“Ko dah yakin kan, sama dia?” tanya Bapak sekali lagi padaku. Sepertinya itu pertanyaan ketiga sejak kali pertama aku mengenalkan perempuan yang sudah kubelikan cincin dan hendak kulamar hari ini.
Aku tertawa menanggapinya. Bukan karena pernyataannya lucu, tapi karena bapakku yang berdarah Batak itu sudah mengenakan baju adat, begitu pula aku, dan kami sedang didandani di depan cermin besar yang tersedia di ruang rias tempat kami akan segera melaksanakan prosesi lamaran, ketika beliau menyatakan itu.
“Jangan banyak ketawa ko, Bapak serius ni.” Kini wajahnya dibuat seolah bersungut-sungut, padahal aku tahu sebenarnya ia hanya sedang sangat gugup. Aku bisa menebak dari jemarinya yang terus ditautkan sedari tadi, ditambah sikap tubuhnya yang tak bisa tenang, padahal Bapak biasanya selalu tegas dan berwibawa. Jarang melihatnya canggung berhadapan dengan apa pun. Mungkin darah Batak yang kental itu penyebabnya. Paling-paling ia hanya canggung kalau dipuji mengenai romantisnya ia pada Ibu kalau Ibu sakit—sikap yang ia kubur dalam hati ketika ibu kami sehat.
“Aku juga serius, Pak. Masa sudah buat acara semegah ini, ndak serius?” Aku menyengir, berusaha membuat Bapak lebih relaks. Namun, bukannya berhasil, ia malah menoleh dengan mata tergenang. Sungguh, itu bukan sosok yang biasa kulihat darinya.
“Riza ndak ke mana-mana lho, Pak. Masih di Jakarta,” aku mengingatkan. Keluarga kami sudah lama menetap di Jakarta, tapi kebetulan aku mendapat calon istri yang keluarganya asli Bogor. Tentu saja persoalan tempat tinggal usai menikah harus didiskusikan, dan itu membutuhkan waktu agak lama, sampai akhirnya dia sepakat untuk tetap di Jakarta.
Selain karena keluarganya sadar perempuan memang harus ikut suami, toh pekerjaan kami memang ada di ibu kota ini. Pertemuan kami terjadi di sini, pernikahan di sini, dan kami akan beranak pinak di sini. Ya, kami tentu akan tetap bertandang ke Bogor beberapa bulan sekali, toh itu tidak jauh. Dan, ke Manado setahun sekali, itu sudah tradisi. Aku tersenyum mengingat dalam beberapa jam lagi, hubungan ini selangkah mengalami kemajuan. Aku berdoa dengan sungguh-sungguh agar seluruh prosesi acara sesuai tanggal yang ditentukan berjalan lancar.
Stylist yang sedari tadi merapikan pakaian adat yang aku dan Bapak pakai, tersenyum menatap kami yang tampak serasi di depan cermin. “Tinggal make up dan hair do-nya, ya, Mas,” ujar lelaki itu—yang meski bekerja di dunia desain pakaian, tapi tidak kemayu sama sekali. Ia melipat kemeja hingga pertengahan lengan, mengacungkan jempol melihatku.
“Oke. Bisa minta tolong sekalian panggilin fotografernya, Ri? Kayaknya habis ini kita masuk sesi foto,” ujarku saat ia akan berbalik menuju pintu ruangan. Lelaki bernama Ari itu mengangguk sekilas, lantas sosoknya keluar ruangan.
Ruang ganti yang terletak di belakang studio televisi ini diisi lemari dengan deretan kostum yang biasa dipakai pengisi acara di televisi. Sebagian besar merupakan kostum dari sponsor sehingga dibungkus plastik tebal setelah di-laundry. Tak jarang sebagian kostum dipakai bergiliran antar pengisi acara. Agar tidak terkesan pasaran, nantinya para stylist akan menambahkan aksesoris atau melipat beberapa bagian—untuk baju wanita biasanya—sehingga tampak seperti kostum yang berbeda.
Bapak baru saja duduk di depan meja rias, menunggu penata rambut dan make up artist yang belum juga tiba, ketika derap langkah itu menginterupsi keheningan. Aku yang tengah memeriksa ponsel untuk membuka beberapa chat yang menumpuk, mengalihkan atensi saat suara perempuan terdengar di rungu.
“Riza, Andina sudah kamu telepon?” Aku dan Bapak sama-sama menoleh, mendapati ketua wedding organizer, Mbak Lelita, tengah berkutat dengan ponselnya sambil sesekali menatap kami.
“Aku udah coba telepon dari pagi tadi, tapi nggak ada jawaban. Harusnya sekarang dia udah dirias. Aku nahan-nahan ngomong dari tadi, takutnya cuma kecemasanku aja yang berlebihan,” kata Mbak Lelita, membuatku terenyak.
“Mbak udah coba telepon? Tadi subuh aku udah chat dia sih…,” gumamku.
Mbak Lelita menggeleng. “Nggak diangkat juga, Za. Coba kamu yang telepon, kali aja diangkat.”
Segera aku rungsing mengambil ponsel dan menekan tombol untuk menelepon Andina. Bisa-bisanya dia belum datang jam segini? Memang sih, kami harus ngobrol panjang kemarin mengenai konsep lamaran yang akan disaksikan berjuta pasang mata ini. Pihak wedding organizer ingin mengusahakan yang terbaik dan mendengarkan keinginan-keinginan kami untuk kemeriahan pesta hari ini. Bahkan kemarin kami juga mengundang pengisi acara untuk gladi resik, seperti band yang akan mengisi lagu, penyanyi, pembawa acara, serta beberapa teman yang bersedia membantu urusan dekorasi panggung dan fotografi pra-lamaran. Persiapan itu memakan waktu lama sehingga kami baru selesai malam hari. Aku menyuruh Andina pulang lebih dahulu karena ia tampak sudah mengantuk. Apa itu sudah terlalu malam untuknya, atau ia terlalu kelelahan hingga sulit bangun pagi ini? Atau ada kemacetan di jalan sehingga ia tidak bisa sekadar menengok ponsel? Tapi biasanya ia yang paling sibuk mengabari dan suka ngambek kalau aku tidak juga menjawab.
Harusnya sesuai jadwal, satu jam dari sekarang, kami harus berfoto untuk pra-lamaran, lalu setelahnya baru digelar prosesi lamaran yang akan disiarkan langsung di dua saluran televisi nasional, dua saluran televisi lokal, dan live streaming di I*******m, Youtube, serta F******k.
Tut… Tut…. Nomor yang Anda hubungi sedang berada di luar jangkauan.
Aku melotot mendengar sahutan dari seberang sana. Kok bisa, nomornya di luar jangkauan? Dia di luar kota? Tidak mungkin. Andina sudah menunda semua jadwalnya sebulan sebelum ini. Atau mungkin dia kebetulan kehabisan baterai di jalan? Tapi Andina tipe wanita yang selalu membawa power bank ke mana-mana karena baginya meng-update status ke media sosial itu penting untuk tetap menenangkan hati penggemar. Apa kebetulan tidak ada sinyal? Rasanya ini jauh lebih mustahil, karena meski di Bogor pun, rumahnya tidak berada di daerah yang tinggi seperti Puncak. Sinyal mudah didapat. Apalagi kalau dia sudah tiba di Jakarta, tak mungkin ada masalah sinyal.
Lalu apa? Kami sudah memutuskan semuanya bersama. Tanggal ini, bukan hanya aku yang mau. Dia selalu berbunga-bunga jika membicarakannya. Sorot matanya menatapku dengan penuh cinta setiap bilang, “Terima kasih sudah mengabulkan impianku.” karena dia sangat ingin dilamar dan menikah pada tanggal cantik.
11 Januari 2021 untuk tanggal lamarannya, sementara 21 Februari 2021 adalah tanggal pernikahan. Di antara dua tanggal itu, ada juga tanggal lain untuk menyelenggarakan pengajian.
“’Cam mana, Za? Sudah diangkat?” Suara Bapak yang khas langsung merenggut kebingunganku. Aku mengalihkan pandangan padanya dengan wajah linglung. Aku yakin aku pucat sekali saat ini, karena jantungku berdebar begitu kencang seperti orang yang nyaris pingsan karena kelelahan atas hukuman berlari.
Tidak mungkin ini terjadi lagi, kan? Pernikahanku akan tetap berlangsung, kan? Seluruh kekhawatiran tiba-tiba menyerbu dalam kepala.
“Za? Riza!” Bapak menggoyang-goyang lenganku, membuatku sadar kembali dengan kenyataan. Sesaat kulihat ponselku dan menemukan sebuah pesan dari Andina bersarang di notifikasi.
Saat kubuka, tubuhku tak lagi sanggup menopang diri dan jatuh terduduk di kursi yang tak jauh dari cermin besar tempatku mematut diri.
My Love
Maaf, Riza, kayaknya ini nggak akan berhasil. Aku udah berusaha, tapi cintaku sama Radi tetep lebih besar. Aku nggak mau nyakitin kamu lebih dalam lagi. Lebih baik kita berhenti sampai sini.
“Riza, kamu kenapa? Andina hubungin kamu? Kalo nggak diangkat teleponnya, kirim chat coba,” Mbak Lelita mencecarku. Bola matanya yang berwarna kelabu akibat contact lens bergerak-gerak, mencari suaraku.
Aku sungguh tidak ingin menyerahkan ponselku. Aku ingin percaya bahwa ini bohong. Mungkin aku belum terlambat. Dia hanya bercanda. Dia pasti hanya bercanda, kan? Tidak mungkin dia akan membatalkan sesuatu yang sudah jadi mimpinya. Aku masih ingat benar bening matanya semalam, begitu antusias memberitahu detail konsep, bahkan ikut membantu membuat dekorasi pernak-pernik panggung. Lagi pula, kami sudah tahu sama tahu kisah masing-masing. Dia tahu hatiku yang patah karena pernikahan yang batal setahun lalu.
Meski tak yakin, aku tidak bisa berhenti di sini. Mataku melirik pada Bapak yang juga tampak menunggu jawabanku dengan alis bertaut. Wajah khas suku Bataknya semakin tampak terlipat jika sedang cemas. Maka, kuputuskan menggeleng pada Mbak Lelita, menjawab dengan sesuatu yang tak nyata.
“Andina bakal sampai sebentar lagi.”
Jawabanku membuat wajah Mbak Lelita segar kembali, dan Bapak menghela napas lega. Sementara aku … aku masih memandangi ponsel, mencoba mengetikkan sesuatu untuk mengembalikan dia padaku.
Ini semua tidak akan terjadi seandainya aku pulang bersama Riza tadi malam. Biasanya dia akan mengantarku sampai rumah, mencium keningku, lalu menyetir pulang ke apartemennya. Bahkan meski itu jauh, dari Jakarta ke Bogor. Jelas saja, karena aku masih tinggal dengan keluargaku di Bogor walau seluruh aktivitas keartisanku dilakukan di ibu kota. Sedangkan ia meski memiliki rumah keluarga di Jakarta Selatan, memilih lebih dekat dengan kantor manajemennya di Jakarta Pusat. Namun, semalam, ia menyuruhku pulang lebih dulu karena persiapan acara tidak juga selesai.Aku sudah berkata, “Nggak papa, aku seneng bisa lihat persiapannya sampai selesai.”Namun, seperti kebiasaan Riza, ia akan menggeleng dengan tatapan lembut. “Nanti kamu kecapean. Keburu ndak ada kereta juga nanti. Aku ndak yakin kuat nyetirin kalo terlalu malam. Mungkin nanti aku panggil sopir.”Aku menghargai kekhawatiran di sorot matanya, sehingga menurut. Lagi pula, hampir delapan p
“Diniii! Ayo berangkat! Kamu jangan lama-lama dandannya, nanti di sana juga didandanin lagi, kok!”Teriakan Mama membuatku buru-buru mengenakan wedges dan keluar kamar. “Aku nggak dandan, Ma. Cuma ribet pake bajunya, nggak biasa,” sahutku sambil berjalan mendekati Mama.Kulihat, ia sudah tampil dengan paripurna, mengenakan kebaya berwarna hijau yang merupakan seragam khusus untuk keluarga yang akan datang ke pernikahan Kak Andina. Aku merapikan lagi kebayaku yang sama dengan Mama, hanya berukuran lebih kecil dan tidak terlalu banyak payetnya. Aku tidak suka sesuatu yang berkilauan memenuhi diriku, terutama karena aku harus menjaga diri dengan jilbab yang kukenakan.“Oh ya, Ma, Kak Andina beneran jadi berjilbab ya?” tanyaku ketika kami sudah di dalam mobil.Meski ibuku itu sudah berusia lima puluh lebih, tapi ia masih lebih suka menyetir ketimbang diam di sebelah sopir. Jadi, setiap kami bersama, aku mengalah me
Sembilan bulan yang lalu, aku meninggalkan Andina untuk menikah dengan seorang gadis yang belum lama kukenal. Dia adalah Rere, anak teman mamaku yang beberapa kali minta tolong padaku untuk mengantarnya ke sana-sini. Cewek itu bukan tipe idealku sama sekali. Badannya memang bagus, seperti gitar spanyol kata para lelaki, tapi sikapnya terlalu manja. Sangat anak mama. Tidak punya keahlian apa-apa selain merengek, dan tidak punya mimpi lain selain menikah dengan lelaki kaya. Jadi, sejak awal Mama memperkenalkannya padaku, aku tidak tertarik, apalagi sejak aku memiliki Andina.Dina, panggilan akrabnya, sangat mandiri dan pekerja keras. Ia memiliki banyak impian dan selalu semangat mewujudkannya. Kalau ia tengah bercerita tentang mimpi-mimpinya, aku selalu terpukau dengan binar di mata serta tekad di dalam suaranya. Seperti ketika akhirnya Dina bisa meraih juara satu di kompetisi menyanyi nasional yang diadakan televisi, ia memang dengan gigih berusaha meraih mimpinya. Pelan tapi
Baru saja aku akan buka mulut untuk menjawab omongan Riza, pintu kembali terbuka dan orang-orang yang tidak kukenal berbondong-bondong masuk. Salah satunya cewek berambut mengombak tadi, disusul wanita berhijab yang tampak dewasa, dan ada satu laki-laki yang berjalan dengan gemulai.“Nggak ada banyak waktu lagi, Za. Harus mulai make up sekarang. Lo juga keliatan kacau gini, touch up lagi ya, di ruang sebelah.” Cewek itu mulai bicara. Riza langsung berdiri, mengangguk setuju. Ia sempat menoleh padaku, memberiku tatapan hangat, lantas berlalu menuju pintu.“Mbak, aku ….” Lagi-lagi ucapanku terpotong dengan suara derap langkah seseorang yang masuk ruangan. Aku menoleh untuk mendapati Papa menatapku serius.“Saya mau bicara berdua dulu dengan anak saya,” kata Papa. Matanya sempat berganti menatap orang-orang di situ yang kuduga adalah stylist dan make up artist yang sudah disewa oleh Dini
“Gimana kalau kamu berjilbab, Say?” Aku mencoba mendapatkan atensinya saat ia tengah sibuk mengambil selfie di kafe tempat kami berkunjung. Itu kafe yang mengundangnya untuk urusan endorsement, jadi sejak tadi ia berkutat mencari angle yang bagus untuk mengambil foto.Saat mendengar tawaranku, ia langsung menoleh dengan wajah seperti tak percaya. “Apa? Jilbab?” Ia mengulang, seolah khawatir salah dengar.Aku mengambil alih ponselnya, menunjuk salah satu sudut, lantas memotretnya. Saat kutunjukkan hasilnya, ia melonjak senang. “Kalo kamu yang foto, selalu cantik! Makasih, ya, Za.”“Itu maksudku,” sahutku, “akan lebih cantik lagi kalau kamu berjilbab.”Ia mengerutkan kening. “Kamu tahu kan, Za, karierku lagi tinggi-tingginya ….”Aku angkat bahu. “Bukannya kamu dulu juga berjilbab, waktu masih sekolah? Justru sekarang, kamu udah punya banyak
Ini keputusan paling nekatku seumur hidup. Mungkin kalian akan bilang aku bodoh, menyia-nyiakan sebuah pernikahan yang sudah ada di ambang mata hanya demi mengejar ekstase semu, tapi … ingat, kalian bukan aku, dan tak pernah tahu rasanya jadi aku.Sebulan sebelum hari lamaran, persiapan pernikahan mencapai lima puluh persen. Aku tidak berhenti mendapatkan teror melalui media sosial, mulai dari orang yang kenal sampai yang tak pernah bertemu sama sekali.Riza itu playboy, ngapain mau sama dia?Yakin mau nikah sama Riza? Dulunya tukang bully di sekolahAh, panjat sosial aja sih? Nikah demi uang?Nggak bakal langgeng! Gue sumpahin cerai!Isi direct message di Instagram dan Twitter-ku seperti itu. Setiap aku ingin mengunggah sesuatu, jika terpencet ke kotak masuk, amarahku langsung mendidih. Terakhir, aku membanting ponsel sampai pecah karena membaca komentar kasar saat sedang
“Ada bocoran mengenai tanggal pernikahan?”Riza di sebelahku menggeleng. “Itu masih kami rahasiakan. Yang pasti, tidak lama lagi.”Para wartawan semakin semangat mengajukan pertanyaan. Sementara aku juga semakin tidak nyaman. Khawatir penyamaran ini ketahuan karena aku kesulitan mengatur mimik muka. Akhirnya, dengan terpaksa, tanganku memberikan kode ke Riza, meremas lengan bawahnya yang harus kugandeng sedari tadi.Ia menoleh padaku dengan alis menukik, dan aku hanya bisa mengerjap beberapa kali, berharap ia paham maksudku—sekalipun aku bukanlah calon istrinya. Tak lama, ia kembali fokus ke kamera dan … syukurlah, ia memahami maksudku.“Maaf ya Mas, Mbak, kita ngobrol-ngobrol lagi nanti. Saya dan Dina capek banget, perlu istirahat,” ujarnya luwes. Nada suaranya lembut, tapi mendominasi dan mengontrol. Ada kekuatan khas di dalamnya, yang membuat sebagian besar wartawan itu memutuskan mundur. Hanya beberapa
WARNING: Mengandung konten sensitif, hanya untuk usia 18 tahun ke atas. Dimohon kebijakan dari pembaca.***“Din, aku udah masakin omelet nih. Ayo bangun,” aku melangkah masuk ke kamar Andina setelah mengetuk dua kali. Kebetulan pintunya tidak ditutup rapat, sehingga aku yakin ia sedang tidak berganti baju atau melakukan sesuatu yang privat.Saat aku masuk, jantungku mencelus melihatnya tengah merapikan barang-barang yang semula tertata di meja. Ia bahkan mengeluarkan kembali pakaian yang sudah dikapstok di lemari.“Din … kamu mau ke mana?”Otomatis ia menoleh. Sekilas kulihat bahunya berjengit mendengar suaraku, seolah ia tengah mengendap-endap akan kabur dari sini. Matanya menatapku sejenak, kemudian kembali mengemasi kosmetik yang berjajar di meja rias.“Aku harus balik ke Jakarta, Rad. Ini nggak bener. Aku nggak harusnya pergi.”Aku mendelik. Secepat ini