"Oh Mbak Kania, ada apa?" Mataku melebar, secepat kilat kurebut ponsel itu dari tangan Ranti."Abaaang apa sih?" tanyanya kesal.Cepat kumatikan sambungan telepon."Maaf sayang.""Maaf maaf, itu Mbak Ranti yang telepon, ada apa dia telepon ke nomor Abang? Jadi penasaran kan gara-gara Abang rebut gitu aja hape nya." Ranti merajuk.Aku menarik napas dalam dan menyiapkan diri untuk bicara."Udahlah gak penting, palingan dia mau curhat masalah Ibu," balasku beralasan.Ranti menjebik lalu kembali pergi ke atas kasur.Ufhh untunglah Ranti percaya padaku, kalau enggak bisa-bisa aku mati tercekik karena belum menyiapkan segala alasannya.Tapi sampai kapan? Sampai kapan aku akan hidup dalam ketakutan begini?Kutengok Ranti lagi, setelah aku berpikir agak lama mungkin sekarang adalah waktu yang tepat untuk memberitahu Ranti soal ini.Bergegas aku duduk di bibir ranjang sebelahnya."Ran ....""Hm apa, Bang?" Ranti yang masih sibuk dengan ponselnya hanya menjawab seadanya.Aku menarik napas dal
Ranti memicingkan mata, tampak rahang-rahangnya mengerat hebat dengan jari-jari mengepal kuat."Jangan Ran, jangan percaya sama si ular ini, dia bedebah!" semburku akhirnya saat Ranti sedang menatap serius wanita itu."Silakan kau katakan apa pun tentang Mbak, Rid, tapi nyatanya kamu sudah menanam benih di sini," tunjuk Mbak Kania pada perutnya."Enggak! Aku gak pernah merasa melakukan apa-apa, kau yang jebak aku, kau yang-""Baik," sambung Ranti.Aku menoleh dengan tatapan cemas."Baik? Apa ini sayang? Abang-""Kalau Mbak Kania mau dinikahi oleh suamiku, Mbak Kania harus bisa membuktikan apa yang Mbak Kania bicarakan itu.""Ini, kamu lihat foto ini Ranti."Si ular lalu menyodorkan ponselnya pada istriku."Sayang jangan percaya, dia ini ular, ular berkepala manusia.""Oke, jadi berhubung Mbak Kania punya bukti aku izinkan suamiku menikahimu tapi dengan syarat.""Ranti." Aku menolak keberatan, tapi entah kenapa istriku terus saja bicara seolah tak mendengarkan ucapanku lagi."Syarat? S
"Tos."Plak. Kedua telapak tangan kita beradu, pasangan kompak dilawan.Selesai memastikan Mbak Kania pergi kini giliran menjelaskan semuanya sama Ayah dan Bunda.Ranti mengajakku ke kamar mereka."Mau ngapain lagi kamu bawa suamimu yang gak tahu terimakasih ini kemari Ranti?" Ayah langsung mencecar tanpa ampun."Begini Ayah, Ranti mau bicara sesuatu, tadi Ayah salah paham.""Salah paham?"Ranti pun mulai bercerita di depan Ayah dan Bunda, meski sekilas kutangkap rasa ragu di wajah mereka apakah cerita yang mereka dengar nyata adanya atau tidak tapi seenggaknya aku merasa lega karena Ranti sudah menjelaskan semua kejadian yang sebenarnya.-"Apa ceritamu ini bisa Ayah percaya? Kamu jangan terlalu mudah dikadalin sama laki-laki Ranti." Ayah memastikan lagi dengan tatapan menelisik.Ranti mengangguk lalu menatap wajah Ayah dengan yakin."Ranti yakin dan Ranti percaya sama Bang Ridho," ucapnya membuat sudut mata ini basah.Entahlah aku harus bersyukur dengan cara apalagi, punya pasangan
Wajah si Suci berubah masam. Cian deh rencananya meras kita gagal lagi. Tawaku dalam hati."Percuma ya ternyata undang kalian ke sini, bukannya uang Suci keganti malah Suci diintrogasi gak jelas begini," katanya lagi.Lagi-lagi aku tertawa puas dalam hati."Ya makanya kamu tuh kalau mau minta sesuatu itu dipikir dulu lah Suci, bukannya kami gak mau bayar rumah sakit ibu tapi kami juga butuh bukti, siapa yang tahu kalau kamu juga bohong kayak ibu," sahutku lagi."Bener," kata Mas Haris."Dah lah susah ngomong sama kalian, dah sama bubar semuanya bubar." Si Suci marah-marah lalu membanting pintu ke kamarnya.Alisku terangkat."Buang-buang waktu aja, tahu gitu meningan tidur di rumah," dengus Mas Haris.Ia lalu bangkit keluar."Mas, jadi ke rumah enggak? Jemput Mbak Kania." Ranti berteriak."Ya entar Mas ke rumah," ketusnya seraya menyalakan motor lalu pergi."Kenapa sih tuh orang? Kusut banget mukanya," tanyaku."Mungkin lagi pusing karena bininya mau kawin lagi sama adeknya haha." Ran
Kami semua bangkit dari kursi makan saat mendengar suara ribut-ribut di depan."Kamu belum makan, Mas? Ya urus aja sendiri perutmu itu, aku juga udah males sama kamu," sengit Mbak Kania."Kaniaaa."Plakk. Tamparan keras mendarat di pipi Mbak Kania.Sontak Mbak Kania memegangi pipinya yang memerah."Berani kamu, Mas?""Berhentiiiii!" Ayah teriak."Pergi kalian dari sini, siang-siang bikin ricuh di rumah orang."Tanpa bicara lagi Mas Haris menarik paksa istrinya pergi.***Sebulan berlalu.[Mbak Kania keluar]Kulihat tulisan notifikasi di grup keluarga."Kenapa nih si ular keluar grup?" Aku bertanya sendiri.Ranti yang mendengar langsung menyahut, "tahu deh penggemarmu masa gak tahu haha.""Isshh."Baru saja kutekan nomor Suci, anak itu sudah memanggil lebih dulu."Hallo.""Kak Ridho, kirim uang buat ibu," kecutnya tanpa basa-basi."Uang buat apa? Kakak 'kan udah kirim minggu kemarin Suci.""Kurang, sekarang anggota rumah makin banyak, biaya makan juga makin gede," jawab Suci tak acuh.
Setelah 30 menit proses pemadaman pun selesai. Untunglah kebakaran di rumah ibu tak sampai meluas ke rumah tetangga meski rumah ibu hampir semuanya terbakar."Bawa aja bawa langsung ke rumah sakit," seru para petugas yang telah berhasil mengevakuasi Mas Haris.Aku segera bangkit menyiapkan mobilku.Tak butuh waktu lama mobilpun segera melaju membawa Mas Haris yang telah terlihat lemah di pangkuan ibu."Riiiiss Hariiiiiss bangun, Nak, ini Ibu," isak Ibu di jok belakang.Kulihat wajah Mas Haris dari spion, tampak sudah pucat dengan beberapa bagian luka bakar di sekujur tubuhnya.Sementara Suci dan Ranti tak ada yang bicara, mereka diam dengan raut cemas dan sama tegangnya.Entah kebakaran itu hanya sebuah kecelakaan atau memang ada yang menyengaja, aku juga tidak tahu persis, tapi yang jelas semuanya perlu diselidiki.Sampai ke rumah sakit dalam waktu 20 menit saja, Mas Haris segera didorong ke ruang Unit Gawat Darurat untuk segera ditangani."Ini pasti perbuatan Mbak Kania." Suci mulai
"Permisi Pak, ada costumer yang ingin melihat model perhiasan terbaru di depan, mau saya yang bawakan atau Bapak?" Seorang karyawan datang ke ruangan kami.Ranti menyahut."Oh ya sini Nur, dia mau lihat apa? Gelang kalung atau cincin?" tanya Ranti."Kalung dan gelang, Bu.""Kamu aja yang bawa ke sana ya, Bapak lagi ada tamu."Ranti lalu mengambil dua kotak perhiasan yang masih dalam plastiknya, sontak hal itu membuat mulut ibu menganga tak percaya."Nah kamu coba kasih lihat yang ini, ini keluaran paling terbaru." Ranti memberikan 2 sampel gelang dan kalung pada Nur.Setelah Nur pergi ibu kembali bicara."Itu emas semua Ran?""Bukan, ini tali karet," jawab Ranti tak acuh.Ibu menjebik sambil menelan ludah."Maafin Ibu lah Ran kalau Ibu punya salah, kamu kecut banget jawabnya heran.""Hmm."Ibu lagi-lagi menjebik, lelah dengan sikap Ranti yang tak mudah dirayunya, beliau lalu bangkit dan berlalu ke depan. Aku segera mengekor takutnya ibu melakukan hal yang aneh-aneh.Dan benar saja, bu
POV Bu Savitri (ibu mertua)--"Dasar tukang halu, miskin aja sombongnya minta ampun, palingan itu yang anter majikannya, mana ada anaknya kaya raya masa ibunya tinggal di kontrakan hahaha," bisik para tetangga kontrakan rempong yang kebetulan lewat saat aku turun dari mobil Ridho.Hatiku memanas, ingin rasanya aku kembali mencela dan ribut dengan mereka, tapi aku harus tahan, tahaaan karena di pekaranganku masih ada Ranti dan Ridho.Pasalnya mereka itu paling tidak suka dengan sikapku yang urakan, huhh baru saja susah payah tadi meminta maaf sama si Ranti, bisa-bisa anak itu bakal tetep gak percaya padaku kalau aku ribut di depannya."Kami pulang, Bu." Suara Ridho yang pamit permisi diiringi dengan suara klakson mobilnya membuatku sedikit terkejut.Segera aku melambaikan tangan dan dadah-dadah ke arah mereka.Cih, kalau bukan karena sekarang mereka udah kaya raya gak bakal aku mau bersikap manis begini. Gengsiiii.Apalagi si Ranti belagunya keterlaluan, nyebelin banget dia mentang-m