“Tunggu saja, Key. Aku akan membalasmu lebih menyakitkan daripada ini.” Melodi bermonolog sendiri dengan wajah memerah dan tangan yang tergenggam.
***Sampai di kamar Key kembali membuka ponsel. Ia menghela napas berat. Ia sudah tahu Javi masih dalam perjalanan dengan ponsel tidak bisa aktif, tetapi masih saja berharap ada keajaiban.Ia menghempaskan badan ke atas ranjang, kemudian menatap langit-langit kamar. Ia bertanya-tanya beginikah rasanya rindu? Bahagia, tetapi pada saat bersamaan juga nelangsa. Mungkinkah yang ia rasakan hanyalah bentuk ketergantungan? Terutama dalam situasi seperti ini. Situasi yang tidak berani iya bayangkan sebelumnya. Menjadi perhatian publik hanya dalam beberapa jam.Sebuah ketukan pintu membuatnya terduduk.“Kak.”“Masuklah,” seru Key sambil duduk.Pintu terbuka, Jeno hanya berdiri di tengahnya. “Aku cuma mau memberi tahu, mungkin saja Kakak lupa membuka pesan.”Key menghela n“Nona datanglah cepat ke rumah sakit. Terjadi sesuatu pada Aden.” Neal yang mendengar percakapan itu ikutan cemas. Terlebih lagi terdengar isak dari si penelpon.“Bi, kenapa Bibi menangis. Katakan apa yang terjadi?” Key mulai dikuasai panik. ***Key berlari menuju ruangan yang diberitahukan Bibi Nurul. Meski tidak tahu pasti bagaimana kondisi Javi, tangis Bibi Nurul sudah cukup membuatnya sangat cemas. Neal dan Bapak Isa kewalahan mengimbangi langkahnya. “Bi, bagaimana keadaannya?” tanyanya bahkan masih jauh dengan Bibi Nurul. Terlebih dahulu Bibi Nurul memegang tangan Key dan mendudukkan ke bangku panjang. “Belum tahu. Aden masih di dalam.” Tunjuk Bibi Nurul pada ruang tindakan yang tertutup pintunya. “Sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Key masih berselimut panik. “Dia mengeluh sakit dada. Lalu dia minta Bibi menemaninya ke rumah sakit. Tapi dalam perjalanan Aden sudah tidak sadarkan diri.” Key mengambil alih dan menggenggam tangan Bibi Nurul. Ia dapat merasakan bagaimana
Melodi meneguk pelan teh itu. Sesaat Javi dan Key kembali bersitatap, saling bertanya dengan raut. “Maafkan aku,” ucap Melodi setelah sekian lama terdiam. Matanya mulai mengaca. “Atas?” tanya Key kebingungan. Ia sedikit cemas, mengingat Javi dan Melodi sama-sama manipulatif. Ia tidak bisa lagi membedakan mana kejujuran dan akting. Bahkan kepada Javi pun ia tak sepenuhnya bisa memahami, meski masih memiliki kepercayaan. “Aku … aku yang menjebak kalian malam itu hingga kalian tidak sadarkan diri. Javi tidak melakukan apapun padaku malam itu. Maafkan aku.” “Aku tau itu, tapi kenapa kau tiba-tiba datang minta maaf? Trik apa lagi yang ingin kau mainkan?” tuding Key. Melodi mengangkat wajahnya. “Kau tau itu?”“Hanya menebak.”“Jadi benar, selama ini kalian hanya berpura-pura padaku?” tanya Melodi dengan nada sinis.Key menghela napas beratnya. Ia tahu tipe seperti Melodi, susah mengakui kesalahan bahkan sering me
Darren kembali merebut dan melempar ponselnya dengan napas memburu. “Percuma, Mel. Javi sudah lama meminumnya. Seharusnya obatnya sudah mulai bekerja, tidak dapat diselamatkan lagi.”“Kenapa Papa lakukan ini?” Melodi tersungkur ke lantai dengan tangis yang menderu. “Papa tahu aku sangat menyukainya dari dulu … Papa jahat sekali. Kenapa Papa lakukan ini?”“Lalu kau pikir Javi harus menyukaimu? Dasar anak tak pernah sadar diri. Kau lupa Javi selalu menatap dingin padamu?”Melodi terdiam dengan air mata terus bercucuran. Ia ingat itu. Bahkan sakit yang ia rasakan masih terasa. Namun, selama diberi kesempatan bersama, ada harapan buatnya untuk meraih hati Javi. Tapi sekarang …. “Kau tidak pikir bagaimana dia yang di masa lalu dingin kemudian tiba-tiba tunduk padamu?”“Karena dia merasa bertanggung jawab,” sahut Melodi. Darren tergelak. “Mel, Mel, kau pikir dia mudah dijinakkan hanya dengan begitu?”“Nyatanya? Selama dia ma
"Lalu kenapa ke sini? Kenapa tidak istirahat saja ke dalam kamar?""Kau membolehkanku masuk ke kamar?" Kembali Key merasakan wajahnya menghangat. Ide punya anak benar-benar membuat otaknya tidak lurus. Padahal bagi Javi, mungkin saja hanya istirahat biasa. "Bukankah kamar itu juga milikmu?" sahut Key sambil memalingkan wajah. Ia mengayunkan kakinya dengan gerakan cepat. Sementara itu, Javi tak dapat menahan senyumnya. Key membiarkannya masuk kamar saja sudah angin segar buatnya. ***"Kau tidak ingin mandi?" tanya Key pada Javi yang duduk di tepi ranjang ketika ia keluar dari kamar mandi. "Sudah tadi, sebelum kau datang," sahut Javi sambil membuka halaman buku yang ia pegang. "Begitu," gumam Key, kemudian duduk di kursi meja rias. Javi meletakkan buku ke dalam nakas, kemudian berbaring dan memejamkan mata. Key mengintipnya di balik cermin riasnya. Ia dapat bernapas lega melihat Javi yang memejamka
Javi mengangkat ragu. Sesaat Javi memperhatikan kedua pria dewasa yang meneguk minuman itu hingga akhirnya tanpa ragu ia ikut meminum. Tanpa Javi ketahui, kedua pria itu saling bersitatap dan tersenyum tipis ketika melihat mangkuk Javi telah kosong. ***"Pak, tolong berhenti," pinta Javi pada keluarga ibunya. Pak sopir langsung menepikan mobil di halaman sebuah mini market yang luas. "Kenapa?" tanya Zivana. "Aku mau ke perusahaan. Ada yang harus aku kerjakan," sahut Javi. "Ini sudah malam, Javi," tukas Zivana. "Sudahlah, Ma. Mumpung dia lagi bersemangat," sela Ferren. "Tapi …""Tidak apa."Javi keluar dari mobil. "Terima kasih, Pak."Sopir hanya mengangguk sopan dan kemudian melajukan mobilnya. "Gimana sih Papa ini?" protes Zivana ketika mobil telah melaju. Sesaat ia dapat melihat Javi yang mengoperasikan ponsel. "Gimana maksudnya? Biarkanlah kalau
Javi beranjak pergi, tetapi baru selangkah tiba-tiba terhenti. Ia menoleh pada tangannya yang dipegang Key, kemudian beralih pada mata yang terpejam. Dengan pelan mencoba melepaskan pegangan itu, tetapi malah makin mengerat. “Key.”Tak ada jawaban dan mata Key masih terpejam. Ia memutuskan duduk di samping Key. Key masih memegang pergelangan tangannya saat ia melepaskan dasi, membuka sebiji kancing, mengeluarkan ponsel dan dompet dari saku. Key langsung merapatkan badannya begitu Javi berbaring. Rasa rindunya kembali membara. Ia hanya bisa melampiaskan dengan ciuman yang dalam ke ubun-ubun Key. Ia harus kuat menahan diri. “Key, besok aku akan bertandang ke rumah orang tua Melodi. Aku tidak tahu siasat apa yang mereka rencanakan. Hanya saja, aku merasa sesuatu yang besar akan terjadi. Aku hanya berharap, kita memiliki usia dan kebersamaan yang panjang. Memiliki anak cucu dan melihat mereka sehat dan terus berkembang.”Sesaat ia menatap langit-langit kamar. Teringat daftar obat yang