MasukSemoga suka🌶💅😘
Lusi dan Aron pun saling pandang. Wron mencoba membaca wajah istrinya dan kemudian menatap apa yang istrinya buka. "Aku… takut," gumam Lusi. “Takut kenapa?” tanya Aron. Ia belum melihat apa yang membuat Lusi takut, hanya chat teror biasa baginya. “Takutnya setelah kamu lihat ini… kamu jadi makin nekat.” Aron tersenyum kecil. “Sayang. Aku udah ditembak, kurang nekat apa lagi ini?” Lusi terkekeh miris dengan situasi ini. "Tapi jangan ulangi. Jangan selametin aku dengan mengorbankan dirimu sendiri." "Oke... sini mana, aku mau liat!" Ia menggeser ponsel ke arah Aron. Jemarinya menekan satu chat yang sudah lama ia arsipkan. Chat tanpa nama dan nomor asing. Lusi menarik napas panjang, “Ini,” katanya pelan. Aron mencondongkan tubuh, menahan rasa perih di pinggangnya yang masih terasa nyut-nyutan. Matanya menyapu layar ponsel itu dan senyum tipis di wajahnya langsung lenyap.Chat pertama muncul.No Name 1 ||| "Kamu gak akan lama jadi istri bahagia."Chat kedua.No Name
Cup. Lusi refleks terdiam. Aron mengecupnya singkat bibir istrinya, dan sama sekali tidak memberi waktu untuk otaknya mencerna apa yang baru saja terjadi. Jantungnya seolah berhenti berdetak beberapa detik sebelum akhirnya berdetak jauh lebih cepat dari sebelumnya. “Hah—”Ini bukan ciuman pertama mereka, tapi rasanya begitu mengejutkan ketika mereka berdua bahkan tidak berencana melakukannya. Aron terkekeh kecil. Senyum tipis terbit di wajahnya yang pucat, kontras dengan bekas luka dan selang infus yang masih terpasang. Ia terlihat lelah, tapi matanya hidup. Hidup oleh kehadiran istrinya, meski habis berada di ambang kematian.Setidaknya itu yang dipikirkan orang. Karena faktanya ini bukan pertama kalinya bagi Aron untuk menerima tembakan seperti itu. “Ekspresi kamu lucu,” katanya santai. Lusi yang baru sadar rahangnya masih sedikit terbuka. Pipinya juga terasa panas seketika. “Apa-apaan kamu?” protesnya akhirnya, suaranya sedikit lebih tinggi dari biasanya. “Hehe,
“Maaf aku belum cerita semuanya ke kamu,” ucap Lusi ragu. Alis Aron terangkat sedikit. “Gak papa, Sayang. Gak semua aku harus tau. Tapi untuk masalah yang berbahaya, aku harus tau. Supaya aku bisa ngelindungin kamu." Ada banyak hal yang Aron harus tau. Ini tentang teror yang meliputi pesan-pesan ancaman. Ia sampai ketakutan setiap kali pulang sendirian. Lusi membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Aron memperhatikannya dengan saksama. “Kamu ragu.” Lusi mengangguk. “Aku nggak mau nambah beban kamu.” Aron tersenyum kecil, tapi tatapannya jelas memperlihatkan kalau ia ingin Lusi jujur padanya. “Sayang,” katanya pelan tapi tegas, “kita udah sah.” Lusi menatapnya. “Sekarang tuh nggak ada lagi istilah ‘aku merepotkan kamu’ atau ‘aku nambah beban kamu’,” lanjut Aron. “Kalau kamu capek, itu capek kita bersama. Bahkan ketika kamu takut, itu rasa takut aku juga.” Ia menarik napas. “Aku bukan cuma suami kamu di depan orang-orang. Aku juga tempat kamu pulang, tempat berlindung, d
Lampu ruang rawat inap VIP itu redup, hanya menyisakan cahaya kuning lembut dari lampu dinding. Bau antiseptik bercampur dengan aroma teh hangat yang belum tersentuh di meja kecil dekat ranjang. Di luar, langkah perawat lalu-lalang, tapi di dalam ruangan itu, dunia terasa seperti berhenti. Lusi duduk di sisi ranjang Aron sejak tadi. Punggungnya bersandar kaku di kursi, tapi tubuhnya condong ke depan, seolah takut jika ia menjauh satu inci saja, Aron akan menghilang. Tangannya masih menggenggam erat tangan Aron. Seolah itu satu-satunya hal yang membuatnya tetap waras. Monitor di samping ranjang berbunyi pelan, ritmenya stabil. Setiap bunyi bip itu seperti penegasan kecil bahwa Aron masih di sana, hidup, dan bernapas. Namun pikiran Lusi tetap kacau. Bayangan darah di jas hitam dan kemeja putih Aron tadi terus terputar di kepalanya. Suara tembakan, jeritan orang-orang, dan tamparan Evelyn yang panas di pipinya. Semua bercampur menjadi satu rasa sesak yang belum juga pergi. T
Suara sirene ambulans memecah halaman Mansion yang tadinya begitu sakral. Ruang pernikahan yang semula sunyi dan khidmat kini berubah menjadi begitu kacau dan tegang. Keamanan menutup seluruh area, tamu-tamu dipisahkan, beberapa dievakuasi ke ruangan lain, dan resepsi otomatis ditunda. Tidak ada musik atau acara foto resmi seperti yang seharusnua ada. Yang tersisa hanyalah ketegangan, dan wajah-wajah pucat. Lusi duduk di lantai marmer, tubuhnya gemetar hebat. Gaun putihnya ternoda merah di bagian samping. Tangannya memegang jas Aron yang sudah dibuka setengah oleh tim medis darurat. “Pak, lukanya di pinggang kanan. Peluru tembus, tapi tidak mengenai organ vital. Kami harus segera bawa ke rumah sakit,” ujar salah satu paramedis cepat. Lusi mengangguk berkali-kali, tapi matanya tidak lepas dari wajah Aron. Aron masih setengah sadar. Wajahnya pucat, keringat dingin membasahi pelipisnya, tapi matanya tetap terbuka. Fokusnya hanya pada istrinya yang terus menangis. “Sayang…” s
Ruang pernikahan di Mansion itu berdiri megah sejak pagi, dijaga ketat oleh keamanan internal dan eksternal. Tidak ada papan nama besar, tidak ada foto calon pengantin yang dipajang. Semuanya dibuat sesederhana mungkin—terlalu sederhana untuk ukuran pernikahan seorang Aron. Namun justru karena itulah, suasananya terasa tegang. Para tamu datang dengan undangan eksklusif. Banyak orang penting, dan banyak bisikan-bisikan penasaran. Pertanyaan berputar di kepala hampir semua orang. "Siapa perempuan yang berhasil dinikahi Aron?" Nama di undangan hanya tertulis Lusiana T. Todak ada foto atau embel-embel keluarga besar, dan tidak ada kejelasan identitas. Dan itu membuat banyak orang penasaran, sekaligus curiga. Di ruang rias pengantin wanita, Lusi duduk diam. Gaun putih dengan sentuhan floral lembut membingkai tubuhnya. Hijab senada menutup kepalanya dengan anggun. Wajahnya tertutup masker renda tipis, sesuai rencana Aron dan Lusi. Ini demi keamanan. Tangannya dingin karena pera







