Svaha ingat, terakhir kali Arkana memagari hatinya dengan membuat tembok yang tinggi adalah lima tahun yang lalu.
Waktu itu umur mereka empat belas atau lima belas tahun. Sore yang cerah dan warnanya kemerahan tumpah di halaman belakang rumah keluarga Kana yang mulai sesak karena tamu undangan juga properti untuk acara ulang tahun si putri tunggal.
Arkana berputar-putar di antara para tamu undangan dengan gaun berwarna hijau tosca, bertukar antara sapa dan bingkisan. Svaha yang sudah sejak dua jam di sana benar-benar tak punya ide saat teman baiknya bertanya bagaimana warna tosca terlihat di kulitnya.
“Itu tetap berwarna tosca,” jawab anak lelaki itu. Gaun panjang Arkana menyeret di rumput seperti kain pel dan entah kenapa suara gesekannya memuaskan mata dan telinga Svaha kecil.
Pekarangan rumah keluarga Kana nampak asri. Tidak begitu besar, tapi terlalu luas untuk dikatakan sempit. Ayah Arkana adalah lelaki yang cukup sukses. Setelah ia
Pandangannya jadi sempit karena sinar matahari sore yang begitu menyudutkan. Menyisakan cukup banyak titik buta berwarna merah tembaga yang tidak terjangkau. Sesekali Arkana menutup dahi dengan kelima jarinya. Hanya untuk memastikan, agar dirinya tidak terjerembab atau menabrak apapun.Langkah Arkana mengapung di atas trotoar jalan utama yang lenggang. Tidak banyak pejalan kaki atau pelari sore yang lewat sini, tiang lampu mulai menyala satu-satu juga papan tanda lalu lintas jadi tampak kesepian. Hawa panas menguap dari bawah, kadang diselingi udara got yang berbau asam. Mengambang tanpa tujuan jelas, kecuali membuat gadis itu makin mual.Arkana membenci sore ini. Beberapa hari belakangan ini. Hari-hari antara dulu dan sekarang. Atau sampai sekarang.“Kalau saja aku bisa lebih jujur dan mengungkapkan semuanya, ini tidak akan pernah terjadi. Aku tak harus mempermalukan diriku sendiri di depan sahabat baikku. Ia lelaki baik. Yang terperting, ia tidak bersala
Satu tangan menggaruk dagu, tangan yang lain mengetuk-ngetuk meja. Di dalam sebuah restoran penuh tanaman hias dan lampu gantung bulat kuning menjengkelkan, Svaha menunggu Cantra dengan sabar.Di jendela bagian atas, papan nama restoran tergantung menghadap jalan. Lampu kecil berwarna ungu berbaris di pinggir, membuat tulisannya nampak semakin tebal dan menonjol.LLAH LIAH. HAIL HALL.Seekor kucing melenggak-lenggok di atas trotoar. Bulunya candramawa. Ekor menjulur naik seperti ular—menjilat kaki orang-orang yang lewat di sekitarnya. Svaha melihat binatang itu mendongak sambil membuka mulutnya, menduga apa mungkin mahluk itu sedang mengeong atau sedang berusaha bicara dengan bahasa manusia. Suaranya tidak terdengar.Sementara langit yang tadinya hitam jadi agak kelabu. Awan merapat pendek, seolah akan menelan bangunan-bangunan bertingkat yang berjejalan seperti gigi. Svaha merenggangkan badannya yang jangkung, ia melenguh, mengeluh.“A
Cirrocumulus. Kata itu melayang janggal dalam kepala Arkana seperti balon kata dalam cerita bergambar. Ia memandang ke arah langit. Kepada awan pembawa hujan yang menyebar rata di atas bangunan kampus. Sebentar lagi musim berubah, mungkin itu bisa jadi salah satu alasan atas suasana hatinya yang buruk hari ini. Tapi benarkah perubahan iklim bisa membuat perasaan manusia berubah? Mungkin saja. Kalau tidak salah ia pernah dengar tentang SAD (Seasonal Affective Disorder). Istilah itu begitu mudah diingatnya karena sangat lucu jika diterjemahkan; Gangguan Suasana Hati Musiman. Sejauh yang ia dengar dan pahami, ini hanya berupa peran cuaca terhadap kadar serotonin dalam tubuh seseorang. Bisa membuat seseorang jadi sensitif, atau malah agresif. Tidak berlaku untuk semua manusia, tapi beberapa persen mengalaminya. Setidaknya begitu yang ia bisa ingat dari kuliah umum tidak formalnya Svaha. Fakultas mereka memang tidak ada hubungannya dengan sains a
Mekanisme Coping.Adalah sebuah cara yang sering dilakukan manusia dalam mengatasi trauma atau stress. Mekanisme ini bisa membantu manusia untuk mengolah rasa sakit dan emosi juga menyesuaikan diri dari kejadian buruk yang menimpanya.Beberapa contoh yang sering terjadi pada orang-orang adalah mencari kegiatan baru, menjalani hobi baru, bicara dengan orang baru. Ada juga yang melakukannya dengan makan, menikmati hidup dengan berlibur. Ada yang menyalahkan diri sendiri dan menyangkal keadaannya. Tapi itu membuat mekanisme ini jadi tampak mirip dengan saudaranya yang lain, defense mechanism.Bagi Svaha, membentur-benturkan kepala ke meja adalah salah satu wujud dari mekanisme coping tersebut.Kalau saja, hari ini tidak ada jadwal ujian. Svaha pasti sudah meringkuk di bawah selimut sambil mengembara dalam cerita roman-heroik Musashi. Atau dia akan duduk di taman umum dengan novel Little Women dalam genggaman. Atau tempat manapun tanpa orang yang ia
Arkana tidak pernah menduga kalau menghindari lelaki seperti Laung akan sedemikian mudah. Sebelumnya ia pikir lelaki itu mungkin akan menggunakan kekerasan untuk memaksanya. Laung akan membentak, atau jadi ringan tangan seperti biasanya. Jelas lelaki itu punya pengaruh besar di kampus ini. Kemarin malam, Laung bahkan mempermalukan Arkana di depan teman-teman klub Voli-nya. Tapi, barangkali Arkana hanya perlu bertindak seolah ia perempuan yang kuat. Arkana hanya perlu membalas tatapan Laung dengan pandangan yang menantang dan sok berani. Menjawab omong kosong lelaki itu dengan tegas. Seperti yang sering Arkana lakukan pada Cantra. Maka Laung akan kalah. Ya! Dia akan menunduk dan mengalah. Dia akan mundur dan berpikir dua kali untuk mengasari Arkana lagi. Perihal lain, tanpa bermaksud menjilat ludahnya sendiri, Arkana memuji Cantra dalam hati. Cantra adalah orang yang membuat Arkana sadar akan kekuatan dalam dirinya. Cantra perempuan yang penuh dengan keyakinan
Sampai pada akhirnya Arkana tiba dengan Laung di sebelahnya, Svaha pikir acara malam ini akan berjalan dengan baik tanpa rasa canggung.Salah.Otaknya menolak untuk menikmati film yang sedang tayang tanpa alasan yang jelas. Mungkin karena Svaha sedang tidak ingin menonton film bergenre misteri. Atau karena Arkana duduk di sebelahnya.Mereka belum sempat bicara lagi sejak hari itu. Dan Svaha tidak mungkin menyalahkan pacarnya karena merencanakan acara ini tanpa berdiskusi dulu. Cantra tak tahu apa-apa. Ini bukan salah kekasihnya.Tak lama kemudian Svaha menoleh pada Arkana. Di saat yang sama Arkana sedang memandang Svaha juga. Lelaki itu kemudian tersenyum, ingin tahu apa Arkana masih marah padanya. Arkana membalas senyum Svaha dan membuat lelaki itu merasa lega. Pikirnya, sekarang masalah mereka sudah selesai. Dan Svaha bisa menonton film dengan perasaan yang lebih tenang.Salah lagi.Ketika Svaha memperbaiki posisi duduknya, tak sengaja ia
Laung harus menjawab telepon dari orang tuanya ketika mereka sampai di rumah—kawasan Lake Side Property. Jadi dia menyuruh Arkana naik ke kamar lebih dulu.Kalau Arkana bertanya kembali pada dirinya tentang bagaimana perasaannya setiap kali memasuki kamar pacarnya, jawabannya adalah, “Aku tidak tahu.”Kadang Arkana berada pada sudut pandang ketiga di luar dirinya. Di mana ia bisa melihat situasi lampau dengan jelas. Semua sisi. Dari bangku penonton. Ia bisa menyaksikan dirinya dilucuti, dipermalukan, ditelanjangi. Bukan cuma bajunya, hal-hal yang bisa diamati fisiknya. Tapi dirinya, rasa percaya dirinya. Oleh Laung. Lelaki yang seharusnya menempati titel ‘lelaki terpercaya’. Tentu tidak yang teratas, karena tempat itu milik sahabat baiknya, Svaha.Kadang Arkana ada di sudut pandang pertama. Ia jadi dirinya. Kelima indranya masih mengingat kejadian itu. Mereka merasakannya! Rasa malu, sakit, marah, kecewa. Lelaki yang ia percaya beru
Kita hanya manusia, bintik-bintik yang bergerak dinamis dalam semesta permainan sang pencipta. Kita dilahirkan dari ketiadaan, berjuang untuk keberadaan. Kita hanya manusia yang dibekali beban, menyebutnya tujuan untuk sekedar penghiburan. Kita ditemani waktu, dimusuhi waktu. Pada akhirnya dikejar waktu. Kita tidak punya waktu.Kita tidak lengkap. Dibuat untuk saling mencari. Kita lahir sendiri, tapi kesendirian tidak pernah membuat kita lebih berani. Untuk menjalani, apalagi mati tanpa ditemani.Kita hanya manusia. Kita berangkat dari yang sudah ada. Kita boleh mengeluh, tapi tidak boleh berbuat banyak. Kita boleh berharap, tapi tidak boleh punya suara utuh untuk memutuskan.Begitu, ketika Svaha ingin membantah semua keputusan Cantra, ia tidak bisa.Cantra menginginkan istirahat. Istirahat artinya berhenti dengan tenggang waktu tertentu, sementara. Kadang pasti, seringkali sebaliknya.Gadis itu meyakinkan Svaha kalau istirahat baik buat hubungan m