Aku bingung harus jawab apa. Kenapa bisa Tia, yang menjawab. Ke mana Mas Indra? Lebih baik aku matikan saja, anggap saja aku tak menelepon Mas Indra.
Akhirnya aku pulang naik taxi. Sebelum masuk rumah, aku menghembuskan nafas. Kakiku terus berjalan, tapi hati dan pikiranku menolak. Ingin segera pindah. Beginikah rasanya serumah dengan madu!
"Assalamua'laikum," Aku memgucapkan salam sembari mengetuk pintu.
"Waalaikum salam," Terdengar sahutan Tia dari dalam.
"Meg, kamu jalan kaki, harusnya telpon aku biar aku jemput," ucap Tia penuh khawatiran.
"Enggak kok, Tia, aku naik taxi tadi. Baru pergi tu, taxinya," ucapku menunjuk jalan
Aku mandi, kemudian merebahkan diri di kasur. Ingin ikut makan malam, tapi malas karena udah makan tadi di restoran.
"Mega, ayo kita makan sama-sama," jeritan Tia terdengar. Aku tidak ingin beranjak menyaksikan mereka makan berdua tapi, Tia begitu baik membuatku tak bisa menolak.
"Ya, bentar," sahutku dari kamar.
Aku akhirnya datang, aku mengenakan kaos sexy dengan belahan dada terbuka. Aku ingin memancing Mas Indra. Toh, dia suamiku juga, jadi tidak dosa berpakaian terbuka dihadapannya.
"Astagfirullah, Mega!" Tia kaget melihat aku datang, berlari maju menutup pakaian sexyku dengan taplak meja.
"Kamu ini, apa-apaan pakai baju terbuka begitu," ujarnya lagi. Memang baru kali ini aku mengenakan pakaian sexy dirumah Tia.
Huft... 'Kamu yang apa-apaan Tia' gerutuku dalam hati.
"Kamu kalau bisa jangan pakai baju begini ya, kan, disini bukan cuma aku, tapi ada Mas Indra juga. Cepat masuk ganti lagi," nasehat Tia. Mendorongku masuk ke dalam kamar.
Aku sedikit kesal pada Tia, memangnya kenapa kalau ada Mas Indra, dia kan, juga suamiku.
Baju yang sexy menampakan dada birahiku malah ditutupnya pake taplak meja sialan. Pantesan saja Mas Indra lebih suka aku, Aku cantik dan sexy tidak seperti Tia yang berseragam saat pagi sampai sore ketika malam hanya pake daster panjang, jelas saja Mas Indra memilihku.
"Nah, begitukan enak dipandang," sambutnya begitu aku duduk.
"Ya, deh," ucapku penuh senyum semanis raja gula.
Kami makan dalam hening, menikmati masakan Tia yang biasa saja, tapi cukup untuk mengenyangkan perut. Sesekali aku melihat Tia menyuapi makan Mas Indra, mereka terlihat bahagia, aku tak mau terbakar cemburu, aku pun harus mengeluarkan jurus ninjaku. Kakiku bertemu Kaki Mas Indra setelah memeriksa cukup aman, aku mulai membuat gerakan yang bisa merontokan keperkasaan Mas Indra.
Aku dan Mas Indra menikmati suasana ini, aku yakin Mas Indra sudah tidak tahan terlihat dari duduknya, ia nampak gelisah. Gimana enggak gelisah, kakiku punya kemampuan khusus yang bisa membuat Mas Indra merasa gersang alias 'geli-geli merangsang'.
Saat lagi hot-hotnya Tia malah menimbrung dengan pertayaan yang membuatku sedikit gugup.
"Kamu tadi nelpon Mas Indra, kenapa Meg?" tanya Tia, aku hampir tersedak mendengarnya.
"Aku nelpon, Mas Indra, Eng--gak, enggak ada aku nelpon," Aku berpura-pura bodoh. Jangan sampai Tia tanya macam-macam.
"Iya, kamu telpon kok, eh begitu aku angkat kamu diem bae" ujarnya lagi, aku menangkap Tia kurang puas dengan jawabanku.
"Masa sih, mungkin kepencet tadi ya, aku naik bis desak-desakan sih, nyari kerja susah banget," jelasku menampakan muka sedih.
"Kamu naik bis," tanyanya lagi. Akupun hanya mengangguk
"Sekarang udah dapat kerjaan belum," tanya Tia.
"Belum," Aku menggelengkan kepala.
"Kamu yang sabar ya, memang sekarang cari kerja susah. Kamu harus semangat, enggak usah terburu-buru. Kalau butuh apa-apa tinggal ngomong, yang jelas pintu ini selalu terbuka untukmu," ujar Tia penuh ketulusan. Seketika perasaan bersalah menyelimuti hatiku.
"Makasih ya, Ti, kamu memang orang yang baik," ucapku sambil memegang telapak tangannnya.
"Kamu apan sih, Meg, biasa aja. Kamu bukan hanya sahabat aku, tetapi juga keluarga," kata-katanya penuh ketulusan, ada yang tersentuh di ulu hati sampai terasa didadaku.
Malam telah tiba, aku selalu menanti malam. Selama aku masih dirumah ini Mas Indra pasti hanya akan menemaniku sebentar. Tanpa berani melepaskan hasratnya, ia takut ketahuan. Aku hanya menunggu malam, aku tak bisa tidur terus memikirkan hasratku.
Rasa bosan menyelimutiku, aku benar-benar bosan ingin ditemani tidur sepanjang malam tapi, apa daya. Aku hanya madu yang disembuyikan.
Seperti biasa, rutinitas setiap malam terjadi Mas Indra datang ke kamarku namun, malam ini Mas Indra datang lebih awal. Padahal jarum jam baru menunjukkan jam sebelas. Apakah Tia tidak akan terbangun? Lah, biar saja Tia bangun lagian aku juga istrinya.
"Tumben cepat, Mas," tanyaku begitu Mas Indra menutup pintu kamarku.
"Pelan-pelan ngomongnya, Sayang," jawab Mas Indra dengan suara bisikan. Duh, bikin aku tambah pengen
"Iya, emang Tia udah tidur? Nanti kalau kebangun gimana," timpalku. Tak lupa tanganku mulai memeluknya. Aku tak ingin kehilangan moment.
"Aku kasih obat tidur. Habisnya kamu goda aku tadi, aku jadi enggak kuat," ucap Mas Indra. Trikku berhasil kan. Sudah ku katakan ini adalah keistimewaan dariku.
"kalau udah keburu enggak tahan kenapa enggak sama Tia dulu, Mas," tanyaku memancingnya.
"Tia capek katanya," jawabnya dengan ekspresi datar. Menunjukan kalau Mas indra kecewa.
"Tenang, Sayang, ada aku yang akan melayanimu," bisikku ketelinganya. Lalu aku pergi melepas pakaianku.
Mas Indra memandangiku melepas pakaian, matanya memancarkan ketidak sabaran, lalu ia langsung memelukku, menciumku dengan penuh gairah. Aktivitas malam pun selesai, Mas Indra nampak puas atas pelayananku, terlihat ia masih memelukku meski hasratnya sudah tertunaikan.
"Sayang, minggu depan Mas belikan rumah," ucap Mas Indra.
"Beneran, Mas," Aku bahagia. Reflek mengeratkan pelukanku.
"Iya, kamu tinggal pilih mau dimana? Seperti Apa? Apartemen juga boleh," tawarnya lagi. Ini adalah saat terbahagia karena, dengan rumah sendiri aku dan Mas Indra akan bebas melepas rindu. Meski konsukuesinya berat. Jarang bertemu.
"Aku terserah Mas, ajalah. Yang penting kita bisa bersama dengan aman," ucapku manut saja. Terserah mau ditempatkan dimana. Namanya juga dikasih terserah yang mau ngasih dong, milih tempatnya.
"Tapi, nanti kita jarang ketemu dong, Mas," ucapku sedih.
"Nanti, Mas usahain tiap minggu kita ketemu," jawabnya mengecup keningku.
"Makasih ya, Mas aku makin cinta," akupun tak kalah mesra, mengeratkan pelukan agar semakin hangat.
Azan subuh terdengar ditelingaku, badanku rasanya enteng setelah pertarungan semalam. aku mulai membuka mata dengan hati gembira dan akupun kaget.
"Mas, bangun udah subuh," Aku membangunkan Mas Indra. ternyata Mas Indra ketiduran dikamarku bisa berabe kalau Tia sudah bangun.
"Iya, Dek bentar. Mas sholat, kok," jawab Mas Indra. Rupanya dia setengah sadar.
"Mas, ini aku Mega. Cepetan bangun. Nanti Tia keburu bangun," suruhku cepat-cepat. Aku bukan takut ketahuan, tapi aku belum siap. Mana Mas Indra belum pake baju pula.
"Apa!" Mas Indra kaget setengah menjerit.
Hustt... "Jangan kenceng-kenceng" sambil menempelkan jari telunjuk dibibirku.
"Cepat pake bajumu, Mas," suruhku sambil memunguti bajunya yang berserakan semalam.
"Mas Indra... " panggil Tia
Aku, Mas Indra, saling melempar pandangan....
Bab 3"Mas Indra!" suara Tia, terdengar makin kuat. Aku yakin pasti Tia, sedang mencari keseluruh ruangan. Aku langsung menyuruh Mas Indra lewat jendela. Kebetulan sekali kamarku jendelanya langsung kearah belakang. Mas Indra bisa langsung bersembuyi di dapur."Ada apa sih, Tia? Pagi-pagi udah kaya sempritan aja. Kenceng bener" cecarku sok asyik."Tumben udah bangun kamu, Meg. Biasanya masih molor." ledeknya, sepertinya Tia tak menaruh curiga. 'Selamet-Selamet'."Kamu lihat Mas Indra, enggak, Meg" tanya Tia."Lah, mana aku tau. Dia kan suamimu" ucapku sok cool."Yeh, orang aku cuma tanya. Kok, gitu sih" Tia nampak kesal."He-he-he. Aku enggak liat, Tia" ucapku cengengesan. Aku tidak ingin kelihatan gugup agar Tia tidak curiga."Hai, Dek" sapa Mas Indra, muncul membawa cangkir."Mas Indra, kamu habis ngapain" Tanya Tia,"Bikin susu buat kamu. Boleh,
Bab 4Aku hanya kekasih yang disimpan. dikeluarkan jika perlu, disembuyikan bila tak dibutuhkan. Lantas, sekarang aku cemburu menyaksikan dua insan saling bahagia, meski ku tahu Mas Indra melakukan itu agar Tia tak curiga. Aku tahu cincin berlian yang indah itu di peruntukan aku.Mereka berpelukan dalam bahagia. Tia terlihat begitu mencintai Mas Indra. Sedangkan tatapan Mas Indra terus mencuri pandang terhadapku."Kamu bener-bener romantis banget, Mas." ucap Tia. Terlihat begitu bahagia memandang terus cincin yang diberikan suaminya."Aku jadi iri deh, sama kalian" Aku berusaha tersenyum meski sebenarnya kesal."Aku yakin kamu bakal nemu pasangan seperti Mas Indra. Kamu yakin aja, ya" timpal Tia dia terlihat bahagia, aku iri padanya yang bisa bahagia sesimpel itu."Mega, kamu sendirian aja disini" Mas Indra bertanya seolah kita tak bertemu. Ada yang mengganjal melihat perlakuan Mas Indra. Ah, sepertinya aku telah dirudung asmara.
Bab 5Aku keluar dari kamar. Ada rasa gemetaran dalam hati, namun saat keluar yang ku lihat Mas Indra sedang menyantap pizza.Oh, rupanya hanya kurir. Hampir membuat jantungku copot saja, dan Mas Indra. Kelaparan ia kah? sampai disaat seperti ini sanggup makan.Akupun ikut makan bersama Mas Indra, dengan duduk dipangkuannya. Aku bisa romantis bukan, makanpun penuh dengan kemanjaan. Kapan lagi? Kalau tidak sekarang. Beginilah nasib menjadi Istri kedua, diutamakan tapi nunggu giliran.------------------Aku dan Mas indra menikmati angin pantai Bali, hari-hariku terasa indah, bila boleh diminta aku ingin lebih lama lagi, tetapi tuntutan pekerjaan Mas Indra tak bisa lama.Ting... Sebuah pesan masuk[ Mega, kamu dimana? Katanya kamu cuti. Dikontrakan enggak ada. Kamu pulang kampung kah? ]Pesan dari Tia berurutan disertai puluhan panggilan telepon.'Tia, Tia. Tak bisakah kamu tak mengangguku saat ini. Aku ingin bersama Mas
Bab 6Meski kami kembali berbaikan, aku dan Mas Indra sepakat tak bertemu beberapa minggu. Kami takut Remon memata-matai kami. Sekaligus sebagai pelajaran supaya lebih berhati-hati lagi.Sampai suatu hari aku mendapat panggilan telfon misterius, setiap hari mengirim pesan. Mas Indra menyuruhku memblokir nomer tersebut, tetapi nomer tersebut mengirim sebuah foto, bahkan foto kami di Bali. Lalu sebuah pesan ancaman bermunculan.[ Temui aku, lok. Gedung Jaya xxx no.1xxx ]Aku tak pernah membalasnya, namun kali ini terpaksa aku membalas. Siapa dia? Apakah Remon?[ Siapa kamu? ][ Aku pelacur! ] jawaban pesan ini membuat otakku mendidih. Aku langsung pencet tombol call, tapi herannya peneror tak mengangkat.[ Angkat telfonmu pecundang! ] pesan makian pun terkirim.[ Datang ke sini atau ku kirim foto ini ke madumu ]Aku tak membalasnya, aku langsung menghubungi Mas Indra. Aku hampir stres diteror terus menerus.
Bab7Remon kebingungan, melihat aku menembak Mas Indra. Lalu, suara sirine polisi terdengar nyaring."Kurang ajar!" maki Remon, terjawab sudah kebingungannya."Sialan!" Remon menamparku lalu, merebut pistol dari tanganku."Daripada aku di tangkap polisi Karena dijebak. Aku lebih memilih pembunuhan" Remon menodongkan pistol ke arah kami.Remon menarik pelatuk pistol, tapi sangat di sayangkan pelurunya kosong. Aku sudah hapal akal bulus Remon. Sengaja aku mengosongkannya.Pucuk dicinta ulampun tiba, momen Remon seperti seorang penjahat disitu polisi datang."Jangan bergerak! Angkat tangan!" seru seorang polisi. Akhirnya Remon hanya bisa pasrah. Dia tak bisa menyangkal tuduhan. Polisi melihat sendiri adegannya. Aku ditodong pistol, Mas Indra tertembak serta tas berisi uang ada di tangan Remon.----------"Ini Rencana kamu, Meg?" Mas Indra bertanya melalui bisikan telinga"Kamu gila! Kamu mau membunuhku!"
Bab 8Sebelum ke pengadilan aku sengaja mendatangi Remon. Aku ingin melihat betapa sengsaranya ia berada di jeruji besi."Mau apa kamu ke sini, jalang!" sapaan Remon terdengar mengerikan layaknya bajingan."Aku hanya ingin memberimu selamat. Congrolation..." aku memberi kejutan sebuah kue. Kue yang mengingatkanku setiap saat, aku pernah di ambang kematian saat ulang tahunku Remon memberikan kue itu."Selamat menikmati. Aaaaaa" Aku ingin Remon menikmati. Sengaja kusodorkan tanganku ingin menyuapinya, belum sempat sampai ke mulut, Remon menampel tanganku."Kenapa? Kamu takut" Aku tersenyum miris."Aku tak licik sepertimu Remon," Lalu, aku sengaja memakan kue di hadapannya.Tatapan Remon begitu sengit memadangku seolah ingin melahapku hidup-hidup."Lihat aku tak mati, bahkan jika ini beracun pun aku takkan mati" sindirku mengingatkan dengan kejadian dulu."Katakan apa maumu pe-la-cur" Remon bertanya seraya
Bab 9Virus cinta datang menyerangku, aku demam menggigil karena rindu. Sungguh aku tak percaya telah jatuh cinta saat itu, pertemuan lima menit membuat aku selalu terbayang.Kerap kali malam tak bisa tidur, menanti pagi dan sore. Ketika orang lain ingin kemacetan segera berlalu, aku malah ingin berlama-lama, berharap menemukannya ditengah keramaian lalu lintas.Dari kejauhan aku melihat orang berseragam sama seperti orang yang menggugah hatiku. Hatiku berbunga-bunga melihat kejauhan. Aku segera menyela motor-motor di depanku.Akhirnya aku sampai di samping pria berseragam pizza. Pipiku bersemu merah takut dan malu menyapa duluan, lalu aku memberanikan diri."Hai, Remon" aku menepuk bahu pria itu, saat menoleh aku kaget, dia bukan orang yang kucari."Alamak salah orang! Mukanya kaya anoman pula," aku bergumam lirih menahan malu. Orang bergigi berantakan itu malah menunjukan senyum tak indahnya."Apa neng?" Oran
Bab 10Usia kandunganku sudah berusia empat bulan, Remon selalu menjagaku, ia berubah 360 drajat. Berbanding terbalik dengan sifatnya, selalu mengalah padaku, saat aku menginginkan sesuatu pun ia langsung menurutinya.Sore hari Remon pulang dengan wajah lesu. Pasti ia sangat capek berkerja. Aku pun langsung menyiapkan air hangat untuknya. JRemon segera mandi.Ada yang aneh darinya, ia tak menyambutku seperti biasanya, ia seperti banyak menyimpan beban."Kamu kenapa? Sayang." Aku memberanikan diri bertanya"Mega... " Remon tak mengatakan apapun, tapi menyerahkan amplop berwarna coklat."Apa ini?" Aku membuka amplop tersebut, berisikan uang satu bulan gaji. Aku masih belum mengerti maksudnya."Aku di PHK. Itu pesangonnya" Aku syok mendengarnya, mau makan apa kami kalau pesangon hanya sebulan gaji, tabunganku juga sudah menipis untuk menutupi kekurangan biaya hidup kami." Tapi aku janji. Aku akan cari kerja lainny