Share

Puncak, di Sanalah Semua Bermula

Cobalah sesekali, dari atas kamu akan melihat betapa besarnya keagungan Tuhan.

Aku benar-benar tidak tahu bagaimana membedakan ajakan atau suruhan. Namun aku tetap tidak ingin dan pasti tidak mau. Walau itu Sally yang memaksa. Mungkin aku seseorang yang keras. Entah kerasnya seperti apa, kadang aku juga tidak mampu mendefinisikannya dengan baik. Sebab kadang aku menjadi lembut melebihi sutra. Aku bisa tahu yang tidak diketahui orang. Indra keenam. Entahlah, aku tidak pernah merisaukan itu. Namun kenyataannya aku aneh. Aku menyukai yang tidak disukai orang. Aku suka dengan buku-buku dan tenggelam di dalamnya. Kadang aku berbicara sendiri, kata mereka. Tidak denganku, sebab aku sedang dialog dengan sesuatu yang tidak pernah bisa diajak orang dialog. Hingga orang-orang berbondong-bondong datang untuk menonton dan menyebutnya monolog. Sebenarnya yang aneh siapa? Mereka yang menonton orang aneh atau aku?

Bukan berarti aku tidak percaya atau tidak menyukai pilihannya. Sebab ketika kita sudah memilih, kita pasti tidak membiarkan orang ikut mencampuri bahkan berkata tentang pilihan kita. Namun aku sudah memilih untuk tidak akan mengikuti pilihanmu. Jika kaubilang aku tidak pernah, aku pernah mendaki walaupun bukan gunung tinggi seperti yang pernah kaudaki. Dan saat itu, aku juga merasakan seperti yang kaurasakan Sal. Tapi aku enggan mengulang lagi, lagi, dan lagi, seperti kamu yang selalu menyempatkan libur kerjamu.

“Aku tidak memaksamu, tapi setidaknya kamu bisa mengerti pilihanku.”

“Silakan, itu pilihanmu. Aku menghargai pilihanmu Sal.”

“Terus kenapa kamu selalu memperdepatkannya.”

“Entah aku merasa cemburu atau merasa benar-benar ingin memiliki waktu bersamamu di saat malam yang dingin. Atau ada yang lain.”

“Itu bukan jawaban Nugie.”

“Aku memang tidak menjawab dan mungkin tidak perlu menjawab. Pada saatnya nanti, kita akan tahu mana yang harus kita lakukan dan mana yang harus kita tinggalkan.”

“Aku punya seorang teman. Sudah menikah dan selalu mengijinkan istrinya mendaki. Dan tidak pernah mempermasalahkan.”

“Dan aku bukan temanmu.”

Lalu kita benar-benar terdiam. Tiada kata yang harus dibicarakan lagi. Kami merasa diam adalah cara terbaik. Lalu kami hanya berdialog dengan kopi yang terlanjur kita pesan. Terlalu banyak. Satu teko besar. Waktu itu kami sedang jalan-jalan ke Surabaya. Mampir di sebuah Coffe Shop. Aku suka tempatnya. Bangunan tua, lampu temaram, dan juga suasananya yang nyaman.

“Aku ajak temanku kemari ya Sal? Aku tidak mungkin menghabiskan kopi satu teko ini sendiri.”

“Ya.”

Lalu aku menghubungi teman. Tidak aktif. Aku mencoba menghubungi nomor yang satunya, nyambung. Ia tanya alamat. Dan bilang akan segera datang.

Kembali sepi. Tiada cakap.

Beberapa menit setelahnya, temanku datang. Bersama pasangan. Aku sempat kaget, sebab sedari kenal hingga sekarang baru kali ini aku mendapatinya bersama seorang perempuan. Lalu kita saling berkenalan. Ngobrol ini dan itu, hingga waktu harus memisahkan.

Kami pulang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status