“Kenapa, Kat?”
Suara Sheryl menyadarkanku. Aku menoleh ke arahnya tanpa mampu menjelaskan apa yang baru saja aku lihat. Sheryl seperti sudah menduga bahwa ada hal buruk yang telah aku ketahui. Dia merebut handphone di tanganku dan segera memekik histeris.
Beberapa detik kami saling tatap dan tidak berani mengambil kesimpulan atas apa yang sedang kami perkirakan. Bisa saja itu orang lain. Ada puluhan orang yang terlibat dalam tawuran sore tadi. Kemungkinan Jace yang menjadi korbannya adalah sangat kecil.
“Katy, ada apa? Sheryl kenapa?” tanya ibuku ketika masuk ke dalam kamar dengan wajah khawatir. Sepertinya dia mendengar suara Sheryl saat tadi histeris.
Aku menjawab pertanyaan ibuku dengan memperlihatkan gambar buram korban tawuran yang mengenaskan tadi padanya.
“Astaga! Ini siswa dari SMA kamu?”
Aku dan Sheryl mengangguk berbarengan.
“Anak jaman sekarang semakin brutal. Kalian pintar-pintar jaga diri ya. Jangan sampai kenal atau bahkan bergaul sama murid yang seperti ini.” Ibuku menghela napas sambil memandangi kami satu-persatu. “Sudah sekarang cepat pada tidur. Jangan pada begadang.”
Ibuku berlalu meninggalkan kamar ketika menyadari bahwa tidak ada lagi yang bicara.
“Sher, gue tanya Shafira dulu ya. Dia kan deket sama ketua OSIS. Mungkin dia punya info tentang Jace,” usulku setelah beberapa saat kami saling diam.
Sheryl tampak berpikir. Lalu dia mengambil handphone di sampingnya. “Gue coba hubungi Jace lagi.”
Aku mengangguk menyetujui idenya. “Oke.”
Dia bangkit dari ranjangku lalu berjalan menjauh. Lalu tiba-tiba dia berbalik menghadapku dan berseru. “Aktif!”
Infomasi Sheryl tadi memberiku sedikit harapan. Walau belum mampu menghilangkan kekhawatiran yang masih menyelimutiku.
Lalu harapan itu menjadi kenyataan seiring dengan sapaan yang didengar Sheryl dari seberang. Aku menoleh ke arah Sheryl dan menanyakan siapa yang menjawab panggilan itu dengan gerakan mulut.
“Ini Jace,” bisik Sheryl padaku.
Seketika rasa cemas yang membuat dadaku sesak ini berangsur hilang. Aku mendesah lega dan diam-diam mengucap rasa syukur karena Jace tidak kenapa-napa. Sekhawatir itukah aku pada Jace? Apa ini masih normal?
Aku tidak berani menjeda pembicaraan mereka. Sheryl dengan sikap manjanya berkali-kali mengucapkan kalau dia sangat takut terjadi sesuatu pada pacarnya itu. Lalu selebihnya aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan karena Sheryl memilih berdiri jauh di sudut balkon dan bicara dengan suara yang lebih pelan.
Beberapa pesan masuk ke dalam grup sekolah. Rata-rata membahas tentang tawuran dan mengabarkan bahwa siswa yang menjadi korban itu tewas di tempat. Banyak yang mempertanyakan siapa korban tewas itu karena tidak ada satu pun yang mengenalnya. Lalu setelah ratusan chat masuk ke dalam grup itu, mereka menyimpulkan bahwa korban tewas itu bukan siswa dari sekolahku.
Sheryl selesai dengan teleponnya dan kembali ke dalam kamarku. Kemudian membaringkan badannya di ranjang dan memunggungiku.
“Sher, kata anak-anak di grup OSIS, yang jadi korban bukan dari sekolah kita,” infoku padanya
“Udah tahu,” jawabnya singkat.
Pasti ada yang salah lagi dengan sahabatku ini. “Ada apa lagi, Sher?”
Sheryl bangkit dan menghadapkan badannya padaku. Dahinya berkerut dan bibirnya mengerucut. “Gue malah berantem sama Jace,” ungkapnya.
Aku memutar bola mataku. “Kok bisa? Lo ngomong apa sama dia?”
“Gue cuma bilang gue enggak suka dia ikut tawuran kayak tadi. Kalo dia begitu lagi, gue ancam bakal minta putus,” papar Sheryl dengan wajah ditekuk.
“Terus?”
“Dia malah bilang terserah.”
Gila! Apa Jace tidak punya perasaan? Bisa-bisanya dia bicara seperti itu pada cewek yang baru saja mengkhawatirkannya sampai tidak berhenti menangis.
“Dia memang kelewatan, Sher. Enggak seharusnya dia bilang gitu sama lo,” geramku.
“Gue cuma takut dia dikeluarkan dari sekolah, tapi dia enggak mau dengerin gue,” lirihnya membuatku merasa iba.
“Apa mau gue bantu bicara sama Jace?” tawarku ragu. Aku sendiri tidak yakin Jace mau mendengarkanku atau tidak.
Sheryl memandangku. Matanya membulat dan isakannya berhenti, “Serius lo mau?” tanya Sheryl dengan antusias.
Aku memandang ke berbagai arah sambil meyakinkan diri bahwa ini bukan hal besar. Hanya bicara saja, kok.
“Iya,” jawabku.
“Makasih, Kat. Lo emang terbaik, deh.” Sheryl memelukku dengan kencang sehingga aku terjungkal kebelakang. Begitu juga Sheryl yang tidak bisa menjaga keseimbangan kami, ikut-ikutan tersungkur menindih badanku.
Tingkah konyol kami itu membuat keadaan kembali membaik. Mood Sheryl terlihat lebih baik dan berakhir dengan belajar besama untuk mempersiapkan kuis esok hari.
***
Aku mengetuk-ngetukkan telunjuk ke daguku. Beberapa kali melihat jam di tanganku yang menunjukkan angka dua. Harusnya Jace sudah menghampiriku ketika aku bilang ingin bicara saat pulang sekolah. Namun, batang hidungnya belum terlihat juga.
Di saat yang sama, Zoey memberi kabar kalau dia sudah berangkat dari sekolahnya untuk menjemputku. Sekolahnya tidak terlalu jauh. Tidak sampai lima belas menit harusnya dia sudah sampai di sini. Namun, aku harus menyelesaikan urusanku dengan Jace terlebih dahulu.
Akhirnya Jace menemuiku di dekat gerbang utama sekolah. Dia berjalan kaki dengan ketiga temannya.
“Ada apa?” tanyanya tanpa basa-basi.
Aku mengerjap karena tiba-tiba diserang rasa gugup. Jace tidak berwajah ramah, seperti biasa. Matanya dalam dan tajam. Seolah mata itu bisa mengiris apa saja yang menghalangi pandangannya
“Eh, ummp ... ini tentang Sheryl.” Suaraku terdengar serak. Aku berdeham beberapa kali untuk melancarkan tenggorokanku.
Dia melihat sekeliling dan menunjuk tembok rendah di balik pos jaga. “Ngobrolnya di sana aja.”
Aku mengangguk setuju dan mengikuti langkahnya.
Jace berbalik menghadap teman-temannya. “Duluan aja,” perintahnya pada tiga cowok di belakangnya. Mereka mengangguk dan berjalan melewatiku menuju tempat parkir.
“Kenapa?” tanyanya lagi ketika kami sudah duduk di salah satu tembok setinggi pinggang dekat pos jaga.
“Sheryl semalam ke rumah gue. Dia nangis.”
Aku melihat Jace mengangkat alisnya. Dia tidak memandang ke arahku walau aku tahu dia masih mendengarkanku.
“Katanya dia kecewa karena elo ikut tawuran. Dia enggak suka itu,” lanjutku.
Kemudian hening. Jace tidak melakukan pembelaan apa-apa. Dia memantik sebatang rokok dan mengisapnya kuat-kuat.
Aku mulai gelisah karena Jace tidak juga bicara. “Dia enggak bermaksud untuk mengancam. Dia cuma khawatir terjadi sesuatu sama lo.”
Jace menyeringai dan melirik ke arahku. “Cowok lo, ya?” Dia menunjuk ke belakangku dengan dagunya.
“Hah?”
Kok enggak nyambung?
Aku langsung mengerjap sadar dan menoleh ke belakang. Ada Zoey di seberang gerbang sekolah sambil melambaikan tangannya dari dalam mobilnya. Aku membalas lambaian tangannya dan mengucapkan kalimat ‘tunggu sebentar’ tanpa suara.
“Anak mana?” Jace masih melihat ke balik punggungku.
“SMA Budi Bakti,” jawabku cepat. Aku menghela napas sebelum bicara kembali pada Jace. “Pokoknya, Kalo lo memang sayang sama Sheryl, lo harus berhenti ikut tawuran.”
Jace kembali menyeringai dan menatapku. Dia membuang rokoknya dan menginjaknya setelah dia isap sampai habis. “Thanks. Tapi itu urusan gue. Enggak perlu ikut campur.”
Dia mengucapkan itu dengan nada datar. Terlalu datar sehingga jika Sheryl mendengar itu, dia pasti akan menangis.
Aku menggeleng pelan karena merasa kecewa dengan sikap Jace ini. “Lo emang enggak berperasaan ya,” ucapku dengan sinis.
Jace menghadapkan wajahnya ke padaku. Dia menatapku seakan-akan tatapannya bisa melobangi kepalaku.
“Lo mau nya gue gimana?” Suaranya terdengar dingin dan menakutkan. Tiba-tiba saja aku merasa gentar di hadapannya.
“Kenapa tanya gue?”
“Karena gue pengen tahu apa hanya Sheryl, atau ternyata lo juga sebenarnya khawatirin gue?”
Jace melangkah maju. Dia mencondongkan badannya sehingga jarak kami semakin rapat. Bahkan aku bisa menghirup parfum yang bercampur dengan aroma tembakau dari badannya.
Aku terhipnotis, aku tidak bisa menjawab apapun yang sedang Jace tanyakan padaku.
“Gue ...,” Mulutku kelu. Segala hal yang ada di otakku terhapus sempurna. Semua diganti dengan kabut tebal yang membingungkanku.
Jace mengarahkan bibirnya ke depan wajahku. Semakin mendekat sampai aku takut untuk membayangkan apa yang mungkin akan terjadi. Mataku terpejam dan bibirku tertutup rapat. Sampai sebuah desisan pelan terdengar lembut di telingaku.
“Ungkapkan kekhawatiran lo ke gue. Dan gue akan berhenti tawuran.”
Deg!
Apa-apaan ini?
Bunyi bip terdengar seiring kartu akses apartemen yang aku tempelkan di sensor lift terbaca oleh sistem. Kemudian kotak besi itu bergerak naik membawaku ke lantai yang mau aku tuju. Ketukan sepatu terdengar menggema di sepanjang koridor yang sepi, membuatku mempercepat langkah menuju unit apartemen milik Jace.Keadaan apartemen yang gelap menyambut kedatanganku, menandakan si pemilik hunian ini sedang tidak berada di sini. Dengan langkah pelan, aku menyusuri ruangan untuk menyalakan semua lampu.Lampu terakhir yang aku nyalakan adalah kamar Jace. Kemudian menghidupkan pendingin udara dan membuka tirai yang sebelumnya menutupi pemandangan kota yang indah. Aku paling suka pemandangan dari sini. Lampu kota yang gemerlap selalu bisa membuatku lebih tenang.Sambil duduk di bench panjang yang empuk. Aku keluarkan handphone dan mengetikan sebuah pesan untuk Jace.Saya: “Aku di apartemenmu.”Aku tidak berharap dia cepat membalas pesanku tadi, tapi ternyata Jace langsung membalasnya.Jace: “Ka
“Teman-teman, ini anggota baru klub kita. Titipan Pak Tedy. Ada yang mau tanya-tanya?”Kalimat yang terdengar setengah hati keluar dari mulut Hiro membuatku ragu untuk memperkenalkan diri. Padahal, rekan-rekannya sudah antusias melingkariku dan Hiro dari semenjak aku masuk ke ruangan ini.“Namanya siapa, teh?” tanya seorang cowok dengan kacamata tebal yang duduk barisan paling kiri.Aku melirik ragu pada Hiro. Maksudnya, mau bertanya apakah aku sudah diijinkan untuk membuka mulut?“Jawab. Kenapa malah liat gue?” ketusnya membuatku gemas ingin menjambak rambut gondrongnya itu.Aku berdehem beberapa kali sebelum membuka suara, “Saya Kaitlyn, dari jurusan Matematika. Panggil aja Katy.”“Hai, Katy. Selamat datang di klub Teknik Digital,” sapa seorang cewek mungil dari barisan paling depan. Padahal aku merasa tidak cukup tinggi dibanding teman-temanku, tetapi ternyata cewek di depanku ini lebih pendek lagi dariku.Mataku mulai memindai sekeliling. Perkiraan, ada sekitar dua puluh orang yan
Aku mendengar suara Jace dari arah kamar ketika pintu depan sudah aku tutup rapat. Pelan-pelan aku melepas jaket dan sepatu, kemudian menggantungnya di tempat biasa aku menaruhnya. Aku mengendap menyebrangi ruang tengah menuju kamar di mana asal dari suara Jace terdengar. Aroma khas Jace langsung menguar bahkan ketika orangnya belum terlihat sama sekali.Punggung Jace yang pertama kali menyambutku. Dia bicara pada sosok yang berada di layar laptop dengan kalimat-kalimat formal. Dari judul berkas yang dia pegang, sepertinya dia sedang ada presentasi bisnis untuk kelas online-nya. Makanya, aku memilih untuk mundur pelan-pelan dan berniat menunggunya selesai di ruang terpisah.Namun aku mendengar Jace memanggil namaku, membuatku menoleh ke arahnya.“Apa?” Aku berbisik, takut lelaki tanpa rambut yang sedang bicara pakai bahasa inggris di seberang sana mendengar suaraku.“Udah aku mute. Enggak perlu bisik-bisik.” Jace terkekeh. Tangan kanannya terangkat dan hendak menggapaiku.Aku belum p
Aku melambaikan tangan pada laki-laki yang sedang berjalan masuk area restoran. Butuh beberapa saat untuk dia menyadari posisiku yang tertutup beberapa pengunjung restoran. Berbanding terbalik jika aku yang harus mencari dia di tengah kerumunan, badannya yang tinggi membuat dia gampang untuk ditemukan.“Nunggu lama?” tayanya ketika sudah berhasil membelah kerumunan dan duduk di seberangku.“Enggak juga. Ini baru mau pesen makan,” jawabku sambil memindai tanda batang yang di pasang di samping meja untuk segera melakukan pemesanan lewat aplikasi.Sambil memilih menu di layar handphone, aku juga sekalian memberi dia waktu untuk diam sejenak sebelum aku tanya kemana saja dia hari ini sampai harus melewatkan beberapa kelas wajib.“Aku udah makan. Pesanin cemilan sama minuman aja, ya,” ujarnya membuatku menaikan satu alis.“Makan di mana?” tanyaku.“Aku abis ketemu Papa, dan makan bareng dia,” jawabnya singkat.Kalimat barusan membuat kedua alisku bersatu. Jace mau menemui ayahnya adalah se
Suara gemericik air dari kamar mandi perlahan membuatku membuka mata. Sesekali terdengar siulan ringan membuatku sedikit tersenyum. Dia pasti sedang dalam suasana hati yang bagus pagi ini.Aku mengedarkan tangan mencari handphone di sepanjang nakas. Setelah menemukannya, aku mengetuk layarnya dan melihat tampilan penanda waktu.“Masih jam enam pagi,” lirihku dengan dahi mengkerut. Kenapa dia sudah bangun bahkan sudah mandi sepagi ini?Tidak berselang lama, pintu kamar mandi terbuka. Sosok cowok tampan yang sudah membuat jari manisku tersemat cincin cantik, melangkah keluar dari kamar mandi. Dia menoleh ke arahku ketika dia sadar aku juga sudah terbangun pagi ini.“Lho? Kamu bangun?” tanyanya sambil mendekat. Tangannya sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil berwarna pink milikku.Aku mengangguk. Menarik badanku supaya duduk lebih tinggi dan bersandar pada kepala ranjang. Kamu kenapa udah mandi jam segini? Ini masih jam enam pagi.”Cowok tinggi dengan senyuman paling sempurna i
“Kaitlyn,” Om Khalid menyapa ketika dia sudah berjarak satu meter di depanku. “Boleh saya bicara denganmu?” Aku mengerjap beberapa saat. Namun buru-buru mengangguk dan menjawab. “Iya, Om. Boleh.” Dengan gerakan pelan nan berwibawa, Om Khalid duduk di kursi bekas Sheryl. Satu kaki ditumpangkan pada kaki lainnya mencoba membuat dirinya nyaman di kursi yang sebetulnya terlalu kecil untuk tubuhnya yang besar. Tak lama, tangannya bergerak merogoh saku dibalik jasnya, kemudian mengeluarkan amplop putih dari sana Dia mengangsurkan amplop itu padaku sambil berucap, “hadiah kecil dariku.” Sempat mengerutkan dahi karena keheranan, tetapi segera aku terima uluran amplop dari tangan Om Khalid dengan canggung. “Terima kasih.” Mataku menangkap sosok Jace di seberang meja jamuan utama sedang memandang ke arahku penuh curiga. Dahi yang berkerut dengan alis yang menukik tajam memperlihatkan sikap waspada. Mungkin dia khawatir karena melihaku bicara dengan ayahnya tanpa ada yang mendampingi. Dia se
Rencana Tuhan sangat tidak bisa aku tebak. Segala hal menyangkut takdir memang selalu menjadi misteri yang pada akhirnya akan ditunjukan dengan cara-Nya yang paling indah. Hanya tinggal menunggu waktu. Kelahiran, kematian, dan cinta. Itu yang aku yakini sekarang. Ketika dengan sangat mengejutkan, pria yang selalu menjadi pujaan hatiku dari semenjak aku baru mengenal cinta, mempersembahkan cincin bertahtakan berlian ke hadapanku. “Kejutan,” ucapnya dengan senyum yang terukir di bibir. Detak jantungku mungkin sempat berhenti beberapa saat. Mataku tidak bisa lepas dari wajah penuh senyum yang semakin membuat aliran darahku berdesir kecang. Gerakan pelan dari kursi roda yang di dorong ibuku membuat jiwaku kembali ke raga. Setelah beberapa saat terlepas dan berkelana mencari jawaban, apakah ini nyata, atau hanya khayalanku saja? Seperti halnya aku, semua yang hadir pun menunjukan wajah penuh tanya. Yang mereka tahu, malam ini adalah malam pertunangan Khalid Ashad dengan ibuku. Bukan ac
Dengan bantuan Sheryl, aku menjalankan kursi roda menuju barisan kursi paling kanan. Ada panggung kecil setinggi lima belas sentimeter yang nampak cantik, dihiasi bunga chamomile dan hortensia di sepanjang garis tepiannya. Di kiri panggung disediakan jalur khusus kursi roda untuk naik. Mungkin ibuku menginginkan aku menemaninya di sana. Namun, aku rasa itu tidak bisa aku wujudkan Untuk bisa hadir di sini saja, aku harus menarik napas berkali-kali. Melepaskan segala perasaan sesak agar bisa tersenyum lebar untuk ibuku secara tulus. Aku senang jika ibuku bisa berbahagia. Seberat apa pun nanti, aku pasti bisa menerima keluargaku yang baru dengan dada seluas samudera. “Lo udah siap?” Suara serak adikku terdengar dari arah belakang. Aku terkejut melihat penampilannya yang rapi dan wangi. Apalagi melihat dia tersenyum lebar tanpa beban. “Lo di sini?” tanyaku masih tidak percaya. Maksudku, selain aku dan Jace, Aiden adalah orang yang paling membenci rencana pertunangan ini. Dia merasa ib
“Cantik banget sih, temen gue. Senyum dong.” Sheryl mengusap anak rambut yang masih mencuat nakal lalu menyelipkannya ke belakang telingaku. Sebagai sentuhan terakhir, dia menjepitkan hiasan rambut kecil berbentuk kupu-kupu di kepala bagian kiri. “Selesai,” gumamnya nampak puas akan hasil karyanya yang terpantul pada cermin di depan kami. “Makasih, Sher. Gue jadi menghemat anggaran make up artist,” gurauku diselingi senyum tipis di bibir. “Sama-sama, Sayang.” Sheryl meremas pelan kedua bahuku dari belakang. Lalu memutar kursi penunjang aktifitas yang aku duduki ini menjadi saling berhadapan. “Lo baik-baik aja, kan?” Aku mengangguk meyakinkannya. Tidak ada yang perlu dicemaskan. Aku hanya perlu menebar senyum pada semua yang hadir. Setidaknya untuk malam ini saja. Sheryl menghela napasnya dalam-dalam dan menatapku dengan mata sendu. Namun, buru-buru dia bergeleng dan merubah lengkungan bibirnya menjadi tarikan ke atas. “Eh, udah latihan jalan belum hari ini?” “Udah tadi pagi. Ta