya dibutuhkan sebagai pelayan saja.

Tak mampu menahan kesedihannya, Biru memutuskan untuk keluar dari kamar tersebut dan membiarkan Indah tidur disana dengan pelayan.

Pagi tiba, kini semua orang sibuk mempersiapkan acara pengajian yang akan dilaksanakan sore ini.

Indah lebih suka menyibukkan dirinya di dapur dibanding harus berbaur dengan keluarga Davina. Sedangkan, Biru juga sibuk membantu anggota lain membersihkan rumah, memasang karpet dan menyiapkan barang kecil lainnya.

"Indah! Buatkan es teh!" Davina memberikan perintah.

Indah patuh dan kembali ke dapur untuk membuatkan pesanan nyonya rumah. Sedangkan Laila terkekeh melihat Davina yang main memerintah mantan menantunya saja.

"Padahal dia udah nggak punya hubungan apa-apa lagi dengan kita. Tapi, lihatlah. Di masih patuh sama mbak Davina."

Mendengar itu, Davina tersenyum. "Iya. Yang begitu memang harus dimanfaatkan." Sebelum ketuk palu terdengar, Davina harus memanfaatkan tenaga Indah dulu. Apalagi wanita itu terkenal ringan tangan karena suka membantu.

Rizka ikut mengulum senyum mendengar percakapan dua wanita paruh baya ini. Dia menikmati pemandangan dimana harga diri Indah sedang terinjak-injak.

Ah, harusnya Indah malu saja! Jika Rizka jadi dirinya, dia lebih memilih untuk kabur dan menyelamatkan dirinya. Dasar Indah saja yang polos mau-maunya mempermalukan dirinya disini.

Es teh siap. Indah membagikan es teh tersebut kepada seluruh anggota keluarga. Tak terkecuali Biru. Sejenak keduanya saling memandang. Namun, Indah segera memutus tatapan itu karena Rizka yang tiba-tiba datang dan duduk di samping Biru.

"Nanti kalau kita nikah, aku juga mau pengajian dulu.." ucap Rizka tak tahu malu.

Indah menyingkir untuk menghindari adegan mesra yang ada di hadapannya. Sedangkan, Biru malah memperhatikan Indah yang mulai menjauh darinya.

"Kamu denger nggak aku tadi bilang apa?" Tegur Rizka.

"Nggak. Aku kesana dulu. Pekerjaan disana belum selesai."

Rizka mendengkus ketika Biru meninggalkannya. Tapi dia cukup puas karena bisa bermesraan di depan Indah. Setidaknya ini mengokohkan posisinya sebagai wanita yang tak akan bisa dilengserkan dari hati Biru.

Sore menjelang, pengajian dilakukan secara sederhana. Indah hanya bisa berdiam di dapur. Menunggu perintah kapan makanan bisa dihidangkan.

"Mbak Indah nggak duduk di depan aja?" Tanya Bi Mirna keheranan.

Indah menggeleng. "Biar disini aja, bi."

Pengajian selesai, Indah keluar bersama para pelayan lain untuk membersihkan sisa makanan. Para tamu yang mengenal Indah berbisik. Mereka heran. Kenapa tuan rumah malah mengerjakan tugas pelayan?

"Dia sudah di talak tiga sama suaminya. Bentar lagi mereka cerai." Bisik Nur saat ada tamunya yang bertanya.

"Oh.."

Suara sumbang mengenai pernikahannya sampai ke telinga Indah. Wanita ini lalu bergegas pergi ke dapur sambil membawa nampan kotor.

"Biar aku yang cuci piring, bi." Ucap Indah pada bi Mirna. "Aku minta tolong bibi aja ambilkan piring kotornya."

Indah tak sanggup pergi ke depan. Mentalnya tak kuat jika harus mendengar omongan miring dari keluarga mantan suaminya.

Bi Mirna kemudian ke depan untuk membereskan sisa makanan. Sedangkan, Indah menghidupkan kran air dan mulai mencuci piring.

"Ya, Tuhan.." Indah meringis ketika cairan merah keluar lagi dari hidungnya. Ia lalu mencuci hidungnya dengan air yang mengalir dari kran sana.

Namun, Indah tak menyadari jika ada seseorang yang sejak tadi memperhatikannya. Yaitu, Biru.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Di Ujung Perpisahan   Bab 7

    "Mbak.. kita tidur diluar aja." Ajak Marni pada Indah. "Disini panas."Tubuh Indah sudah bersimbah peluh. Siang tadi panas sekali, padahal dia sudah berharap Tuhan mengirimkan hujan malam ini. Tapi rupanya sengat matahari dikirim melalui perantara bulan.Indah mengangguk setuju. Dia lalu ikut Marni tidur diluar bersama pelayan yang lain. Tepatnya di teras belakang rumah."Disini lebih sejuk dibanding di dalam."Indah bisa merasakan hembusan angin menerpa dirinya. Ia pun mengambil tempat tidur di bagian ujung karpet ini."Kita pasang obat nyamuk dulu." Ujar Marni.Obat nyamuk dipasang, kini tak ada lagi yang akan mengganggu tidur mereka. Indah pun ikut merebahkan diri dan tidur di lantai yang beralaskan karpet tipis itu."Mbak Indah.. bener ya mbak udah dicerai sama mas Biru?" Tiba-tiba saja Marni menanyakan hal itu."Iya." Jawab Indah tercekat."Kasihan sekali, mbak. Kalau aku jadi mbak Indah, mana mau aku kemari." Apalagi untuk dijadikan pembantu. Astaga! Padahal Indah ini orang yan

  • Di Ujung Perpisahan   Bab 6

    Biru sudah tak berminat bergabung dengan yang lain yang sedang berbincang di ruang keluarga. Padahal sudah ada calon pengantin yang akan menikah, tapi Biru lebih memilih masuk ke kamarnya. Badannya terasa gemetara setelah berhadapan dengan Indah tadi. Astaga! Kenapa dia jadi bisa merasakan sakit dari pancaran mata wanita itu? Seperti hanya ada keputus asaan dari salam sana. Lupakan soal itu. Lebih baik Biru beristirahat karena hari sudah malam. Apalagi besok akan banyak acara menjelang pernikahan yang harus dihadiri. Begitu juga dengan Indah yang kembali ke kamar gudangnya. Beberapa kali Indah membolak balik tubuh ini untuk menjemput mimpi, tapi mata ini masih enggan tertutup. "Panas sekali.." Indah beringsut bangun dari tidurnya. Ia menatap sekeliling kamar yang hanya berluaskan 2x3 meter ini. Sempit. Pengap karena tak ada ventilasi udara. Indah mengambil bantalnya dan keluar dari kamar. Nah, terasa sejuk dari luar sini. Akhirnya, Indah memutuskan untuk tidur di permadani y

  • Di Ujung Perpisahan   Bab 5

    Indah ikut menoleh ketika wanita dengan senyuman manis itu mendekat dan merangkul Biru. Pria yang secara hukum negara masih sah menjadi suaminya.Rupanya, Rizka juga hadir disini. Menunggu kedatangan Biru serta menyapa Davina dengan hangat.Wajah mertuanya nampak sumringah. Terlihat sekali jika Davina memang merestui hubungan Biru dan Rizka. Tanpa menebak Indah pun tahu, jika sudah resmi bercerai nanti, mereka berdua pasti akan segera menikah."Apa kabar mbak Indah?"Indah menoleh ke belakang ketika disapa oleh seseorang. Ternyata bi Marni. Bibi yang bekerja sebagai pelayan di rumah budhe Nur."Baik, bi. Bibi apa kabar?" Sapa Indah balik dengan senyumannya."Baik juga. Mana barangnya, mbak? Biar bibi bantu bawain."Bersama Marni, Indah menurunkan koper serta oleh-oleh buatan tangannya. Mereka bersama memasuki rumah milik Nur.Sedangkan di dalam, para keluarga sudah berkumpul dan bercengkrama. Termasuk Rizka yang tak memiliki status dalam keluarga ini ikut berbaur dengan hangat."Jadi

  • Di Ujung Perpisahan   Bab 4

    Biru tak bergeming menatap tissue yang berserakan di atas meja sana. Tujuannya adalah satu, mengemasi pakaiannya untuk pergi ke Lampung. Saat pria itu sampai di kamar, ia lekas membuka lemari. Tanpa menoleh pun dia tahu siapa yang berada di belakangnya."Mas butuh bantuan?" Sudah diduga, Indah lah yang setia mengikuti mantan suaminya dari belakang."Tidak perlu."Biru mengambil pakaian secara asal dan menaruhnya ke dalam koper. Namun, ia kesulitan mengunci koper tersebut karena pakaian yang ditaruhnya bertumpuk dan berantakan. Dia menyerah ketika Indah kembali menawarkan bantuan."Sudah, mas." Ucap Indah ketika dia berhasil mengunci koper milik Biru.Biru hanya berdeham. Dahinya sedikit mengernyit."Koperku jadi bau ikan." Cetusnya yang membuat Indah tersentak."Oh, maaf, mas.. aku tadi cuci tangannya nggak bersih."Indah tadi sedang mengadon pempek sebelum ada insiden mimisan. Jadi, wanita ini hanya mencuci tangannya secara cepat saja.Tanpa mau memandang Indah, Biru main berbalik

  • Di Ujung Perpisahan   Bab 3

    Sinar mentari mulai masuk menembus jendela yang tertutup oleh tirai berwarna oranye itu. Mata Indah terbuka perlahan. Kepalanya berat. Pasti karena ia baru bisa tertidur ketika menjelang subuh.Semalaman pekerjaannya hanya menangis. Terus mengasihi takdir hidupnya yang begitu buruk.Indah beringsut bangun dari tidurnya. Namun ia langsung menundukkan kepala ketika sesuatu keluar lagi dari hidungnya.Darah segar berwarna merah menodai seprai yang Indah pakai. Sudah berbulan-bulan ini Indah selalu mimisan, dan ketika dia memeriksakan dirinya, Indah malah menelan kenyataan pahit. Jika dirinya terdiagnosis Leukemia.Wanita ini mengambil tissue yang ada di atas nakas samping tempat tidur dan menyumbat hidungnya. Setelah itu, dia bangkit meraih tas untuk mengambil obat yang ada di dalam sana.Indah menoleh. Gelas yang ada di atas nakasnya kosong. Kalau begitu, Indah lebih baik turun ke dapur dan meminum obatnya disana.Langkah kaki terdengar menuruni anak tangga, namun Indah terkejut ketika

  • Di Ujung Perpisahan   Bab 2

    Selesai memberikan deklarasi perpisahan, Biru pulang ke rumah ibunya. Mereka sudah resmi berpisah secara agama, itu artinya tak mungkin lagi bagi Biru dan Indah untuk tinggal bersama. Setidaknya Biru masih berbaik hati dengan mengizinkan Indah tinggal di rumahnya."Kamu benar-benar menggugat cerai istrimu?" Devana, Ibu Biru bertanya.Biru mengangguk. Di wajahnya tak ada ekspresi sedih maupun bahagia. Berbeda dengan Devana yang tersenyum senang."Syukurlah. Dari awal memang kalian tidak perlu menikah. Jangan karena dia orang kaya jadi dia ingin memilikimu seutuhnya. Ingat siapa itu Indah, nak. Hanya seorang anak yang tidak jelas. Kekayaan yang ia dapat juga bukan karena haknya."Masih ingat betul Devana wanita yang menjadi menantunya itu. Seorang anak konglomerat yang membuat Devana awalnya jatuh hati.Tak hanya itu, Indah juga seorang dokter. Walaupun tak pernah bekerja menyentuh pasien dan memilih menjalani hidup dengan tidak bekerja. Tapi secara pendidikan, Indah tak bisa diragukan.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status