"Saya terima nikahnya Mega binti Bapak Subarjo dengan mas kawin tersebut dibayar tunai"
"Bagaimana saksi"
Sah... Riuh para saksi pernikahan kami. Kami menikah secara siri jadi hanya beberapa orang saja datang menghadiri acara sakral ini.
Meski tidak megah, tidak ada pesta. Aku bahagia. Setidaknya kami sudah sah daripada terus jatuh dalam kubangan dosa.
Sebenarnya Suamiku memiliki istri bernama Tia, dia adalah sahabatku. Sedangkan Aku baru saja bercerai. Tialah yang membantuku proses perceraian, tetapi tidak dengan proses pernikahan ini. Tia tidak tahu suaminya menikahiku.
Malam yang dinanti pun telah tiba. Malam pertama sepasang pengantin yang romantis. Biarpun sering melakukan, malam ini terasa lebih indah.
"Sayang," Mas Indra, memandangku penuh nafsu. Tenggorokannya terlihat naik turun menelan saliva. Lelaki manapun tak tahan melihatku, berdiri dihadapannya memakai lingerie.
"Kamu memang tau apa yang ku suka" bisiknya ditelingaku. Membuat aliran darahku berdesir. Mas Indra mengelus paha mulusku semakin membuat nafasku tak beraturan.
Aku sudah tak sabar langsung menciumnya. Begitupun Mas Indra terlihat menikmati. Pelukannya semakin erat. Kami berdua saling menikmati
Mas Indra semakin panas. Melepas kancing bajunya. Lalu, tangannya menjalar ke dalam isi bajuku.
"Mas, kita di sofa" Aku berbisik seraya mendesah.
Mas Indra langsung membopongku. Memindahkanku ke kamar tidur, lalu menurunkanku dengan pelan seakan tak mau lepas dari pelukan.-------
Hari sudah pagi Mas Indra harus pulang ke rumah, Tia pasti sudah menunggunya. Sedangkan Aku pulang malam agar tak menimbulkan kecurigaan. Aku memang tinggal dengan Tia dan Mas Indra. Aku menumpang di rumahnya, tapi sekarang aku kembali bukan sebagai sahabat melainkan madunya."Hai, Mega, kamu sudah sampai" sambut Tia begitu membuka pintu. Aku hanya bisa tersenyum.
"Kamu udah makan belum, kebetulan aku lagi makan sama Mas Indra. Makan bareng, ya" tawarnya penuh semangat.
"Em," Aku hanya bisa mengulum bibir, aku takut tak bisa mengontrol kebahagiaanku, saat tatapanku bertemu Mas Indra. Biar bagaimana pun kita masih pengantin baru.
"Kamu kok, diam aja. Kamu baik-baik aja, kan" timpal Tia.
"Aku baik, kok" jawabku singkat.
"Terus kenapa kamu diam aja. Orang tua kamu di kampung sehat, kan?" tanya Tia.
"Sehat, Tia. Aku cuma enggak enak aja masih numpang rumah kamu terus" ucapku pura-pura sedih.
"Enggak papa kali, Mega, aku seneng ada Kamu. Pokoknya sampai keadaan kamu membaik, terus dapat kerjaan yang mapan. Kamu baru boleh cari tempat tinggal. Sekarang kamu disini dulu" jelasnya panjang lebar.
Uhuk...uhuk.. Mas Indra batuk, tersedak melihat aku datang. Tia langsung menyodorkan minum.
"Pelan-pelan Mas, kamu kenapa coba pake kesedak?" ucap Tia khawatir Suaminya.
"Aku udah kenyang, Dek. Aku mau lanjut kerja dulu ya," pamit Mas Indra berlalu meninggalkan meja makan.
Aku dan Tia makan sambil bergurau. Tia ada disetiap keadaanku, tapi aku juga memiliki suaminya sekarang. Perasaan bersalah sering terbesit dalam pikiranku, tetapi hatiku juga butuh kehangatan. Haus akan birahi dan cinta.
Jam dinding menunjukan pukul 02.00 WIB, tapi mata ini tidak mau berkompromi dengan tubuh. Aku merindukan suasana di hotel yang begitu indah tanpa rasa waswas.Ceklek... Suara pintu pelan terbuka, rupanya Mas Indra. Aku senang Mas Indra akhirnya datang menemaniku.
"Kok, lama sih, Mas" Aku memanyunkan bibir.
"Kamu yang sabar, ya" Mas Indra memelukku.
"Aku kan, kedinginan" Aku beralasan ingin menahan Mas Indra malam ini,"Pokoknya kamu sabar ya, nanti kalau udah Aku beliin rumah kita bakal aman. Enggak ada yang ganggu" ucap Mas Indra mengecup keningku.
Lalu berlalu meninggalkanku. Akhirnya Aku kalah. Melawan sepi malam ini sendirian. Tanpa teman hanya selimut tanpa rasa yang mengerti.
Semalaman Aku menunggu Mas Indra, tetapi Mas Indra datang hanya memelukku sebentar. Aku membayangkan Mas Indra bermesraan dengan Tia, padahal itu sudah kewajibannya kenapa sekarang Aku cemburu? Apakah aku telah dikuasai cinta yang buta. Ah, sudahlah aku tak mau memikirkan, toh, aku bahagia jadi istri sirinya. Berbading terbalik dengan mantan suamiku. Mungkin jika, Tia tidak datang aku sudah mati dihajarnya.
Aku segera Mandi, kemudian bersolek agar Mas Indra semakin menginginkanku. Aku juga akan berpura-pura mencari kerja demi bisa berduaan dengan Mas Indra nanti dalam perjalanan.
"Selamat pagi, sarapan yuk, Meg" Ajak Tia masih menata meja mempersiapkan sarapan.
Aku menarik kursi makan kemudian duduk disusul Mas Indra, sungguh pagi yang indah Aku dapat kursi dekat dengannya kemudian Tia ikut duduk, aku jadi sadar harus tau diri.
"Kamu udah cantik banget Meg, mau ke mana?" tanya Tia. Mas Indra meliriku. Aku yakin Mas Indra sudah merindukanku.
"Mau cari kerja, Ti," jawabku
"Kamu udah pesan taxi," tanyanya lagi.
Memang jarak ke jalan raya jika jalan lumayan ngos-ngosan."Hm, belum sih, aku kan bisa nebeng kamu" ucapku.
"Antarin aja, dek" timpal Mas indra.
"Aku udah telat Mas, aku buru-buru. Kamu aja ya, gak papa kan Meg" ujar Tia. Sambil berlalu
"Dek, sarapan dulu!" Mas Indra masih mengingatkannya sarapan. Meski yang ditawari sudah mengangkat kaki pergi.
Yes... Trikku berhasil. Tia adalah seorang dokter. Hari-harinya dihabiskan melayani pasien. Jadi tidak salah 'kan, kalau aku menggantikan melayani suaminya sebentar selama dia tugas.
Tia memang sahabat terbaik, sangat pengertian. Aku rindu Mas Indra, diapun memberikan ruang untuk kami.
Aku merapatkan tempat dudukku mendekati Mas Indra, tidak ada sekat dalam tubuh kami. Mas Indra juga merasa nyaman, tanganya malah memeluk pundakku sambil menikmati sarapannya. Tak lupa menyuapiku juga.
"Kamu beneran mau cari kerja?" tanya Mas Indra.
"Hm, sebenarnya enggak. Cuma alasan biar bisa semobil sama Mas" jawabku cengengesan manja. Biar makin klepek-klepek Mas Indra.
"Kamu ya, ada aja triknya" sambil mengacak rambutku seperti anak kucing.
"Aku kan, kangen, Sayang" ucapku sambil berdesah manja.
"Nanti ya, sabar. Hari ini aku harus kerja" sambil mengecup pipiku.
"Iya, deh" ucapku setengah jengkel. " Aku mau jalan-jalan" lanjutku lagi.
"Nanti aku transfer, tapi jangan nakal ya, jangan lirik cowok lain"
"Iya Mas,"
Kemudian mobil Mas Indra meninggalkan rumah. Siap mengantarku ke tempat mall yang mewah. Aku mencium punggung tangan Mas Indra layaknya suami istri. Tak lupa Mas Indra mencium keningku.
Aku menuju sebuah toko kosmetik, sudah lama aku tak pernah melihat kosmetik mahal. Aku harus membelinya supaya makin cantik biar Mas Indra makin cinta.
Hari sudah mulai sore. Aku capek seharian menghabiskan waktu di mall ini, segalanya sudah aku coba, kecuali, baju aku tak membelinya takut pas pulang ketahuan Tia, ditanya-tanya aku tak punya alibi. Nyalon sudah, makanan sudah ku cicipi. Aku ingin pulang lebih baik aku telpon Mas Indra aja ah, biar dijemput.
Tut... Tut... tut
"Halo," suara wanita disebrang telephon. Ya, suara Tia, itu artinya dia sudah pulang. Duh, aku harus jawab apa. Ceroboh sekali aku.
Bab 2 Aku bingung harus jawab apa. Kenapa bisa Tia, yang menjawab. Ke mana Mas Indra? Lebih baik aku matikan saja, anggap saja aku tak menelepon Mas Indra. Akhirnya aku pulang naik taxi. Sebelum masuk rumah, aku menghembuskan nafas. Kakiku terus berjalan, tapi hati dan pikiranku menolak. Ingin segera pindah. Beginikah rasanya serumah dengan madu! "Assalamua'laikum," Aku memgucapkan salam sembari mengetuk pintu. "Waalaikum salam," Terdengar sahutan Tia dari dalam. "Meg, kamu jalan kaki, harusnya telpon aku biar aku jemput," ucap Tia penuh khawatiran. "Enggak kok, Tia, aku naik taxi tadi. Baru pergi tu, taxinya," ucapku menunjuk jalan Aku mandi, kemudian merebahkan diri di kasur. Ingin ikut makan malam, tapi malas karena udah makan tadi di restoran. "Mega, ayo kita makan sama-sama," jeritan Tia terdengar. Aku tidak ingin beranjak menyaksikan mereka makan berdua tapi, Tia begitu baik membuatku t
Bab 3"Mas Indra!" suara Tia, terdengar makin kuat. Aku yakin pasti Tia, sedang mencari keseluruh ruangan. Aku langsung menyuruh Mas Indra lewat jendela. Kebetulan sekali kamarku jendelanya langsung kearah belakang. Mas Indra bisa langsung bersembuyi di dapur."Ada apa sih, Tia? Pagi-pagi udah kaya sempritan aja. Kenceng bener" cecarku sok asyik."Tumben udah bangun kamu, Meg. Biasanya masih molor." ledeknya, sepertinya Tia tak menaruh curiga. 'Selamet-Selamet'."Kamu lihat Mas Indra, enggak, Meg" tanya Tia."Lah, mana aku tau. Dia kan suamimu" ucapku sok cool."Yeh, orang aku cuma tanya. Kok, gitu sih" Tia nampak kesal."He-he-he. Aku enggak liat, Tia" ucapku cengengesan. Aku tidak ingin kelihatan gugup agar Tia tidak curiga."Hai, Dek" sapa Mas Indra, muncul membawa cangkir."Mas Indra, kamu habis ngapain" Tanya Tia,"Bikin susu buat kamu. Boleh,
Bab 4Aku hanya kekasih yang disimpan. dikeluarkan jika perlu, disembuyikan bila tak dibutuhkan. Lantas, sekarang aku cemburu menyaksikan dua insan saling bahagia, meski ku tahu Mas Indra melakukan itu agar Tia tak curiga. Aku tahu cincin berlian yang indah itu di peruntukan aku.Mereka berpelukan dalam bahagia. Tia terlihat begitu mencintai Mas Indra. Sedangkan tatapan Mas Indra terus mencuri pandang terhadapku."Kamu bener-bener romantis banget, Mas." ucap Tia. Terlihat begitu bahagia memandang terus cincin yang diberikan suaminya."Aku jadi iri deh, sama kalian" Aku berusaha tersenyum meski sebenarnya kesal."Aku yakin kamu bakal nemu pasangan seperti Mas Indra. Kamu yakin aja, ya" timpal Tia dia terlihat bahagia, aku iri padanya yang bisa bahagia sesimpel itu."Mega, kamu sendirian aja disini" Mas Indra bertanya seolah kita tak bertemu. Ada yang mengganjal melihat perlakuan Mas Indra. Ah, sepertinya aku telah dirudung asmara.
Bab 5Aku keluar dari kamar. Ada rasa gemetaran dalam hati, namun saat keluar yang ku lihat Mas Indra sedang menyantap pizza.Oh, rupanya hanya kurir. Hampir membuat jantungku copot saja, dan Mas Indra. Kelaparan ia kah? sampai disaat seperti ini sanggup makan.Akupun ikut makan bersama Mas Indra, dengan duduk dipangkuannya. Aku bisa romantis bukan, makanpun penuh dengan kemanjaan. Kapan lagi? Kalau tidak sekarang. Beginilah nasib menjadi Istri kedua, diutamakan tapi nunggu giliran.------------------Aku dan Mas indra menikmati angin pantai Bali, hari-hariku terasa indah, bila boleh diminta aku ingin lebih lama lagi, tetapi tuntutan pekerjaan Mas Indra tak bisa lama.Ting... Sebuah pesan masuk[ Mega, kamu dimana? Katanya kamu cuti. Dikontrakan enggak ada. Kamu pulang kampung kah? ]Pesan dari Tia berurutan disertai puluhan panggilan telepon.'Tia, Tia. Tak bisakah kamu tak mengangguku saat ini. Aku ingin bersama Mas
Bab 6Meski kami kembali berbaikan, aku dan Mas Indra sepakat tak bertemu beberapa minggu. Kami takut Remon memata-matai kami. Sekaligus sebagai pelajaran supaya lebih berhati-hati lagi.Sampai suatu hari aku mendapat panggilan telfon misterius, setiap hari mengirim pesan. Mas Indra menyuruhku memblokir nomer tersebut, tetapi nomer tersebut mengirim sebuah foto, bahkan foto kami di Bali. Lalu sebuah pesan ancaman bermunculan.[ Temui aku, lok. Gedung Jaya xxx no.1xxx ]Aku tak pernah membalasnya, namun kali ini terpaksa aku membalas. Siapa dia? Apakah Remon?[ Siapa kamu? ][ Aku pelacur! ] jawaban pesan ini membuat otakku mendidih. Aku langsung pencet tombol call, tapi herannya peneror tak mengangkat.[ Angkat telfonmu pecundang! ] pesan makian pun terkirim.[ Datang ke sini atau ku kirim foto ini ke madumu ]Aku tak membalasnya, aku langsung menghubungi Mas Indra. Aku hampir stres diteror terus menerus.
Bab7Remon kebingungan, melihat aku menembak Mas Indra. Lalu, suara sirine polisi terdengar nyaring."Kurang ajar!" maki Remon, terjawab sudah kebingungannya."Sialan!" Remon menamparku lalu, merebut pistol dari tanganku."Daripada aku di tangkap polisi Karena dijebak. Aku lebih memilih pembunuhan" Remon menodongkan pistol ke arah kami.Remon menarik pelatuk pistol, tapi sangat di sayangkan pelurunya kosong. Aku sudah hapal akal bulus Remon. Sengaja aku mengosongkannya.Pucuk dicinta ulampun tiba, momen Remon seperti seorang penjahat disitu polisi datang."Jangan bergerak! Angkat tangan!" seru seorang polisi. Akhirnya Remon hanya bisa pasrah. Dia tak bisa menyangkal tuduhan. Polisi melihat sendiri adegannya. Aku ditodong pistol, Mas Indra tertembak serta tas berisi uang ada di tangan Remon.----------"Ini Rencana kamu, Meg?" Mas Indra bertanya melalui bisikan telinga"Kamu gila! Kamu mau membunuhku!"
Bab 8Sebelum ke pengadilan aku sengaja mendatangi Remon. Aku ingin melihat betapa sengsaranya ia berada di jeruji besi."Mau apa kamu ke sini, jalang!" sapaan Remon terdengar mengerikan layaknya bajingan."Aku hanya ingin memberimu selamat. Congrolation..." aku memberi kejutan sebuah kue. Kue yang mengingatkanku setiap saat, aku pernah di ambang kematian saat ulang tahunku Remon memberikan kue itu."Selamat menikmati. Aaaaaa" Aku ingin Remon menikmati. Sengaja kusodorkan tanganku ingin menyuapinya, belum sempat sampai ke mulut, Remon menampel tanganku."Kenapa? Kamu takut" Aku tersenyum miris."Aku tak licik sepertimu Remon," Lalu, aku sengaja memakan kue di hadapannya.Tatapan Remon begitu sengit memadangku seolah ingin melahapku hidup-hidup."Lihat aku tak mati, bahkan jika ini beracun pun aku takkan mati" sindirku mengingatkan dengan kejadian dulu."Katakan apa maumu pe-la-cur" Remon bertanya seraya
Bab 9Virus cinta datang menyerangku, aku demam menggigil karena rindu. Sungguh aku tak percaya telah jatuh cinta saat itu, pertemuan lima menit membuat aku selalu terbayang.Kerap kali malam tak bisa tidur, menanti pagi dan sore. Ketika orang lain ingin kemacetan segera berlalu, aku malah ingin berlama-lama, berharap menemukannya ditengah keramaian lalu lintas.Dari kejauhan aku melihat orang berseragam sama seperti orang yang menggugah hatiku. Hatiku berbunga-bunga melihat kejauhan. Aku segera menyela motor-motor di depanku.Akhirnya aku sampai di samping pria berseragam pizza. Pipiku bersemu merah takut dan malu menyapa duluan, lalu aku memberanikan diri."Hai, Remon" aku menepuk bahu pria itu, saat menoleh aku kaget, dia bukan orang yang kucari."Alamak salah orang! Mukanya kaya anoman pula," aku bergumam lirih menahan malu. Orang bergigi berantakan itu malah menunjukan senyum tak indahnya."Apa neng?" Oran