Hubungannya dengan Cantra selama hampir empat bulan, dan enam jam perjalanan dari kota kecilnya menuju kota Harsha tempat mereka berkuliah ternyata belum bisa membuat Svaha mengenal Cantra lebih dalam.
Cantra perempuan yang selalu bersikap baik, ramah dan sopan. Parasnya yang cantik, tubuhnya yang indah serta sifatnya yang pemurah tidak pernah menjanjikan sebuah keterbukaan. Cukup adil, karena Svaha juga kerap menyembunyikan banyak hal dari orang-orang di sekitarnya. Bahkan pada ibunya, Swan. Sampai akhirnya Swan tahu sendiri dan berusaha menghukum Svaha dengan mengambil alih mobilnya.
Jadi, akhirnya Svaha menggunakan mobil Cantra. Jangan tanya dari mana gadis kaya itu mendapatkannya. Svaha sendiri tidak mau dikatai gold digger karena merasa untung dengan kebetulan ini. Sempat terpikir oleh Svaha kalau Cantra punya mobil cadangan yang ia tempatkan di seluruh sudut wilayah kota, dan bisa digunakan dalam waktu terdesak seperti ini. Cantra mengijinkan Svaha men
Di antara segala indra manusia yang bertindak dengan insting bebas, penciuman adalah yang paling luar biasa bagi Arkana. Ia tidak hanya membantu Arkana tetap hidup. Menyaring oksigen dari udara dan tetek bengek terapan sains lainya. Hidung bisa mendeskripsikan atmosfer sekitar dan menerjemahkannya dengan fasih jika indra yang lain sedang tidak bertugas. Tentang kewaspadaan dan ketenangan. Kewaspadaan untuk aroma bahan bakar yang tidak pada tempatnya. Bau busuk sampah atau bau keringat berlebih. Semua yang membikin sesak paru-paru dan mengirim signal impulsif. Kadang membuatnya ingin muntah, lebih sering membuatnya marah. Ketenangan untuk aroma yang bersifat lembut. Aroma sisa hujan pagi tadi yang sederhana, bubuk kopi robusta bercampur ampas gilingan jagung yang diseduh dengan air mendidih yang mewakili kata nikmat. Juga, aroma misterius yang tidak bisa Arkana identifikasikan sebelum dirinya membuka mata. Aroma nirvana. Surga. Arkana turun dari tempat tidur s
Svaha sempat khawatir kalau lorong dan lekuk dalam rumah Cantra akan membuatnya tersesat ketika jalan sendiri di dalamnya. Rumah ini terlihat seperti sebuah kapel dari luar. Atapnya tinggi, terkesan kokoh dengan tekstur bata merah, rimbun tanaman jalar, pintu besar berdaun dua dan gagang besi tembaga. Ketika Svaha masuk, interiornya semakin membuat lelaki itu terkesima. Terkesima sampai ia tidak menyangka kalau ruang tamu rumah tersebut akan menggunakan nuansa periode pertengahan. Svaha tidak berhenti memandang pada lampu gantung, pada hiasan-hiasan berbahan logam yang memaksanya memikirkan naskah Romeo dan Juliet dari penyair Shakespare. Berkali-kali Svaha menelan ludah, saat langkah Cantra menuntunnya dalam lorong sedingin batu pualam, lukisan-lukisan misterius dualisme menyerang pikirannya—lukisan yang memiliki dua bentuk jika dipandang dari sisi dan jarak pandang tertentu. Membawa lelaki itu tiba-tiba ke dalam sebuah jembatan peradaban. Pada hal-hal yang se
“Ding! Dong!” Arkana terkesiap bangun karena suara jam dinding berpendulum milik Cantra menggema dalam telinganya sampai menembus ke dalam mimpi. Sekali lagi hidungnya segera menangkap aroma nirvana dari kayu gaharu di setiap jengkal dinding kamar ini. Beberapa kali Arkana percaya kalau ruang ini memang bisa membuat tidurnya lebih nyenyak dari biasanya. Tapi, malam ini berbeda rasanya. Ini pertama kalinya Arkana mendengar suara jam dinding. Atau, memang kemarin dirinya cukup nyenyak sampai tidak terbangun. Atau, ya. Arkana tiba setelah tengah malam di sini. Tunggu, sudah berapa malam ia menginap di sini? Kaget mungkin bisa membikin linglung. Arkana mendekatkan diri pada meja di samping tempat tidur, menyalakan layar ponselnya, mengabaikan seluruh pesan singkat dari Svaha dan Laung. Membaca angka digital di ujung kiri. Tengah malam hari ke dua. Masih hari yang sama ketika Banu membawakan ayam bakar buatan Cantra ke dalam kamar. Masih hari yang sama dengan kunj
Selain pandai menyimpan masalah dan berakting seolah tak tahu apa-apa, Swan Nirmala adalah wanita yang pandai memaksa. Ia gunakan wajah Savanna yang manis untuk membujuk anak lelakinya setelah Svaha menolak panggilan videonya sebanyak lima kali. Swan mengirim foto Savanna, menulis pesan ‘Savanna rindu kakaknya’ lalu mengancam akan membuat Savanna membenci Svaha di kalimat kedua. Benar-benar kontradiktif. Meski Svaha tahu itu ide yang mustahil. Pada menit ketiga, akhirnya Svaha menyerah. “Mana Savanna?” tanya lelaki itu ketika Swan mengangkat teleponnya. Wajahnya menutupi hampir seluruh permukaan layar. “Dia masih terlalu kecil untuk terpapar radiasi cahaya ponsel. Dia bahkan belum bisa membedakan mana rasa lapar atau sakit perut.” Svaha mencibir, “Apalagi untuk merasa kangen padaku.” “Nah, itu kamu mengerti.” “Tidakkah ibu pikir ini masih terlalu pagi untuk menelepon seorang mahasiswa yang sedang liburan semester?” tanya Svaha dengan n
Meski hanya bertemu beberapa kali dan baru mengenalnya, Arkana belum pernah melihat Banu Bhuana menunjukkan diri tanpa setelan jas atau kemeja hitamnya. Bisa dibilang sekarang mereka tinggal dalam satu rumah yang sama. Di luar letak kamar mereka yang berjauhan, namun melihatnya bersikap terlalu formal setiap saat membuat Arkana agak gerah. Banu berparas tampan, umurnya mungkin sebaya dengan Cantra, atau lebih dewasa dari Cantra. Ia tidak terlihat terlalu tua. Ia seharusnya bersikap seperti anak orang kaya yang lain. Seperti Cantra yang anggun, atau seperti Laung yang sombong. Tapi, ia malah memilih jadi sopir, bukankah ini hal yang aneh? Seperti sekarang ini, si lelaki berbadan tegap sedang menyusun gelas plastik dan botol minuman di atas meja. Arkana segera mendekat karena penasaran. “Boleh aku minta satu?” tanya Arkana pada Banu. Mencoba untuk menyapa dengan cara biasa akan membuatnya bersikap terlalu sopan. Arkana ingin melakukan pendekatan dengan cara yan
Svaha sedang mandi sambil meninjau ulang perasaannya pada Cantra ketika seorang mengetuk pintu kamar sewa. Suaranya bersilangan dengan gemuruh air dari rain shower. Sempat Svaha mengira bunyi itu berasal dari tetangga sebelah, seperti waktu Arkana datang ke sana dulu dan mengacaukan semuanya. Mengacaukan perasaan Svaha, membuatnya terjebak dalam limbo—batas dunia lain yang menyesatkan. Kalau saja waktu itu Svaha bisa menahan diri dan tidak membuka pintu itu, kesengsaraan ini tidak akan terjadi. Tapi, seperti halnya Arkana yang sedang dalam keadaan mabuk waktu itu, orang ini juga tidak menyerah. Ia terus mengetuk dan suaranya semakin keras. Dengan kegusaran Svaha memutuskan untuk mematikan kran air, mengeringkan badannya. “Tunggu sebentar!” teriaknya. Svaha memakai celana dan baju tidur, lalu berjalan cepat ke pintu. “Svaha, bukalah pintunya,” ujar lelaki di belakang pintu. Svaha mendengus malas ketika mendengar suara Laung.
Arkana butuh waktu setidaknya lima sampai enam puluh menit penuh untuk mandi, memakai gaun yang dipilihkan Cantra termasuk proses berdandan. Lima menit sebelum Arkana memberi sentuhan terakhir pada wajahnya, Banu menjemputnya ke kamar. Lelaki itu mengoleskan parfum beraroma lavender di sisi kanan dan kiri leher Arkana. Menuntunnya ke area ruang tamu. Banu memakai jas dan kemeja yang sama hitam dengan terakhir kali Arkana melihatnya. Gadis itu sempat iseng bertanya apa Banu sudah mandi, berapa banyak kemeja dan setelan hitam yang ia miliki, juga seberapa sering ia mengganti baju. Tapi, Banu hanya diam. Ia mungkin terburu-buru atau suasana hatinya sedang tak bagus. Ia tidak mengacuhkan ocehan Arkana dan bersikap seolah dia tidak mengerti dengan bahasa yang dipakai Arkana. Pelataran ruang sudah dijejal manusia. Semua berpenampilan menarik dan mahal. Semua menggunakan parfum yang berbau impor. Semua bercampur jadi satu di dalam lubang hidung Arkana dan mulai membuat peni
Svaha tidak punya waktu untuk mendeskripsikan semua pemandangan yang ada di depannya. Tentang bagaimana keadaan rumah Cantra ketika ia memasuki ruang tamu, hiasan dinding, minuman apa saja yang disajikan, cemilan apa yang paling menggugah selera. Atau, mengklasifikasikan siapa saja yang diundang pada pesta prematur ini. Semuanya diundang. Kecuali dirinya. Dan, Svaha benci ketika mendengar orang-orang mulai bergunjing tentang pakaiannya yang kurang pantas untuk pesta ini, bagaimana mungkin Cantra memilih seseorang sepertinya. Terlebih, Svaha benci mengakui kalau apa yang dikatakan Laung padanya adalah benar. Tapi, ini pesta Cantra, mengundang siapa pun adalah haknya. Sambil membelah kerumunan tamu Svaha memusatkan pikirannya hanya pada perempuan itu saja. Cantra. Ia berjalan ke arah Svaha. Senyum ia pasang sewajar mungkin. Dikiranya itu masih mempan pada kekasihnya. “Svaha.” Cantra menyapa. Svaha susah payah berusaha untuk tidak terbujuk oleh gau