Share

Mahar, Perbincangan yang Melantur

Pertemuan dengan Sally di Lilo benar-benar membuat hidupku berubah. Aku ingin segera bisa mewujudkan mimpi itu bersama. Menikah dan memiliki sebuah café. Ah, rasanya aku ingin menceritakan ini semua kepada sahabatku. Aku ingin mendengar bagaimana pendapatnya.

Aku berusaha mengirim pesan kepada Alex.

“Sedang di mana? Nongkrong yuk.”

“Wih, tumben amat orang yang sok sibuk sekarang ngajak nongkrong?”

“Ah, kamu selalu saja menyindirku. Sudahlah, terserah apa katamu. Pokoknya aku ingin ketemu kamu. Aku ingin banyak bercerita kepadamu.”

“Wah, mau cerita apa ini?”

“Ada deh. Nanti aku ceritakan.”

“Siap, tapi ditraktir ya?”

“Oke. Ketemu di Monami ya.”

“86, Ndan.”

“Oke, ketemu di sana ya. Aku sekarang meluncur.”

Ketika sampai di Monami aku berusaha mencari Alex, mungkin ia sudah datang terlebih dahulu. Namun setelah aku cari, tidak kutemukan. Aku langsung memesan kopi sambil menunggu dia datang.

“Sudah sampai di rumah?” sebuah pesan singkat kukirim kepada Sally.

“Sudah baru saja. Kamu sedang apa?”

“Ini sedang menunggu Alex. Kita janjian ketemu di Monami.”

“Berarti dari Lilo tadi tidak langsung pulang?”

“Iya, mau ketemu dengan Alex. Lama aku tidak ngobrol dengan dia. Entah tiba-tiba aku pengen ngajak dia nongkrong.”

“Oke, salam ke Alex ya.”

“Siap.”

Ketika aku sedang asik SMS-an dengan Sally, tiba-tiba saja Alex mengagetkanku.

“Sory, lama. Tadi harus nganter ibu dulu ke penjahit.”

“Santai saja. Aku baru saja pesan kopi, belum jadi juga kok.”

“Owalah, aku kira sudah lama. Oh iya, aku sudah dipesankan?”

“Belum Lex, tadi mau aku pesankan kopi, tapi takutnya nanti tidak sesuai selera. Jadi aku biarkan saja nunggu kamu.”

Lalu Alex melambaikan tangan kepada pramusaji. Memesan kopi.

“Oh iya, ada apa ini? Kok tumben amat ngajak nongkrong. Biasanya saja kerja.”

“Yah, sesekali otak juga butuh disegarkan to?”

“Ah, kamu ini paling jago kalau mencari alasan.”

Kita memang sudah lama berteman, sehingga kita sudah sama tahu kebiasaan masing-masing. Aku mengenalnya sejak SMA. Dan dia temanku SMA yang sampai sekarang masih terus nyambung. Mungkin karena kita belum menikah, tapi aku berharap walau kita nanti sudah menikah masih terus bareng.

“Bagaimana kerjaanmu?”

“Biasa Gie, lancar. Pesanan mulai banyak. Yah, rasanya aku mulai menikmati pekerjaan online ini. Bisa lebih santai dan tidak terikat. Jadi bos untuk diri sendiri.”

“Wah, keren dong.”

“Aku kemarin juga membuatkan website jual-beli. Biar media promosinya tidak kenal lelah. Hehehehe”

“Wah, aku bisa update jam tangan terbaru dong.”

“Ah, bisa saja kau ini.”

Di saat sedang asik ngobrol, pramusaji datang membawa pesanan kita.

“Mbak tambah kentang goreng ya? Kamu tidak pesan Gie?”

“Oh tidak, aku sudah kenyang.”

“Oke, Mbak. Tambah kentang goreng satu ya.”

Pramusaji itu langsung beralih setelah mencatat pesanan Alex. Kemudian langsung pergi meninggalkan kami.

“Dapat salam dari Sally.”

“Sally siapa?”

“Itu cewek yang ketemu waktu kita nonton teater. Pas pulangnya nganter aku pulang.”

“Weh cepet sekali kau. Dasar.”

Aku hanya senyam-senyum sendiri mendengar perkataan Alex. Lalu aku menjelaskan tentang pertemuan kita. Bagaimana kedekatan kita saat ini. Namun Alex kurang setuju kalau aku menjalin hubungan dengan Sally. Katanya kurang suka saja dengan perangai Sally.

“Kamu pasti tidak suka dengan tatapan matanya dan juga sikap sinisnya itu ya? Aku sudah menduga. Namun aku akan membuktikan kalau Sally tidak seperti itu apa yang kamu duga Lex.”

“Apa tidak ada cewek lain selain dia? Kenapa sih setelah lama kamu menjomblo tiba-tiba dia kaupilih sebagai orang untuk melabuhkan hatimu. Aku kurang suka Nugie. Entah firasatku kurang baik ketika melihat dia. Aku tidak suka.”

“Kau jangan menilai orang secara instan Lex. Jika kau berpikiran seperti itu, percuma saja kauselama ini berteman denganku jika masih saja punya pemikiran yang kolot.” Aku diam sesaat, menyalakan rokok. “Aku paling tidak suka melihat orang yang punya pikiran instan. Belum tahu secara detail tapi sudah menilai kalau seseorang itu begini dan begitu.”

“Bukan seperti itu maksudku Nugie.”

“Ah, kausama saja dengan mereka yang kurang menghargai sebuah proses. Kautahu Lex, proses itu penting. Coba bayangkan, orang-orang yang suka dengan segala sesuatu yang berbau instan. Mereka cenderung lembek, memilih praktis tanpa harus bersusah-susah. Memang, kalau dari segi efisiensinya cukup memperpendek proses. Mau mie, tinggal merebus, tak usah meracik bumbu dan merasakan perih saat menghaluskan bumbu. Tapi kautahu efeknya pada sikap dan karakter?” Aku memandang Alex sejenak, ia menggegeleng, “begini Lex, orang yang seperti itu tidak bisa mendapatkan karakter kuat. Kita lihat saja, orang-orang di jaman nenek atau kakek kita, terus bandingkan dengan di jaman kita!” Lanjutku.

“Em, iya…iya…benar juga katamu sih. Tapi, aku kurang sreg saja melihat Sally.”

“Begini Lex, sebenarnya untuk itulah aku ingin bertemu denganmu. Aku ingin ngobrol banyak tentang dia kepadamu.”

Tiba-tiba saja pramusaji datang membawa kentang goreng. Alex basa-basi dengan pramusaji, naluriahnya langsung tergerak untuk menggoda. Sebab pramusaji ini lebih gres daripada yang tadi saat kita pesan minuman dan makanan. Pramusaji itu nampak terpesona mendengar perkataan-perkataan Alex.

“Ah, dasar kamu ini Lex, tetap saja dari dulu.” Gerutuku dalam hati.

Aku membiarkan dia terus menggoda pramusaji itu. Aku memilih mencari aktivitas lain. Melihat orang-orang yang malam ini berkunjung. Meja tepat di depanku, ada segerombolan pemuda. Di depannya, ada dua orang sedang menghadap laptop. Sedangkan di sebelah kirinya, ada sepasang muda-mudi sedang bercakap mesrah. Saling memandang, terlihat mencakapkan sesuatu dari hati ke hati. Ah, jadi iri aku.

“Woi, sedang melihat apa.”

“Ah, kau mengganggu orang sedang asik melihat orang sedang kasmaran saja.”

“Oh, aku dicuekin ini ceritanya.”

“Ah, siapa yang cuek hayo? Kamu tadi yang cuek terlebih dahulu, aku sedang serius cerita kamu malah menggoda pramusaji.”

“hehehehe…maaf, maaf. Oh iya, tadi sampai di mana?”

“Entah, sudah lupa aku.”

“Ah, begitu saja ngambek. Iya, iya, tadi sampai…” sambil garuk-garuk, “oh iya tadi kamu mau cerita tentang Sally.”

“Oh, iya. Begini Lex, sejak pertemuan kita malam itu. Aku sudah jatuh cinta pada pandangan pertama.”

“Apa? Jatuh cinta pada pandangan pertama? Kamu masih percaya dengan mitos jatuh cinta pada pandangan pertama. Ini sudah 2014 Nugie, tapi kamu masih percaya dengan itu?”

“Apa salahnya dengan jatuh cinta pada pandangan pertama? Cinta itu soal hati Lex. Soal kenyamanan. Dan aku merasa nyaman dengan Sally, lalu apa masalahnya?”

Alex tiba-tiba diam, tidak membantah lagi karena melihat aku mulai serius. Ia memandangku lebih cermat dan seolah ingin tahu lebih banyak.

“Lalu, apa yang akan kaulakukan?”

Aku menghembuskan nafas, lama aku terdiam. Tidak segera kujawab pertanyaan Alex. Aku memain-mainkan korek api. Kuputar-putar. Lalu kuambil sebatang rokok, kunyalakan.

“Aku benar-benar merasa nyaman ketika pertama ngobrol dengan dia. Padahal malam itu, hatiku sedang bergemuruh karena April bersama cowoknya di tempat dulu kita memandang langit malam. Kala itu, aku pernah mengajak April ke Payung, arah Batu. Aku masih ingat betul kejadian itu. Aku menjemputnya selepas Magrib. Lalu ia kuajak ke Payung. Aku menyusuri jalanan Kota Malang, sampai menembus dinginnya Batu, tapi aku tidak merasakan dingin sama sekali. Sebab ia melingkarkan tangannya di tubuhku dan menyandarkan kepalanya di pundakku.” aku terdiam, rasanya airmataku ingin meleleh mengenang itu semua. “Dan waktu itu, tiba-tiba ia sms aku berada di sana. Kaupasti bisa membayangkan bagaimana perasaanku? Aku benar-benar seperti orang lumpuh, lunglai, tidak ada energi walau hanya sekadar berdiri tegak. Namun di saat seperti itu, tiba-tiba Nana datang mengenalkan Sally. Saat aku memegang tangan Sally, rasanya aku punya kekuatan baru. Apalagi tatapan matanya, mampu membunuh kenanganku dengan April.”

Alex memandangku begitu serius.

“Dan bagiku Lex, seorang perempuan yang datang untuk mengobati luka seorang lelaki di masa lalunya. Maka perempuan itu berhak dicintai melebihi masa lalunya. Itulah Lex, aku tidak peduli. Aku telah memutuskan ingin menyerahkan hatiku pada Sally.”

“Tapi aku kurang suka dengan perangai Sally Nugie.”

“Pada awalnya, aku juga memiliki pandangan sepertimu. Namun karena keyakinanku itu, aku harus mencintainya melebihi April.”

“Semoga pilihanmu tidak salah.”

Aku hisap rokokku dalam-dalam, lalu memandang Alex. “Aku pasti bisa membuktikan kepadamu.” Lalu kami pun segera bergegas, karena malam sudah semakin larut.

Sesampai di rumah, aku menyempatkan berkirim kabar kepada Sally.

“Aku baru nyampek rumah, kamu sedang apa?”

“Sedang baca buku saja.”

“Wah, sedang baca buku apa ini?”

“Biasa membaca novel.”

“Oke, selamat membaca. Aku istirahat dulu.”

Have nice dream.

Waw, hatiku tiba-tiba melayang dapat ucapan yang manis sebelum tidur. Pikiranku jadi melantur. Aku membayangkan wajah Sally.

“Ah, kenapa aku tidak meminta foto? Kalau aku punya fotonya pasti akan kupandangi sebelum tidur.” gerutuku dalam hati.

Aku teringat kalau dulu pernah memotret Sally bareng dengan motor adiknya. Aku segera menyalakan laptop. Dug. Tiba-tiba jantungku berdetak lebih kencang setelah kutemukan fotonya. Ah, Sally sekali lagi kau membuatku benar-benar linglung. Sampai kapan kamu mau bertahan dengan perasaanmu yang tidak jelas itu? Aku yakin suatu ketika pasti bisa meruntuhkan tembok itu.

*

Hari-hariku banyak berubah semenjak kenal dengan Sally. Aku merasakan kembali menemukan duniaku yang dulu hilang. Semua telah berubah. Aku menemukan hidupku yang baru, apalagi saat ini semakin hari hubunganku dengan Sally semakin dekat. Meskipun dalam hati selalu saja ada yang mengganjal, namun aku selalu berusaha untuk menepiskannya.

Semuanya menjadi bergerak begitu cepat.

Itu semua berawal dari semua percakapan yang melantur.

Entah saat itu kami sedang membicarakan apa, tiba-tiba kita tercekat dan tidak bisa bercakap apapun.

“Jangan terlalu gegabah. Aku akan selalu ada di belakangmu dan doaku selalu untukmu. Bersabarlah.”

“Terimakasih Sal, entah dengan cara apa aku harus membalasnya.”

“Tak usah kaurisaukan itu. Aku memang diciptakan untukmu. Aku tidak meminta apapun. Aku hanya ingin namaku tertera di halaman buku yang kautulis. Ya, itu saja. Dan kita akan memulai dari sana.”

“Itu sajakah mahar yang kaupinta?”

“Ada lagi.”

Hening.

Jantungku berdetak lebih kencang. Aku memandang matanya yang begitu tajam.

“Aku ingin buku itu nanti diterbitkan penerbit Jogja atau Jakarta.”

 Aku menghembuskan nafas.

 Mataku terpejam, “Oke.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status