Share

Bab 7

Masalahnya dari mana aku dapat uang sebanyak itu? Gajiku saja bahkan gak sampe 5 juta per bulannya.

Mbak Kania dan Mas Haris mungkin bisa karena mereka sama-sama punya gaji, sementara aku dan Ranti?

"Iya, kenapa? Jangan bilang ya kamu keberatan lagi, ini tahlilan Bapak loh," sahut Ibu, mencecar tajam ke arah aku dan Ranti.

"Bu, tapi masalahnya dari mana kami dapat uang sebanyak itu?"

"Ya terserah kamu!" sengit Ibu. Wajahnya makin tak santai sejak seminggu lalu kami berdebat soal biaya perawatan Bapak.

"Sok sok an mau tanggung perawatan Bapak, sekarang Bapak meninggal aja gak mampu sumbang tahlilan." Ibu bicara lagi dengan suara pelan namun masih dapat kudengar jelas.

"Ya bukannya begitu Bu, kalau bayar perawat kan rutin tiap bulan sehabis Ridho gajian, nah sekarang, Ibu bilang kami harus sumbang dalam waktu 7 hari, darimana kami dapat uang 10 juta itu, Bu?" Aku mencoba menjelaskan walau kutahu kekesalan Ibu padaku akan kembali membuatku dan Ranti tersudut.

"Ya dari mana aja terserah kamu, kamu sudah hidup mandiri kan? Bukan urusan Ibu dong darimana kamu dapat uang," kecut beliau lagi.

Aku menarik napas berat. Saat aku akan bicara lagi Ranti sudah menarik lenganku.

"Besok akan kami bawa ke sini uangnya, Bu, maafkan Bang Ridho terlalu khawatir," ucapnya kemudian dengan santainya.

Aku mengerutkan kening, bisa-bisa nya Ranti bicara begitu, dapat uang 10 juta dari mana dalam waktu semalam?

________

Diskusi pun bubar. Tapi aku dan Ranti masih belum lembali ke kontrakan karena harus mengurus persiapan tahlilan pertama.

"Ibu sama Suci mau belanja untuk tahlilan nanti malam, Ranti kamu tolong ke dapur bantuin si Kania siapin dan beresin semuanya," kata Ibu saat beliau lewat di depan kami yang tengah duduk di teras.

"Baik, Bu." Ranti menjawab dengan anggukan lalu bergegas pergi ke dapur.

Sementara ibu dan Suci segera naik mobil menuju tempat yang mereka tuju.

Aku sendiri akhirnya mengekor ke dapur setelah ibu dan Suci meluncur.

Kulihat di dapur Ranti sedang kerja sendiri. Nyapu dan membereskan rumah yang tampak berantakan karena bekas banyak orang yang melayat.

"Loh Mbak Kanianya kemana Ran?" tanyaku heran sambil terus mengedarkan pandang ke sekitar dapur.

Ranti mengangkat bahunya, "gak tahu, Bang, tadi pas Ranti ke sini dia lagi cuci piring."

Kutengok tempat cuci piring, ternyata masih banyak piring berbusa yang belum diselesaikan.

Keterlaluan, aku menggeleng kepala. Kemana mbak Kania itu? Bisa-bisanya meninggalkan pekerjaan begini dan membiarkan istriku yang menyelesaikannya.

Akhirnya segera kucari dia ke kamarnya namun tak ada, ke depan juga tak ada, dan kucari kemanapun tak ada juga.

_

Sore hari setelah semua pekerjaan beres dan siap dipakai untuk acara tahlilan nanti malam ibu dan Suci baru pulang.

"Pada kemana aja sih? Kok lama amat, semua kerjaan sampe sudah beres semua," tanyaku sedikit kesal.

Bagaimana tidak? Kami jadi harus bereskan rumah hanya berdua saja karena mas Haris juga ikutan pergi entah kemana.

"Ibu kan udah bilang kami mau belanja Ridho," jawab beliau masih kecut seperti tadi.

Mereka pun mengajak Ranti ke belakang untuk menata kue-kue ke dalam piring.

Kubiarkan kali ini, aku tahu pekerjaan ini memang harus secepatnya beres karena sebentar lagi maghrib dan acara akan segera dimulai setelah isya.

Setelah memasang lampu dan menyiapkan sound system aku juga masuk ke dalam. Kutengok istriku ke dapur, memang tampak sedang sibuk menata kue-kue yang tadi ibu beli ke dalam piring.

Tapi tunggu dulu, kemana ibu dan si Suci? Kok gak ikut bantuin Ranti?

Ah biarlah, mungkin mereka capek karena baru pulang dari tempat belanja.

Aku pun berwudhu. Tapi saat hendak mencari sejadah ke kamar ibu, tak sengaja dengar mereka sedang asik mengobrol.

"Nih lihat Ibu Ci, kamu harus ikutin Ibu kalau nanti kamu punya anak laki."

Ibu terlihat sedang membuka kotak beludru berwarna merah dan menunjukan isinya pada si Suci.

"Wah Ibu banyak amat Bu, mau Bu, Suci juga mau," kata si Suci bersemangat.

"Enak aja mau, ya kamu belilah Suci, makanya uang gajimu kumpulin dong mulai sekarang, Ibu kan gak pernah minta seperak pun."

Aku terperangah, gak pernah minta? Tapi kata Ibu setiap bulan kami bertiga harus setor setengah gaji kami, apa itu artinya ibu bohong?

Suci mendesah, "ya tapi maklumin Suci lah Bu, Suci kan masih muda, gak heran kalau uang gaji selalu habis dipakai nongkrong dan jalan-jalan sama temen-temen, karena kalau enggak begitu Suci gak bakal dapet gebetan yang kata Ibu harus mapan dan minimalnya orang tuanya harus kaya raya." Si Suci membela diri sambil cekikikan.

Aku menggeleng kepala. Rupanya begitu watak asli ibu dan adik perempuanku?

Tega-teganya mereka bohongin aku dan mas Haris hanya agar mereka dapat hidup senang. Sementara rumah tanggaku dan mas Haris terancam bubar karena keuangan selalu dicampuri ibu.

Tega! Benar-benar tega.

Baru saja aku akan beranjak pergi, pertanyaan si Suci sudah kembali menyita perhatianku lagi.

"Tapi emang ini Ibu uang nya dari mana aja sih? Beneran dari gaji Kak Ridho dan Mas Haris aja? Kok bisa punya emas sebanyak ini?"

"Ya bener dong Suci, jelas semua ini hanya dari setengah gaji kakak-kakakmu itu."

Si Suci terkejut, "bukannya uang itu biasanya Ibu pakai untuk makan sehari-hari dan untuk biaya pengobatan Bapak?"

Ibu mengibaskan tangan.

"Bohong, itu hanya taktik Ibu supaya kakak-kakakmu mau memberikan setengah gaji mereka. Ya makan kan gak seberapa, Ibu ambil dari hasil toko kelontong aja udah cukup, makanya uang dari kakak-kakakmu semua Ibu belikan emas."

"Soal biaya pengobatan Bapak kan kamu tahu sendiri, gak semahal kayak dirawat di rumah sakit, ah sebetulnya ambil dari toko pun sudah cukup, apalagi saat ada si Ranti di rumah ini, semua kerjaan beres tanpa Ibu keluarin uang sedikitpun," imbuh Ibu lagi seraya memakai gelang keroncongnya yang entah berjumlah berapa.

Aku mengepalkan tangan. Bener-bener keterlaluan ibuku itu, ternyata benarkan apa dugaanku? Ranti sengaja dijadikan pembantu gratisan mereka supaya uang ibu utuh.

Padahal kalau untuk bayar ART pun ibu sanggup.

"Ya ampun gak nyangka Ibu hebat juga." Si Suci terkagum seraya meneliti semua emas Ibu yang menumpuk di dalam kotak merah besar itu.

"Terus ini kenapa dipakai semua, Bu? Nanti ketahuan Kak Ridho sama Mas Haris loh, gimana?" tanya si Suci lagi.

"Biasalah kan mau banyak orang di rumah, jadi harus dipakai biar kelihatan kita bukan orang susah. Kalau soal si Haris mah aman dia mah gampang Ibu rayu, tinggal bilang aja ini emas dari hasil jerih payah Ibu cari uang di toko. Tapi kalau soal si Ridho ya emang sih ...." Ibu menjebikan bibirnya.

"Kenapa?" Si Suci penasaran.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status