Share

Anak Lelaki Milik Istrinya

last update Terakhir Diperbarui: 2024-03-10 12:40:34

Dinikahi Raja jalan tol 7

Bab 7

Anakku milik Istrinya 

“Bu Ainun, kemarin pas acara akikah cucunya kok nggak kelihatan?” Tanya Bu Safiq saat aku dan Bu Sani mampir ke rumahnya sepulang mengaji. 

“Oh, aku di belakang,” sahutku. 

“Kok di belakang, harusnya kan di depan, nemuin tamu,’ kata Bu Sani. 

“Iya, kita nyariin, lho,” ujar Bu Safiq. 

“Kan, sudah ada besan saya, Bu Sofi di depan, jadi, aku di belakang saja.” aku mengangguk. 

“Harusnya itu, dua neneknya di depan. Seperti aku dulu waktu akikah anaknya Titin,” Bu Safiq menoleh pada Bu Sani dengan menganggukkan kepala. Bu Sani pun mengangguk kuat. 

Memang acara akikah cucuku yang diberi nama Zidan Al Fatih kemarin, aku berada ada di dalam rumah. Aku juga melihat tetangga-tetangga yang datang seperti Bu Sani, Bu Safiq dan Bu Asmah. 

Sebenarnya, aku ingin berdiri di depan untuk sekedar menemui para tetangga yang hadir tetapi, Bu Sofi, besanku bilang kami harus berbagi tugas. Bu Sofi, Lina dan Nungki di depan among tamu sedangkan aku dan Mbak Surti–pembantu dadakan– di belakang. Aku dan Mbak Surti kebagian membuat minuman dan membagikan nasi berkat, setelah itu, mencuci gelas bekas acara sekalian. 

Karena sudah diberi tanggung jawab, akupun patuh menjalankannya. Iya, sih, kalau nggak ada yang tanggung jawab di belakang, kalau ada kekacauan gimana? Misal nasi berkatnya kurang, gitu, gimana? Sudah betul keputusan Bu Sofi kalau menurutku. 

Topik pembicaraan beralih. 

“Eh, Ibu-ibu, aku tertarik sama yang diceritakan Bu Nyai tadi, lho.” kedua tangan Bu Safiq menepuk pahanya sendiri pelan. Aku dan Bu Sani jadi memperhatikan. 

“Yang tentang pesantren itu, ya?” Tanyaku. 

“Iya, betul, Bu Ainun!” mata Bu Safiq terlihat berbinar. Dia antusias. 

“Pesantren lansia itu?”

“Yes, betul lagi, Bu Sani.” 

Memang, tadi di sela-sela ceramahnya, Bu Nyai menceritakan tentang pondok pesantren khusus lansia yang ada di kabupaten Magelang.

“Murah, lho, Itu,” kata Bu Safiq, “sebulan cuma bayar 500 ribu saja. Itupun, buat keperluan kita sendiri. Makan gratis, baju dicuciin, dikasih penginapan.” Bu Safiq menceritakan kembali omongan Bu Nyai dengan menggebu-gebu. 

“Kayaknya menarik, ya, Bu?” Tanyaku. 

“Memang menarik sekali, Bu Ainun. Kita di sana berkumpul dengan para lansia yang seumuran gitu. Yang nggak bisa ngaji, nanti diajari dari mula, dari iqro. Yang sudah bisa, disuruh menghafal sampai lancar.” jelas Bu Sani. 

Aku tadi juga menyimak sih, cerita dari Bu Nyai. Pondok pesantren khusus lansia itu seperti pesantren kilat. Sebulan kita di sana, kita dibuat untuk melupakan masalah dunia. Isinya mengaji, dengerin kajian, sholat fardhu berjamaah, sholat sunah, dan amalan lainnya. Bayarnya hanya 500 ribu per orang. Itupun, kita dapat makan bergizi tiga kali sehari, dapat kamar bersih, toilet bersih, baju dicuciin, pokoknya all in, lah. Kita hanya disuruh mengikuti jadwal pesantren saja yang telah disusun pengurus. 

“Katanya, tempatnya enak, sejuk di kaki gunung Merapi. Masjidnya besar dan pesantren tersebut terletak di tengah persawahan yang hijau dan asri. Benar-benar tempat yang cocok untuk healing dan menenangkan pikiran.” imbuh Bu Safiq. Sepertinya, temanku ini sangat tertarik dengan pesantren kilat tersebut. 

“Ayo, Bu, diagendakan,” ujar Bu Sani tak kalah seru. 

“Iya, aku juga lagi mikir begitu. Gimana, Bu Ainun? Kita healing sambil nabung pahala?” Bu Safiq melihatku yang lebih banyak diam. 

Bukannya tidak tertarik. Bagiku, 500 ribu itu banyak. Butuh berbulan-bulan bagiku untuk mengumpulkan uang sebanyak itu. 

“Alah, ikut aja, Bu Ainun, kan tinggal bilang anaknya, pasti dibayarin.” seloroh Bu Sani. Aku tersenyum kecil. 

“Iya, ayo, kita berempat sama Bu Asmah berangkat. Nanti biar dibooking-kan online sama anakku Titin.” Bu Safiq menyentikkan jari. 

“Ok, aku mau. Biar aku bilangin Bu Asmah, dia juga pasti setuju!” Bu Sani terlihat senang. 

“Ok, ya, Bu, Ainun?” Tanya Bu Safiq. 

Mataku menatap temanku agak lama. 

“A-aku belum bisa kasih jawaban, Bu. Aku tanya anakku dulu, soalnya kan, sekarang di rumah ada bayi, takutnya menantuku repot nggak ada yang bantu.” aku beralasan. 

“Lho, bukannya ada baby Sitter, Bu?” 

“Iya, sih, tapi, baby Sitter itu belum begitu terampil merawat bayi.” aku mengangguk. Padahal, baby Sitter di rumah sangat terampil karena sudah ditraining dari yayasan. 

Tidak mungkin bagiku mengatakan sejujurnya pada teman-temanku jika sebenarnya aku tidak punya uang. Mereka pasti tidak percaya dan aku menertawakan aku. 

Meminta pada Yuda juga, aku agak sungkan sekarang. Yuda itu ATM gajinya dipegang Lina. Apa-apa harus persetujuan Lina. Minta 500 ribu hari gini apa dikasih, sedangkan sekarang Yuda dan Lina sudah punya bayi, tentu saja pengeluarannya bertambah banyak. 

“Nanti aku kabari, Bu,” kataku akhirnya. 

Berjalan kaki pulang, pikiranku masih pada bahasan pesantren lansia yang diobrolkan dengan teman-teman tadi. Aku ingin ikut tapi, gimana? Nggak mungkin aku dapat uang 500 ribu dalam waktu satu Minggu. Bu Safiq bilang, akan membuat reservasi untuk Minggu depan. 

Ah, kenapa aku tidak seperti teman-temanku, yang seakan tak ada beban di hari tua? Mereka mau apa, mau ke mana saja tinggal bilang sama anaknya, pasti  dituruti. Sedangkan aku? Sampai umur segini masih saja mikir kebutuhan sendiri. Yuda anakku bisa dibilang kaya tetapi, dia sudah berkeluarga dan memiliki kebutuhan hidup sendiri, nggak mungkin Yuda menomorsatukan aku, ibunya. Pasti Yuda lebih memilih istrinya ….

“Ibu dari mana aja?!” 

Datang-datang, Lina sudah berkacak pinggang di ruang tamu. Dia menatapku lurus dengan sorot mata marah. Memang, aku sedikit terlambat pulang karena mampir rumah Bu Safiq. 

“Habis pengajian, Lin,” jawabku. Mataku melihat ke dalam, mencari cucuku. 

“Zidan di mana?” Aku melihat Lina. 

“Jangan bilang Ibu keluyuran, ya! Bilang mengaji tapi pulangnya jam segini. Apa nggak tau kalau di rumah repot? Lina ini habis melahirkan operasi, Bu, nggak boleh kerja berat, ngerti, Bu?” Lina tidak menjawab pertanyaanku malah mengomel. Aku yang sudah kebal dengan omelan Lina, tak ambil pusing dan segera masuk ke rumah mencari cucuku. 

“Ibu, jangan megang Zidan dulu. Cuci tangan, kaki, sekalian cuci piring itu!” Lina menunjuk wastafel. 

Bersambung 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Dedesst Beckham
gw tabok lu ya lina
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Dibuang Anak Dinikahi Pengusaha Jalan Tol    Secangkir Kopi

    Dibuang Anak Dinikahi Pengusaha Jalan Tol bab 85Secangkir kopi bikin syok Sore harinya, saat adzan Maghrib berkumandang, aku melihat Bu Sofi sedang sibuk di meja makan. Di hadapannya ada beberapa hidangan enak dan es kolak. Langkahku perlahan. Mata ini tanpa sadar menatap Bu Sofi yang seperti rakus menyantap makanan. Dia sedang berbuka puasa. “Tumben, Bu, makan saat adzan Maghrib seperti orang puasa saja,” ujarku berpura-pura. “Ah, iya memang saya puasa hari ini,” sahutnya menoleh. “Puasa apa hari Rabu, perasaan puasa sunah Arafah sudah lewat,” ujarku lagi. “Emang napa Bu Ainun? Kayanya ngga suka ya, lihat saya puasa, berbuat baik, ngumpulin pahala?” Bu Sofi membalas sewot. Aku tersenyum saja. Ngumpulin pahala gimana orang niatnya saja sudah busuk. “Oh, gitu? Bagus dong kalau Bu Sofi sekarang sudah rajin berpuasa. Tapi, lebih baik lagi kalau puasanya Senin Kamis, Bu, InshaAllah berkah,” jawabku menyungging senyum. Bu Sofi melirik tajam. Biar saja, aku segera kembali ke ka

  • Dibuang Anak Dinikahi Pengusaha Jalan Tol    Kena Pelet?

    Saat Anakku Kaya 84Bab 84Apakah suamiku terkena pelet? Rutinitas pagiku agak lain hari ini. Mas Johan sudah keluar dari jam setengah enam pagi tadi. Suamiku ke Counter club, mau main golf bersama teman teman sehobby. Meskipun demikian, aku tetap ke dapur untuk membuatkan kopi. Kemarin, aku sudah berpesan pada Mbak Woro untuk tidak beraktivitas pagi dulu di dapur. Hari ini, aku akan menjalankan rencanaku menjebak Bu Sofi. Orang jahat mesti diberi pelajaran. Aku tidak merasa berdosa jika mempermalukan Bu Sofi. Itu akibat ulahnya sendiri. Mas Johan pergi tanpa diketahui Bu Sofi, Lina maupun Yuda. Suamiku nggak ngopi di rumah sebab di country club ada cafetaria. Pernah juga aku diajak ke sana. Wuih, fasilitasnya kelas atas, mewah dan mahal. Keren memang country club tempat suamiku menjadi member. Selesai mengaduk kopi dalam cangkir, aku meninggalkan dapur begitu saja. Sampai kamar segera memantau CCTV. Rasanya menggebu untuk melihat apa yang terjadi selanjutnya. Mbak Woro muncul be

  • Dibuang Anak Dinikahi Pengusaha Jalan Tol    Menjebak Bu Sofi

    Saat Anakku Kaya 83Bab 83Menjebak Bu Sofi Huh, huh, huh!Nafasku rasanya bekejaran usai mendengar sendiri rencana busuk Bu Sofi. Benar-benar perempuan j4h4n4m dia itu. Tubuhku bergetar dan tanganku juga gemetaran. Seumur umur, aku tak pernah tau ada orang sejahat ini. “Duduk dulu, Bu,” kata Pak Margono menunjuk sofa. Aku mengangguk. Pak Margono memasuki rumah, aku masih terdiam dengan dada yang berdebar. Ya Allah … segitunya Bu Sofi. Aku sudah menolongnya, memberinya tumpangan di rumah mewah, meminjamkan mobilku untuknya bepergian, memberinya makanan gratis, menyekolahkan Nungki juga, tetapi apa balasannya? Dia malah mengincar suamiku! Astaghfirullahaladziim. Menarik nafas dengan mata terpejam, aku mengurut dada sendiri. Apakah ini yang disebut air susu dibalas air tuba? “Minum air putih dulu, Bu.” Pak Margono datang dengan segelas air di tangannya. Bagai kerbau dicucuk, akupun menurut dan segera meneguk air tersebut. Ya Allah, aku benar-benar syok. Pak Margono kemudian terl

  • Dibuang Anak Dinikahi Pengusaha Jalan Tol    Segala Cara

    Saat Anakku Kaya 78Bab 78Segala cara POV Bu Sofi Semakin lama tinggal di sini semakin membuatku gusar saja. Bagaimana tidak? Rumah ini begitu besar seperti istana. Dipenuhi dengan barang dan perabot antik yang nilainya bisa diduga fantastis. Garasi mobilnya juga isinya nggak kaleng-kaleng. Dan yang membuat hatiku hangus karena terbakar api cemburu adalah, pemilik semua ini adalah Bu Ainun! Perempuan dekil yang dulu miskin, gembel dan aku hinakan. Tidak habis pikir kenapa nasib baik berpaling padanya. Perempuan kampung itu berhasil memikat hati seorang konglomerat dan sialnya, mereka menikah! Aku tidak terima. Bu Ainun tidak boleh melebihi aku. Meskipun usiaku dengan Bu Ainun hampir sebaya tetapi, penampilan kami jauh berbeda. Bumi dan langit jauhnya. Lihatlah aku. Di usiaku yang menginjak 55 tahun, aku masih cantik. Kulitku masih putih dan kesat, tidak kendor. Wajahku terlihat glowing dan licin seperti porselen. Body ku tinggi dan proporsional. Berbeda dengan Bu Ainun yang kun

  • Dibuang Anak Dinikahi Pengusaha Jalan Tol    Pasang CCTV

    Saat Anakku Kaya 81Bab 81Pasang CCTV untuk memantau “Mas, aku minta tolong untuk dipasangkan CCTV di area dapur,” kataku pada Mas Johan malam hari saat hanya berdua saja di kamar. “CCTV buat apa, dek? Bukannya sudah ada di dapur?” Mas Johan memalingkan wajah. Matanya memicing menatapku. “Maksudnya yang benar-benar menyorot area dapur, Mas. Jadi dapat mencakup semuanya misal area memasak, kompornya, wastafel, rak piring dan sebagainya,” ucapku lagi. “Maksudnya biar aku dapat melihatmu bila sedang memasak, gitu, dek?” Mas Johan menggaruk kepalanya dengan mimik wajahnya yang lucu. “Bukan!* aku menoleh dan menggeleng cepat. Ngapain juga aku pingin disyuting saat masak. “Terus?” “Pokoknya pasangin aja, Mas?” pintaku dengan bibir manyun. Suamiku malah tertawa. Sebenarnya, sudah ada CCTV di area ruang makan. Cakupannya juga sampai ke dapur tetapi hanya sebagian saja karena angle nya yang susah. CCTV itu memang dikhususkan untuk memantau suasana ruang makan dan pintu belakang. Semen

  • Dibuang Anak Dinikahi Pengusaha Jalan Tol    Target Pelet

    Saat Anakku Kaya 80Bab 80Target Pelet “Lumayan, lah, Mas … nggak jelek-jelek amat,” ujar Lina seusai melihat ruko yang disewa Yuda untuk usaha jasa cleaning service. “Iya, Lin, nggak terlalu sempit jugae,” timpalku mengangguk. Setuju dengan pendapat Lina. “Lantai tiga ini, nanti rencananya buat para karyawan yang mau menginap. Aku mengizinkan dengan gratis.” Senyum Yuda mengembang. “Betul, Mas, sambil menyelam minum air. Rukonya aman dan mereka dapat tempat tinggal cuma-cuma. Sama-sama untung,” ujar Lina. Hari ini, aku, Lina dan Bu Sofi diajak oleh Yuda melihat ruko yang sudah dia sewa. Letaknya di daerah atas kota Semarang. Menurut Yuda, harganya lebih miring dari pada yang ada di pusat kota. Yuda memang sengaja mencari yang murah demi menekan pengeluaran modal. Masuk akal sih, menurutku. “Apaan, ruko sempit, sumpek begini, siapa yang mau tinggal di sini? Yang ada meleleh seperti lilin.” Bu Sofi mengibaskan telapak tangan di depan wajahnya seolah merasa kepanasan. “Nanti dib

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status