Share

Bab 6

"Loh ya gak bisa gitu dong Rid, kasihan Ibu nanti pemasukannya kurang kalau kamu gak transfer," sahut Mas Haris keberatan.

"Pemasukan untuk apa sih sebetulnya? Uang dari Ridho kan untuk biaya perawatan Bapak, uang dari Mas Haris anggaplah untuk hidup sehari-hari dan uang dari Suci buat pengobatan Bapak, apa itu masih kurang juga?" Aku mencecar menjelaskan satu persatu sumber dan kemana sekiranya uang itu pergi.

Biarlah ibu tak suka dan biarlah aku dianggap anak perhitungan.

Selama ini aku hanya manut apa kata ibu, dimintai setengah gaji, istriku disuruh kerjakan tugas rumah dan bahkan ibu pernah bilang padaku seperti apa yang beliau katakan pada Mas Haris saat tadi di belakang.

Katanya meski aku sudah menikah, kewajibanku tetap menomor satukan ibu, barulah setelah itu istriku.

Aku ingat saat ibu maksa minta dibelikan baju setelah aku ketahuan membelikan Ranti baju dari mall. Dan yang membuatku tak habis pikir ibu minta baju yang harganya jauh di atas harga baju Ranti.

Padahal saat itu aku membelikan baju tersebut karena modelnya seperti pas dipakai istriku, tapi rupanya ibu salah memahami.

Entahlah ibuku itu memang seperti tak rela dan sangat cemburu saat melihat anak laki-lakinya hidup bahagia bersama sang istri.

Tapi sayangnya aku tak seperti Mas Haris, 5 tahun ia menikah, 5 tahun juga rumah tangganya diatur ibu.

Selama 2 bulan aku juga menuruti apa kata ibu. Tapi seperti yang sudah kubilang, itu bukan karena setuju padanya melainkan karena Ranti tak mau hubungannya dengan ibu yang baru saja terjalin jadi berantakan.

Tapi lama-lama aku kasihan juga, masa iya istriku harus selalu di nomor sekiankan? Sementara permintaan ibuku tak pernah ada habisnya.

"Adikmu ini memang keras kepala Ris, tak sayang lagi dia sama Ibu yang sudah tua ini."

Ibu tiba-tiba terisak, namun entah kenapa aku justru melihatnya itu bukanlah sebuah tangisan. Melainkan hanya sandiwara yang dibuat-buat.

Walau bagaimanapun aku tahu sifat asli ibuku. Beliau pun pernah berpura-pura menangis hanya demi mendapatkan empati Mas Haris ketika Mas Haris baru saja menikah.

Dan bukan tak mungkin jika sekarang beliau mekakukan itu juga padaku.

Agar apa? Tentunya agar aku tersentuh lalu kembali menjadi anak lelakinya yang nurut dan patuh seperti anak kecil.

"Udah Bu, gak usah nangis, biar nanti gaji Haris, Haris kasih semua buat Ibu," kata Mas Haris.

"Enggak!" sembur Mbak Kania kemudian.

Kami semua menoleh ke arahnya.

"Apa-apaan ini, Mas? Enak saja kau putuskan segala sesuatu tanpa diskusi denganku," imbuhnya lagi.

"Bukan gitu Kan ... tap-"

Mbak Kania pergi bahkan sebelum Mas Haris melanjutkan ucapannya.

Aku tersenyum miring.

Tak heran jika Mbak Kania begitu. Walau ia punya gaji sendiri, walau sebanyak apapun uang nya namun sebagai seorang istri ia jelas ingin dimengerti dan diberikan wewenang soal keuangan suaminya.

Makanya aku banyak belajar dari rumah tangga mas Haris, bahwa terlalu menuruti apa kata ibu juga tidak baik untuk kesehatan rumah tangga.

"Ibu sedih sekali kalau kalian begini, kenapa sih istri-istri kalian itu tak ada yang mau memahami Ibu?" Ibu bicara lagi dengan raut sedih yang semakin dibuat-buat.

"Terus mau Ibu gimana?" tanyaku akhirnya karena sudah malas melihat sandiwara beliau yang seakan-akan sangat tersakiti.

"Tolong ya Rid, tinggal lah di sini lagi dan uang gajian kalian tetap untuk Ibu sebagian." ucap Ibu menatapku dan Mas Haris satu persatu.

Aku mengerling sambil menarik napas berat. Tentu saja aku tak bisa menuruti permintaan ibu, permintaan macam apa ini?

"Oke Haris setuju, Ibu tenang aja ya." sahut Mas Haris.

Alisku menaut. Mas Haris setuju? Tapi bagaimana dengan istrinya? Jelas-jelas tadi Mbak Kania marah dan keberatan karena keuangannya dikuasi ibu.

Aku saja yang istrinya gak pernah marah dan gak pernah permasalahkan soal ini, merasa kasihan padanya dan dzolim sekali jika aku bersikap seperti Mas Haris.

"Bagus Nak, kamu memang anak Ibu," ucap Ibu pada Mas Haris.

"Dan kamu Ridho, bagaimana? Apa kamu gak kasihan sama Ibu?"

"Bu ...," ucapku akhirnya sambil menatap wajah Ibu serius.

"Kalau soal tinggal lagi di sini Ridho gak bisa, Ridho tetap ingin hidup mandiri. Dan kalau soal uang Ridho 'kan udah bilang, Bapak jadi tanggung jawab Ridho tapi Ridho gak akan lagi transfer setengah gaji Ridho. Ridho hanya akan transfer untuk tambah-tambah makan Ibu," lanjutku.

Ibu yang tengah bermuka sendu akhirnya bangkit.

"Kamu memang anak keras kepala Ridho! Susah diatur, lebih nurut sama si Ranti anak orang kampung ini daripada nurut sama Ibumu sendiri!" sentak beliau bertelunjuk jari ke arah Ranti.

Untunglah istriku yang berpembawaan tenang itu sangat mampu menguasai diri. Ia bahkan sejak tadi hanya duduk tenang menyaksikan obrolan kami dengan santainya.

Entah bagaimana jika Ranti seperti istrinya mas Haris, mungkin rumah ini sudah bagai tempat konser sejak dulu.

"Bukan gitu Bu, tapi sekarang kan Ridho udah nikah, jadi istri Ridho pun harus Ridho perhatikan juga."

"Halah alesan. Sudah sana kalian pergi! Percuma saja Ibu panggil kalian ke sini, buang-buang waktu," ucapnya.

Akhirnya aku pun membawa Ranti kembali pulang.

***

Seminggu kemudian.

Kami mendapat kabar Bapak berpulang.

"Ya Allah Bapak, kenapa secepat ini pergi." Aku terisak di dekat jenazah beliau.

Tampak ibu dan semua sodaraku menatap kami kecut.

Selesai pemakaman kami langsung melanjutkan diskusi untuk masalah tahlilan.

"Tahlilan Bapak akan diadakan 7 malam. Ibu harap kalian paham bahwa tahlilan ini akan butuh banyak biaya." Ibu mulai bicara.

"Ibu minta kalian siapkan biaya per orang 5 juta. Suci, Haris, Kania, Ridho dan juga Ranti, semuanya rata, sumbang 5 juta dalam waktu 7 hari ini, karena uangnya akan Ibu belikan berbagai macam kebutuhan tahlilan," imbuh beliau lagi.

Aku menarik napas berat.

"5 juta perorang? Apa Ibu gak salah?" tanyaku akhrinya.

Tentu saja aku kaget plus bingung, jika per orang harus sumbang 5 juta, itu artinya aku dan Ranti jadi 10 juta. Dan kami harus sumbang dalam waktu 7 hari ini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status