Share

Malam, Di sanalah Rumah Paling Teduh

Sejak percakapan di Coffe Shop itu, aku dengannya sering bertengkar. Entah hal-hal sepele pun bisa menjadi pemantik emosi di antara kita. Aku jadi merindukan saat pertama dulu. Kita selalu melontarkan kata-kata manis. Sampai akhirnya kita menuliskan puisi untuk mengikat janji. Dan kita saling merindu dan bercakap tiap malam melalui telpon, seolah sedang bercakap secara langsung. Aku benar-benar merindukan masa itu.

“Kok belum tidur?”

“Aku tidak terbiasa tidur sore. Entah rasanya aku lupa cara untuk tidur lebih awal.”

“Berarti kamu insomnia.”

“Tidak. Sebab kepalaku tidak pernah sakit bila tidak bisa tidur. Orang pengidap insomnia kepalanya selalu sakit. Sedangkan aku tidak pernah merasakan sakit. Jam tidurku bergeser.”

“Bergeser? Maksudnya?”

“Aku baru bisa tidur bila ayam sudah mulai berkokok. Di mana orang-orang mulai bangun tidur. Hal itulah yang membuatku selalu tidak bisa menikmati matahari terbit. Dan mungkin itulah aku begitu menyukai senja.”

“Senja? Kamu suka senja, kenapa?”

Tiba-tiba Sally taklagi membalas pesanku. Padahal ini baru pukul 23.00. Apakah pertanyaanku ada yang salah? Sehingga ia tidak lagi membalasnya. Semakin aku berusaha tenang, selalu muncul pertanyaan dalam pikiranku. Aku seperti merasa takut sendiri. Ah, perasaan semacam apa ini?

Hening. Mencekam.

Malam sudah tidak lagi menjadi waktu yang paling aman untuk berlindung. Malam seoalah memburuku, menjadikan seorang pencuri yang dikejar-kejar puluhan orang karena dituduh pencuri. Aku semakin gelisah. Aku coba membaca, menonton film, membuka file-file kerjaan, tapi nihil. Pikiranku semakin melantur, sebab sekarang permasalahan kecil bisa menjadi sesuatu yang besar sejak perdebatan kita tentang hobinya naik gunung yang tidak kusukai itu.

Aku mencoba tidur. Namun sudah berjam-jam tapi mata ini tidak segera terpejam. Terlalu banyak pikiran yang berkelindan. Oh Tuhan beritahu padaku kalau semuanya baik-baiknya. Aku menutup wajahku dengan kedua tangan. Ya Tuhan ampuni hambamu.

Aku seperti orang linglung.

Tok…tok…tok….

“Nugie, sudah siang Nak. Kamu tidak berangkat kerja?”

Aku tersadar, “Iya Bu. Sebentar.”

Aku berkemas. Lalu segera bergabung di meja makan.

“Kamu nampak lelah sekali Nak. Kurang tidur?”

Aku hanya tersenyum, tidak menjawab pertanyaan ibu. Ibu mengambilkan aku nasi dan telor mata sapi setengah matang kesukaanku. Ah, ibu apakah aku nampak seperti seorang yang sudah benar-benar tidak berdaya? Namun aku tidak memiliki selera makan. Kunyahan demi kunyahan seolah tidak lagi terasa nikmat. Sampai aku akhirnya benar-benar harus meninggalkannya sebelum makanan di piring itu benar-benar habis.

“Kok tidak dihabiskan?”

“Sedang tidak selera makan Bu. Biar nanti sarapan di kantor saja. Nugie berangkat dulu.”

Sesampai di kantor. Aku langsung menuju dapur. Menemui Pak Tarman.

“Pak, nanti tolong siapkan susu dan roti, jangan lupa kopi. Aku tadi belum sarapan.”

“Kok pucat sekali. Ada apalagi? Bertengkar?”

Ah, kenapa Pak Tarman selalu saja bisa tahu apa yang sedang aku rasakan. Setiap kali aku menyembunyikan masalah, selalu saja Pak Tarman bisa tahu.

“Entahlah Pak, akhir-akhir ini kita sering bertengkar.”

“Biasalah, memang itu seninya. Kalau semua baik-baik saja, tentu suatu hubungan akan terasa landai.”

“Tapi ini lain Pak. Hari-hari kami tidak lagi ada lagi canda, tawa, bahkan ucapan selamat pagi.”

“Makanya, makanan di rumah sudah tidak terasa nikmat. Rupanya tidak mendapatkan ucapan selamat pagi dari pujaan hati.”

“Ah, Pak Tarman, tapi saya serius Pak. Saya benar-benar pusing, lelah, ingin mengakhiri semuanya. Namun aku masih begitu sayang kepadanya. Apalagi kita sudah menentukan kalau akhir tahun ini kita akan menikah.”

“Itulah salah satu godaannya. Setiap seseorang akan menikah, akan begitu banyak godaan. Jika memang bisa melalui, berarti itulah jodoh. Namun jika cobaan itu menjadikan semuanya berubah, berarti Tuhan sudah menyiapkan yang terbaik.”

“Apakah itu berarti kita tidak berjodoh?”

“Memang ada apa sebenarnya?”

Aku akhirnya menceritakan dari awal kepada Pak Tarman. Semuanya, tentang rencana sebelum menikah, mahar, dan nanti mau tinggal di mana setelah menikah. Sampai kenapa akhir-akhir ini kita sering bertengkar.

“Iya, memang seperti itu. Kita hidup bermasyarakat dan tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Keputusanmu itu benar. Namun baginya itu tidak adil, sepihak. Sehingga kalian terus bertengkar. Namun pesan Bapak, pertahankanlah seorang perempuan yang bisa dibina, dibimbing, dan penurut.”

Tiba-tiba airmataku menetes mendengar omongan Pak Tarman.

“Sudah, hapus airmatamu. Nanti apa kata orang-orang kalau melihatmu menangis. Seorang lelaki, harus pandai menyembunyikan airmatanya.” sembari menyodorkan susu dan sepiring roti tawar.

Aku tidak langsung memakannya, aku beranjak. Pak Tarman pun tidak berbicara apapun melihat aku meninggalkannya.

“Lah, begitu kan nampak lebih segar.” ucap Pak Tarman setelah aku mencuci muka.

Aku hanya menjawab dengan senyuman. Lalu kusambar roti tawar yang sudah dilapisi selai coklat yang sedari tadi di meja. Melihatku sudah sedikit tenang, Pak Tarman akhirnya meninggalkanku untuk mengantarkan minuman kepada yang lainnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status