Ya… begitulah aku hari itu. Tak perlu menunggu kebimbangan dengan sikap dan keputusanku. Tak nyaman berada di tempat lama itu yang aku rasa semua kaku. Orang-orang yang selalu mencibirku dengan tingkat pendidikan mereka yang begitu tinggi, pemilik kosan lama yang begitu sangat menyakitkan hati, semua seolah membuat aku ingin cepat pergi. Padahal dulu, aku mengenal mereka semua selalu bersikap ramah, berkata manis.
“Apakah semua orang di kota ini munafik?
“Apakah semua orang di kota ini memang begitu cara mereka kepada semua pendatang?
“Aku rasa tidak juga. Mereka hanya ramah pada setiap orang yang memang selevel dengan mereka. Sedangkan aku…?
“Aaa… sudahlah buat apa aku terlalu memikirkannya,” begitu pikiranku saat itu. Tak mau banyak berpikir tentang hal-hal yang menurutku memang membuat kepalaku rasanya mau meledak. Tak ada untungnya juga aku memikirkan mereka yang tak ada sangkut pautnya dengan diriku.
“Aku akan pindah bu.”Aku berbicara sembari menunjukkan raut muka datar hari itu, seolah memang sudah bosan memandang pemilik kosan lama yang aku anggap memang budak uang. Aku sadar mereka juga butuh uang, tetapi bisakah dia menahan kata-kata kasarnya selama ini, ketika menagih uang padaku yang telat bayar kontrakan. Tetap tak bisa, hanya menambah sakit hati saja mengenangnya.“Apa kau sudah berpikir matang-matang?”Ucap pemilik kontrakan lama itu bertanya balik ke padaku, tentang rencana diriku yang memang ingin pergi dari tempat kontrakan miliknya. Aku memang tak ada hati lagi untuk tinggal di sini, berbagai alasan yang memang sengaja tak aku ungkapkan hari itu dan ingin cepat pergi, muak dengan wajah bertopengnya yang seolah ramah.Ya, biarlah ini menjadi pelajaran dari pengalaman serta perjalanan hidupku. Tentunya lebih berhati-hati memilih tempat tinggal di ibu kota ini, kenyamanan yang memang terkadang susah
Malam hari adalah malam yang kami tunggu. Sudah tak sabar lagi rasanya aku menunggu matahari tenggelam dari aktifitas menyinari bumi hari itu. Biasanya, aku sebelum jam lima sore terlebih dahulu mandi dan kembali tidur. Hal itu aku lakukan agar kembali segar ketika akan melakukan profesi malamku itu. Ya profesi di gelapnya malam sebagai gadis kupu-kupu malam yang berdiri tepat di pinggir jalan. Menantikan hidung belang dengan membawa rupiah yang berguna untuk meneruskan kehidupan dan perjuangan berat di kota Kejam ini.Setelah bangun tidur pada saat tepat pukul Sembilan malam, aku biasanya berdandan dan mempoles seluruh bagian wajah dan juga mengenakan pakaian seksi milikku, cantik bak perempuan liar jalanan. Ya, hampir setiap malam aku melakukan hal itu begitu saja terus.Jika malam hari atau saat azan berkumandang biasa digunakan untuk beribadah orang-orang, aku tak melakukannya. Bukan tak mau beribadah, tetapi aku berpikir memang belum pantas untuk menye
Aku saat itu memakai pakaian seksi yang aku kenakan untuk mencari rupiah di jalanan. Tentu saja setelah hari itu mendapat telepon dari salah satu tamu atau yang biasa aku sebut pelanggan. Pelanggan yang malam itu menelponku dengan memakai nomor pribadi, menelpon diriku di saat keadaan sudah malam hari. Tepat pada jam sembilan malam. “Dimana kau? “Aku ingin mencicipi tubuh seksimu? Ucap tamu atau pelanggan yang berkata demikian, seolah menggairahkan sehingga membuat aku semakin penasaran. “Punya uang berapa? Ucapku seolah meremehkan salah satu pelanggan yang menelpon itu, seolah tak percaya dia memberikan uang banyak atas pelayanan yang akan aku berikan. Maklum, aku memang tak bernafsu pada pelanggan atau tamu yang memang pelit terhadap uang. Tak sebanding dengan aku yang harus bermandikan keringat malam. “Kau meremehkanku?” “Berapa kau minta?” Ucap laki-laki itu dari ujung telepon genggamnya, menantangku unt
“Cantika?“Cantika?Teriakku dari depan pintu sebuah kamar kontrakan, tepat di depan kamar Cantika yang memang hari itu tak kudengar suaranya. Sudah seharian ini dia memang tak terlihat atau memanggilku yang memang biasa dia lakukan setiap hari, tapi kali ini tak terlihat. Sebelum pergi ke hotel untuk berkencan, aku pun ingin memastikan keadaan sahabatku satu-satunya itu apakah dia baik-baik saja atau tidak.Terlihat saat itu aku sudah keluar dan berdiri dengan pakaian yang sudah aku siapkan sebelumnya. Sudah siap menuju kamar hotel tempat pelangganku menunggu. Tapi dengan rasa penasaranku saat itu ingin tahu apakah sahabatku itu baik-baik saja atau tidak. Aku sedikit mengintip dari balik tirai kamarnya yang saat itu sedikit terbuka. Terlihat dari luar sebuah tubuh telentang dengan Headset yang masih terpasang di telinga. Wajar saja dia tak mendengar sahutanku yang dari tadi memanggilnya.“Oalahh…. pantas saja
Aku begitu takjub dengan laki-laki yang berdiri di hadapanku saat ini. Begitu tampan dengan muka yang layaknya seorang keturunan bak pangeran berkuda yang seakan membangkitkan gairah malamku yang begitu menggebu-gebu. Aku tak perduli lagi, walaupun dia telah memiliki pasangan ataupun tidak. Aku tak mempersoalkan hal itu. Saat itu Aku lihat dia memandangku dengan penuh nafsu. Terlihat tubuh kekarnya denagn dada bidang berbulu,lalu laki-laki itu tersenyum padaku. Setelah aku masuk ke dalam kamar hotel aku masih berdiri di hadapannya saat itu. Laki-laki yang Memakai piama atau baju tidur panjang saat itu seolah menatap diriku di atas kursi santai yang didudukinya di dalam sebuah kamar hotel nomor tiga puluh enam itu. “Kau bisa menari? Ucapnya padaku sembari dia duduk di atas kursi santai itu, ditemani dengan segelas minuman berwarna merah yang aku tahu itu sejenis minuman memabukkan dengan minuman yang mengandung kadar alkohol, tercium dari
Samar-samar aku melihat pria itu membuka baju tidurnya, kemudian aku tak ingat apa-apa lagi setelah itu. Aku begitu benci dengan waktu yang begitu berjalan cepat, terperdaya malam itu dengan terlalu banyak minum-minuman alkohol yang disuguhkan laki-laki gagah itu. Sehingga, laki-laki itu begitu leluasa mengotak-atik bagian-bagian berharga dalam hidupku. Entah sudah keberapa kalinya laki-laki di luaran sana memakai tubuh yang ku anggap sebagai aset terpenting dalam hidupku ini.Aku tak tahu, aku gaman. Aku seolah baru dalam dunia seperti ini. Mungkin saat ini bisa saja aku menjadi primadona karena usia yang masih muda, tapi entah esok harinya bahkan esok harinya lagi. Semua seakan sudah menjadi rahasia yang memang sudah digariskan tuhan. “Sudahlah” aku hanya ingin menikmati apa yang ada sekarang, itu saja.”“Kau baru sadar?“Maaf ya. Aku memang sengaja memberikanmu minuman itu agar kau cepat menikmati permainan liar ini.”
“Bolehkah aku mengantarmu pulang Mawar?“Aku ingin mengenalmu lebih dekat lagi,”Laki-laki itu menawarkan bantuan kembali malam itu. Berniat mengantarku pulang hingga ke kontrakan di ujung gang sempit yang hanya bisa menjalani aktifitas sebelum matahari tenggelam. Melalui pekatnya malam berjalan menjalani malam-malam penuh tantangan.Tak banyak yang bisa dilakukannya hanya untuk membalas jasa yang aku berikan, seolah tahu dengan apa yang aku butuhkan dari seorang laki-laki, yaitu tanggung jawab. Ya, tanggung jawab dan rasa tulus. Tak hanya memikirkan nafsu dan hasrat pribadi yang dia salurkan padaku. Aku berpikir kenapa laki-laki itu begitu baik padaku yang begitu hina ini? sementara hatiku saat itu memang butuh orang seperti dirinya yang sedikit menunjukkan rasa peduli, walaupun aku hanya sebagai wanita penghibur di hadapannya.“Aku bisa pulang sendiri,”“Tak usah terlalu mengkhawatirkan keadaanku,”
Kembali pagi itu aku mengambil handphone yang aku taruh di atas rak hiasku hanya sekedar untuk menanyakan kabar Ibuy yang memang sudah aku rindukan suaranya. Hanya sekedar ingin mendengar suaranya yang begitu membuat hatiku nyaman dari semua rasa rinduku yang tak dapat bertatap muka. Tak kuhiraukan rasa mengantukku yang semalam masih bergelayut tepat di atas pelupuk mata, hanya suara Ibuku yang dapat mengusir rasa lelahku yang saat itu masih bersandar tepat di atas tempat tiudr yang aku masih rasakan sisa dari tenaga laki-laki itu semalam yang memang perkasa di atas ranjang kamar hotel itu. Berulang kali mengajakku untuk melakukan hubungan intim yang aku rasa tak sanggup melayaninya lagi.“Ibu…aku lelah,”“Apakah aku harus terus bertahan di tengah kota metropolitan yang aku rasa semakin banyak saja kisah hidup yang akan aku hadapi ke depan.”Aku berkata sembari menahan napas dan perlahan mulai mengeluarkan tetesan air bening