Share

Dia yang Menghilang di Hari Lamaran
Dia yang Menghilang di Hari Lamaran
Author: Niswahikmah

1. RIZA: Hari Lamaran

“Ko dah yakin kan, sama dia?” tanya Bapak sekali lagi padaku. Sepertinya itu pertanyaan ketiga sejak kali pertama aku mengenalkan perempuan yang sudah kubelikan cincin dan hendak kulamar hari ini.

Aku tertawa menanggapinya. Bukan karena pernyataannya lucu, tapi karena bapakku yang berdarah Batak itu sudah mengenakan baju adat, begitu pula aku, dan kami sedang didandani di depan cermin besar yang tersedia di ruang rias tempat kami akan segera melaksanakan prosesi lamaran, ketika beliau menyatakan itu.

“Jangan banyak ketawa ko, Bapak serius ni.” Kini wajahnya dibuat seolah bersungut-sungut, padahal aku tahu sebenarnya ia hanya sedang sangat gugup. Aku bisa menebak dari jemarinya yang terus ditautkan sedari tadi, ditambah sikap tubuhnya yang tak bisa tenang, padahal Bapak biasanya selalu tegas dan berwibawa. Jarang melihatnya canggung berhadapan dengan apa pun. Mungkin darah Batak yang kental itu penyebabnya. Paling-paling ia hanya canggung kalau dipuji mengenai romantisnya ia pada Ibu kalau Ibu sakit—sikap yang ia kubur dalam hati ketika ibu kami sehat.

“Aku juga serius, Pak. Masa sudah buat acara semegah ini, ndak serius?” Aku menyengir, berusaha membuat Bapak lebih relaks. Namun, bukannya berhasil, ia malah menoleh dengan mata tergenang. Sungguh, itu bukan sosok yang biasa kulihat darinya.

“Riza ndak ke mana-mana lho, Pak. Masih di Jakarta,” aku mengingatkan. Keluarga kami sudah lama menetap di Jakarta, tapi kebetulan aku mendapat calon istri yang keluarganya asli Bogor. Tentu saja persoalan tempat tinggal usai menikah harus didiskusikan, dan itu membutuhkan waktu agak lama, sampai akhirnya dia sepakat untuk tetap di Jakarta.

Selain karena keluarganya sadar perempuan memang harus ikut suami, toh pekerjaan kami memang ada di ibu kota ini. Pertemuan kami terjadi di sini, pernikahan di sini, dan kami akan beranak pinak di sini. Ya, kami tentu akan tetap bertandang ke Bogor beberapa bulan sekali, toh itu tidak jauh. Dan, ke Manado setahun sekali, itu sudah tradisi. Aku tersenyum mengingat dalam beberapa jam lagi, hubungan ini selangkah mengalami kemajuan. Aku berdoa dengan sungguh-sungguh agar seluruh prosesi acara sesuai tanggal yang ditentukan berjalan lancar.

Stylist yang sedari tadi merapikan pakaian adat yang aku dan Bapak pakai, tersenyum menatap kami yang tampak serasi di depan cermin. “Tinggal make up dan hair do-nya, ya, Mas,” ujar lelaki itu—yang meski bekerja di dunia desain pakaian, tapi tidak kemayu sama sekali. Ia melipat kemeja hingga pertengahan lengan, mengacungkan jempol melihatku.

“Oke. Bisa minta tolong sekalian panggilin fotografernya, Ri? Kayaknya habis ini kita masuk sesi foto,” ujarku saat ia akan berbalik menuju pintu ruangan. Lelaki bernama Ari itu mengangguk sekilas, lantas sosoknya keluar ruangan.

Ruang ganti yang terletak di belakang studio televisi ini diisi lemari dengan deretan kostum yang biasa dipakai pengisi acara di televisi. Sebagian besar merupakan kostum dari sponsor sehingga dibungkus plastik tebal setelah di-laundry. Tak jarang sebagian kostum dipakai bergiliran antar pengisi acara. Agar tidak terkesan pasaran, nantinya para stylist akan menambahkan aksesoris atau melipat beberapa bagian—untuk baju wanita biasanya—sehingga tampak seperti kostum yang berbeda.

Bapak baru saja duduk di depan meja rias, menunggu penata rambut dan make up artist yang belum juga tiba, ketika derap langkah itu menginterupsi keheningan. Aku yang tengah memeriksa ponsel untuk membuka beberapa chat yang menumpuk, mengalihkan atensi saat suara perempuan terdengar di rungu.

“Riza, Andina sudah kamu telepon?” Aku dan Bapak sama-sama menoleh, mendapati ketua wedding organizer, Mbak Lelita, tengah berkutat dengan ponselnya sambil sesekali menatap kami.

“Aku udah coba telepon dari pagi tadi, tapi nggak ada jawaban. Harusnya sekarang dia udah dirias. Aku nahan-nahan ngomong dari tadi, takutnya cuma kecemasanku aja yang berlebihan,” kata Mbak Lelita, membuatku terenyak.

“Mbak udah coba telepon? Tadi subuh aku udah chat dia sih…,” gumamku.

Mbak Lelita menggeleng. “Nggak diangkat juga, Za. Coba kamu yang telepon, kali aja diangkat.”

Segera aku rungsing mengambil ponsel dan menekan tombol untuk menelepon Andina. Bisa-bisanya dia belum datang jam segini? Memang sih, kami harus ngobrol panjang kemarin mengenai konsep lamaran yang akan disaksikan berjuta pasang mata ini. Pihak wedding organizer ingin mengusahakan yang terbaik dan mendengarkan keinginan-keinginan kami untuk kemeriahan pesta hari ini. Bahkan kemarin kami juga mengundang pengisi acara untuk gladi resik, seperti band yang akan mengisi lagu, penyanyi, pembawa acara, serta beberapa teman yang bersedia membantu urusan dekorasi panggung dan fotografi pra-lamaran. Persiapan itu memakan waktu lama sehingga kami baru selesai malam hari. Aku menyuruh Andina pulang lebih dahulu karena ia tampak sudah mengantuk. Apa itu sudah terlalu malam untuknya, atau ia terlalu kelelahan hingga sulit bangun pagi ini? Atau ada kemacetan di jalan sehingga ia tidak bisa sekadar menengok ponsel? Tapi biasanya ia yang paling sibuk mengabari dan suka ngambek kalau aku tidak juga menjawab.

Harusnya sesuai jadwal, satu jam dari sekarang, kami harus berfoto untuk pra-lamaran, lalu setelahnya baru digelar prosesi lamaran yang akan disiarkan langsung di dua saluran televisi nasional, dua saluran televisi lokal, dan live streaming di I*******m, Youtube, serta F******k.

Tut… Tut…. Nomor yang Anda hubungi sedang berada di luar jangkauan.

Aku melotot mendengar sahutan dari seberang sana. Kok bisa, nomornya di luar jangkauan? Dia di luar kota? Tidak mungkin. Andina sudah menunda semua jadwalnya sebulan sebelum ini. Atau mungkin dia kebetulan kehabisan baterai di jalan? Tapi Andina tipe wanita yang selalu membawa power bank ke mana-mana karena baginya meng-update status ke media sosial itu penting untuk tetap menenangkan hati penggemar. Apa kebetulan tidak ada sinyal? Rasanya ini jauh lebih mustahil, karena meski di Bogor pun, rumahnya tidak berada di daerah yang tinggi seperti Puncak. Sinyal mudah didapat. Apalagi kalau dia sudah tiba di Jakarta, tak mungkin ada masalah sinyal.

Lalu apa? Kami sudah memutuskan semuanya bersama. Tanggal ini, bukan hanya aku yang mau. Dia selalu berbunga-bunga jika membicarakannya. Sorot matanya menatapku dengan penuh cinta setiap bilang, “Terima kasih sudah mengabulkan impianku.” karena dia sangat ingin dilamar dan menikah pada tanggal cantik.

11 Januari 2021 untuk tanggal lamarannya, sementara 21 Februari 2021 adalah tanggal pernikahan. Di antara dua tanggal itu, ada juga tanggal lain untuk menyelenggarakan pengajian.

“’Cam mana, Za? Sudah diangkat?” Suara Bapak yang khas langsung merenggut kebingunganku. Aku mengalihkan pandangan padanya dengan wajah linglung. Aku yakin aku pucat sekali saat ini, karena jantungku berdebar begitu kencang seperti orang yang nyaris pingsan karena kelelahan atas hukuman berlari.

Tidak mungkin ini terjadi lagi, kan? Pernikahanku akan tetap berlangsung, kan? Seluruh kekhawatiran tiba-tiba menyerbu dalam kepala.

“Za? Riza!” Bapak menggoyang-goyang lenganku, membuatku sadar kembali dengan kenyataan. Sesaat kulihat ponselku dan menemukan sebuah pesan dari Andina bersarang di notifikasi.

Saat kubuka, tubuhku tak lagi sanggup menopang diri dan jatuh terduduk di kursi yang tak jauh dari cermin besar tempatku mematut diri.

My Love

Maaf, Riza, kayaknya ini nggak akan berhasil. Aku udah berusaha, tapi cintaku sama Radi tetep lebih besar. Aku nggak mau nyakitin kamu lebih dalam lagi. Lebih baik kita berhenti sampai sini.

“Riza, kamu kenapa? Andina hubungin kamu? Kalo nggak diangkat teleponnya, kirim chat coba,” Mbak Lelita mencecarku. Bola matanya yang berwarna kelabu akibat contact lens bergerak-gerak, mencari suaraku.

Aku sungguh tidak ingin menyerahkan ponselku. Aku ingin percaya bahwa ini bohong. Mungkin aku belum terlambat. Dia hanya bercanda. Dia pasti hanya bercanda, kan? Tidak mungkin dia akan membatalkan sesuatu yang sudah jadi mimpinya. Aku masih ingat benar bening matanya semalam, begitu antusias memberitahu detail konsep, bahkan ikut membantu membuat dekorasi pernak-pernik panggung. Lagi pula, kami sudah tahu sama tahu kisah masing-masing. Dia tahu hatiku yang patah karena pernikahan yang batal setahun lalu.

Meski tak yakin, aku tidak bisa berhenti di sini. Mataku melirik pada Bapak yang juga tampak menunggu jawabanku dengan alis bertaut. Wajah khas suku Bataknya semakin tampak terlipat jika sedang cemas. Maka, kuputuskan menggeleng pada Mbak Lelita, menjawab dengan sesuatu yang tak nyata.

“Andina bakal sampai sebentar lagi.”

Jawabanku membuat wajah Mbak Lelita segar kembali, dan Bapak menghela napas lega. Sementara aku … aku masih memandangi ponsel, mencoba mengetikkan sesuatu untuk mengembalikan dia padaku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status