"Loh ya gak bisa gitu dong Rid, kasihan Ibu nanti pemasukannya kurang kalau kamu gak transfer," sahut Mas Haris keberatan.
"Pemasukan untuk apa sih sebetulnya? Uang dari Ridho kan untuk biaya perawatan Bapak, uang dari Mas Haris anggaplah untuk hidup sehari-hari dan uang dari Suci buat pengobatan Bapak, apa itu masih kurang juga?" Aku mencecar menjelaskan satu persatu sumber dan kemana sekiranya uang itu pergi.Biarlah ibu tak suka dan biarlah aku dianggap anak perhitungan.Selama ini aku hanya manut apa kata ibu, dimintai setengah gaji, istriku disuruh kerjakan tugas rumah dan bahkan ibu pernah bilang padaku seperti apa yang beliau katakan pada Mas Haris saat tadi di belakang.Katanya meski aku sudah menikah, kewajibanku tetap menomor satukan ibu, barulah setelah itu istriku.Aku ingat saat ibu maksa minta dibelikan baju setelah aku ketahuan membelikan Ranti baju dari mall. Dan yang membuatku tak habis pikir ibu minta baju yang harganya jauh di atas harga baju Ranti.Padahal saat itu aku membelikan baju tersebut karena modelnya seperti pas dipakai istriku, tapi rupanya ibu salah memahami.Entahlah ibuku itu memang seperti tak rela dan sangat cemburu saat melihat anak laki-lakinya hidup bahagia bersama sang istri.Tapi sayangnya aku tak seperti Mas Haris, 5 tahun ia menikah, 5 tahun juga rumah tangganya diatur ibu.Selama 2 bulan aku juga menuruti apa kata ibu. Tapi seperti yang sudah kubilang, itu bukan karena setuju padanya melainkan karena Ranti tak mau hubungannya dengan ibu yang baru saja terjalin jadi berantakan.Tapi lama-lama aku kasihan juga, masa iya istriku harus selalu di nomor sekiankan? Sementara permintaan ibuku tak pernah ada habisnya."Adikmu ini memang keras kepala Ris, tak sayang lagi dia sama Ibu yang sudah tua ini."Ibu tiba-tiba terisak, namun entah kenapa aku justru melihatnya itu bukanlah sebuah tangisan. Melainkan hanya sandiwara yang dibuat-buat.Walau bagaimanapun aku tahu sifat asli ibuku. Beliau pun pernah berpura-pura menangis hanya demi mendapatkan empati Mas Haris ketika Mas Haris baru saja menikah.Dan bukan tak mungkin jika sekarang beliau mekakukan itu juga padaku.Agar apa? Tentunya agar aku tersentuh lalu kembali menjadi anak lelakinya yang nurut dan patuh seperti anak kecil."Udah Bu, gak usah nangis, biar nanti gaji Haris, Haris kasih semua buat Ibu," kata Mas Haris."Enggak!" sembur Mbak Kania kemudian.Kami semua menoleh ke arahnya."Apa-apaan ini, Mas? Enak saja kau putuskan segala sesuatu tanpa diskusi denganku," imbuhnya lagi."Bukan gitu Kan ... tap-"Mbak Kania pergi bahkan sebelum Mas Haris melanjutkan ucapannya.Aku tersenyum miring.Tak heran jika Mbak Kania begitu. Walau ia punya gaji sendiri, walau sebanyak apapun uang nya namun sebagai seorang istri ia jelas ingin dimengerti dan diberikan wewenang soal keuangan suaminya.Makanya aku banyak belajar dari rumah tangga mas Haris, bahwa terlalu menuruti apa kata ibu juga tidak baik untuk kesehatan rumah tangga."Ibu sedih sekali kalau kalian begini, kenapa sih istri-istri kalian itu tak ada yang mau memahami Ibu?" Ibu bicara lagi dengan raut sedih yang semakin dibuat-buat."Terus mau Ibu gimana?" tanyaku akhirnya karena sudah malas melihat sandiwara beliau yang seakan-akan sangat tersakiti."Tolong ya Rid, tinggal lah di sini lagi dan uang gajian kalian tetap untuk Ibu sebagian." ucap Ibu menatapku dan Mas Haris satu persatu.Aku mengerling sambil menarik napas berat. Tentu saja aku tak bisa menuruti permintaan ibu, permintaan macam apa ini?"Oke Haris setuju, Ibu tenang aja ya." sahut Mas Haris.Alisku menaut. Mas Haris setuju? Tapi bagaimana dengan istrinya? Jelas-jelas tadi Mbak Kania marah dan keberatan karena keuangannya dikuasi ibu.Aku saja yang istrinya gak pernah marah dan gak pernah permasalahkan soal ini, merasa kasihan padanya dan dzolim sekali jika aku bersikap seperti Mas Haris."Bagus Nak, kamu memang anak Ibu," ucap Ibu pada Mas Haris."Dan kamu Ridho, bagaimana? Apa kamu gak kasihan sama Ibu?""Bu ...," ucapku akhirnya sambil menatap wajah Ibu serius."Kalau soal tinggal lagi di sini Ridho gak bisa, Ridho tetap ingin hidup mandiri. Dan kalau soal uang Ridho 'kan udah bilang, Bapak jadi tanggung jawab Ridho tapi Ridho gak akan lagi transfer setengah gaji Ridho. Ridho hanya akan transfer untuk tambah-tambah makan Ibu," lanjutku.Ibu yang tengah bermuka sendu akhirnya bangkit."Kamu memang anak keras kepala Ridho! Susah diatur, lebih nurut sama si Ranti anak orang kampung ini daripada nurut sama Ibumu sendiri!" sentak beliau bertelunjuk jari ke arah Ranti.Untunglah istriku yang berpembawaan tenang itu sangat mampu menguasai diri. Ia bahkan sejak tadi hanya duduk tenang menyaksikan obrolan kami dengan santainya.Entah bagaimana jika Ranti seperti istrinya mas Haris, mungkin rumah ini sudah bagai tempat konser sejak dulu."Bukan gitu Bu, tapi sekarang kan Ridho udah nikah, jadi istri Ridho pun harus Ridho perhatikan juga.""Halah alesan. Sudah sana kalian pergi! Percuma saja Ibu panggil kalian ke sini, buang-buang waktu," ucapnya.Akhirnya aku pun membawa Ranti kembali pulang.***Seminggu kemudian.Kami mendapat kabar Bapak berpulang."Ya Allah Bapak, kenapa secepat ini pergi." Aku terisak di dekat jenazah beliau.Tampak ibu dan semua sodaraku menatap kami kecut.Selesai pemakaman kami langsung melanjutkan diskusi untuk masalah tahlilan."Tahlilan Bapak akan diadakan 7 malam. Ibu harap kalian paham bahwa tahlilan ini akan butuh banyak biaya." Ibu mulai bicara."Ibu minta kalian siapkan biaya per orang 5 juta. Suci, Haris, Kania, Ridho dan juga Ranti, semuanya rata, sumbang 5 juta dalam waktu 7 hari ini, karena uangnya akan Ibu belikan berbagai macam kebutuhan tahlilan," imbuh beliau lagi.Aku menarik napas berat."5 juta perorang? Apa Ibu gak salah?" tanyaku akhrinya.Tentu saja aku kaget plus bingung, jika per orang harus sumbang 5 juta, itu artinya aku dan Ranti jadi 10 juta. Dan kami harus sumbang dalam waktu 7 hari ini?Masalahnya dari mana aku dapat uang sebanyak itu? Gajiku saja bahkan gak sampe 5 juta per bulannya.Mbak Kania dan Mas Haris mungkin bisa karena mereka sama-sama punya gaji, sementara aku dan Ranti?"Iya, kenapa? Jangan bilang ya kamu keberatan lagi, ini tahlilan Bapak loh," sahut Ibu, mencecar tajam ke arah aku dan Ranti."Bu, tapi masalahnya dari mana kami dapat uang sebanyak itu?""Ya terserah kamu!" sengit Ibu. Wajahnya makin tak santai sejak seminggu lalu kami berdebat soal biaya perawatan Bapak."Sok sok an mau tanggung perawatan Bapak, sekarang Bapak meninggal aja gak mampu sumbang tahlilan." Ibu bicara lagi dengan suara pelan namun masih dapat kudengar jelas."Ya bukannya begitu Bu, kalau bayar perawat kan rutin tiap bulan sehabis Ridho gajian, nah sekarang, Ibu bilang kami harus sumbang dalam waktu 7 hari, darimana kami dapat uang 10 juta itu, Bu?" Aku mencoba menjelaskan walau kutahu kekesalan Ibu padaku akan kembali membuatku dan Ranti tersudut."Ya dari mana aja terserah k
"Dia emang susah diatur, selalu aja nurut apa kata istrinya, gak bisa dibilangin atau dirayu, hih amit-amit semoga kamu nanti gak punya anak yang kayak kakakmu itu," jawab Ibu bergidik bahu.Si Suci manggut-manggut sambil menjebikan bibirnya juga sedikit."Oh ya Bu, terus itu soal sumbangan 5 juta per orang apa gak kebanyakan? Ibu kan tahu Suci gak punya duit, Bu," kata Suci lagi.Ibu berdecak sambil mengibaskan tangannya."Gak usah dipikirin itu mah, Ibu sengaja cuma mau bikin Kakakmu si Ridho kelabakan. Biar kakakmu itu kapok karena udah banyak bantah Ibu. Pokoknya intinya Ibu mau buat kakakmu, si Ridho itu kembali lagi ke rumah ini supaya si Ranti juga balik ke sini.""Ibu sih waktu itu pake bilang mereka masih numpang segala, jadinya kak Ridho kesinggung kan?"Ibu mengembuskan napas kasar."Ibu kesel sama kakakmu Ci, masa iya istrinya dibelain terus begitu, yang Ibu mau itu si Ridho kayak si Haris, selalu mengutamakan Ibu, tapi dibentak bukannya minta maaf dan takut si Ridho malah
Aku setuju. Selesai salat isya dan tahlil buat Bapak akhirnya kita pergi ke warnas langgananku di dekat kantor.Warnas di mana dulu aku bertemu dengan istri pujaanku ini."Bang, susah gak sih kalau kemana-mana naik angkot begini?" tanya Ranti saat kami masih di dalam angkot."Iya sebetulnya susah, tapi gimana? Ada mobil Abang di rumah ibu males bawanya. Tahu sendirilah sekarang kamu juga Ran, jangankan bawa apa-apa gak bawa apa-apa aja Ibu masih aja dendam sama Abang," jawabku lesu.Ranti menepuk pundakku."Besok kita beli, gak usahlah ambil dari rumah Ibu, males juga, takut dijadikan bahan omongan," kata Ranti."Ya besok kita beli," sahutku sambil mengerling.Istriku ini, selain pemberani baru kutahu dia pandai bercanda juga. Tadi saat di rumah ibu ia sepakati urunan 5 juta itu, barusan dia bilang besok kita beli mobil.Hadeh, dikira suaminya punya ilmu ngepet apa.Sesampainya kami di warnas."Eh si Kiranti ampun baru ke sini lagi sejak nikah," kata Bik Mae."Maklumlah Bik, namanya
"Heh berani banget sih Kak Ranti ngomong gitu sama Ibu." Si Suci menyahut geram.Tapi Ranti menghadapinya justru dengan tenang dan santai."Kenapa Ci? Kakak hanya minta catatan keuangannya saja, bukan minta uangnya, apa itu salah?" jawab Ranti lagi.Mulut si Suci menganga. "Betul." Kemudian Mbak Kania menyahut setuju."Kami rasa kami memang harus tahu untuk apa saja kira-kita uang 25 juta itu," imbuh Mbak Kania."Diam kamu Kania! Jangan suka ikut-ikutan kayak mereka. Mereka itu anak-anak durhaka!" sengit Ibu."Astagfirullah jangan sembarangan mengucap sumpah serapah, Bu, apalagi seenaknya melabeli anak sendiri dengan perkataan tidak baik," kata Ranti lagi.Ibu makin terlihat murka."Kamu emang benalu Ranti. Sudah kau kotori otak anakku sekarang kau pun kurang ajar sama Ibu." "Siapa sih Bu yang kurang ajar itu? Ranti hanya minta catatan pengeluaran dan pemasukan soal uang tahlilan, kira-kira siapa saja yang sudah menyumbang untuk tahlilan Bapak? Biar kalau ada yang belum nyumbang, bi
Aku berbalik menghadap Ranti yang tengah duduk di sisi ranjang.Perlahan aku juga duduk di sampingnya. Kasihan Ranti, dari semalam diam saja, sekarang kelihatan sangat kesal, mungkin dia sangat tersinggung dengan ucapan ibu semalam."Ranti ... maafkan atas ucapan ibu semalam ya, kamu kan tahu gimana ibu, jangan dimasukan ke hati ya," ucapku pelan.Ranti menggeleng dan mengibaskan tangannya."Gak apa-apa, Bang.""Tadi kamu bilang mau beli mobil biar gak dihina-hina ibu lagi, Abang jadi ngerasa bersalah."Ranti malah tertawa."Ranti mau beli mobil bukan karen itu aja sih alesannya, tapi biar Abang gak telat pergi kerja kalau hujan," jawabnya sambil menyanggah dagunya di atas bantal.Aku tersenyum sambil menggeleng kepala, lalu mengacak rambutnya yang diikat ke belakang."Iya nanti kita beli ya, tapi kalau Abang udah naik jabatan atau dapat bonus mendadak," kataku terkekeh.Aku lalu bangkit."Eh Abang mau kemana? Tunggu dulu."Aku akhirnya duduk kembali."Apa lagi? Katanya kamu mau beli
Percakapan mereka berakhir. Aku yang sejak tadi hanya menyimak langsung bertanya."Kenapa kata Ayah sama Bunda Ran?""Mereka mau bantuin kita beli rumah Bang, asik," jawab Ranti berseri-seri.Alisku menaut.Bantuin beli rumah? Apa tak salah? Maaf maaf tapi kalau boleh jujur, rumah keluarga Ranti di kampung itu sangat sederhana bahkan jauh dari kata mewah.Bahkan mereka itu terlihat seperti keluarga golongan menengah ke bawah, itulah sebabnya ibu sering sewot sama Ranti karena beliau berpikir keluarga Ranti itu jauh beda dengan keluargaku.Tapi sekarang apa? Mereka mau bantuin kami beli rumah?"Abang kenapa sih bengong begitu?" Ranti mengagetkanku lagi."Enggak Ran, Abang cuma khawatir Ayah sama Bunda akan kecewa sama Abang."Ranti berdecak sambil mengibaskan tangannya."Ck Ayah sama Bunda bukan orang seperti itu, Bang.""Tapi kalau bisa gak usahlah kita minta bantuan mereka soal tempat tinggal Ran, kasihan, masa rumah buat kita mereka yang harus pusing." Ranti tertawa sedikit, "kenap
Aku cekikikan sambil kutahan sebisanya."Hihihi."Malu bukan main pasti sedang ibu rasakan sekarang."Gak salah denger nih kita, Bu?" tanya seorang ibu pengajian yang punya alis cetar.Sepertinya ibu itu juga menyimpan dendam pada ibuku, karena dilihat dari wajahnya ia tampak sangat puas menertawakan juga."Enggak Ibu-Ibu, bukan begitu, menantu saya ini kadang emang harus diginiin supaya dia ngerti, maklumlah dari kampung maksa mau jadi istri anak saya, yaa ibaratnya cocok jadi pembantu malah maksa mau jadi ratu, jadinya enggak nyambung, hehe hihi," ujar Ibu. Tertawa elegan diakhir kalimatnya.Sontak aku diam. Lagi-lagi ibu berani hina istriku, keterlaluan."Ah kata siapa cocok jadi pembantu? Wajahnya ayu begitu, pinter pula.""He em udah ayu, pinter dan baik pula, buktinya nawarin kita buah, enggak kayak tuan rumahnya haha hihi hahahaha."Semua ibu-ibu tertawa lepas. Seperti sangat puas sekali menertawakan ibuku, terutama bu Husaebah tetangga kami di komplek yang dandanannya paling h
Aku menelan saliva. Tapi untunglah Bunda segera bicara."Gak apa-apa Rid, jangan heran, itu namanya ibu mu sedang cemburu, makanya ibu mu itu selalu marah tanpa alasan dan apa yang dilakukan Ranti selalu saja salah di mata beliau."Ayah mertua kembali bicara."Tapi apa perlu cemburu berlebihan seperti ini?""Aa bisa diem gak?" Bunda menyentak. Ayah mertua sontak diam."Gak apa-apa ibu mu begitu, yang penting kamu harus punya prinsip kuat, bahwa rumah tangga itu dipelihara berdua, dijalani berdua dan dilewati berdua. Bunda terimakasih sekali karena kamu sudah membela Ranti, itulah yang membuat rumah tangga menjadi langgeng, suami jadi orang terdepan untuk membela istri dan istri jadi orang terdepan yang menyemangati suami."Bunda memberiku wejangan panjang lebar. Kudengarkan dan kuterima dengan baik."Oh ya Ran, kamu punya uang berapa ingin beli rumah, Nak?" tanya Bunda lagi pada Ranti."Gak tahu juga, udah lama gak dihitung. Bentar Ranti ambil dulu."Istriku bangkit mengambil panci ya