Share

Dibayar Satu Miliar
Dibayar Satu Miliar
Author: Syarlina

1

Author: Syarlina
last update Last Updated: 2022-01-02 19:59:21

Dipaksa Bertemu

"Ini uang 500 juta," tunjuk wanita cantik di hadapanku dengan melirik koper yang terbuka, dan memperlihatkan uang yang aku tidak tahu apa benar jumlahnya seperti yang disebutkannya barusan. 

"Dan ini 500 juta juga," sambungnya sembari membuka koper satunya dengan tampilan isi yang sama persis.

"Keduanya akan menjadi milikmu kalau kamu bisa menyelesaikan pekerjaanmu dengan sangat baik," tandasnya kemudian dengan menyandarkan punggung ke sandaran kursi yang didudukinya.

"A-apa ini? A--aku tidak mengerti," sahutku yang masih diliputi kebingungan. Aku memang tidak paham untuk apa aku dibawa paksa oleh seseorang yang berpakaian serba hitam, hingga duduk di depan wanita yang menunjukkan dua koper berisi uang satu miliar. Pekerjaan apa yang harus aku lakukan, dan siapa wanita di hadapanku saat ini?

Wanita cantik tersebut mengulurkan tangan ke arah lelaki yang berdiri di belakangnya, dan dengan sigap lelaki tersebut memberikan sebuah map.

"Luna Arsyakayla. Umur 21 tahun. Alamat jalan Anggrek nomor 12 gang suka damai, kampung Pasar lama. Tinggal bertiga dengan ibu dan adik laki-lakinya, dan merupakan tulang punggung keluarga. Kuliah jurusan ekonomi sambil menyambi kerja di sebuah cafe. Untuk menambah penghasilan, kamu--" liriknya sekilas ke arahku yang melongo kaget tidak percaya dengan apa yang sedang dibacakannya. "kamu memberi les tambahan untuk anak sekolahan dengan ngajar mapel matematika. Selain itu kamu membantu teman kampusmu mengerjakan tugas kuliah mereka dengan imbalan uang. Saat ini kamu mengambil cuti kuliah setahun karena fokus bekerja sambil merawat ibumu yang sakit-sakitan. Ibumu harus menjalani operasi untuk--"

"Tunggu! K--kamu siapa? Kenapa memata-mataiku?" selaku tergagap menunjuknya. Aku ingin bangkit tapi bahuku ditekan seseorang yang berdiri di belakangku, memaksaku untuk tetap duduk.

"Namaku Alisa Subagyo. Menantu pertama dari keluarga Bara Wijaya," jawabnya menegakkan badan dan menatapku tajam.

"Aku tahu kesusahanmu dan ingin membantu," lanjutnya lagi.

Kepalaku menggeleng isyarat tidak percaya. Pasti ada sesuatu yang lebih diinginkannya dariku.

"Jangan takut, aku bukan orang jahat. Ibumu harus segera dioperasi dan kamu butuh biaya bukan?"

Ingin membantah, tapi refleks kepalaku mengangguk lemah.

Wanita yang tampak cantik meski dengan polesan make up tipis ini tersenyum simpul. "Aku punya solusinya. Kamu tinggal ikuti dan semua beres. Ibumu dapat diselamatkan dan kamu tidak perlu susah payah lagi bekerja." Kembali ia memundurkan punggungnya bersandar. Kali ini diikuti dengan melipat kedua tangannya di dada.

"Pekerjaan seperti apa hingga aku bisa mendapatkan uang sebanyak ini?" lirikku ke arah dua koper yang berisi uang. Aku mulai tertarik.

Alisa menyunggingkan senyum.

"Kalian pergilah! Tunggu di depan," titahnya pada dua lelaki tegap mengenakan jas hitam yang sama. Entah kenapa restoran--tempat pertemuan paksa ini sepi. Hanya kami saja pengunjungnya. Seolah memang di-setting demikian.

"Oke, akan kujelaskan. Jadi pekerjaannya sangat mudah. Kamu dikontrak sekitar sembilan bulanan. Difasilitasi rumah, dua asisten rumah tangga, tabungan dengan tiap bulannya akan ditransfer ke rekeningmu, dan itu dipisah dari yang 1 M itu ya," liriknya ke arah dua koper dihadapanku. "Anggap tiap bulan kamu digaji, dan semua kebutuhanmu pun akan diurus dengan baik." Aku tercengang mendengarnya. Pekerjaan apa hingga diberikan dengan fasilitas selengkap itu? Apa jangan-jangan berhubungan dengan narkoba?

"Apa pekerjaannya?" ulangku bertanya seraya meraih gelas minuman yang berada di hadapanku. Tetiba kerongkongan terasa kering, rasa haus menderaku.

"Memberikan kami anak." 

Aku menyemburkan minuman yang baru saja kuteguk saking terkejutnya.

"Maaf." Dengan cepat kuambil tisu yang terletak di atas meja, mencoba mengelap badan Alisa yang terkena semburanku.

Alisa menepis tanganku. Ia meraih tisu dan mengelapnya sendiri. "Aku butuh orang untuk memberikan kami anak."

"Anak? Kenapa mintanya ke saya? Maksudnya kamu mau mengadopsi anak saya, begitu? tapi maaf saya nggak punya anak dan belum menikah," ujarku menjelaskan.

Wanita di depanku ini tertawa kecil. 

 "Kami di sini maksudnya aku dan suamiku. Kami sudah menikah hampir sepuluh tahun, dan selama itu juga kami belum diberikan momongan." Alisa mulai bercerita. Ia menjeda ucapannya, menarik napas sejenak.

 "Ada masalah di rahimku, dan kedua keluarga besar kami tidak ada yang tahu. Kami menyembunyikannya dari mereka. Suamiku sendiri tidak mempermasalahkannya. Dia sangat mencintaiku, sampai rela tidak mempunyai anak seumur hidupnya." Di bagian ini Alisa tersenyum getir. 

"Aku tahu pemikiranmu tentangnya, pasti ucapannya terdengar gombal, tapi aku percaya. Aku mengenalnya sangat baik karena kami teman sejak kecil. Kedua keluarga kami juga bersahabat baik. Sudahlah, skip yang itu. Kembali ke pembahasan kita. Intinya aku menyewa rahimmu untuk melahirkan penerus keluarga Bara Wijaya. Bagaimana, bersedia?" tawarnya padaku.

"Aku tidak bisa," jawabku menolaknya sedikit ragu.

Alisa mengerutkan dahinya. "Yakin menolak? Ini 500 juta loh? Ibumu harus dioperasi besok, sudah dapat uangnya?" Alisa bertanya seraya mengetuk-ketukan tangannya di atas koper uang tersebut. Tawarannya memang menggiurkan, tapi … apa harus dengan cara ini?

"Kenapa tidak adopsi anak saja? Yang legal, kan banyak," tanyaku memberi solusi.

"Tidak. Penerus Bara Wijaya harus mengalir darah Arik--suamiku, bukan anak orang lain," tegasnya.

"Bagaimana? kesempatan tidak datang dua kali dan waktuku tidak banyak." Alisa melirik ke arah jam di pergelangan tangannya, ia kembali menekanku.

"Kalau setuju artinya aku harus menikah dulu dengan suamimu itu?" Aku kembali bertanya. 

Alisa menggeleng. "Kurasa cukup tidur dengannya semalam atau beberapa malam sampai kamu dinyatakan hamil, jadi tidak ada pernikahan. Aku tidak ingin berbagi suami." Alisa menjawab dengan penuh penegasan kalau suaminya adalah miliknya. 

Aku menatapnya lekat. Mencoba mencari sisi religiusnya. Tidak ketemu. Sulit memindai seseorang dari penampilannya.

"Maaf. Aku tidak bisa. Dalam agamaku berzina itu dosa besar, dan aku tidak ingin menambah dosaku lagi," jawabku berani menolak tawarannya. Kurasa Tuhan pasti punya jalan lain selain tawaran yang penuh dosa ini.

Alisa menatapku tajam. Dapat kulihat ketidaksukaan dari mimik wajahnya atas penolakanku barusan. Kuharap sindiranku tepat sasaran. Namun tidak berlangsung lama, ia tersenyum kembali seolah ucapanku barusan tiada artinya.

"Ini kartu namaku. Hubungi nomor ini kalau kamu berubah pikiran. Aku memberimu kesempatan kedua." Alisa bangkit, beranjak dari duduknya dan meninggalkanku dengan selembar kartu nama.

Aku ingin menolak, tapi entah kenapa ada sesuatu yang melarangku. Kusandarkan punggung ke sandaran kursi, membuang napas berat berharap keputusanku sudah tepat.

wanita aneh, kenapa harus memilihku? kusambar kartu namanya dan memasukkannya ke saku celana.

Baru saja keluar dari restoran tersebut, ponselku berdering. 

Varel, telepon dari adikku.

"Ya, Varel ada apa?" Kujawab cepat karena perasaanku tidak enak.

"Mbak dimana? Ibu muntah darah lagi, Mbak. Dokter cari Mbak. Katanya operasi Ibu harus dilakukan malam ini juga." 

"A--apa Rel? Malam ini?" tanyaku memastikan. Siapa tahu barusan aku salah dengar.

"Iya, Mbak. Kata dokter begitu."

"Mbak? Mbak masih disitu kan?"

Aku tergugu merosot ke bawah dengan tangan bergetar masih memegang ponsel. Lututku lemas seketika tak berdaya mendengar penuturan adikku--Varel. Kalau malam ini Ibu dioperasi, lantas dari mana kudapatkan uang sebanyak itu dalam waktu sekejap?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (6)
goodnovel comment avatar
Asnidar Ummu Syifa
klw ibumu harus pergi itu sdh takdir tapi melakukan Zina walaupun demi baktimu pd ibumu itu salah besar syng.
goodnovel comment avatar
Hafidz Nursalam04
kakakalalalmsndbf
goodnovel comment avatar
M Arkanudin
bagus bangett
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Dibayar Satu Miliar   94

    Kuajak Luna bicara. Dengan berderai air mata ia menceritakan kisah tragisnya hingga terdampar ke kota ini lagi. Kaget. Itu respon pertamaku saat mendengarnya. Ternyata anak yang diakui Kak Alisa sebagai anaknya adalah anaknya Luna. Wanita di depanku inilah ibu kandung dari Adnan. Aku mencoba mempercayainya meskipun sedikit ragu. Heran, perjanjian seperti apa yang ia jalani yang hasilnya hanyalah merugikan diri sendiri. Ia menceritakan semuanya tanpa ditutupi. Aku syok mendengarnya. Kenapa ia harus memilih jalan hidup seperti ini? Hal yang kusesali sejak awal adalah kenapa dia tidak datang dan minta tolong padaku saja, pasti hal ini tidak akan pernah terjadi.Akhirnya aku memilih mempercayai semua ceritanya. Jangan tanya kenapa, hatiku lah yang mengarahkannya ke sana. Aku tahu kalau Luna bicara jujur dari caranya bicara. Kujanjikan akan membantunya menyelesaikan masalahnya dengan keluargaku terutama dengan Tante Maya--ibunya Alisa. Setah

  • Dibayar Satu Miliar   93

    POV Axel."Mas Arik? Bukankah di kamar itu …?" Dengan langkah lebar dan terburu-buru kuhampiri Mas Arik dengan tangan mengepal kuat siap memuntahkan bogem mentah meluncur ke wajahnya."Axel! Kamu?!" Nampak keterkejutan di wajah kakak kandungku ini. Ia meringis sembari mengusap bekas hantaman keras buku tanganku yang berhasil mendarat di pipinya. Tampak kemerahan dan sudut bibirnya berdarah. Tidak cukup sekali, rasa panas terbakar dalam hatiku menyulut amarah yang semakin besar hingga ingin mengulangi kembali hantaman tersebut ke wajahnya lagi. Namun sayang dapat ditepisnya dan …."Aaargh!" Mas Arik berhasil menonjok pipiku. Perih rasanya, tapi tak seberapa dengan perih yang bersemi di dalam hatiku saat ini. Rasanya sakit sekali. Dengan brutal kucoba membalas hantaman tangannya, dan kami terlibat baku hantam. Beberapa kali berhasil memukulnya, begitupun d

  • Dibayar Satu Miliar   91

    POV Luna."Hentikan perang dinginmu dengan Arik, Lun. Kasihan dia tersiksa." Alisa yang masuk ke kamar kami--aku dan Adnan, langsung melontarkan ucapan tersebut secara tiba-tiba. Aku yang baru memandikan Adnan hanya melihatnya sekilas lalu fokus kembali ke bayi mungil berkulit putih kemerahan."Siapa yang sedang perang dingin, Kak. Kami baik-baik saja," sanggahku tanpa menoleh ke arahnya. Aku kembali memanggilnya Kakak. Hubungan kami membaik. Aku berusaha tidak membencinya karena aku paham yang dilakukan padaku itu atas dasar cemburu. Melihat kondisinya yang sering sekali sakit, membuatku tidak tega mendendam padanya.Apa aku terlalu baik jadi manusia? Aku juga ingin membalas perlakuannya, tapi tertahan karena rasa empati. Setiap melihatnya kesakitan, aku tahu rasa itu pasti sangat menyiksa. Di satu sisi, dia pasti ingin normal sehat seperti orang lainnya, bisa berint

  • Dibayar Satu Miliar   90

    "Pikirkanlah. Setelah ini, kamu akan berterima kasih padaku.""Apa syaratnya?" Bisa kutebak dari ucapannya, tersirat sesuatu yang akan dimintanya.Alisa tersenyum kecut. "Kamu mengenal baik aku, Rik. Sudah tahu, pasti ada syarat yang akan kuajukan. Baik, jadi gini, dimulai dari hubungan kita dulu, akhiri perang dingin ini, Rik. Aku lelah. Bersikaplah layaknya suamiku seperti dulu. Waktuku tidak banyak Rik. Bisa jadi besok aku pergi.""Hubungan kita seburuk apa jadi kau menganggap aku berubah?""Sangat buruk Rik. Kita tidak pernah bicara lama seperti dulu. Kamu juga tidak sehangat dulu, apalagi kalau kita cuma berduaan saja seperti ini. Malah terbalik. Saat di hadapan orang banyak, kamu sok perhatian, apalagi kalau ada Luna. Seolah kamu mesra denganku hanya untuk memanas-manasinya. Namun saat kita cuma berduaan begini,

  • Dibayar Satu Miliar   89

    POV ArikAku hanya mampu tertunduk saat sorot mata itu menatapku intens. Aku tahu tatapan yang ditunjukkannya adalah tatapan kebencian dan kemarahan. Aku malu untuk membalas tatapannya. Suami yang harusnya membelanya terpaksa diam ketika ada lelaki lain yang membersamainya datang ke rumah ini.Aku benci pada diriku sendiri tak mampu sebagai pelindungnya, dan malah membiarkannya memilih berlindung di balik punggung lelaki lain, meski lelaki itu adikku sendiri.***"Maaf, Rik. Maaf. Aku terpaksa melakukan itu semua. Aku takut kehilanganmu." Alisa tergugu menangis saat kumintai penjelasannya soal kebenaran tentang Luna yang diculik ibunya. Aku seperti lelaki bodoh yang gampang sekali terhasut oleh cerita palsu mereka."Apa aku meninggalkanmu, Lis? Tidak, bukan? Apa Aku memilih bersama Luna? Tidak juga kan? Semuanya tetap ka

  • Dibayar Satu Miliar   88

    Arik menatapku tajam. Aku tahu dia tak suka ucapanku barusan."Hussstttt! Aku nggak suka ucapanmu ini. Jangan pernah mengatakan hal tersebut." Arik mendekapku ke dada bidangnya. Aku tersenyum samar sambil melekatkan pelukannya. Usahaku sepertinya berhasil.Aku tak sanggup lagi mendengar ucapan keluarga dari pihak ibunya Arik. Mereka hanya di depanku saja baik, di belakang, suka menjelekkanku dengan kelemahan yang kupunya. Aku juga tidak ingin mereka mengalami masalah karena mengejekku. Ibu sering 'membereskan' mereka, orang yang dengan sengaja melukai hati anaknya. Mereka akan berakhir menyedihkan, dan aku tidak ingin Ibu menumpuk dosanya karena-ku.Akhirnya Arik bersedia menikahi Luna. Aku jujur padanya akan membayar Luna satu Miliar kalau dia berhasil hamil. Namun aku tidak menunjukkan isi poin perjanjian yang kami lakukan. Aku juga tidak cerita soal ancamanku pada Luna. Ar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status